Tag Archives: donetsk

Park Scherbakova di Donetsk

Central Scherbakov Park of Culture and Leisure, Donetsk.

Danau di Park Scherbakova, Donetsk.

Awal musim semi 2008 di Ukraina, saat masih tinggal di Dnipropetrovsk, saya menyempatkan diri backpacking ke kota tetangga, yaitu Donetsk. Kota ini hanya berjarak tiga jam naik kereta dari Dnipro. Penggila bola pasti mengenal nama Donetsk dari tim sepakbolanya yang langganan main di Liga Champions atau Europa, yaitu Shaktar Donetsk. Kata “shakhtar” sendiri berarti “penambang” (miners). Ya, Donetsk memang dikenal sebagai wilayah tambang batu bara terbesar di Ukraina.

Saat tiba di Donetsk tengah hari, saya langsung diajak jalan-jalan sama teman-teman baru. Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Scherbakov Park of Culture and Leisure. Taman di tengah kota Donetsk ini oleh warganya biasa disebut Park Scherbakova (парк Щербакова). Dibuka pertama kali tahun 1932, taman ini menggabungkan hutan kecil, danau, taman bunga, taman bermain, dan kolam-kolam yang indah menjadi satu. Pada musim panas, di taman ini sering diadakan konser musik, karnaval, pameran, dan aneka kegiatan urban lainnya. Jembatan pedestrian sepanjang hampir 200 meter terbentang di atas danau (tidak terlihat di foto), menyatukan taman bunga dengan hutan kecil di seberangnya.

Malamnya, teman-teman mengajak saya ke sebuah kafe-bar, nonton final Liga Champions 2008 antara Manchester United vs Chelsea yang disiarkan langsung dari Moskow, Rusia. Pizza, bir, Coca Cola, dan jus jeruk menemani kami berteriak-teriak dan beryel-yel “United! United!” bersama fans Setan Merah Donetsk di bar tengah malam itu. Jam tiga pagi, setelah merayakan kemenangan MU, kami berjalan kaki ke apartemen teman saya untuk menginap. Di tengah jalan, saya melihat sejenis kendaraan yang sedang “mengepel” aspal jalanan kota. Harfiah, lho! Beneran ngepel! Pantas saja jalanan kota ini selalu tampak kinclong dan bersih di siang hari.

Walau hanya tiga hari dua malam berada di sana, saya selalu mengenang Donetsk sebagai kota yang penuh taman indah dan bersih, dengan warganya yang tak memandang saya hanya karena warna kulit yang berbeda. Hingga kini saya masih berteman baik dengan teman-teman yang saya temui dulu. Sayang, Donetsk kini menjadi kota yang “panas” karena sebagian warga etnis Rusia di sana yang memberontak ingin bergabung dengan Rusia, sebagai dampak dari krisis aneksasi wilayah Crimea oleh Rusia.[]

Catatan: Postingan ini diikutsertakan dalam Turnamen Foto Perjalanan periode 40 bertema “Danau” dengan tuan rumah Messa.

Balada Ukraina #4

Kota Dnipro dilihat dari sisi selatan.

Kota Dnipro dilihat dari sisi selatan.

Sekitar pukul 11, Nik dan saya keluar dari apartemen. Di luar tiga orang sudah menunggu kami, salah satunya Nastya. “Indra! At last I can see you!” Nastya menghambur ke arah saya sambil tersenyum lebar. Gadis pirang ini hanya sedikit lebih tinggi daripada saya, agak gemuk, dan bicaranya cepat sekali. Sepertinya telinga saya harus membiasakan diri dengan bahasa Inggris logat Ukraina di sini. Ia menyalami dan memperkenalkan saya kepada seorang pria di sampingnya. Oleg, namanya. Ia guru bahasa Inggris di sekolah tempat saya akan mengajar. Oleg sedikit lebih pendek daripada saya, usia sekitar 40-an, dengan wajahnya bulat. Kumis tebalnya mengingatkan saya pada Hercule Poirot—atau Pak Raden, tapi orangnya ramah dan bahasa Inggrisnya berlogat cenderung British, sementara saya berlagak American. Satu orang lagi bernama Ivan sedang duduk di bangku pengemudi di mobil yang menunggu kami.

“Oke, jadi begini rencananya. Kami akan mengantarmu ke apartemen, dan setelah itu Oleg akan mengantarmu melihat-lihat gedung sekolah. Nanti sore Nik akan menjemputmu di apartemen dan mengantarmu ke tempat Global Party!” jelas Nastya panjang lebar dengan bahasa Inggris logat Ukraina. Global Party adalah pesta penyambutan trainee baru di AIESEC.

Kami pun menaiki mobil. Nastya dan aku duduk di belakang mobil van itu. Ivan tampaknya jenis pengemudi ugal-ugalan—atau jangan-jangan memang begitulah orang Ukraina menyetir mobil. Dia adalah satpam sekaligus sopir sekolah. Ia ngebut sepanjang perjalanan dan tak mau repot-repot menginjak pedal rem ketika sudah waktunya. Ia masih sempat menengok beberapa kali ke belakang untuk mengomentari obrolan kami. Walaupun tak mengerti bahasa Inggris, ia bisa menangkap beberapa kata, seperti misalnya ketika Oleg bertanya tentang apa yang saya tahu tentang Ukraina. Saya menjawab tidak banyak: negara pecahan Uni Soviet, ibu kota Kiev, Andrey Shevchenko, dan dua klub sepak bola Ukraina yang kadang tampil di turnamen Piala Eropa, yaitu Dynamo Kiev dan Shakthar Donetsk.

Ivan menyeletuk obrolan ketika saya menyebut dua nama klub itu. Ia mengatakan sesuatu yang tidak saya mengerti. Oleg menerjemahkan, “Dia penggemar berat klub Dnipro FC, dan mengira kau penggemar dua klub itu. Shakhtar Donetsk adalah musuh bebuyutan Dnipro.” Saya hanya terbahak mendengarnya. “Coba bilang ke dia, klub favorit saya bukan Shakhtar, tapi Manchester United.” Ivan mengatakan sesuatu lagi, dan kata Oleg, “Dia bilang, dia juga suka Chelsea.” Halah! 😛

Mobil membelok ke sebuah jalan menanjak. Sisi kanan dan kiri jalan itu dihiasi pohon-pohon kapas gundul dengan selaput putih salju masih menyeliputi batang-batang besarnya. Di trotoar, tampak sisa-sisa salju yang mencair atau masih berupa es. Kami berhenti di sebuah gedung bertingkat empat dengan papan nama bertulisan Hotel Sport dalam aksara Cyrillic. Ternyata saya diberi kamar di sebuah hotel! Tenang, ini bukan hotel mewah, kok. Gedungnya tua, berlantai empat, dan agak seram. Ditambah lagi lokasinya yang berada di atas bukit, dengan pohon-pohon di sepanjang jalanan yang semua tak berdaun, dan sisa-sisa salju yang masih ada di dahan-dahannya. Beberapa burung gagak hitam malah berkaok-kaok, menambah seram dan suram suasana di sekitar situ. Entah kenapa saya kok merasa bakalan nggak kaget kalau tiba-tiba Brandon Lee lompat dari atas pohon bersama burung gagak. 😛 Dan Anda tahu nama jalannya? Prospekt Lenina alias Jl. Lenin.

Oleg dan Ivan membantu saya membawa tas dan koper masuk melalui pintu kaca dobel bangunan itu. Seorang pria bertubuh tinggi besar dan berkacamata menyambut dan menyalami kami di lobi. Oleg dan Ivan berbicara dengannya. Saya menangkap kata yang bunyinya seperti “filipin” dari Oleg yang sedang menunjuk-nunjuk saya. Saya segera menanyakan hal itu ketika Oleg selesai berbicara dengannya.

“Kau bilang aku dari Filipina?”

“Kau orang Filipina, kan?” tanya Oleg heran.

“Hah? Bukan! Aku dari Indonesia,” saya mengoreksi. Tampaknya ada kesalahpahaman di sini.

“Oh, maaf. Nastya tidak bilang begitu.”

Saya menoleh ke arah Nastya yang pura-pura tidak mendengar.

***

Kami naik ke lantai tiga, ke kamar saya. Kamarnya punya ranjang dua, tapi nggak ada dapurnya. Soalnya saya tiap hari bakal makan di kantin sekolah. Setelah menumpuk semua barang saya di kamar, Oleg mengajak saya ke sekolah. Dari apartemen hotel, saya harus jalan kaki ke halte trem terdekat yang jaraknya sekitar 200 meter. Lokasi sekolahnya hanya sekitar 4-5 kilometer dari tempat tinggal saya. Naik trem juga mudah, walau trem di jalur ini tampaknya trem paling butut di kota ini. Di dalam trem akan ada kondektur yang menarik bayaran dari setiap penumpang. Setelah beberapa waktu, saya baru menyadari bahwa sopir dan kondektur trem semuanya perempuan—di semua trem, bukan hanya di trem yang saya naiki. Di halte tempat kami turun, kami masih harus berjalan kaki lagi sekitar 200 meter.

Kamar saya di Hotel Sport. Lumayan, deh! 🙂

Sesampai di gedung sekolah, Oleg mengajak saya tur sedikit. Saat itu hari Sabtu dan tidak ada kegiatan apa pun di sana. Ia menunjukkan kelas-kelas, kantin, lapangan basket, dan ruang guru. Gedung sekolah swasta bernama Evropenskaya Gymnaziya (European Gymnasium) ini berlantai empat dan tampak nyaman. Saya cuma bisa berdoa agar kegiatan saya mengajar saya di sini lancar. Enam bulan di negeri asing—ini pertama kalinya saya tinggal lama di luar negeri.

Tampak depan gedung sekolahnya 🙂

***

Malamnya, ada acara khusus buat anak baru anggota organisasi, alias saya sendiri. Namanya Global Party. Walaupun pakai kata “global”, di pesta itu cuma ada tiga orang asing: saya dan dua pemuda Mesir yang mukanya bisa bikin ABG kita klepek-klepek. Yang lainnya tentu para mahasiswa AIESEC Dnipropetrovsk. Pestanya diadakan di sebuah apartemen sewaan. Di sana, cewek-ceweknya memeluk dan mencium pipi kiri-kanan saya. Hoho, rupanya cara menyapa teman di sini memang begitu. Untung cowoknya cuma meluk biasa, sambil nepuk-nepuk punggung. Baru sehari di Ukraina, saya langung dapet cipika-cipiki lebih banyak daripada di Indonesia!

Sesuai rencana, setelah acara kenalan, saya bersiap pasang aksi di situ. Saya sengaja bawa beberapa bungkus mie instan dan kerupuk yang tinggal digoreng. Selesai kenalan, sama 20-an orang, saya langsung mengajak sebagian dari mereka ke dapur. Rasa nasionalisme saya langsung mekrok ketika teman-teman baru saya berkumpul di dapur, memerhatikan saya pamer kebolehan masak mie instan goreng dan rebus intel, dan mereka semua menjerit takjub saat melihat kerupuk udang dan kerupuk bawang warna-warni mengembang setelah saya cemplungin ke minyak goreng panas. Top, dah! 😛

Aksi berikutnya, saya pake baju batik ala pak lurah, kain jarik, dan blangkon. Semuanya saya pakai asal-asalan. Memangnya bakal ada yang tahu? Dengan berpakaian begitu, saya sajikan mie instan plus kerupuk tadi. Teman-teman baru saya langsung menyerbu. Situasi langsung berubah chaos. Wah, ndeso banget deh pokoknya! Beberapa yang merasa kepedesan langsung menenggak bir dan vodka dingin. Dalam beberapa menit, masakan saya langsung ludes.

Global Party.

“Ini masakan tradisional Indonesia?” tanya seorang cewek imut berambut cokelat.

“Betul sekali. Saya belajar masak makanan ini sampe berbulan-bulan,” jawab saya asal-asalan.

“Enak banget!” kata si cewek, yang belakangan saya tahu bernama Daria.

Malam itu, saya menutup aksi saya dengan memutar film indie bikinan sendiri. Durasinya cuma lima menit, nyaris tanpa dialog, dan pesannya sangat jelas: jangan pipis sembarangan! Semakin malam, suasananya makin mirip film-film Hollywood. Ada yang ngumpul sambil minum vodka, ada yang main kartu (saya ikut yang ini, dan kalah melulu!), ada yang mojok sambil ciuman… hyaaa, ini sih udah bukan bagian saya! Jam dua dini hari, saya langsung menyeret Nik, minta diantar pulang. Pas pamit, yang cewek-cewek pada cipika-cipiki lagi dong sama saya. “We’ll see you again soon!

Di luar dingin banget, anginnya rada kenceng. Nik, yang ngaku-ngaku traveler dan doyan bawa termometer sama kompas ke mana-mana, bilang saat itu suhunya -7! Hwaaaa!! Sejak hari pertama di Dnipropetrovsk, saya langsung membiasakan diri memakai baju empat lapis, dari yang paling dalam: T-shirt, sweater, jaket katun hoodie, dan yang paling luar adalah jaket musim dingin super tebal.

Yang jelas, hari pertama di kota ini saya sukses memperkenalkan diri dan budaya Indonesia (halah!). 😛

(Bersambung)