Balada Ukraina #1

Pagi ini baru saja saya menerima e-mail dari seorang kawan asal Ukraina, tempat saya pernah tinggal empat tahun yang lalu. Bulan Maret tahun 2008 adalah bulan ketiga saya tinggal di Dnipropetrovsk, kota ketiga terbesar di negeri asal Andrey Shevchenko itu. Kawan saya itu berencana mampir ke Indonesia pertengahan tahun ini—dan akan menjadi kawan Ukraina ketiga saya yang akan berkunjung kemari. Ia bahkan mengundang saya “pulang kampung” ke Ukraina tahun 2012 untuk menonton gelaran Euro 2012 yang memang akan dilaksanakan di sana–tanpa saya perlu mengkhawatirkan akomodasi (You’ll stay at my apartment, Indra!), begitu janjinya. Semua itu membuat saya teringat kembali masa-masa indah (dan susah) selama tinggal di sana dulu.

Pertama, saya akan bercerita lebih dulu tentang bagaimana saya bisa terbang ke sana. Beberapa bulan setelah mengalami gempa Jogja pada tahun 2006 dan menjadi interpreter relawan untuk sebuah NGO kedokteran asal Perancis, suatu hari selepas pulang kuliah, saya bertemu beberapa orang yang sedang sibuk membagikan brosur kepada orang-orang yang lewat di sekitar kampus saya, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Seorang di antara mereka adalah orang Jepang. Mereka ternyata adalah anggota AIESEC (dulu ini singkatan dari Association Internationale des Étudiants en Sciences Économiques et Commerciales. Sekarang singkatan itu tidak dipakai lagi). Intinya, ini adalah sebuah organisasi mahasiswa internasional non-profit yang bertujuan meningkatkan keterampilan dalam hal kepemimpinan (leadership) melalui program-program internal dan melibatkan para mahasiswa dari berbagai negara untuk bergabung dengan program magang kerja (internship) di negara-negara lain. AIESEC adalah organisasi mahasiswa terbesar di dunia dan hadir di 110 negara.

Di Indonesia, cabang AIESEC hanya ada di enam kota, dan yang terdekat dari Jogja, kampung halaman ibu saya, adalah di Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang. Singkat cerita, saya segera mendaftar lewat e-mail. Beberapa persyaratan yang harus saya penuhi di antaranya adalah memiliki nilai TOEFL di atas 550 dan menulis esai sekian halaman dalam bahasa Inggris tentang diri saya dan apa yang membuat saya tertarik bergabung dengan program magang di luar negeri. Saya pun lolos menembus babak pertama.

Babak berikutnya berupa tes-tes lagi. Kali ini saya harus diwawancara oleh Board of Advisor di AIESEC. Anggotanya kebanyakan adalah orang-orang tua yang bersedia menjadi anggota dewan penasihat dan terdiri dari berbagai latar belakang: psikolog, pengusaha, kepala cabang BUMN, dosen, alumni AIESEC, dsb. Wawancara dilakukan sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris. Isi wawancara bermacam-macam: dari pengetahuan umum hingga kepribadian (cita-cita, keterampilan, dsb). Dengan semangat Setan Merah, saya pun berhasil lolos dari babak ini. Setelahnya, masih ada beberapa kegiatan internal yang harus saya ikuti, termasuk satu kali konferensi nasional di Jakarta.

Oh ya, semua hal di atas sebagian besar dilaksanakan di Semarang. Jadi, saya harus bolak-balik ke kota lumpia itu dari Jogja dengan motor bebek kesayangan saya: Belalang Tempur. Saya tak ingat berapa kali saya harus pergi-pulang ke Semarang. Jarak sekitar 100 kilometer sekali jalan itu biasanya saya libas dengan waktu tempuh 2-2,5 jam—satu kali ditilang polisi korup di Ambarawa gara-gara plat motor yang “nggak standar” (dugaan saya sih juga karena plat luar kota: AB); dan sekali ban bocor tak jauh dari Simpang Lima, Semarang.

Setelah selesai melalui tahapan-tahapan di atas, nama saya—berikut CV—berhak dipajang di sebuah list internal yang bisa diakses online. Di list itu, saya berhak memilih dan dipilih oleh perusahaan/lembaga (istilahnya: TN Taker) di berbagai negara anggota untuk kerja magang di tempat mereka. Kita berhak memilih TN Taker di seluruh dunia dan begitu juga sebaliknya. Kalau ternyata banyak tawaran datang ke seorang calon magang alias trainee atau EP (Exchange Participant), artinya CV orang itu memang lumayan atau malah keren punya. Kalau banyak tawaran datang, EP jadi leluasa memilih. Selebihnya, semua adalah masalah manajemen (pengelolaan), entah itu manajemen waktu, dana, persiapan kerja, dan sebagainya.

Sebagai calon trainee/EP (sebutan untuk orang yang mengikuti program internship ini), saya bisa melihat-lihat data-data perusahaan/lembaga di list itu: deskripsi pekerjaan, akomodasi, gaji, fasilitas, dsb. Sebaliknya, mereka juga bisa mempelajari data saya: pendidikan, kemampuan berbahasa, pengalaman kerja, dsb. Saya juga bisa berkomunikasi dengan penanggung jawab program itu di negara tujuan untuk menanyakan banyak hal lebih detail lagi: budaya, biaya hidup, kurs mata uang, cuaca, dan hal-hal lain mengenai negara tujuan. Proses ini bisa memakan waktu cukup lama. Dalam kasus saya, butuh waktu hampir setahun sebelum akhirnya benar-benar terbang ke Ukraina.

Oh ya, sebagai calon trainee, ada empat bidang yang bisa dipilih untuk magang nantinya: Management, Technical, Education, dan Development. Berhubung latar pendidikan saya Sastra Perancis, awalnya saya hanya bisa memilih Development. Tapi begitu mengetahui bahwa di bidang Development para trainee  biasanya bekerja sebagai relawan di NGO, tidak digaji, serta kadang hanya diberi akomodasi seadanya, saya segara banting setir ke bidang Education—mencari lowongan mengajar bahasa Inggris atau Perancis. Kabar baik, nyaris semua TN Taker di bidang ini menyediakan gaji dan akomodasi. Jadi, hanya keputusan logislah yang saya buat.

Harap diingat, uang bukanlah tujuan utama mengikuti program ini. Saya membicarakan uang dan gaji di sini dengan maksud untuk meminimalkan pengeluaran saya untuk pulang-pergi ke negara tujuan, itu saja. Soalnya, saya harus membayar tiket pesawat saya sendiri. Anggap saja uang yang dikeluarkan itu adalah biaya yang harus dibayar untuk “belajar tentang kehidupan”. Lebih baik saya memimpikan pengalaman tak ternilai tentang bekerja dan hidup di luar negeri, berinteraksi dan beradaptasi dengan budaya dan masyarakat yang belum pernah kita kenal sebelumnya.

Selama proses itu, Elvina—gadis agak sipit mahasiswi Fak. Hukum UNDIP—bertindak sebagai manajer saya. Artinya, dialah yang mendampingi saya sampai mendapatkan internship yang cocok. Keberhasilan suatu LC (Local Committee) di AIESEC untuk memberangkatkan anggotanya untuk magang di negara lain akan menambah poin bagi LC itu, yang akan dicatat oleh AIESEC internasional sebagai prestasi. Beberapa trainee ada juga yang tidak jadi berangkat. Bisa karena terlalu pemilih (picky), bisa juga karena hal-hal lain. Di “angkatan” saya, kalau tidak salah hanya 2 orang yang berangkat termasuk saya—dia berhasil mendapat kerja magang di sebuah hotel di India.

Selama hampir setahun menanti “dipanggil” dan juga sibuk melamar ke negara ini-itu, saya mengisi waktu dengan merampungkan skripsi (yang sering saya abaikan karena waktu itu bersama beberapa teman kadang mendapat order dari kampus untuk bikin film pendek, dokumenter, atau videomantenan). Lulus pada Januari 2007, tanpa mau repot-repot menghadiri acara wisuda, saya segera menuju Jakarta. Konsekuensinya, saya tak pernah punya foto diri sedang memakai toga. Waktu itu saya diterima bekerja sebagai instruktur bahasa Indonesia untuk ekspatriat di Berlitz Language Center.

Waktu masih kerja di Berlitz.

Jadinya, selama satu tahun, saya sempat merasakan bekerja di kawasan elit ibukota, Jl. Sudirman, di salah satu gedung bertingkat di sana (kenyataannya, kantor saya berada di lantai UG: Under Ground). Setiap hari saya juga tampil berdasi ala eksekutif muda (ini bukan gaya-gayaan, tapi diwajibkan oleh kantor, mengingat klien kami adalah para eksekutif perusahaan-perusahaan asing besar… dan para istri mereka). Jenis pekerjaan mengajar ini memang saya incar karena untuk bisa mendapat kesempatan traineeship bidang education di luar negeri, pengalaman mengajar di suatu lembaga akan lebih menarik di mata calon employer saya. Dan saya juga beruntung karena language center tempat saya bekerja itu cukup menginternasional karena punya cabang di 60 negara.

Waktu masih kerja di Jakarta–bareng Belalang Tempur 🙂

Selama kurun waktu 2007, saya sempat beberapa kali ditaksir oleh beberapa sekolah atau lembaga kursus bahasa di beberapa negara: Turki, Venezuela, India, Kolombia, dll. Awalnya saya memimpikan bisa kerja di UK, tapi apa daya tak ada yang merespons lamaran saya di sana. Suatu hari, sebuah sekolah dari Turki menelepon langsung ke ponsel saya untuk menanyakan beberapa hal tentang saya, sekaligus mengetes bahasa Inggris saya (saya langsung kepikiran soal pulsa yang mereka habiskan untuk menelepon ke Indonesia…. hehehe). Beberapa hari sebelumnya, orang Turki itu sudah mengirim e-mail  kepada saya. Berikut kutipan e-mail  itu apa adanya:

Dear Indradya Suzanto,

We are working for a language school in Sakarya near Istanbul in Turkey. We have got 15

classes and about twenty teachers. We need foreign teachers for our school.

Members of AIESEC sent me your cv. If everything is all right, what is the soonest time for u to

start work? How long could you work? We want to learn your expectations.

We are looking forward to hearing from you.

Mr. Nihat SERT

Coordinator

Sayang seribu sayang, koordinasi dengan AIESEC lokal sana tidak berlangsung lancar. LC AIESEC di kota tujuan entah kenapa tidak pernah membalas e-mail dari kami (saya dan Elvina), seolah tak becus mengurusi hal begini. Saya mengajukan protes dan keluhan yang belakangan diteruskan ke mabes AIESEC pusat di Rotterdam, Belanda, agar mereka bisa melakukan tindakan/teguran. Saya juga mengirim e-mail secara pribadi ke Mr. Sert tadi dan menjelaskan duduk persoalannya. Dan dengan demikian lenyap sudah kesempatan saya untuk tinggal dan bekerja di Turki. Saya juga pernah mendapat tawaran sejenis dari kota lain di Turki, tapi berhubung waktunya mepet—harus berangkat dalam waktu 3 minggu—dengan berurai air mata saya menghubungi gadis Turki cantik yang menawarkan lowongan itu dan terpaksa menolaknya (lebay!). Sebab, setelah saya hitung-hitung, tak mungkin menyiapkan tiket pesawat, visa, dan tetek bengek lain dalam waktu sesingkat itu untuk pergi dan tinggal selama 6 bulan di Turki.

Beberapa minggu kemudian kembali ada tawaran untuk bidang Education ini, untuk mengajar bahasa Inggris. Kali ini datang dari Kolombia: gaji US$ 500, apartemen, kursus bahasa Spanyol gratis (yang pernah saya pelajari selama dua semester di kampus), kota pantai yang indah (cek “Cartagena” di Wikipedia!), gadis-gadis Latina (wew!), sepak bola Amerika Latin… made me drooling! hahaha….

Hi Indra!

Centro Cultural Colombo Americano is a great TN (TN-Et-CO-CG-2006-1241), and Cartagena, Colombia, is a beautiful city, give yourself the chance to know it.

Please answer even if your are not interested.

Karina Hernández

AIESEC Cartagena

Setelah googling ke sana kemari, saya harus menolak tawaran itu: tiket pesawatnya seharga lebih dari $4.000! Bukan angka yang bisa saya toleransi, orangtua saya juga tak punya simpanan sebanyak itu hanya untuk tiket pesawat saya. Lagi pula, saya takut diculik kartel narkoba di sana dan disuruh jadi pengedar keliling…hehehe! Yah, nasib. Saya hanya bisa terus mencari-cari lowongan yang oke sambil tetap bekerja. Lagi pula, pekerjaan mengajar orang asing bagi saya cukup menyenangkan. Rasa bahasa (Indonesia dan Inggris) saya makin terasah karena “dipaksa” berpikir ganda dalam dengan dua bahasa pada waktu yang sama. Walaupun metode mengajar di sana menekankan penggunaan bahasa target secara ekstensif, bahasa Inggris tak bisa dihindari guna menjelaskan beberapa hal kepada murid-murid—yang kebanyakan orang Amerika dan Jepang. Kadang-kadang instruktur juga harus mengajar di apartemen atau kantor murid. Jadilah saya sempat mampir ke banyak apartemen mewah dan kantor-kantor perusahaan asing di sepanjang Thamrin-Sudirman hingga ke kawasan-kawasan industri di Tangerang. Saya juga beruntung karena kolega saya di kantor banyak yang orang asing, sehingga saya bisa sering-sering melatih percakapan dengan mereka. Bahkan saya kadang mendapat kesempatan melatih obrolan bahasa Perancis dan Spanyol saya dengan para instruktur native bahasa itu.

Pada Agustus 2007, saya menikahi pacar jarak jauh saya (Jogja – Bandung, UGM – UNPAD), yang tentunya sudah saya wanti-wanti sejak jauh-jauh hari bahwa saya kemungkinan besar akan berangkat ke luar negeri demi memuaskan nafsu jalan-jalan di negeri orang—melebihi nafsu makan saya. Setelah menikah, istri saya masih bekerja di Bandung sementara saya bekerja di Jakarta–pulang ke kontrakan di Bandung setiap Sabtu dan kembali ke Jakarta hari Selasa, naik Baraya yang murah meriah dan kadang agak gerah.

Pada suatu hari di bulan Oktober 2007, datanglah e-mail yang ditunggu itu. Beberapa waktu sebelumnya saya melamar ke sebuah sekolah di Ukraina, dan datanglah e-mail  balasan dari manajer AIESEC lokal sana yang mengurusi program itu:

hello!

my name is Anastasiia Belous.

I am the OCP of the project “English Marathon”.

My X manager (Vova) has just informed me that you are interested in our TN. Is it so?if yes, maybe you have some questions to me?I’d like to speak with you a little bit.

We are interested in cooperation with you!

wait for your answer!

have a nice day!!!

Bahasa Inggrisnya agak kacau, ya? hehehe… Itu tadi lowongan jadi guru bahasa Inggris di sekolah swasta di Dnipropetrovsk, Ukraina. Yang jelas, saya hanya membutuhkan beberapa menit untuk mengiyakan tawaran itu. Pergi ke sebuah negara pecahan Uni Soviet di Eropa Timur terdengar cukup seksi bagi saya. Mengajar bahasa Inggris di sekolah swasta selama setengah tahun, merasakan bekunya musim salju, indahnya musim semi, terima gaji dan apartemen gratis, menikmati wajah-wajah gadis Slavik nan elok, backpacking keliling negara itu, a whole new experience…. oke, saya terima!

Minggu-minggu berikutnya saya isi dengan berkomunikasi dengan Nastya (panggilan akrab Anastasiya yang mengirim e-mail di atas) dan browsing segala macam hal tentang Ukraina: visa, kurs, budaya, bahasa, akomodasi, biaya hidup, aktivitas selama saya di sana, dan tentunya makanan. Saya juga mulai mengurusi pengunduran diri saya sebagai instruktur bahasa Indonesia dan bolak-balik ke Kedubes Ukraina (yang untungnya masih terletak di Jl. Sudirman, dekat kantor saya) untuk mengurus visa. Butuh 10 hari dan $60 untuk mendapatkan visa kerja Ukraina. Tapi butuh agak lama lagi untuk menunggu surat undangan asli yang dicap AIESEC lokal sana dan pejabat imigrasi Ukraina untuk ditunjukkan kepada Kedubes (“Yang asli ya, bukan print out atau fax,” kata petugas Kedubes).

Untuk tiket, berhubung pesawat ke Ukraina dari Indonesia waktu itu susah dicari, akhirnya saya meminta tolong seorang kenalan di Hong Kong untuk membelikan tiket dari sana sebelum nanti saya ganti. Dan akhirnya semua beres. Oh, agak sial juga sih sebenarnya. Teman saya itu membelikan tiket Turkish Airlines ke Kiev, plus transit di Istanbul, padahal saya minta dibelikan tiket ke Dnipropetrovsk. “Saya cuma tau Kiev kalo denger nama Ukraina,” katanya di YM sambil meminta maaf. Ya sudahlah, yang jelas saya sudah mengantongi tiket PP. Itu yang penting, walau perjalanan jadi tambah jauh. Saya mengabarkan hal ini kepada Nastya, yang dalam waktu singkat berkoordinasi dengan AIESEC Kiev untuk mengurus kedatangan saya.

Saya mengabarkan keberangkatan saya kepada seorang kawan di AIESEC UNDIP dan, herannya, belasan SMS masuk ke ponsel Samsung butut saya beberapa menit kemudian. Usut punya usut, mereka sedang berkonferensi nasional di Batu, Malang, dan sedang di ujung tanduk karena belum berhasil memberangkatkan satu trainee pun. LC yang tidak memberangkatkan trainee dalam suatu kurun waktu kepengurusan akan mendapat penalti dari pusat. Sayalah penyelamat mereka…. di detik-detik terakhir! 🙂

Beberapa hari menjelang keberangkatan, saya mulai mempersiapkan barang bawaan saya. Koper besar, tas ransel, tiket pesawat Jakarta – Hong Kong, baju-baju, jaket musim dingin (dapet murah di Kiara Condong!), Lonely Planet Ukraine, beberapa kamus dan buku (salah satunya buku Harry Potter terbaru), serta angklung (!). Saya juga menitipkan Belalang Tempur saya ke Tante Ike, mantan kakak angkatan saya yang bekerja di Serpong. Ya, saya suka jahil memanggilnya “tante”. 😀

Saya akan pergi ke sebuah negara asing, 9.000 kilometer dari Indonesia, yang bahasanya tak saya mengerti, yang budaya dan orang-orangnya tak pernah saya kenal, yang suhu udaranya ekstrem, yang tak punya warga Indonesia di kota yang akan saya tinggali…

Akhir Januari 2008. Empat jam terbang ke Hong Kong, dua hari transit di sana, 11 jam terbang ke Istanbul, 2 jam transit di Bandara Ataturk, dilanjutkan 2 jam terbang ke Kiev, ibukota Ukraina. Dan jarak Kiev – Dnipropetrovsk sekitar 450 kilometer. Sungguh perjalanan yang panjang. Bismillahi rahmanir rahim(bersambung)

* Tulisan ini pernah saya pajang di notes Facebook pada 18 Maret 2011. Sengaja di-posting di sini, dengan diedit seperlunya, biar blog saya agak rame dikit 🙂

17 thoughts on “Balada Ukraina #1

  1. penggerutuamatir

    hallo, saya juga mengikuti GCDP di Ukraina. Nama kotanya Donetsk. januari-maret 2012 kemarin. kangen pengen balik lagi. ceweknya cantik2 soalnya. haha

    Reply
  2. Gusti Ladini Tanake

    hai mas Indra, saya juga rencananya oktober bsk brkt ke ukraine. projectnya teaching english. biaya hidup disana gmn mas ? so far kendala hidup disana apa aja ? hehehe. maklum, this is my first international experience.

    Reply
    1. Indradya SP Post author

      Coba kamu baca dulu posting yg judulnya “Tips Internship untuk AIESECer”. Ok? 🙂

      Reply
      1. Gusti Ladini Tanake

        udah aku baca mas . hehehe*
        boleh minta alamat email ? biar kalo masi bingung dgn negara sana, aku bs lgsg tanya mas Indra 🙂
        lanjutin lg mas balada ukraina 4 nya. cant wait to read it

        Reply
        1. Indradya SP Post author

          Langsung aja tanya ke sini, kalo hari kerja online trs kok blognya 🙂 atau add akun FB: Indradya Susanto Putra. Balada #4 nanti ya, blm sempet nulis lagi 🙂

          Reply
  3. Fia Rachmatia

    Hoy AIESEC!
    I’m going for Ukraine too this summer, for the Global Community Development Program. If you don’t mind, can you tell me how to get to the Indonesian Embassy from Borispol airport in Kiev? Your story is interesting, was it the Global Internship Program program that you took?

    Reply
    1. Indradya SP Post author

      Oi AIESEC! 🙂
      Uhm….I don’t get it, why do you need to go to the embassy straight from the airport? Usually there are some AIESECers who’ll pick you up at the airport or somewhere. I don’t suggest taking taxi there, many of the drivers don’t use meter. I went to the embassy three times, I know most of the people there at the embassy, but I guess now they’ve returned to Indonesia. Just ask your friends to take you there. I don’t really remember which bus going to our embassy. The address is 27-B, Nagornaya Street, Kiev. As for the second question, yeah I took the program. I taught English at a private school in Dnipropetrovsk for 6 months. Good luck 🙂

      Reply
      1. Fia Rachmatia

        because my internship will take in LC Lugansk and I’ll arrive at 8.20 pm and there will be no train to Lugansk around that time, and for this summer I don’t know if there’s any AIESECers from Kyiv that’s willing to pick up interns for another LC. I’ll ask for some info tough since you take the internship in Dnipropetrovsk but had AIESECers in Kyiv picked you up., this is a new info for me 🙂 thanks

        Reply
        1. Indradya SP Post author

          Yeah, summer 🙂 But don’t worry, AIESECers in Kiev are “professional”. They’re used to pick up interns at the airport though the interns are from other LCs. It’s called concequences, they live in the capital so they have “moral obligation” to help other LC’s interns 🙂
          I have many friends from LC Kiev, and even in my holiday when I went to Kiev they were still able to host me and take me for a city tour 🙂 If you need any help from the embassy, try to find Arif Bakhtiar on Facebook. He was one of my friends who worked at the embassy. Ask him if he knows the people who are currently working at the embassy, ask for their contacts, then you’ll have at least someone to meet in Kiev. But I still strongly suggest you to have somebody from LC Kiev to pick you up and get you to the embassy 🙂

          Reply
  4. Yudhiya Yusdal

    halo mas Indra 🙂
    jadi mana nih sambungan ceritanya selama d Dnipropetrovsk? kebetulan aku EP dari LC Unand dan projectku d Dnipropetrovsk Juni ini.. InsyaAllah akan kesana tanggal 3 Juni kalo visa ku kelarnya on time hehe seneng sekali kalo mas Indra bisa cerita banyak k aku tentang Ukraine especially Dnipropetrovsk 🙂

    Reply
    1. Indradya SP Post author

      Halo Yudhiya….
      Tenang, cerita Balada Ukraina pasti diterusin, cuma lagi sibuk aja nih 🙂 Wah, ternyata makin banyak yg ke Dnipro akhir2 ini….berapa lama di sana? Project-nya apa? Naik pesawat apa ke sana?

      Reply

Leave a reply to Gusti Ladini Tanake Cancel reply