Tag Archives: feri

Nongkrong di Hong Kong #7 (+Makau)

Feri ke Makau.

Feri ke Makau.

Haduuh….gara-gara sibuk banget di kantor, lanjutan cerita jalan-jalan akhir tahun lalu ini baru bisa ditulis sekarang. Habis ini satu postingan lagi baru selesai. Sorii!! 🙂

Gara-gara berangkat kesiangan dari hostel, kami baru dapat tiket feri menuju Macau jam 10.45. Ada beberapa layanan feri menuju Makau. Saya pilih yang jamnya paling dekat, TurboJet, dengan harga tiket kelas ekonomi HK$ 159 sekali jalan. Interior feri ini lumayan mewah buat saya. Laju feri juga sangat stabil dan halus, mungkin karena perairan di sekitar Hong Kong dan Macau tergolong tenang dan nyaris tidak berombak.

Perjalanan dengan feri ini memakan waktu satu jam. Singkat, memang, dan ini membuat banyak turis hanya butuh seharian di Makau untuk kemudian kembali ke Hong Kong. Tapi karena harga tiketnya juga lumayan mahal buat saya dan ferinya mewah, satu jam jadi terasa kurang lama…hehehe!

20131022_165617Terletak 65 kilometer di sebelah barat Hong Kong, Makau adalah kota berwajah dua. Kota bekas koloni Portugal ini menyajikan bangunan-bangunan kolonial seperti gereja, benteng, dan gedung administratif.

Di sisi lain, Makau adalah Las Vegas-nya Asia Timur. Berstatus SAR (Special Administrative Region), sama dengan Hong Kong, Makau adalah adalah satu-satunya wilayah di Cina yang melegalkan perjudian.

Tiba di pelabuhan feri, kami langsung naik bus no. 3 yang katanya melewati Largo de Senado. Oya, di luar dermaga feri Makau ini biasanya ada banyak orang yang menawarkan jasa taksi keliling Makau. Mau yang resmi juga ada loketnya. Kalau mau ngirit ya naik bus aja.

Nyaris semua tulisan dan nama jalan di Makau ini berbau Portugis. Bahkan suara pengumuman di dalam bus pun menggunakan tiga bahasa: Inggris, Portugis, dan Cina. Tapi saya tidak menemukan satu pun orang Makau yang bicara dalam bahasa Portugis. Inggris pun patah-patah.

Bus kota di Makau.

Bus kota di Makau.

Sopir bus yang saya tanya-tanya pun tidak mengerti bahasa Inggris, sehingga dia mengambil beberapa koin dari tumpukan di genggaman saya sejumlah tarif bus untuk dua orang. Oh ya, dolar Hong Kong diterima luas di sini, dan cenderung dinilai setara. Artinya: 1 HKD sama dengan 1 MOP (Macau Pataca).

Kami sempat kebablasan turun di terminal terakhir. Akhirnya saya tanya seorang gadis yang tampangnya agak meyakinkan. Bahasa Inggrisnya terbata-bata, tapi dia mengerti apa yang saya katakan. Dia bicara sebentar dengan sopir bus sambil menunjuk-nunjuk saya. “Nanti sopir busnya akan memberitahumu di mana harus turun,” kata gadis muda itu terbata-bata. Dan benar…di satu halte, sopir bus memandang saya lewat kaca spion besar dan memberi isyarat kepada saya untuk turun.

Gang kecil menuju Santo Paulo.

Gang kecil menuju Santo Paulo.

Kami lalu berjalan ke sebuah gang agak sempit yang tampak bagai labirin. Untungnya, papan penunjuk jalan ada di mana-mana, dalam tiga bahasa, jadi dengan mudah kami menemukan tujuan kami: Ruinas de Santo Paulo alias reruntuhan gereja St. Paul. Di sepanjang jalan menuju reruntuhan gereja itu, ada banyak sekali toko suvenir dan restoran. Gang sempitnya mengingatkan saya pada Diagon Alley di film Harry Potter. Sampai akhirnya saya jalanan gang agak melebar dan saya melihat reruntuhan gereja itu.

Gereja ini dulu dirancang oleh seorang jesuit Italia dan dibangun pada 1602 oleh para pemahat Cina dan orang-orang Kristen Jepang yang diasingkan dari negaranya. Setelah para jesuit diusir, sebuah batalion militer ditempatkan di sini. Pada 1835, terjadi kebakaran di dapur barak militer, membakar dan menghancurkan semuanya, kecuali sisi depan gereja yang saya lihat sekarang.

CIMG7282

Ruinas de Santo Paulo.

Saya sering melihat foto reruntuhan ini di Internet dan majalah, dan ada satu yang bikin saya penasaran: seperti apa sih bagian belakangnya? Setelah foto-foto narsis di tangga gereja yang lebar dan bertingkat lima, saya naik dan melihat reruntuhan dari dekat. Bagian depan reruntuhan gereja ini dihiasi pahatan ornamen-ornamen.

20131022_135034Ada apa di belakangnya? Ternyata, tidak ada apa-apa…hehe! Cuma ada empat tiang penahan. Satu hal yang pasti, reruntuhan bersejarah ini sanggup mendatangkan ribuan turis setiap harinya. That’s a fact.

Selain itu, pemandangan dari sini ke bawah boleh juga. Sebagian lanskap kota Macau kelihatan dari sini. Tampak bangunan jangkung berwarna emas dengan bentuk yang futuristis nun di sana.

Berjalan lagi ke belakang reruntuhan, ada tangga menuju ke bawah. Di balik pintu tertutup, ada beberapa display kaca yang memamerkan benda-benda dan miniatur benda-benda gereja. Di area ini, pengunjung dilarang memotret.

CIMG7323Di sebelah timur reruntuhan gereja, ada taman yang jalan setapaknya mengarah ke atas bukit. Ternyata di atas bukit ada sisa peninggalan sebuah benteng Portugis: Monte Fort. Di beberapa sisi sisa benteng itu, diletakkan beberapa meriam.

Monte Fort dibangun oleh para jesuit antara tahun 1617 – 1626 sebagai bagian dari College of the Mother of God. Barak dan gudang di sini didesain agar orang-orang yang tinggal di benteng ini mampu bertahan hidup hingga dua tahun saat ada pengepungan oleh musuh. Konon, meriam-meriamnya hanya pernah ditembakkan satu kali, yaitu saat tentara Belanda mencoba menyerbu Makau pada 1622.

Pemandangan dari atas benteng dan taman di sekitarnya cukup indah. Tak seperti Hong Kong, gedung-gedung di Makau tak terlalu tinggi menjulang dan tidak sepadat yang saya lihat di Hong Kong Island. Ruas-ruas jalan di bawah reruntuhan berupa jalan berbatu (c0bblestones) yang tampak keren, kayak di luar negeri (!). Hahaha!

Paling mengesankan tentu saja melihat gedung The Grand Lisboa dari sini. Macau Museum terletak di area benteng itu juga. Tapi karena masuknya harus bayar MOP 25 per orang (= HK$ 25), saya jadi malas masuk…hehehe!

Lanskap sebagian kota Makau dilihat dari benteng Monte Fort.

Lanskap sebagian kota Makau dilihat dari benteng Monte Fort.

Di area ini ada banyak spot untuk melihat lanskap kota Makau dari ketinggian. Dari salah satu sisi reruntuhan benteng ini, yang saya lihat adalah gedung-gedung apartemen yang sebagian tampak kumuh. Di kejauhan sana saya melihat sungai yang cukup besar tampaknya. Entah sungai apa.

Setelah puas mengelilingi area Monte Fort, kami menuruni bukit dan iseng-iseng mengamati satu kios suvenir. Penjualnya mendekati saya dan awalnya menanyakan apakah kami dari Malaysia. Begitu tahu kami dari Indonesia, dia langsung ngajak ngobrol dengan bahasa Indonesia yang lumayan fasih.

Dapat diskon besar :)

Dapat diskon besar 🙂

“Bapak ini jangan-jangan orang Indonesia, ya?” tuduh saya. Habis emang beneran bahasa Indonesianya bagus, bahkan termasuk logatnya.

“Bukan. Saya orang Makau. Tapi banyak turis Indonesia ke sini, lama-lama saya jadi bisa bahasa Indonesia. Hampir sama dengan Malaysia, ya? Hehehe…” kata si bapak. Dan karena faktor itulah saya jadi bisa maksa supaya dapat diskon dari si bapak. Dengan HK$ 100, saya bisa borong banyak suvenir: piring hiasan, gantungan kunci, kartu pos, dan magnet kulkas. Masing-masing nggak cuma satu lho… 😛

Setelah itu kami kembali ke depan reruntuhan gereja lagi. Tak jauh dari situ, saya membeli minuman dan egg tart (pastéis de nata) yang katanya camilan khas sini. Rasanya? Ya lumayan deh…hehe.

Gang sempit di antara Largo de Senado dan area Ruinas de Santo Paulo.

Gang sempit diapit toko-toko, di antara Largo do Senado dan area Ruinas de Santo Paulo.

Habis ngemil, kami pun muter-muter jalan di sekitar situ. Di gang di bawah gereja, kanan-kirinya dipenuhi berbagai macam toko. Toko suvenir, toko baju, restoran, dan macam-macam lagi.

Di bagian belakang gereja, ada jalanan-jalanan berbatu yang tak terlalu lebar dengan banyak labirin gang-gang kecil diapit rumah-rumah warga Makau atau toko-toko.

Tadinya saya udah hopeless mau lihat apa lagi di Makau. Sementara saya tidak berencana menginap di Makau karena sudah bayar penginapan full di Hong Kong. Tapi lama-lama saya malah jadi penasaran. Soalnya, melihat-lihat bangunan peninggalan kolonial Portugal dan perpaduannya dengan bangunan dan budaya Cina sepertinya menarik.

Saya memutuskan mengikuti arus turis-turis lain saja. Mereka berjalan ke mana, saya ikut. Lepas dari gang sempit berisi toko-toko souvenir dan restoran tadi, kami tiba di sebuah tempat terbuka yang didominasi warna terang seperti kuning dan emas. Alun-alun Largo do Senado. Area ini dijejali gedung-gedung berarsitektur kolonial. Sebagian masih dipakai sebagai gedung pemerintahan, sebagian lagi…tentu saja toko-toko. Hehehe!

Largo do Senado.

Largo do Senado.

Suasana di Largo do Senado ternyata sangat mengasyikkan. Banyak warga Makau dan turis duduk-duduk di sekitar situ. Saya berjalan masuk-keluar beberapa toko dan bangunan yang ada di sekitar situ. Soal toko, buat saya sih nggak ada yang menarik. Saya memang nggak begitu suka belanja, kecuali beli suvenir-suvenir kecil yang murah. Paling cuma istri saya yang keluar-masuk toko, sementara saya lebih memilih people-watching….alias ngeceng! 😛

Air mancur di alun-alun.

Air mancur di alun-alun.

Di dekat jalan raya, ada area kolam air mancur berukuran sedang. Kami duduk-duduk mengaso di sana sambil melihat-lihat pemandangan di sekitar. Di area ini turisnya tampak banyak sekali. Area terbuka alun-alun menyajikan pemandangan gedung-gedung tua yang cantik peninggalan Portugal. Mestinya sih ada tukang jajanan apa gitu di sini. Es krim kek, bakso kek. Duduk-duduk sambil ngeliatin orang lewat kurang enak kalo nggak ngemil. Apa suasana di Portugal begini juga, ya? Saya belum pernah ke sana sih… 🙂

Gedung Correios e Telegrafos, difoto dari depan gedung Institutos para os Assuntos Civicos e Municipais.

Gedung Correios e Telegrafos, difoto dari depan gedung Institutos para os Assuntos Civicos e Municipais.

Dua gedung yang menarik perhatian saya berada hampir saling berseberangan. Yang satu tampaknya seperti kantor pos besar, Correios e Telegrafos, satu lagi gedung Institutos para os Assuntos Civicos e Municipais (kantor administrasi urusan sipil dan pemerintahan).

Ruang rapat di dalam gedung Institutos para os Assuntos Civicos e Municipais.

Karena banyak yang masuk ke sana, saya pun ikut-ikutan. Rupanya gedung ini bangunan bersejarah. Dulunya bekas kantor Loyal Senate pada abad ke-18.

Puas menjelajahi area sekitar situ, kami kembali naik bus no. 3 untuk kembali ke dermaga feri. Seingat saya, bus tadi melewati area yang ada gedung keren yang saya lihat tadi waktu lagi cari-cari Santo Paulo.

Saking mencoloknya, nggak susah nemu bangunan cakep itu.  Berwarna kuning emas dan bentuknya futuristis, gedung The Grand Lisboa didesain mengikuti bentuk gambar bunga di bendera Makau.

Kasino di gedung itu dibuka untuk umum tahun 2007, sementara hotelnya tahun 2008. Di kasinonya ada 800 meja judi dan 1000 mesin slot. Hotelnya mempunyai 430 kamar dan The Grand Lisboa adalah gedung tertinggi di Makau dan ke-118 di dunia. Makau memang serius ingin jadi kota judi kelas dunia.

The Grand Lisboa, difoto dari halaman hotel Wynn.

The Grand Lisboa, difoto dari halaman hotel Wynn.

Pas saya lagi jalan di dekat pintu masuk kasino itu, petugasnya tampak heran memandangi istri saya yang berjilbab. Ya iyalah….hehehe! Saya cuma masuk sebentar sambil lihat-lihat. Termasuk lihat dompet…hehehe! Untunglah isinya menyedihkan. Kalo iya, bisa jadi saya udah main mahjong atau mesin slot dan pulang jadi miliuner….hahaha! *ngayal banget* 😀

Taman-taman kota yang indah.

Taman-taman kota yang indah dan rimbun.

Di sekitar area itu pemandangannya keren. Apalagi saya demen banget memandangi lanskap perkotaan. Terminal bus di depan gedung Lisboa tampak bersih dan rapi. Ada papan tempat kita bisa mempelajari rute bus. Jelas dibaca karena ditulis dalam tiga bahasa. Walau di Makau nggak ada MTR dan bus double decker, bus-bus di sini bagus-bagus. Di sekitar area itu juga ada banyak hotel dan taman. Lokasi yang bagus buat berburu foto.

Menjelang matahari terbenam, kami memutuskan balik ke Hong Kong. Sebenarnya saya belum puas juga sih jalan di Makau. Lama-lama saya jadi suka juga sekadar jalan-jalan sambil melihat-lihat bangunan-bangunan kolonial yang masih terawat baik. Perpaduan budaya Cina dan Portugal yang sekilas tampak aneh namun juga eksotis.

Saat di feri, saya baru ingat belum main ke kasino yang namanya The Venetian Macao, kasino terbesar di dunia, yang interiornya didesain seperti kota Venesia dengan kanal-kanal dan dan gondolanya.  *tepok jidat*

Menunya kari sapi lagi :P

Menunya kari sapi lagi 😛

Ah ya…sudahlah. Kapan-kapan main ke sini lagi kan bisa. Tiba di Hong Kong, kami baru ingat belum makan apa-apa kecuali egg tart. Jadilah kami makan malam di Cafe de Coral (lagi). []

(Bersambung)

Nongkrong di Hong Kong #3

Dimsum adalah target hari ini!

Jumat ini, selain cari masjid buat Jumatan nanti siang, saya juga harus cari setidaknya satu lagi alternatif makanan murah. Kalau bisa sih halal. Yah…yang penting bukan baboy, deh. Dari bisik-bisik seorang teman, pagi menjelang siang itu saya mencari masjid Ammar di kawasan Wan Chai, Pulau Hong Kong. Saya cuma tahu ancer-ancernya doang sih.

Gedung Masjid Ammar

Gedung Masjid Ammar

Pokoknya, di seberang Tonnochy Road. Bus 2A dari Wan Chai Ferry Bus Terminus ternyata berhenti dua blok dari jalan itu. Dari Tonnochy Road, kami menyeberangi jalan persis di dekat halte trem Tonnochy Road. Ada taman kecil dan lapangan basket di situ. Kami menyusuri gang kecil di samping lapangan basket, naik ke atas, dan tiba di sebuah pertigaan bernama Wan Chai Road.

Jalanan di situ sempit, tapi hebatnya bus-bus double decker bisa luwes meliuk di situ. Kami menyeberang jalan dan menyusuri trotoar di samping toko 7 Eleven dan akhirnya menemukan Oi Kwan Road. Belok kiri dan terlihatlah gedung 8 lantai berwarna hijau bertulisan Masjid Ammar and Osman Ramju Sadick Islamic Centre.

Konon, di lantai 5 gedung ini ada dimsum yang joss. Berhubung saat itu baru jam 10 dan waktu sholat Jumat masih lama, saya berniat menggabungkan sarapan dan makan siang sekaligus…hehehe. 🙂

Baru juga duduk dan membaca daftar menunya, saya langsung memekik kegirangan. Soalnya, harga makanan di sini tergolong murah (untuk ukuran Hong Kong lho). Dimsum bisa dipesan langsung di konternya, sementara untuk memesan menu lain, tinggal panggil pelayan.

Rata-rata pelayannya nggak bisa bahasa Inggris, tapi karena di menunya ada  foto makanannya, beserta keterangan dalam bahasa Inggris, saya tinggal tunjuk saja. Toh, semua menu di sini dijamin halal, karena dalam pengawasan dewan masjid Ammar ini. Selain pesan dimsum (entah apa namanya) yang satu porsinya biasanya isi tiga, saya juga memesan nasi goreng. Seporsi dimsun harganya HK$ 9 – 13, sementara menu lain yang berbasis nasi dan mie rata-rata HK$ 25-28. Ada sih masakan seharga 40 dolar ke atas, tapi kan misi kami di sini untuk cari makanan murah, alternatif lain selain Warung Chandra di Causeway Bay.

Dimsumnya joss!

Dimsumnya joss!

Dimsum pun diantar ke meja (walau bisa juga ambil sendiri di konternya). Hmm..penampakannya menarik. Lagi pula, dimsumnya masih hangat. Ditambah sambel yang bau pedasnya cukup menyengat, saya jadi makin penasaran. Sekali gigit….WUAA!! JOSSS bangeeet dimsumnya! Bagian rotinya masih hangat, begitu daging di dalamnya tergigit, kelezatannya langsung meresap ke mulut. Gigitan berikutnya malah bikin saya tambah semangat! Sambelnya memang pedas gila, beraroma chinese food, tapi enaaakkk!

Nasi goreng yang kami pesan rasanya juga lumayan. Dan porsinya juga besar, bisa untuk dua orang. Setelah dimsum dan nasi goreng tuntas disantap, saya berpikir-pikir untuk memesan seporsi lagi. Dan…jadilah! Hehehe 🙂

Berhubung waktu sholat Jumat masih lama, saya dan istri blusukan dulu di sekitar area masjid. Biasanya sih ada warung-warung halal kalau di sekitar masjid. Benar saja, saya menemukan satu kedai kebab, kedai pizza (dua-duanya halal…dan mahal!), dan satu toko grosir yang jual cokelat lumayan murah. Plus, satu supermarket lokal tempat kami bisa beli buah-buahan dan air mineral murah. Eits, air mineral penting banget lho kalo pas lagi jalan-jalan begini.

Suasana di masjid Ammar.

Suasana di masjid Ammar.

Menjelang waktu sholat Jumat, kami kembali ke masjid. Ruang wudhu dan ruang sholat masjid ini sangat bersih. AC pun disetel pada suhu sekitar 15° Celcius. Dingiin! Di pinggir dinding, dipasang banyak bangku yang didesain untuk para orang tua yang sudah tidak bisa melakukan posisi sujud. Khotbahnya disampaikan dalam bahasa Urdu dan Inggris. Lucunya, istri saya bilang di lantai atas jamaah perempuan juga ikut sholat Jumat. Tapi ada warga Indonesia yang membisiki dia, “Diniatin sholat sunnah aja, Mbak.” 😛

Habis Jumatan, kami cuma jalan-jalan ngalor-ngidul. Soalnya, besok paginya penentuan apakah kami bisa menginap terus di Cosmic Guesthouse, pindah kamar, atau malah pindah penginapan. Saya pengen mewujudkan satu cita-cita saya di Hong Kong: mondar-mandir naik trem.

Walaupun mempunyai sistem transportasi publik yang sangat memadai dan menyeluruh, Hong Kong masih cukup bergantung pada moda feri untuk layanan penyeberangan dari Pulau Hong Kong ke wilayah daratan seperti Kowloon atau ke pulau-pulau lain (outlying islands). Moda yang satu ini tarifnya juga jauh lebih murah daripada MTR atau bus double decker. Lagipula, jauh lebih menyenangkan naik feri sambil melihat pemandangan kota yang cantik ketimbang berada di MTR di bawah tanah dan memandangi penumpang lain. 😛

Dermaga feri di Tsim Sha Tsui.

Dermaga feri di Tsim Sha Tsui.

Ekonomi di Hong Kong ini sepertinya lumayan stabil. Buktinya, sejak pertama kali saya main ke Hong Kong tahun 2002, sampai 2013 ini  tarif trem kayaknya nggak berubah: HK$ 2,3 jauh-dekat. Tarif bus double decker (setidaknya di Pulau Hong Kong) juga masih sekitaran HK$ 4. Tarif feri dari Wan Chai menyeberang ke Tsim Sha Tsui juga masih sekitar HK$ 2.3 (upper deck) dan HK$ 1,8 (lower deck). Soal harga makanan di resto tentu lain lagi…hehehe!

Mencicipi naik moda transportasi di Hong Kong buat saya itu pengalaman yang asyik banget. Semua moda (trem, MTR, double decker, dan feri) adalah favorit saya. Tapi MTR dan double decker hanya saya pakai kalau jaraknya jauh, saya nggak terlalu hafal tujuannya, dan kalau lagi buru-buru. MTR di Hong Kong terdiri dari 7 jalur, termasuk jalur Airport Express dan Disneyland Resort. Memiliki 53 stasiun dan digunakan oleh lebih dari 2 juta penumpang dalam sehari. Jam layanan MRT ini dimulai jam 06.05 hingga jam 1 dini hari. Oh ya, di semua moda transportasi ini, bahkan di jalanan, tidak ada orang yang merokok! Kalau mau cari orang merokok, cobalah cari di sekitar tong sampah di pinggir jalan. Biasanya, di situlah para perokok menghirup asap rokok puas-puas, karena di dalam semua bangunan umum di Hong Kong memang dilarang keras merokok! Yayy!! 😛

Trem di Hong Kong adalah moda transportasi paling murah, namun rutenya juga terbatas. Hanya melayani bagian utara Pulau Hong Kong. Tapi bagi saya, naik trem adalah satu pengalaman yang wajib dicoba. Maklum, moda yang satu ini kan nggak ada di Indonesia. Mungkin karena tarifnya yang murah itulah saya lihat banyak manula yang menggunakan trem. Kalau kita lagi buru-buru, lebih baik memang nggak usah naik trem, soalnya jalannya lambat. Dan: nggak usahlah pengen ber-high five dengan penumpang trem dari arah berlawanan…hehehe! 😛 Bagusnya lagi, hampir tidak ada kendaraan lain yang mengganggu jalur trem yang sudah fixed itu. Lihat aja nih fotonya:

Pemandangan kota dari dek atas trem.

Pemandangan kota dari dek atas trem.

Sore itu sebenarnya kami belum mau pergi jauh-jauh, cuma di muter-muter aja di Pulau Hong Kong. Kami naik trem dari satu terminal ke terminal lain. Dari ujung ke ujung. People-watching dari dek atas trem. Semilir angin sejuk dari jendela. Ketiduran. Itu asyik banget! 🙂 Lagian, bayarnya cuma HK$ 2,3. Setelah agak bosan, kami turun di Causeway Bay dan blusukan di IKEA. Ini jaringan toko furnitur dan perlengkaran rumah asal Swedia yang ngetop banget. Sayangnya di Indonesia nggak ada, baru ada Ace Hardware asal Amerika. Katanya sih IKEA di Singapura lebih bagus dan lebih besar, tapi saya nggak tahu. Lha baru pertama kali ini main ke IKEA. Memangnya ngapain main ke toko furnitur? Yaa main aja…siapa tahu ada inspirasi buat dandanin rumah saya nanti? 🙂

Malamnya, kami cuma nonton Symphony of Lights lagi sebelum balik ke hostel. Besok, setelah jelas nasib kami soal penginapan, barulah kami akan pergi ke tempat-tempat lain yang lebih asyik. Begini deh kalo persiapan kurang…udah hari ketiga masih pusing mikirin mau nginep di mana. 😛

(Bersambung)

Nongkrong di Hong Kong #2

Di apartemen itu, menjelang tengah malam, Bu A datang lagi membawa dua orang tamupegawai Telkom yang sedang dikirim dinas ke Hong Kong. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, barulah saya masuk ke kamar dan tidur pulas sampai pagi. Tapi, sebelum tidur, Pak Soni, salah satu dari mereka memberi tips yang oke punya.

Ceritanya, travel adapter yang saya bawa ternyata tidak berfungsi. Pusing lagilah saya karena nggak bisa nge-charge ponsel dan kamera. Tapi, Pak Soni langsung memberitahu saya. “Mas, coba pakai sendok, garpu, atau apa gitu, buat dicolokkin ke lubang yang atas. Itu fungsinya cuma buat buka doang, listriknya ada di dua lubang yang bawah.” Di Hong Kong memang colokannya tiga lubang gitu.

Pak Soni lalu membawa sumpit yang dia temukan di dapur, dimasukkan ke lubang atas, dan akhirnya dua lubang bawah bisa untuk colokan yang biasa. Berhasil tuh! Hihihi….baru tau! Lumayaan dapet ilmu baru. 😀 Tenang aja, saya nge-charge ponsel sampai pagi nggak ada kebakaran, tuh! 😛 Udah gitu, wi-fi di apartemen Bu A kenceng banget jalannya, jadi narsisme bisa jalan terus. 😀 Tambahan lagi, oleh kenalan saya, malam sebelumnya saya dikasih kartu SIM lokal Hong Kong yang bisa buat telepon ke Indonesia dengan biaya murah banget, kurang dari Rp 1.000 per menit!

Setelah bangun, sholat Subuh, dan mandi, kami beres-beres tas dulu. Rencananya, begitu menemukan penginapan yang rada murah hari ini, kami akan langsung check out dan pindah. HK$ 500 per malam, apalagi bayar tunai, sungguh mengerikan, bro! Pagi itu, setelah sarapan dengan nasi dan lauk yang kemarin diberi oleh kenalan saya, kami berkeliling di kawasan Causeway Bay. Di sini memang berisiko mahal karena daerah pusat kota. Dua penginapan yang kami cari pasang harga HK$ 400 dan HK$480. Masih terlalu mahal, tapi yang terakhir bisa terima kartu kredit, sementara yang pertama nggak ada kamar kosong. Tapi atmosfernya asyik banget kayaknya, ala backpacker gitu.

Lalu, kami cari satu lagi di daerah North Point. Setelah susah payah nyarinya, penampilan hostel itu nggak meyakinkan. Akhirnya saya putuskan cari di daerah Tsim Sha Tsui, Kowloon. Saya sengaja naik bus ke terminal Wan Chai, lalu dilanjut dengan feri dari Victoria Harbour, supaya istri saya bisa melihat pemandangan Hong Kong paling menakjubkan itu saat menyeberangi teluk.

Pemandangan Pulau Hong Kong dari feri yang menyeberang ke Tsim Sha Tsui.

Pemandangan Pulau Hong Kong dari feri yang menyeberang ke Tsim Sha Tsui. Breathtaking! 🙂

Naik feri ini tidak mahal, cuma HK$ 2,3 sekali jalan. Sesampainya di dermaga, kita bisa jalan kaki di sepanjang Tsim Sha Tsui Promenade, yang tempatnya memang didesain untuk pejalan kaki agar bisa melihat ke seberang, ke arah Pulau Hong Kong. kalau kita jalan kaki terus ke arah timur, nanti akan ketemu Avenue of Stars—semacam Walk of Fame di Hollywood. Cuma yang di Hong ini semuanya cetakan tangan para bintang film Mandarin. Sampai di ujung, kita bakal melihat patung Bruce Lee.

Butuh jalan kaki sekitar 20 menit dari dermaga feri ke Mirador Mansion. Ini nama sebuah gedung tua yang di dalamnya ada banyak hostel murah meriah. Biasanya para backpacker selalu ke sini kalau cari penginapan murah. Gedung ini terletak di daerah Tsim Sha Tsui, kawasan yang banyak dihuni warga imigran dari Bangladesh, Pakistan, India, dan bahkan Afrika.

Jangan kaget kalau turis bertampang Asia Tenggara disamperin sama orang-orang yang memberi brosur restoran halal dengan menu masakan Timur Tengah. Sebagian lagi menawarkan hostel-hostel atau guesthouse murah meriah. Sekitar 150 meter dari Mirador Mansion juga ada Kowloon Mosque—masjid terbesar di Hong Kong. Nggak usah takut kena scam di sini, yang penting selalu pakai common sense. Yang namanya waspada dan tenang itu di mana-mana juga perlu.

Gedung Mirador Mansion inilah yang dulu jadi tempat syuting film Chungking Express, bukan di gedung Chungking Mansion di sebelahnya. Lantai dasar gedung-gedung ini biasanya diisi aneka macam toko (biasanya toko elektronik dan suvenir), money changer, dan banyak lagi. Lantai-lantai di atasnya barulah dihuni hostel-hostel murah dan restoran.

Baru juga mau naik lift, ada seorang perempuan berkacamata mendekati saya. “Guesthouse, sir? Cheap, cheap,” katanya. Dia memberikan saya selembar kartu nama. Guesthouse yang dia tawarkan namanya Guangzhou Guesthouse.

Can I see the room first?” tanya saya.

Yes, yes. Follow me.”

Sebenarnya saya sedang mencari hostel lain, rekomendasi beberapa teman saya. Tapi, nggak ada salahnya lirik-lirik hostel lain dulu. Perempuan tadi membawa kami ke lantai 10. Lalu kami masuk ke sebuah lorong yang ada beberapa pintu kamar. Dia membuka salah satunya.

“Ini cuma HK$ 200 per malam,” katanya.

Dan…hah!! Kamarnya luar biasa kecil! Begitu buka pintu, di sebelah kanan langsung ketemu ranjang double. Tapi, di kanan-kiri ranjang itu langsung ada tembok! Saya melirik ke belakang pintu, di situ ada kamar mandi. Tapi…sempitnya sama ajaibnya dengan kamar itu. Pancuran air untuk mandi berada tepat di atas kakus. Jadi, kalau mau mandi kita harus duduk di kakus itu….hehehe! 😀

Yaah, pantesan aja murah. Tapi di ruang begini mana bisa kami bergerak? Lagipula, mereka tidak menerima kartu kredit. Terpaksa saya bilang, “Kami mau lihat yang lain dulu. Kalau oke, nanti saya balik lagi ke sini.” Perempuan itu cuma memasang tampang lemas dan sedih. Hilang sudah persenan dari hasil menggaet tamu ke hostel murmer ini.

Saya langsung menyeret istri saya keluar, sebelum si Mbak tadi nangis….hehehe! 😀 Kami lalu naik lift ke lantai 12. Di bawah tadi, saya sempat mempelajari nama-nama hostel yang ada di gedung ini. Di lantai 12, ada yang namanya Cosmic Guesthouse. Beruntung, walau saat itu baru jam 11.00, resepsionisnya mau memberi kami kamar selama dua hari.

“Saya belum bisa memastikan ada kamar kosong sampai tanggal 24 Oktober. Tapi, Anda boleh pakai kamar ini sampai dua hari ke depan. Setelah itu, kalau ada kamar, Anda mungkin harus pindah kamar,” kata si resepsionis.

“Boleh deh kalau begitu,” saya langsung setuju. Apalagi sebelumnya saya berhasil nawar dari harga HK$400 menjadi HK$300 untuk double room. Dan itu harga per kamar lho, bukan per orang. Soalnya banyak juga hostel di Hong Kong yang pasang tarif per orang. Dan bulan Oktober terhitung peak season di Hong Kong, soalnya cuaca lagi enak banget. Suhu udara antara 23-28° Celcius. Musim typhoon juga udah lewat. Mungkin kalau lagi low season harganya bisa lebih murah lagi. Tapi sebelum bayar saya mau lihat kamarnya dulu, yang kebetulan bersebelahan dengan ruangan resepsionis.

Kamar kami di Cosmic.

Kamar kami di Cosmic.

Ternyata kamarnya lumayan kok, lebih luas dibandingkan dengan kamarnya si Mbak cengeng tadi. Kamar ini juga bersih, ber-AC dan kipas angin, ada TV, dan kamar mandinya juga bersih dan air panasnya lancar. Lagian, 300 dolar itu angka yang lumayan murah untuk ukuran Asia’s World City yang mahal ini. Lagian, ini penginapan keempat (atau kelima) yang saya cari. Capek juga kalau tiap hari urusannya cari penginapan melulu.

Setelah deal, saya membayar dengan kartu kredit. Fiuhhh, akhirnya uang tunai saya selamat! Walau ada charge sebesar 3,5%, tapi bayarnya kan bisa belakangan dan bisa dicicil. Dan setidaknya untuk dua hari ke depan kami aman. Setelah itu, kalaupun terpaksa cari hostel lagi, setidaknya di gedung Mirador Mansion ini saja ada belasan hostel yang bisa dilihat-lihat dulu.

“Oke, terima kasih ya,” kata si resepsionis dalam bahasa Indonesia.

Eh? You speak Indonesian?” tanya saya heran.

“Sedikit. My boss’ wife is an Indonesian-Chinese. Oh ya, walaupun check in sebenarnya jam 13.00, tapi kalian boleh masuk sekarang kalau mau.”

Wah, baik juga orang ini. So, untuk urusan penginapan, kami aman sampai Sabtu. Saya langsung menelepon Bu A untuk memberitahu bahwa saya akan check out hari itu, tapi baru akan mengambil tas sore harinya. Siang sampai sore itu kami blusukan di sekitar Causeway Bay, Times Square, dan sekitarnya. Sambil lihat-lihat ini-itu, siapa tahu ada warung makan yang sukur-sukur halal. Tapi kok jalan-jalannya nyasar jauh banget sampai ke Happy Valley (!). Setahu saya di dekat situ ada arena pacuan kuda, yang biasa disambangi warga Hong Kong buat taruhan. Tapi karena pacuan kuda biasanya dimulai malam hari, saya nggak jadi ke situ. Emang kita cowok apaan, cyin! *aslinya sih takut kalah* 😀

Jam 4 sore, saya sudah balik ke apartemen Bu A, leyeh-leyeh sambil nunggu empunya apartemen buat bayar. Tentunya sambil nge-charge ponsel dan kamera, dan pastinya online dong, mumpung lagi ada wi-fi gratis yang aksesnya kenceng. 🙂 Sejam kemudian, ternyata suaminya Bu A yang nongol duluan. Kalau saya kasih tahu pembaca JOS suaminya ini kerja di mana, bisa heboh nanti. Pasalnya, Bu A ini memang menyewakan apartemennya tanpa izin resmi, jadi yang nyewa kamar-kamarnya hanya orang Indonesia dan itu pun tahunya dari mulut ke mulut aja…hehehe! 🙂

Ya sudahlah. Yang penting, saya sudah selamat dari kemungkinan bangkrut. Sore itu, kami menggendong backpack ke Mirador Mansion. Tapi sebelumnya, kami mampir dulu ke warung kenalan saya itu, ceritanya sekadar mau memberitahu bahwa kami pindah penginapan ke Tsim Sha Tsui, dengan harapan dikasih makan lagi. Dan benar! 🙂 Walaupun masakannya biasa saja, yang penting bisa makan gratisan dulu. Habis itu barulah kami berangkat ke penginapan baru.

Keluar dari gedung tempat warung kenalan saya itu, ada toko plus warung makan bernama Warung Chandra. Iseng-iseng saya masuk, ternyata mereka jual nasi lauk seharga HK$ 15-18 saja! “Kalau siang, makannya masih anget, Mas,” kata si Mbak penjaga warung memberitahu. Selain itu, mereka juga menjual berbagai kebutuhan sehari-hari di situ. Sambal terasi ABC juga ada di sini. Ah, pokoknya akhirnya saya seneng banget bisa nemu makanan murah! Ada sih makanan yang bisa dipanaskan lagi di situ, tapi harganya kisaran HK$ 25-35. Lha, mendingan yang HK$ 15-18 tadi dong! 😛 So, sore itu kami menuju TST dengan sekotak nasi rames.

Malamnya, setelah makan nasi seporsi berdua, kami nonton Symphony of Lights—pertunjukan laser, multimedia, dan permainan cahaya yang melibatkan puluhan gedung, baik di sisi Kowloon maupun Pulau Hong Kong.

Saya datang ngepas hampir jam 8 malam waktu itu, padahal jarak lokasinya hanya 15 menit jalan kaki dari hostel saya. Kalau melihat kerumunan sepanjang TST Promenade hingga Avenue of Stars malam itu, pasti ada ribuan orang yang menanti pertunjukan gratis yang diadakan tiap jam 8 malam oleh Hong Kong Tourism Board ini. Tanpa pertunjukan ini pun, pemandangan Pulau Hong Kong dari sisi Kowloon sudah sangat keren.

Menjelang tontonan Symphony of Lights di kawasan Avenue of Stars, TST, Kowloon.

Menjelang tontonan Symphony of Lights di kawasan Avenue of Stars, TST, Kowloon.

Pertunjukan dimulai pas jam 8. Beberapa gedung tampak menembakkan cahaya laser ke langit dan ke arah Kowloon. Sebaliknya, gedung-gedung di sisi Kowloon juga memainkan cahaya lampu dan laser mereka yang bisa dilihat dari sisi Pulau Hong Kong. Permainan cahaya ini hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit setiap malamnya. Pada hari-hari raya, misalnya Tahun Baru atau Tahun Baru Cina, katanya pertunjukannya jauh lebih heboh, dengan pesta kembang api segala. Jadi, karena malam itu hanya malam “biasa”, pertunjukannya tergolong biasa saja. Tapi, walaupun “biasa”, sedikit permainan laser sudah membuat para penonton berdecak kagum. Memang keren kok. Rugi kalau ke Hong Kong nggak nonton pertunjukan gratis ini.

Seusai acara, kami jalan-jalan di sepanjang Promenade. Banyak lapak yang menawarkan jasa foto langsung jadi, dengan latar pemandangan Pulau Hong Kong pada waktu malam. Harganya bo…mahal! Paling murah HK$ 20 untuk foto ukuran 2R, paling mahal HK$ 100 untuk yang 12R. Tapi saya cuma lihat-lihat aja sih. Sayang duitnya. Mendingan juga foto sendiri, walaupun andalan saya cuma satu kamera saku digital biasa yang kurang bagus untuk foto malam hari, plus kamera ponsel Samsung S III mini yang belum lunas. 😀 Di lapak-lapak itu, penjualnya juga memajang foto-foto yang pernah dibuat. Banyak juga yang lucu-lucu. Ada pasangan yang lagi ciuman, ada yang lagi pose kungfu, ada juga cewek bule yang *****nya gede banget…hahaha!! 😀

Pas balik ke hostel, si Mbak Cengeng yang tadi siang nawarin penginapan mendekati saya lagi. Masih menawarkan penginapan murah untuk saya. Tampaknya dia sudah lupa bahwa beberapa jam sebelumnya saya pernah mengecewakan dia. 😀 Malam itu, setelah merencanakan acara jalan-jalan esok harinya, kami tidur dengan tenang.[]

(Bersambung)