Balada Ukraina #6

Pemandangan kota dan sungai Dnipro di musim dingin. Beku dan suram.

Pemandangan kota dan sungai Dnipro di musim dingin. Beku dan suram.

Setiap kali menonton film yang menampilkan latar tempat bersalju, saya merasa penasaran: suhu tempat itu pasti dingin, tapi kalau ada matahari bersinar cerah, apakah hangatnya terasa di kulit? Saya mendapatkan jawabannya pada sebuah hari yang random di bulan Februari. Dari jendela apartemen, saya melihat matahari bersinar agak terang di luar. Saya melirik TV, di pojok kanan atas terlihat angka -3 °C, suhu pagi ini.

Begitu keluar dari gedung apartemen, sinar matahari tak terasa sama sekali. Hanya menerangi, tidak menghangatkan. Tapi sinar matahari di musim dingin pendek saja umurnya. Hawa dingin langsung menyergap, terutama terasa di wajah dan telapak tangan saya, dua bagian yang tidak ditutupi apa pun. Saat saya tiba di sekolah jam 9 kurang, langit kembali mendung dan muram.

Sudah seminggu saya mengajar di European Gymnasium (EG), mengisi kelas-kelas English conversation untuk anak kelas 1 SD sampai 2 SMA. Di Ukraina, pendidikan dasar memang hanya sampai kelas 2 SMA. Minggu pertama saya berjalan dengan sukses di EG. Saya berjuang habis-habisan merebut hati para murid di sana, tentunya menyesuaikan diri dengan kelasnya. Menghadapi anak-anak yang lebih kecil, yaitu kelas 1 – 6 SD, bagi saya lebih mudah. Begitu saya masuk kelas, mata mereka melebar, menandakan mereka sangat ingin tahu siapa guru asing berkulit cokelat ini.

Pertemuan pertama lebih banyak saya gunakan untuk perkenalan, masih didampingi Oleg. Saya bawa semua barang penarik perhatian: bendera merah-putih, angklung, kartu pos, blangkon, baju batik, kartu pos Indonesia, dan suvenir berupa dompet koin motif batik yang saya pakai untuk hadiah kuis. Sambil meminjam peta dunia milik sekolah, dibentangkan di depan papan tulis, saya bikin kuis dengan hadiah dompet koin tadi. Kelas 1-4 SD masih didampingi wali kelas mereka yang namanya Tanya, perempuan berbadan besar dan berwajah galak.  Anak-anak kelas 4 bahkan rusuh dan sampai ada yang nangis waktu berebutan main angklung! Anak-anak yang lebih besar, yaitu kelas 7-11, cenderung lebih jaim, tapi mereka tak bisa menyembunyikan ketertarikan pada angklung dan berusaha bicara sebanyak mungkin dengan saya.

Hingga pada suatu Jumat sore, Oleg bilang ke saya, “The kids seem to like you. The 8th graders said you’re even better than Jeffrey.” Wadooh, jelas saya jingkrak-jingkrak denger dia bilang begitu! 🙂 FYI, Jeffrey adalah orang Kanada yang setahun sebelumnya mengajar di sini juga. Kesimpulannya: not bad for a start! Dengan begitu saya bisa dengan nyaman menghabiskan akhir pekan dengan teman-teman AIESEC saya.

***

Sepagi itu biasanya sudah ada satpam sekolah yang berjaga di balik pintu depan. Mejanya dilengkapi pesawat TV yang memperlihatkan gambar dari CCTV yang dipasang di beberapa sudut sekolah. Saya baru lihat satpam yang ini. Badannya besar-gendut, wajah bulat dan rambut cepak. Saya mencoba berkenalan sambil merentangkan tangan ke arahnya.

“доброе утро! как дела? Меня зовут Индра (Selamat pagi! Apa kabar? Nama saya Indra),” kata saya sok berbahasa Rusia.

Dan dia menjawab dengan suara tawon. Inilah akibatnya kalau sok-sokan bicara Rusia kelas beginner, orang akan menyangka saya bisa bahasa Rusia. Yang saya tangkap, namanya Sergey. Wajahnya yang dingin dan pelit senyum. Cocok jadi satpam. Sebenarnya, sejak tiba di sini, saya rasa wajah-wajah orang Ukraina cenderung dingin dan jarang tersenyum.

Di area meja satpam itu juga ada beberapa loker untuk menyimpan jaket dan mantel para guru dan murid. Di lantai yang sama, ada beberapa ruang untuk anak-anak TK. Setelah itu langsung ada tangga ke lantai atas. Ruang saya ada di lantai dua. Ruang ini terpisah dari ruang guru di lantai tiga. Kata Oleg, “Ruang ini dari dulu memang khusus untuk guru bahasa Inggris. Kadang-kadang dipakai buat kelas lain, kalau diperlukan.” Padahal akhirnya yang menempati ruang itu cuma saya dan Oleg.

Ruang itu isinya cukup padat dan sempit: meja dan kursi, whiteboard, wastafel, rak buku, dan ada ruang yang lebih kecil berisi buku-buku pelajaran, khususnya bahasa Inggris dan sejarah. Kantinnya ada di basement. Dipimpin seorang wanita paruh baya bernama Irina, dengan empat anak buahnya yang perempuan semua—dan saya tak tahu nama keempat orang itu. Dari kelima staf kantin itu, hanya Irina yang bisa bahasa Inggris beberapa patah kata. Kalau diajak ngobrol panjang, dia akan mengangkat tangan sambil menggeleng tanda tak mengerti. Sejak awal, Oleg sudah mewanti-wanti Irina untuk tidak memberi saya daging babi dan ikan. Yang pertama karena haram buat saya, yang kedua karena saya nggak doyan…hehehe! 🙂

***

Kamar saya. Sumpek tapi nyaman.

Kamar saya. Sumpek tapi nyaman.

Tiga minggu berada di Dnipro, akhirnya saya tumbang. Suatu Senin yang mendung dan dingin, saya merasa tak enak badan. Demam, pilek, radang tenggorokan, batuk, semua jadi satu. Saya mengirim SMS ke Oleg, minta izin tak datang mengajar hari itu. Ternyata sampai besoknya juga saya belum membaik. Sorenya, sepulang dari sekolah, Oleg datang bersama suster sekolah. Melihat kamar saya yang sumpek, Oleg membuka jendela.

“Kayaknya jendela ini jarang dibuka, ya?” tanyanya.

“Iya….” jawab saya.

“Pantas kamarmu sumpek banget. Kenapa nggak pernah dibuka?”

“Oleg, suhu di luar dingin banget! Ngapain aku buka jendela?”

“Yaa…kan buat pergantian udara.” Tiba-tiba si suster—yang belakangan saya ketahui bernama Yeva—itu mengatakan sesuatu.

Oleg menerjemahkan, “Berapa suhu di Indonesia?”

“Tiga puluh derajat….all year long,” kata saya nyengir.

Mereka berdua tampak sedikit terkejut. Lho, apa mereka tidak tahu ada yang namanya negara tropis? Yeva menyerahkan secarik kertas resep. Oleg juga memberikan setengah gaji saya saat pamit pulang. “Ini untuk beli obat,” katanya. Wah, lumayan deh.

Lima hari dalam minggu itu pun saya terkapar. Hanya tidur, baca buku, dan makan di kantin di lantai dasar. Itu pun saya hanya makan sop panas melulu—dengan lada yang banyak, biar keringetan! Habis, orang sini kalau masak garamnya sangat sedikit, apalagi lada. Saya juga menelepon Nik malam setelah Oleg datang ke apartemen. “Antarkan aku ke apotik, dong,” pinta saya.

Nik datang malam itu. Ternyata ada apotik tak jauh dari apartemen saya. Semua obat resep dari Yeva ternyata menghabiskan sekitar  100 ribu, kalau dikonversi ke rupiah. Setelah itu Nik mengajak saya ngopi-ngopi cantik dan minum teh panas di sebuah kafe dekat apotik. Kalau dipikir-pikir, dalam keadaan demam begini saya seharusnya tak berkeliaran di tengah suhu beku seperti ini. Tapi daripada bengong di kamar, ya sudahlah. Julia juga beberapa kali mampir menengok, sambil menemani saya makan di kantin dan bawa makanan juga buat saya.

Hari Sabtunya, saya sudah sembuh dan segar kembali. Sebenarnya acara hari Sabtu dan Minggu selalu asyik, karena biasanya hanya di akhir pekan saya bisa bertemu teman-teman. Ceritanya dilanjut kapan-kapan yaaa…. 🙂 []

(bersambung)

2 thoughts on “Balada Ukraina #6

    1. Indradya SP Post author

      Tolak Angin? Di Ukraina? 😛 Itulah, saya lupa bawa. Biasanya sih saya tahan hawa dingin, tapi ternyata kalo udah di bawah nol tumbang juga 😛

      Reply

Leave a comment