Tag Archives: resensi

The Seven Good Years

Subjudul buku ini sebenarnya kurang tepat, karena ternyata isinya bukan tentang “keberpihakan pada perdamaian di negara berpenduduk Muslim dan dunia”. Kalo sikap penulisnya sih iya, setidaknya itu yang ditulis di bagian profil penulis.

Etgar Keret adalah penulis Yahudi Israel dan buku ini adalah sehimpunan esai (sketsa?) memoar sebagian kehidupannya dalam rentang tujuh tahun. Dari hari anaknya lahir hingga wafatnya sang ayah.

Yang saya sukai dari tulisan² Etgar di sini adalah gaya tulisannya yang tidak terduga serta penuh ironi dan humor. Humornya pun terkadang agak gelap.

Pada tulisan “Dengan (Tidak) Hormat”, misalnya, Etgar mengungkapkan bahwa dia bosan menulis kalimat² “palsu” dan tidak tulus pada buku yang oleh pembacanya dimintakan tanda tangan penulis. Jadi, dia berimprovisasi seenaknya sendiri. Misalnya: “Avram, aku tidak peduli apa pun hasil lab. Bagiku, kamu selalu menjadi ayahku.”

Atau, di buku lain, dia menulis: “Bosmat, meski kamu sudah dengan cowok lain sekarang, kita tahu pada akhirnya nanti kamu akan kembali kepadaku.” Pria cepak yang minta tanda tangan itu pun menampar Etgar. Ternyata dia membeli buku itu untuk pacarnya… 🤣

Etgar juga menyelipkan kisah² paranoia-nya. Misalnya, saat ke Jerman, dia berada di resto dan mendengar orang mabuk mengoceh dan dia mengira orang itu sedang menghina orang Yahudi. Saat hampir berantem, Etgar diberitahu bahwa orang mabuk tadi hanya sedang mengomel karena mobilnya terhalang mobil lain di parkiran.

Terkedang pembaca buku ini juga diajak melihat secuil suasana kota di Israel, untuk sedikit merasakan bagaimana dia sebagai warga jelata tinggal di wilayah yang sarat sejarah rumit dan yang kesehariannya penuh kekerasan dan konflik berdarah.

Misalnya, saat dia dan keluarganya berkendara di jalan tol, sirene serangan udara berbunyi, yang artinya semua orang harus tiarap termasuk pengendara mobil. Di sini Etgar harus berusaha keras mengarang cerita dan permainan agar anaknya mau diajak tiarap di aspal, sebelum akhirnya terdengar suara rudal meledak di kejauhan.

Sebenarnya menarik juga mengetahui kisah² warga jelata Israel, yang tidak melulu harus berhubungan dengan konflik. Dalam buku ini Etgar lebih banyak bicara tentang keluarganya, membungkus kisahnya dengan humor melimpah dan penuh ejekan kepada diri sendiri.

Walau terjemahan buku ini sedikit kaku di beberapa bagian, secara keseluruhan cerita² di sini bisa dinikmati dan dipahami. Akan lebih joss lagi sih kalau ditemani roti panggang dan segelas teh tarik hangat… 😊[]

Perjalanan ke Atap Dunia

Judul: Perjalanan ke Atap Dunia: Tibet, Nepal, dan Cina dalam Potret Jurnalisme

Penulis: Daniel Mahendra

Penerbit: Medium (imprint Penerbit Nuansa Cendekia)

Cetakan I: Mei 2012

Tebal: 354 halaman

“Begitu banyak petualang, traveler, atau backpacker. Tapi sedikit sekali yang melakukan pekerjaan menulis.” ~ Gol A Gong

Awalnya agak susah mencari buku ini. Mungkin karena saya terlalu cepat mencarinya (dan terlalu bernafsu, karena saya doyan buku-buku kayak begini), padahal buku ini belum beredar di toko buku. Sampai suatu hari saya menemukan informasi tentang acara bedah buku ini di sebuah kampus swasta di Bandung, Sabtu 5 Mei lalu.

Acara tersebut sebenarnya dijadwalkan mulai pukul 19.00. Tapi waktu saya datang jam 20.00 pun acara belum juga dimulai. Hanya tampak beberapa orang (yang sepertinya panitia) di ruangan itu. Akhirnya saya hanya beli bukunya, tapi langsung pergi lagi karena ada acara lain. Lumayan, saya beli buku ini dengan harga Rp 39.900, lebih murah daripada harga aslinya yang Rp 58.000. 😛

Seminggu kemudian saya baru sempat membaca buku ini. Persisnya di kereta dalam perjalanan menuju Jogja. Saya memang selalu gelisah dan tidak tahan kalau bepergian tanpa membawa buku. Dan buku ini ternyata sangat pas dibaca dalam perjalanan saya dengan kereta malam itu.

Membaca sebuah catatan perjalanan (travel writing) itu sesungguhnya sangat menyenangkan. Pembaca dibawa ke negeri-negeri asing, seolah ikut melihat dan merasakan apa yang dialami penulisnya, berikut pergulatan batinnya. Perjalanan ke Atap Dunia berkisah tentang mimpi Daniel Mahendra. Saat masih kecil ia begitu terpukau pada komik Tintin berjudul Tintin di Tibet. Selain itu ia juga sangat menggemari kisah petualangan Balada Si Roy karya Gol A Gong (tak pelak, soul buku ini pun terasa sangat Gol A Gong). Belum lagi saat ia menonton film Seven Years in Tibet. Makin lengkaplah segala hal yang mendorongnya pergi ke negeri yang berada di dataran tertinggi di dunia tersebut.

Persiapan sebelum berangkat pun ia ceritakan dengan detail. Awalnya Daniel hendak pergi bersama seorang kawannya, namun karena ada halangan ia akhirnya harus pergi sendiri. Singkat cerita, Daniel pun berangkat dengan Thai Airways, menginap semalam di bandara Suvarnabhumi di Bangkok, lalu mendarat di Chengdu, Cina. Dari Chengdu perjalanan diteruskan lewat jalan darat.

Sungguh asyik saat menyimak kisah Daniel naik kereta yang perlahan-lahan melaju ke daratan tinggi, hingga ribuan meter dari permukaan laut. Kemudian saat Daniel menjalin pertemanan dengan beberapa backpacker dari negara-negara lain, jatuh cinta kepada seorang gadis Perancis yang sedang studi doktoral di India, bergantian terkena Acute Mountain Sickness (aneka penyakit yang timbul akibat berada di ketinggian ribuan meter) bersama Juan Carlos Muñoz, pemuda Amerika Latin namun berkewarganegaraan Amerika Serikat. Atau saat Daniel mengamati kehidupan warga Muslim Tibet yang minoritas dan sholat bersama mereka. Juga cara Daniel mengisahkan betapa sebalnya dia karena nama Indonesia ternyata tak terlalu dikenal oleh orang-orang dari negara lain, entah dia disangka orang Malaysia, atau saat dia bertemu orang yang betul-betul tidak tahu di mana itu Indonesia—kecuali saat sudah diberitahu bahwa Indonesia itu terletak di dekat Singapura dan Malaysia. Pendek kata: seru!

Daniel menuliskan pengalamannya dengan bahasa yang enak dan mengalir, namun hal ini tak mengurangi bobot tulisannya. Ia juga tak lupa menyelipkan potongan kisah yang ironis tapi disampaikan dengan kocak. Misalnya saat ia melihat kebiasaan warga Cina yang terkenal itu: berdahak keras dan meludah sembarangan. 🙂 Daniel menulis: “Bukankah aku sedang berada di negara mereka? Mengapa aku harus jijik dengan kebiasaan mereka hanya karena aku datang dari negara yang tidak memiliki kebiasaan seperti itu?” Pemikiran yang cukup adil, saya kira, walau belum tentu semua orang setuju. Yang saya suka, Daniel selalu menyelipkan kutipan-kutipan indah pada awal setiap bab yang dia tulis.

Daniel juga gelisah. Awalnya dia sangat gembira karena akhirnya bisa mengunjungi negeri yang diimpikannya sejak lama. Namun saat ia memasuki kuil-kuil dan melihat para biksu yang sedang berdoa dijadikan tontonan oleh para turis, hatinya berontak. Tapi ia sedikit bisa berkompromi saat melihat bahwa para biksu itu pun tampak tidak peduli dan tetap khusyuk merapalkan kitab suci mereka.

Foto-foto berwarna di dalam buku. Sayang kurang banyak 🙂

Buku ini dilengkapi dengan foto-foto berwarna dan diberi kata pengantar oleh Gol A Gong—yang isinya tak kalah asyik dibanding tulisan Daniel. Yang lucu, Gol A Gong tampak “geram” saat Daniel meminta dibuatkan kata pengantar: “Huh! Sialan sekali Daniel ini! Baru juga ke Tibet, sudah menulis buku!” 😛 Kemudian Gol A Gong pun mendidih dan adrenalinnya berontak. Naluri petualangannya muncul akibat membaca tulisan Daniel ini….hehehe!

Ya, saya kira memang begitu rasanya saat kita membaca catatan perjalanan orang lain—kita seolah ikut melihat pemandangan yang dikisahkan penulisnya, merasakan pergulatan batin penulisnya.

Walau demikian, ada beberapa catatan dari saya:

1. Subjudul Tibet, Nepal, dan Cina dalam Potret Jurnalisme tidak cocok dengan isinya. Setelah rampung membaca buku ini, menurut saya tulisan Daniel sama sekali bukan sebuah tulisan jurnalistik. Emosi dan pergulatan batin penulis sangat kuat di sini. Buku ini jelas sebuah memoar, lebih tepatnya lagi catatan perjalanan. Contoh buku catatan perjalanan yang ditulis dengan gaya jurnalistik adalah buku Haji Nekat yang resensinya saya tulis di blog ini juga.

2. Ada beberapa typo dalam buku ini. Misalnya di halaman 21, tertulis “Traveling, al you have to do…” (ya, kurang satu ‘l’). Kemudian di halaman yang sama ada tulisan begini: “Suhu udara yang minus 0° Celcius terasa….”. Hmm, menurut saya sih nol ya nol, tidak ada namanya -0°, kan? Kemudian dalam buku ini bandara di Bangkok itu selalu ditulis Survanabhumi, padahal yang benar adalah Bandara Suvarnabhumi.

3. Cap bertulisan “Menggapai Impian, Meraih Makna Perjalanan” itu sama sekali tidak perlu. Kalimat tersebut berbau buku motivasi, padahal ini travelogue—memoar dan catatan perjalanan Daniel Mahendra. Cover-nya sendiri sudah oke, gambar rel kereta di tengah kepungan gunung, sepi dan melankolis.

Namun, terlepas dari sedikit kekurangan di atas, saya harus mengakui bahwa ini buku keren. Jangan berpikir bahwa catatan dari saya di atas lantas membuat buku ini jadi tidak asyik disimak. Tebalnya yang 350-an halaman malahan terlalu tipis rasanya buat saya, karena kisah perjalanan Daniel ini sangat menarik. Mestinya ada lebih banyak traveler/backpacker yang menuliskan pengalamannya. Soalnya buku panduan traveling sudah terlalu banyak.[]