Tag Archives: wat pho

Thai Times #3

Chakri Maha Prasat Hall, Grand Palace.

“To get to know a country, you must have direct contact with the earth. It’s futile to gaze at the world through a car window.”

~ Albert Einstein

Lolos dari jebakan scammers tolol, kami akhirnya menemukan pintu masuk Grand Palace. Saat itu sekitar jam 9 pagi, tapi ramainya luar biasa. Backpacker, turis ber-guide yang heboh dan ribet banget, anak-anak sekolah, mahasiswa, alay, semua udah ngumpul di sana. Oh ya, untuk memasuki kawasan ini, pengunjung diminta untuk berpakaian sopan: tidak boleh menampakkan lengan, bahu, betis, paha, dada. Gampang aja kok, pakai celana jins dan kaos oblong (berlengan) tuh udah sopan banget di sini. 🙂 Biasanya turis bule yang doyan buka-bukaan gitu. Tapi nggak apa-apa, di sini ada tempat khusus untuk pinjam pakaian buat menutupi bagian-bagian tadi. *duh, bahasanya*

Anak-anak sekolah Bangkok lagi study tour.

Pas sampai di loket, saya sempat bengong dulu: harga tiket masuknya 400 baht (Rp 120.000). Tapi masa iya udah di Bangkok nggak main ke Grand Palace? Itu memalukan, kawan! 😛 Saya duduk-duduk dulu dekat loket penjualan tiket. Sambil ngaso sejenak, saya memerhatikan keadaan sekitar. Grand Palace saat itu sangat penuh dengan turis asing dan domestik. Ada yang sendirian, berkelompok kecil, dan banyak juga rombongan besar yang dipandu tour guide yang tampak stres mengatur rombongannya. Bahasa mereka bermacam-macam. Saya mencoba mengenali beberapa di antaranya: Inggris, Spanyol, Cina, Rusia, Jepang, dan beberapa orang yang saya duga dari Eropa Timur.

Setelah duduk-duduk nggak jelas beberapa lama, akhirnya saya membeli tiket. Begitu masuk ke area dalam, duit sebanyak itu sudah tak terasa berat lagi. Kompleks ini keren dan sangat indah. Bagus banget buat yang doyan fotografi, sejarah, atau sekadar foto-foto narsis. Grand Palace adalah kompleks bangunan istana yang berfungsi sebagai kediaman resmi raja-raja Thailand dari abad ke-18 dan seterusnya.

Setelah Raja Rama I naik tahta pada 1782, istana ini pun dibangun. Sebelumnya, istana kerajaan dan pusat administrasi pemerintahan berada di Thonburi, di sebelah barat Sungai Chao Phraya. Karena beberapa alasan, raja yang baru ini menganggap ibukota di Thonburi itu sudah tak layak lagi dan ia pun memutuskan untuk membangun yang baru di sisi timur sungai tadi. Di bawah pemerintahan Raja Rama I, istana yang baru pun dibangun, tak hanya sebagai tempat tinggalnya, namun juga sebagai lokasi kantor-kantor pemerintahan dan tempat ibadah umat Buddha. Kompleks ini belakangan dikenal dengan nama Grand Palace.

Temple of the Emerald Buddha.

Di area seluas 218 ribu meter persegi ini ada sekitar 35 bangunan, belum termasuk restoran dan toilet. Warna bangunan-bangunan yang ramai dan didominasi warna emas membuat kompleks ini tampak genit dan menarik. Di sini bahkan ada miniatur Angkor Wat, kompleks candi yang luas di Kamboja itu. Sesekali saya mendekati kelompok turis yang menggunakan pemandu wisata untuk menyimak penjelasan tentang bangunan-bangunan yang ada di kompleks ini.

Di bangunan Chakri Maha Prasat Hall (lihat foto paling atas) sebenarnya ada museum senjata—memamerkan ratusan jenis senjata yang dipakai Kerajaan Siam di masa lalu. Sayangnya pengunjung dilarang memotret di dalam ruangan itu. Setidaknya di situ ada beberapa kipas angin besar, lumayan lah buat mendinginkan badan yang sudah bermandi keringat ini. Sepertinya kalau jalan-jalan lagi ke Bangkok ada baiknya bawa kaos cadangan dan handuk terus mandi. Panasnya bisa bikin baju basah kayak habis kehujanan.

Pedagang kaki lima di sekitar Grand Palace.

Puas menikmati kompleks Grand Palace, kami berjalan menuju satu wat (kuil/candi) lagi di belakangnya: Wat Pho. Kami berjalan balik ke arah tempat kami dikerjain scammer gagal tadi, tapi kali ini di sisi seberangnya. Di sisi yang ini ada banyak sekali pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di trotoar.

Saat itulah kami melihat penipu tadi sedang beraksi di seberang jalan. Korbannya kali ini beberapa orang kulit putih. Tadinya saya pengen banget nyamperin mereka sambil ngomong, “Woi, Grand Palace udah buka tuh dari tadi pagi!” Tapi jangan-jangan nanti saya malah digebugin geng sopir tuk-tuk gara-gara saya bongkar aksi penipuan mereka…hehehe! 😛

Berhubung siang itu suhunya puanas banget, saya membeli semangka segar dan duduk di sebuah taman kecil dekat situ. Sambil makan semangka, saya memerhatikan sekelompok anak sekolah berseragam biru-putih (kayaknya anak SMP) lagi nongkrong di taman. Lagi bolos sekolah, mungkin…hehehe! Di sebelah saya juga ada seorang pria yang sedang sibuk menebar remah rotinya ke sekitar burung-burung merpati di taman itu.

Setelah segar makan buah dan sebotol air, kami masuk ke kompleks Wat Pho. Dan ternyata: masuk ke Wat Pho harus bayar juga. 😦 Memang nggak mahal sih, cuma 100 baht (Rp 30.000). Tapi di sini kan ada patung Reclining Buddha alias Buddha lagi santai Buddha berbaring. “Sekali seumur hidup lah. Cuma 30 ribu kok. Kan rugi udah jauh-jauh ke sini,” kata istri saya. Ah, ya sudahlah. 🙂 Oh ya, tiket segitu udah termasuk sebotol air minum dingin ya.

Reclining Buddha.

Wat ini sebenarnya bernama asli Wat Phra Chetuphon Vimolmangklararm Rajwaramahaviharn.  Nama Wat Pho diambil dari sebuah biara yang diyakini pernah menjadi tempat tinggal Buddha.

Sebelum dibangun, tempat ini adalah pusat pendidikan khusus pengobatan tradisional Thailand, dengan patung-patung yang menunjukkan posisi-posisi yoga.

Setelah sebuah patung Buddha raksasa di Ayuthaya dihancurkan oleh Burma pada 1767, Raja Rama I mengumpulkan puing-puingnya dan membangun patung yang lebih besar serta memperluas kompleks Wat Pho ini.

Hampir sama dengan Grand Palace, di kompleks ini ada banyak bangunan dan kuil-kuil indah dengan warna-warna mencolok. Tapi sajian utamanya adalah patung Buddha—terbesar di Bangkok. Panjangnya 43 meter dan tingginya 15 meter, dengan hampir semua tubuhnya berwarna emas.

Di telapak kaki patung Buddha ini ada 108 simbol Buddha. Wat Pho juga dikenal sebagai tempat lahirnya Thai massage yang terkenal itu.

Tampaknya orang Buddha senang membuat patung Buddha dengan berbagai pose. Tak jarang patung-patung tersebut berukuran raksasa.

Saya jadi teringat patung Buddha raksasa yang saya lihat di Ngong Ping, Hong Kong, sekian tahun lalu—saat belum ada kamera digital alias masih harus cuci-cetak. *negatifnya manaa negatifnyaaa* 😛

Waktu sudah menjelang sore. Tadinya kami mau main ke Mah Boon Krong (MBK), satu mal di Bangkok yang terkenal di kalangan orang yang suka belanja suvenir murah meriah. Tapi akhirnya  kami memutuskan untuk main ke Khaosan Road yang jaraknya sekitar satu kilometer lebih dikit dari dua kompleks wat ini. Sebenarnya ada satu wat lagi—Wat Arun—dekat situ. Lokasinya di seberang dermaga Tha Tien tempat kami turun tadi pagi dari speed boat di sungai Chao Phraya. Tapi kami sudah capek liat wat.

Khaosan sebenarnya cuma seruas jalan biasa, tapi jalan ini sangat terkenal di kalangan backpacker yang mengunjungi Bangkok, sebab di sini banyak sekali penginapan murah, toko-toko suvenir murah, warung makan murah, dan semua yang bikin nyaman turis saat mengunjungi suatu negara. Saya cuma pengen tahu aja ada apa di sini. Beberapa sopir tuk-tuk yang kami cegat menolak tarif yang saya mau, jadi kami pun memutuskan berjalan kaki saja.

Setelah gempor jalan kaki dan sampai di Khaosan, saya jadi maklum kenapa backpacker kulit putih sangat betah di sini. Hedonisme mereka terpuaskan di tempat yang mata uangnya sangat berlimpah jika dikurskan dari mata uang negara mereka. Banyak di antara mereka yang leyeh-leyeh sepanjang hari, minum bir siang-malam, mabuk dan berkelahi setelah berdisko waktu malam, muntah-muntah di jalanan, dan pergi tidur saat pagi tiba. Mungkin juga mereka menyempatkan diri main ke Patpong—kawasan “lampu merah” di Bangkok…hehehe 😛 Setidaknya, kalau mengacu ke cerita beberapa teman yang pernah menginap di sini, begitulah gambaran Khaosan Road.

Di ujung jalan, saya sempat menukar uang dolar Singapura yang masih tersisa. Agak sebal juga saat melihat di depan saya ada seorang pemuda yang lagi menukar uang—cuma bertelanjang dada dan pakai celana pendek yang memamerkan setengah celana dalamnya yang berwarna merah muda. Alay banget deh…. 😛 Sayang, saya telat mengeluarkan kamera…hehehe!

Khaosan Road.

Setelah itu saya jalan-jalan di sepanjang Khaosan. Jalan ini dikuasai backpacker kulit putih, disusul orang-orang Jepang dan Korea, dan sesekali tampak orang kulit hitam. Banyak lelaki bertelanjang dada di sini. Tapi kenapa perempuannya nggak ada yang….ah, sudahlah! 😀 Di kanan-kiri jalan ini ada banyak toko suvenir, kaos oblong, kafe, restoran, hostel/hotel, dan macam-macam lagi. Pedagang makanan kaki lima, bahkan yang halal, juga cukup mudah ditemukan. Mereka biasanya menjual kebab, buah-buahan, dan lain-lain. Banyak hal yang serba murah di sini, dihitung dengan rupiah sekalipun…hehehe! 😀

Di Khaosan ini saya juga menemukan beberapa kios yang menjual buku-buku Lonely Planet (LP) bekas—dan bajakan. Harganya cukup miring dibandingkan jika beli buku aslinya yang rata-rata di atas Rp 250 ribu di toko buku. Saya sempat tergoda beli beberapa juga. Harganya cuma sekitar Rp 100 ribu kalau dirupiahkan. Tapi saya dengar beberapa buku LP di sini juga fotokopian. Beberapa buku LP yang saya lihat pun agak meragukan. Saya pun mengurungkan niat beli LP. Lagian ransel saya bakalan makin berat kalau kalap beli buku di sini.

Setelah melihat-lihat beberapa toko, saya sempat membeli sepotong kaos oblong keren….dan harganya cuma Rp 48 ribu! Padahal bahannya bagus lho, agak-agak elastis gitu malah. Berhubung harga segitu udah nggak bisa ditawar lagi, saya memutuskan untuk beli kaos lagi di MBK—yang konon harganya lebih miring.

Penjual mango sticky rice.

Tak sengaja, saya menemukan penjual mango sticky rice. Penasaran, saya pun mencobanya. Hitung-hitung makan malam deh. 🙂 Mango sticky rice ini adalah potongan-potongan mangga segar, dimakan dengan beras ketan yang rasanya manis. Harganya cuma 25 baht alias Rp 7.500 seporsi. Rasanya? Enaaak!! 😀

Saya sempat tanya-tanya polisi soal bus nomor berapa yang menuju MBK (no. 15). Tapi karena setelah setengah jam ditunggu bus itu tak lewat juga, akhirnya kami memutuskan pulang ke hotel karena hari menjelang magrib dan kaki sudah sangat gempor. Transportasi yang cepat dan bisa ditawar tentunya cuma tuk-tuk. MRT dan Skytrain belum mencapai kawasan ini.

Setelah menawar hingga 90 baht (Rp 27 ribu) menuju stasiun Hua Lamphong, sang sopir langsung melesat—berzig-zag di antara kendaraan-kendaraan lain, masuk-keluar gang, ngebut hingga nyaris nabrak orang berkursi roda yang sedang menyeberang jalan. Sepanjang perjalanan dengan tuk-tuk, saya ketawa senang, istri panik. 😛

Suasana Stasiun Hua Lamphong. Difoto dari lantai atas.

Akhirnya setelah 20-25 menit, kami tiba di Hua Lamphong dengan selamat. Rencananya kami akan membeli tiket kereta ke Surat Thani, lalu dilanjutkan dengan bus ke Krabi. Sial, saya kehabisan tiket sleeping train—kereta yang kalau malam bangkunya bisa dilipat menjadi ranjang. Padahal saya pengen banget cobain kereta tidur gitu, tapi karena belinya sehari sebelum berangkat, malah kehabisan.

Jadilah saya beli tiket second class yang berkipas angin. Lebih murah daripada sleeping train, cuma 398 baht (Rp 120 ribu) untuk perjalanan dari jam 19.30 – 07.00 esok harinya. Tapi kemudian si petugas di loket menawarkan joint ticket, yaitu tiket bus menuju Krabi dari Surat Thani. Provinsi Krabi memang belum dilewati jalur kereta api, sehingga untuk menuju ke sana harus naik bus dari Surat Thani. Harga joint ticket ini 250 baht (Rp 75.000).

Untuk hari ini rasanya sudah cukup. Lumayanlah bisa tidur agak lama malam itu.

(Bersambung)