Haduuh….gara-gara sibuk banget di kantor, lanjutan cerita jalan-jalan akhir tahun lalu ini baru bisa ditulis sekarang. Habis ini satu postingan lagi baru selesai. Sorii!! 🙂
Gara-gara berangkat kesiangan dari hostel, kami baru dapat tiket feri menuju Macau jam 10.45. Ada beberapa layanan feri menuju Makau. Saya pilih yang jamnya paling dekat, TurboJet, dengan harga tiket kelas ekonomi HK$ 159 sekali jalan. Interior feri ini lumayan mewah buat saya. Laju feri juga sangat stabil dan halus, mungkin karena perairan di sekitar Hong Kong dan Macau tergolong tenang dan nyaris tidak berombak.
Perjalanan dengan feri ini memakan waktu satu jam. Singkat, memang, dan ini membuat banyak turis hanya butuh seharian di Makau untuk kemudian kembali ke Hong Kong. Tapi karena harga tiketnya juga lumayan mahal buat saya dan ferinya mewah, satu jam jadi terasa kurang lama…hehehe!
Terletak 65 kilometer di sebelah barat Hong Kong, Makau adalah kota berwajah dua. Kota bekas koloni Portugal ini menyajikan bangunan-bangunan kolonial seperti gereja, benteng, dan gedung administratif.
Di sisi lain, Makau adalah Las Vegas-nya Asia Timur. Berstatus SAR (Special Administrative Region), sama dengan Hong Kong, Makau adalah adalah satu-satunya wilayah di Cina yang melegalkan perjudian.
Tiba di pelabuhan feri, kami langsung naik bus no. 3 yang katanya melewati Largo de Senado. Oya, di luar dermaga feri Makau ini biasanya ada banyak orang yang menawarkan jasa taksi keliling Makau. Mau yang resmi juga ada loketnya. Kalau mau ngirit ya naik bus aja.
Nyaris semua tulisan dan nama jalan di Makau ini berbau Portugis. Bahkan suara pengumuman di dalam bus pun menggunakan tiga bahasa: Inggris, Portugis, dan Cina. Tapi saya tidak menemukan satu pun orang Makau yang bicara dalam bahasa Portugis. Inggris pun patah-patah.
Sopir bus yang saya tanya-tanya pun tidak mengerti bahasa Inggris, sehingga dia mengambil beberapa koin dari tumpukan di genggaman saya sejumlah tarif bus untuk dua orang. Oh ya, dolar Hong Kong diterima luas di sini, dan cenderung dinilai setara. Artinya: 1 HKD sama dengan 1 MOP (Macau Pataca).
Kami sempat kebablasan turun di terminal terakhir. Akhirnya saya tanya seorang gadis yang tampangnya agak meyakinkan. Bahasa Inggrisnya terbata-bata, tapi dia mengerti apa yang saya katakan. Dia bicara sebentar dengan sopir bus sambil menunjuk-nunjuk saya. “Nanti sopir busnya akan memberitahumu di mana harus turun,” kata gadis muda itu terbata-bata. Dan benar…di satu halte, sopir bus memandang saya lewat kaca spion besar dan memberi isyarat kepada saya untuk turun.
Kami lalu berjalan ke sebuah gang agak sempit yang tampak bagai labirin. Untungnya, papan penunjuk jalan ada di mana-mana, dalam tiga bahasa, jadi dengan mudah kami menemukan tujuan kami: Ruinas de Santo Paulo alias reruntuhan gereja St. Paul. Di sepanjang jalan menuju reruntuhan gereja itu, ada banyak sekali toko suvenir dan restoran. Gang sempitnya mengingatkan saya pada Diagon Alley di film Harry Potter. Sampai akhirnya saya jalanan gang agak melebar dan saya melihat reruntuhan gereja itu.
Gereja ini dulu dirancang oleh seorang jesuit Italia dan dibangun pada 1602 oleh para pemahat Cina dan orang-orang Kristen Jepang yang diasingkan dari negaranya. Setelah para jesuit diusir, sebuah batalion militer ditempatkan di sini. Pada 1835, terjadi kebakaran di dapur barak militer, membakar dan menghancurkan semuanya, kecuali sisi depan gereja yang saya lihat sekarang.
Saya sering melihat foto reruntuhan ini di Internet dan majalah, dan ada satu yang bikin saya penasaran: seperti apa sih bagian belakangnya? Setelah foto-foto narsis di tangga gereja yang lebar dan bertingkat lima, saya naik dan melihat reruntuhan dari dekat. Bagian depan reruntuhan gereja ini dihiasi pahatan ornamen-ornamen.
Ada apa di belakangnya? Ternyata, tidak ada apa-apa…hehe! Cuma ada empat tiang penahan. Satu hal yang pasti, reruntuhan bersejarah ini sanggup mendatangkan ribuan turis setiap harinya. That’s a fact.
Selain itu, pemandangan dari sini ke bawah boleh juga. Sebagian lanskap kota Macau kelihatan dari sini. Tampak bangunan jangkung berwarna emas dengan bentuk yang futuristis nun di sana.
Berjalan lagi ke belakang reruntuhan, ada tangga menuju ke bawah. Di balik pintu tertutup, ada beberapa display kaca yang memamerkan benda-benda dan miniatur benda-benda gereja. Di area ini, pengunjung dilarang memotret.
Di sebelah timur reruntuhan gereja, ada taman yang jalan setapaknya mengarah ke atas bukit. Ternyata di atas bukit ada sisa peninggalan sebuah benteng Portugis: Monte Fort. Di beberapa sisi sisa benteng itu, diletakkan beberapa meriam.
Monte Fort dibangun oleh para jesuit antara tahun 1617 – 1626 sebagai bagian dari College of the Mother of God. Barak dan gudang di sini didesain agar orang-orang yang tinggal di benteng ini mampu bertahan hidup hingga dua tahun saat ada pengepungan oleh musuh. Konon, meriam-meriamnya hanya pernah ditembakkan satu kali, yaitu saat tentara Belanda mencoba menyerbu Makau pada 1622.
Pemandangan dari atas benteng dan taman di sekitarnya cukup indah. Tak seperti Hong Kong, gedung-gedung di Makau tak terlalu tinggi menjulang dan tidak sepadat yang saya lihat di Hong Kong Island. Ruas-ruas jalan di bawah reruntuhan berupa jalan berbatu (c0bblestones) yang tampak keren, kayak di luar negeri (!). Hahaha!
Paling mengesankan tentu saja melihat gedung The Grand Lisboa dari sini. Macau Museum terletak di area benteng itu juga. Tapi karena masuknya harus bayar MOP 25 per orang (= HK$ 25), saya jadi malas masuk…hehehe!
Di area ini ada banyak spot untuk melihat lanskap kota Makau dari ketinggian. Dari salah satu sisi reruntuhan benteng ini, yang saya lihat adalah gedung-gedung apartemen yang sebagian tampak kumuh. Di kejauhan sana saya melihat sungai yang cukup besar tampaknya. Entah sungai apa.
Setelah puas mengelilingi area Monte Fort, kami menuruni bukit dan iseng-iseng mengamati satu kios suvenir. Penjualnya mendekati saya dan awalnya menanyakan apakah kami dari Malaysia. Begitu tahu kami dari Indonesia, dia langsung ngajak ngobrol dengan bahasa Indonesia yang lumayan fasih.
“Bapak ini jangan-jangan orang Indonesia, ya?” tuduh saya. Habis emang beneran bahasa Indonesianya bagus, bahkan termasuk logatnya.
“Bukan. Saya orang Makau. Tapi banyak turis Indonesia ke sini, lama-lama saya jadi bisa bahasa Indonesia. Hampir sama dengan Malaysia, ya? Hehehe…” kata si bapak. Dan karena faktor itulah saya jadi bisa maksa supaya dapat diskon dari si bapak. Dengan HK$ 100, saya bisa borong banyak suvenir: piring hiasan, gantungan kunci, kartu pos, dan magnet kulkas. Masing-masing nggak cuma satu lho… 😛
Setelah itu kami kembali ke depan reruntuhan gereja lagi. Tak jauh dari situ, saya membeli minuman dan egg tart (pastéis de nata) yang katanya camilan khas sini. Rasanya? Ya lumayan deh…hehe.
Habis ngemil, kami pun muter-muter jalan di sekitar situ. Di gang di bawah gereja, kanan-kirinya dipenuhi berbagai macam toko. Toko suvenir, toko baju, restoran, dan macam-macam lagi.
Di bagian belakang gereja, ada jalanan-jalanan berbatu yang tak terlalu lebar dengan banyak labirin gang-gang kecil diapit rumah-rumah warga Makau atau toko-toko.
Tadinya saya udah hopeless mau lihat apa lagi di Makau. Sementara saya tidak berencana menginap di Makau karena sudah bayar penginapan full di Hong Kong. Tapi lama-lama saya malah jadi penasaran. Soalnya, melihat-lihat bangunan peninggalan kolonial Portugal dan perpaduannya dengan bangunan dan budaya Cina sepertinya menarik.
Saya memutuskan mengikuti arus turis-turis lain saja. Mereka berjalan ke mana, saya ikut. Lepas dari gang sempit berisi toko-toko souvenir dan restoran tadi, kami tiba di sebuah tempat terbuka yang didominasi warna terang seperti kuning dan emas. Alun-alun Largo do Senado. Area ini dijejali gedung-gedung berarsitektur kolonial. Sebagian masih dipakai sebagai gedung pemerintahan, sebagian lagi…tentu saja toko-toko. Hehehe!
Suasana di Largo do Senado ternyata sangat mengasyikkan. Banyak warga Makau dan turis duduk-duduk di sekitar situ. Saya berjalan masuk-keluar beberapa toko dan bangunan yang ada di sekitar situ. Soal toko, buat saya sih nggak ada yang menarik. Saya memang nggak begitu suka belanja, kecuali beli suvenir-suvenir kecil yang murah. Paling cuma istri saya yang keluar-masuk toko, sementara saya lebih memilih people-watching….alias ngeceng! 😛
Di dekat jalan raya, ada area kolam air mancur berukuran sedang. Kami duduk-duduk mengaso di sana sambil melihat-lihat pemandangan di sekitar. Di area ini turisnya tampak banyak sekali. Area terbuka alun-alun menyajikan pemandangan gedung-gedung tua yang cantik peninggalan Portugal. Mestinya sih ada tukang jajanan apa gitu di sini. Es krim kek, bakso kek. Duduk-duduk sambil ngeliatin orang lewat kurang enak kalo nggak ngemil. Apa suasana di Portugal begini juga, ya? Saya belum pernah ke sana sih… 🙂
Dua gedung yang menarik perhatian saya berada hampir saling berseberangan. Yang satu tampaknya seperti kantor pos besar, Correios e Telegrafos, satu lagi gedung Institutos para os Assuntos Civicos e Municipais (kantor administrasi urusan sipil dan pemerintahan).
Karena banyak yang masuk ke sana, saya pun ikut-ikutan. Rupanya gedung ini bangunan bersejarah. Dulunya bekas kantor Loyal Senate pada abad ke-18.
Puas menjelajahi area sekitar situ, kami kembali naik bus no. 3 untuk kembali ke dermaga feri. Seingat saya, bus tadi melewati area yang ada gedung keren yang saya lihat tadi waktu lagi cari-cari Santo Paulo.
Saking mencoloknya, nggak susah nemu bangunan cakep itu. Berwarna kuning emas dan bentuknya futuristis, gedung The Grand Lisboa didesain mengikuti bentuk gambar bunga di bendera Makau.
Kasino di gedung itu dibuka untuk umum tahun 2007, sementara hotelnya tahun 2008. Di kasinonya ada 800 meja judi dan 1000 mesin slot. Hotelnya mempunyai 430 kamar dan The Grand Lisboa adalah gedung tertinggi di Makau dan ke-118 di dunia. Makau memang serius ingin jadi kota judi kelas dunia.
Pas saya lagi jalan di dekat pintu masuk kasino itu, petugasnya tampak heran memandangi istri saya yang berjilbab. Ya iyalah….hehehe! Saya cuma masuk sebentar sambil lihat-lihat. Termasuk lihat dompet…hehehe! Untunglah isinya menyedihkan. Kalo iya, bisa jadi saya udah main mahjong atau mesin slot dan pulang jadi miliuner….hahaha! *ngayal banget* 😀
Di sekitar area itu pemandangannya keren. Apalagi saya demen banget memandangi lanskap perkotaan. Terminal bus di depan gedung Lisboa tampak bersih dan rapi. Ada papan tempat kita bisa mempelajari rute bus. Jelas dibaca karena ditulis dalam tiga bahasa. Walau di Makau nggak ada MTR dan bus double decker, bus-bus di sini bagus-bagus. Di sekitar area itu juga ada banyak hotel dan taman. Lokasi yang bagus buat berburu foto.
Menjelang matahari terbenam, kami memutuskan balik ke Hong Kong. Sebenarnya saya belum puas juga sih jalan di Makau. Lama-lama saya jadi suka juga sekadar jalan-jalan sambil melihat-lihat bangunan-bangunan kolonial yang masih terawat baik. Perpaduan budaya Cina dan Portugal yang sekilas tampak aneh namun juga eksotis.
Saat di feri, saya baru ingat belum main ke kasino yang namanya The Venetian Macao, kasino terbesar di dunia, yang interiornya didesain seperti kota Venesia dengan kanal-kanal dan dan gondolanya. *tepok jidat*
Ah ya…sudahlah. Kapan-kapan main ke sini lagi kan bisa. Tiba di Hong Kong, kami baru ingat belum makan apa-apa kecuali egg tart. Jadilah kami makan malam di Cafe de Coral (lagi). []
(Bersambung)