Tag Archives: taman

Nan Lian Garden

Golden Pagoda di Nan Lian Garden, Hong Kong.

Golden Pagoda di Nan Lian Garden, Hong Kong.

Taman kota adalah salah satu tempat yang wajib saya kunjungi saat sedang jalan-jalan ke mana pun. Saat backpacking ke Hong Kong Oktober 2013 lalu, di hari terakhir sebelum pulang, saya menyempatkan diri main ke sebuah taman yang katanya cakep banget. Namanya Nan Lian Garden. Taman ini paling gampang dicapai menggunakan MTR. Turun di stasiun Diamond Hill, dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar 200-an meter, kita akan dengan mudah melihat petunjuk jalan menuju Nan Lian.

Taman kota ini didesain dengan gaya arsitektur Dinasti Tang (Cina). Ada kolam besar dan air terjun buatan, dengan ikan koi besar-besar di kolamnya. Taman ini juga mempunyai koleksi tanaman bonsai dan batu-batu alam berbentuk aneh-aneh yang konon dikumpulkan dari seluruh penjuru daratan Cina.

Kolam besar dengan ikan koi gendut-gendut.

Kolam besar dengan ikan koi gendut-gendut.

Itu saja? Tunggu dulu. Nan Lian Garden ternyata bersambung dengan Biara Chi Lin (Chi Lin Nunnery). Kita cukup melintasi jembatan penyeberangan yang khusus menyatukan taman ini dengan area biara. Kompleks biara khusus biksuni tersebut dibangun tahun 1930-an. Konon konstruksinya didesain sedemikian rupa agar bangunan kayunya bertahan ribuan tahun. Selain itu, bangunan kayunya disambung-sambung tanpa menggunakan paku satu pun (!). Di halaman biara, terdapat beberapa kolam dengan bunga-bunga teratai (lotus) mengambang di permukaan air. Di kanan-kiri, terdapat beberapa ruangan berisi patung beberapa dewa. Sayang, dilarang memotret di area ini.

Tampak depan Chi Lin Nunnery.

Tampak depan Chi Lin Nunnery.

Saat itu, tampaknya hanya saya yang tidak bermata sipit di kompleks Buddhis itu. Turis bule pun tidak ada. Apakah tempat ini tak begitu dikenal turis yang datang ke Hong Kong? Selain turis Cina, ada beberapa warga lokal yang sedang bersembahyang. Beberapa biarawati berjalan mondar-mandir dengan tenang sambil merapalkan doa atau membawa buah dan beras sebagai persembahan kepada dewa-dewi. Suasana kompleks Buddha ini terasa menenangkan dan menyejukkan hati. Sesejuk suhu Hong Kong di pagi yang cerah itu—sekitar 25° Celcius.

Sungguh menakjubkan melihat atmosfer modern dan tradisional berpadu dalam harmoni. Seperti terlihat dalam foto di atas—pagoda berselimut warna emas dan merah, ditemani gedung-gedung pencakar langit dan perbukitan hijau nun di belakang sana.[]

Catatan: Postingan ini diikutsertakan dalam Turnamen Foto Perjalanan periode 36 bertema “Taman” dengan tuan rumah Buzzerbeezz. Berhubung saya udah dinyatakan kalah, foto di postingan ini saya tambahin untuk memuaskan pembaca JOS. 🙂

Thai Times #7 (Tamat)

Satu sudut kota Hatyai. Liat tuh angkotnya 🙂

Sometimes you have to travel a long way to find what is near.”

~ Paulo Coelho, Aleph

Rupanya mobil travel ini tipe yang jemput penumpang dulu. Saya jadi agak-agak cemas. Mudah-mudahan aja mobil ini sampai di Hatyai sebelum jam 19.00, karena bus kami ke Kuala Lumpur berangkat jam segitu. Pemandangan sepanjang perjalanan tak terlalu istimewa. Lagipula saya sempat tertidur juga. Kami sempat berhenti di sebuah rest area untuk ke kamar kecil dan sholat. Di situ juga ada beberapa kios makanan ringan halal. Saya beli beberapa risoles isi sayur dan jagung yang rasanya….hmm, biasa saja. 🙂 Sekitar jam 17.30, mobil mulai memasuki Hatyai. Beberapa kali saya melihat masjid di pinggir jalan.

Dari balik jendela mobil, Hatyai tak tampak terlalu istimewa di mata saya. Kota ini tampak ramai, lebih besar dan lebih padat daripada Krabi Town. Di satu sudut kota, saya malah melihat beberapa baliho film-film Hollywood baru, seperti The Expendables 2 dan Resident Evil 5: Retribution. Lucunya, baliho film itu dilukis sehingga terkesan jadoel banget. 😛 Kota ini malah jadi tampak “ketinggalan” gitu.

Tak berapa lama kemudian, si sopir travel menurunkan kami sambil bicara bahasa Thai yang membingungkan. Setelah menurunkan ransel-ransel kami, dia menunjuk-nunjuk seorang pria berhelm. Saya tanya, “Mana kantor agennya?” Si sopir cuma mengangguk-angguk sebelum kembali naik mobil dan tancap gas, meninggalkan kami yang terbengong-bengong di pinggir jalan. Setelah tengok kanan-kiri, Davis Tour, tempat saya memesan tiket bus ke KL, tidak ada di sekitar situ. Rupanya si sopir brengsek tadi menurunkan kami di situ karena tidak tahu lokasinya atau malas. Pokoknya saya kesal setengah mati karena merasa ditipu.

Kantor Davis Tour.

Sementara itu, si pria berhelm yang rupanya tukang ojek itu menegur saya dan dengan Inggris yang terbata-bata menawari kami naik ojek ke Davis Tour. Berhubung buta kota ini, saya memutuskan naik ojek saja.

Awalnya dia minta 100 baht untuk 2 orang dan ransel-ransel kami, tapi saya tawar jadi 80 baht (Rp 24.000). Dan sodara-sodara, akhirnya kami naik ojek cenglu (bonceng telu/bonceng bertiga), dengan ransel-ransel ditaruh di keranjang depan! Tak sampai 10 menit, kami sampai di depan kantor agen Davis Tour.

Setelah check in, kami jalan-jalan di sekitar situ. Hatyai hanya sebuah kota “biasa” yang cukup bersih di Thailand selatan.

Ditata dengan sistem blok-blok kecil, kota ini malah mengingatkan saya pada kawasan Jl. Otista atau Pasar Baru di Bandung. Mirip banget. Deretan toko dan warung di sepanjang pinggir jalan.

Angkotnya juga tampak lucu: mobil bak kecil yang dipasangi atap dan bangku panjang. Di sini mudah sekali menemukan warung makan halal. Tampak ada banyak  juga travel agent yang melayani rute ke kota-kota di Thailand, Malaysia, hingga Singapura. Saya bahkan menemukan sebuah hotel yang sembarangan pake nama saya. 😛

Bus keren Sri Maju.

Saat itu uang baht saya tinggal sedikit. Kami cuma beli buah-buahan untuk dimakan di bus. Setelah numpang sholat maghrib di satu ruang kantor yang kosong di travel agent itu, jam 19.00 busnya sudah siap. Busnya keren dan bersih. Namanya Sri Maju. Saya sudah booking tiket secara online beberapa minggu sebelumnya. Tarif Hatyai-Kuala Lumpur sekitar RM 47 atau Rp 141.000. Cukup terjangkau. 🙂

Kebetulan saya duduk persis di belakang bangku sopir, jadi bisa leluasa melihat ke depan. Diawaki dua sopir India yang bahasa Melayunya susah dipahami, kami berangkat tepat waktu. Sekitar jam 22.00 kami tiba di Sadao, kota perbatasan Thailand-Malaysia. Semua penumpang turun dan mengantre di loket imigrasi.

Perbatasan ini tak terlalu ketat. Saya melihat seorang yang sudah melewati loket, namun kembali lagi mencari toilet. Saat saya mengecek paspor istri saya, ternyata petugas imigrasi lupa “ketok palu” paspornya dengan cap “departed“, jadi kami cari lagi petugas itu yang ternyata sudah selesai bertugas. Mungkin imigrasi mau tutup jam segitu? Gawat juga kan kalau nanti di imigrasi Malaysia ditanyain kenapa nggak ada cap yang menunjukkan si pemilik paspor sudah resmi meninggalkan Thailand.

Setelah melewati jembatan, penumpang bus kembali turun dan mengantri di imigrasi Malaysia. Setelahnya kami langsung bablas dan hanya berhenti dua jam kemudian di rest area untuk makan. Sebelum berangkat dari Hatyai tadi, saya sempat melihat pengumuman di tembok bahwa bus ini dijadwalkan tiba di Kuala Lumpur jam 5 subuh. Hmm….cocok banget nih, bisa tidur nyenyak. AC bus lumayan dingin, dan saya nggak bawa jaket. Tapi kantuk bisa mengalahkan segalanya.

***

Saya terbangun jam 5 pagi. Di luar masih gelap, namun lampu dari gedung-gedung bertingkat menandakan bahwa kami sudah memasuki Kuala Lumpur. Terminal Puduraya masih direnovasi. Jadi, bus menurunkan penumpang di depan terminal. Untungnya, di depan terminal itu ada beberapa hostel backpacker. Saya mencoba menawar satu hostel untuk sekadar ngaso selama 6 jam. Lumayan deh dapet double room ber-AC seharga RM 25 (Rp 75.000) sampai jam 12 siang di sebuah hostel bernama Kameleoon.

Kamarnya ternyata sempit banget, pas satu ranjang double, satu meja kecil, dan satu space kosong yang ngepas buat sholat dan meletakkan ransel-ransel. Walau kamar mandinya di luar, bagi kami tak masalah. Setelah subuhan, leyeh-leyeh, lalu mandi-mandi gembira, jam 7 pagi kami mulai jalan-jalan. Waktu kami nggak banyak. Kami targetkan jam 10 sudah balik ke hotel, tiduran sebentar, mandi lagi, lalu jam 11 udah cabut ke bandara. Saya sengaja beli tiket pulang dari Kuala Lumpur ke Bandung, karena saat booking tiket online, harga yang sesuai kantong ya tinggal dari ibukota Malaysia ini.

Ini pertama kali saya masuk ke Kuala Lumpur via Puduraya. Sebelumnya, Februari lalu, kami masuk lewat Berjaya Times Square di Imbi, tak jauh dari Bukit Bintang. Dan ternyata Jl. Bukit Bintang sangat dekat dari Puduraya. Jadi saya masih hafal jalanan di sekitar situ. Bukit Bintang masih agak sepi pagi itu.

Sarapan di KL 🙂

Tak jauh dari depan mal Low Yat Plaza, kami melihat ada tukang nasi sudah buka lapak. Kami pun membeli dua bungkus nasi rames dengan lauk mie goreng, ayam goreng, dan telur dadar. Harga satu porsinya cuma RM 3,5 (Rp 10.500). Makannya cukup di pinggir jalan, sambil memerhatikan beberapa orang kantoran yang juga beli nasi di situ dan beberapa tukang pijat seksi yang, herannya, sepagi itu udah nongkrong di pinggir jalan.

Habis makan, kami jalan kaki ke KLCC Park. Sebenarnya sejak sebelum berangkat backpacking, saya sudah berencana memberi tema “taman” buat perjalanan ini. Kenapa taman? Yaa karena sulit sekali mencari taman yang indah, bersih, tidak terlalu ramai, dan bebas dari pedagang kaki lima di kota tempat saya tinggal. Setelah sukses mengunjungi Gardens by the Bay di Singapura, di Thailand saya malah gagal mengunjungi Lumphini Park—sebuah taman kota yang besar dan indah di Bangkok. Di Kuala Lumpur ini, berhubung waktu kami sangat terbatas, saya hanya berencana main ke KLCC Park. Februari lalu saat saya ke sini malah nggak tahu di belakang Petronas Twin Towers ada taman yang cakep. 😛

Dari Bukit Bintang, hanya butuh 30 menit jalan kaki menuju KLCC. Kami langsung menuju bagian belakang gedung dan taman itu pun langsung tampak. KLCC Park adalah sebuah taman seluas 20 hektar yang dibangun pada 1980 di tengah-tengah kepungan hutan beton di pusat kota Kuala Lumpur.

Saat itu sekitar jam 8 pagi. Cuaca masih agak sejuk. Beberapa ekspatriat tampak sedang asyik lari pagi mengelilingi jogging track taman itu yang kalau tak salah panjangnya 1,3 kilometer. Beberapa petugas taman tampak sedang sibuk menyiangi atau menyiram taman.

Saya duduk-duduk di bangku taman yang banyak tersebar di sekitar situ. Mencoba menyerap dan menikmati suasana pagi di taman yang cantik ini. Saya memang suka ketenangan. Bahkan di tengah kota seperti itu pun saya masih bisa mendengar kicauan burung dan bahkan sempat melihat seekor tupai sedang asyik jogging melompat dari satu pohon ke pohon lain.

Sambil makan keripik Lays rasa cumi bakar made in Thailand, saya sibuk berkhayal: betapa asyiknya duduk-duduk di sini seharian, bawa laptop, lalu menulis buku. Buat diskusi juga asyik. Kalau lapar, itu bukan masalah. Ada mal Suria KLCC di dekat situ dengan foodcourt di lantai 6-nya. Di lantai yang sama juga ada Kinokuniya. 🙂 Kalau mau jalan ke tempat lain dan tak hafal rute bus kota, di lantai underground KLCC ada stasiun MRT yang di beberapa stasiun sambung-menyambung dengan jalur monorel. Naik MRT atau monorel lebih enak karena peta jalurnya jelas.

Di taman ini juga ada danau buatan dengan jembatan sepanjang 43 meter melintang di atasnya. Jembatan ini tampak dibangun sedemikian rupa sebagai spot yang bagus untuk berfoto-foto dengan Twin Towers sebagai latar belakang. Ah…kenapa di Monas nggak dibangun taman gede kayak gini ya? Pasti keren. Jadi ada taman dan ada spot tempat kita bisa foto-foto dengan latar Monas gitu. Seperti di KLCC Park, kita bisa nampang di jembatan dan di belakangnya ada landmark yang keren kayak Twin Towers.

Taman di sekitar Monas standar banget sih, penataan dan pemanfaatan lahan untuk taman kurang digarap maksimal. Kalau cuma bikin taman saya yakin nggak susah. Yang susah itu adalah membangun kesadaran jajaran pemerintah kota untuk membangun dan merawat taman sebagai ruang publik bagi warga kota untuk berinteraksi dan bersosialisasi. Ini belum bicara soal kesadaran warga kota yang kadang susah banget diajak bergaya hidup bersih—dan tentunya serbuan pedagang kaki lima. 🙂

Di danau buatan di taman ini ternyata juga ada pertunjukan air mancur. Saya kebetulan banget bisa lihat “test drive“-nya di pagi hari. Kata seorang petugas taman, “pertunjukan” air mancur itu biasanya dimainkan pada siang dan sore hari. Keren banget deh air mancurnya! Bisa nyemprot berbagai gaya gitu. Ada gaya kupu-kupu terbang, gaya ngebor, dan buanyak lagi! Walau “test drive” air mancurnya cuma 15-20 menit, tapi lumayan kan dapat tontonan gratis? Hehehe… 🙂

Gaya kupu-kupu terbang…hehehe 😛

Puas menikmati taman, kami memutuskan balik ke hostel. Setelah leyeh-leyeh sebentar dan mandi lagi, sekitar jam 11 kami gendong ransel dan check out. Jalan kaki ke stasiun monorel Bukit Bintang yang jaraknya hampir satu kilometer lumayan juga sambil gendong backpack begini. Mana saat itu matahari sudah terik.

Dari stasiun Bukit Bintang, kami naik monorel sampai di stasiun KL Sentral. Dari sana ada banyak pilihan untuk menuju bandara LCCT (Low Cost Carrier Terminal). Sekadar info, letak bandara LCCT cukup jauh dari Kuala Lumpur International Airport (KLIA). LCCT adalah bandara khusus untuk maskapai-maskapai murah (budget airlines) seperti AirAsia atau Tiger Airways. Pilihan pertama untuk menuju bandara LCCT dari KL Sentral adalah dengan bus. Ada dua pilihan: Skybus, milik AirAsia, biayanya RM 9 (Rp 27.000). Lalu ada Aerobus, milik swasta lain, dengan biaya RM 8 (Rp 24.000). Dua-duanya langsung ke bandara LCCT tanpa ngetem atau mampir-mampir.

Cara kedua, naik kereta. Ada dua jenis kereta menuju bandara dari KL Sentral. Pertama ada KLIA Ekspres—kereta tercepat ke bandara KLIA, tanpa berhenti di stasiun mana pun. Lama perjalanan cuma 30 menit. Tarifnya juga mahal: RM 35 (Rp 105.000). Sementara yang kedua adalah KLIA Transit. Yang ini berhenti di setiap stasiun yang dilewati. Tarifnya RM 12,5 (Rp 37.500). Berhubung saya demen banget naik kereta, dan atas nama pengalaman, saya pilih naik kereta KLIA daripada bus. Soalnya saya belum pernah ke LCCT naik kereta.

Tiket dan interior kereta KLIA Transit.

Baik stasiun maupun interior kereta ini bersih dan bagus. Penumpangnya juga tidak membludak. Mungkin banyak orang lebih memilih naik bus yang lebih murah. Berhubung saya naik KLIA Transit, kereta ini berhenti di tiga stasiun: Bandar Tasik Selatan, Putrajaya & Cyberjaya, dan Salak Tinggi. Penumpang yang akan lanjut ke LCCT harus turun di Salak Tinggi dan naik shuttle bus gratis ke LCCT. Sementara kereta terus melaju ke KLIA.

Pemandangan sepanjang perjalanan sebenarnya biasa saja. Lepas dari Kuala Lumpur, kita bisa melihat pinggiran kota dengan deretan townhouse khas Asia Tenggara. Kereta tiba di Salak Tinggi sekitar setengah jam kemudian, lalu kami keluar dari stasiun dan naik shuttle bus yang sudah disediakan. Dari sini perjalanan masih sekitar 20-30 menit lagi ke LCCT.

Antrean di konter Air Asia di LCCT.

Setiba di bandara, kami nggak bisa leha-leha sedikit karena melihat antrean di konter check-in yang ngeri banget panjangnya. Keramaiannya sama dengan terminal-terminal bus saat musim mudik. 🙂 Setelah lebih dari setengah jam mengantre dan menaruh backpack di konter untuk masuk ke bagasi, kami mencari makan dulu. Masih tersisa cukup ringgit untuk beli makanan karena kami hanya makan tadi pagi.

Berhubung waktu sudah mepet, kami cuma beli burger di McDonald’s. Tapi waktunya semakin mepet sehingga kami harus cepat-cepat boarding. Nggak sempat makan burger deh jadinya. Selepas boarding pass diperiksa, saya harus tanya ke petugas di mana pesawatnya, karena tidak ada petunjuk tertulis. Ke kiri atau ke kanan? Tapi akhirnya kami bisa duduk dengan lega di pesawat. Lama penerbangan sekitar 2,5 dari Kuala Lumpur ke Bandung.

***

Tiba di bandara Husein Sastranegara, suasana yang saya dapatkan sungguh jomplang. Baru kali itu saya tiba di bandara ini dari luar negeri. Terakhir kali saya tiba di sini dari Denpasar tiga tahun yang lalu. Walau menyandang nama “internasional”, Husein Sastranegara sungguh jauh dari layak untuk jadi bandara berkelas global. Selain berukuran kecil, fasilitas di sini tampak memprihatinkan. Ban berjalan untuk bagasi penumpang tidak memutar, cukup berbentuk lurus dan di ujung ban itu nanti ada petugas yang meletakkan koper dan tas penumpang di pinggir. Tidak praktis, merepotkan. Apalagi ratusan penumpang juga menunggu tas-tas mereka di sekitar ujung ban berjalan itu.

Urusan transportasi juga menyusahkan bagi mereka yang belum pernah ke Bandung. Taksi di bandara adalah milik Angkatan Udara—eksklusif dimonopoli oleh Primkopau. Selain merek ini, taksi lain dilarang “belagu” mengambil penumpang di area bandara. Sistemnya pun terbuka untuk “merampok” calon penumpang taksi: kita memesan dulu, menyebutkan tujuan, dan membayar sesuai angka yang disebut petugasnya—tentu saja tak pakai argometer, alias tarif borongan. Saat saya menyebut tujuan, si petugas meminta tarif Rp 80 ribu. Tentu saja saya ogah, karena saya tahu berapa tarifnya kalau taksinya tak serakus mereka. Jadi kami berjalan kaki ke pintu keluar yang jaraknya sekitar 300 meter, dan saat hampir sampai di jalan raya, sebuah taksi Cipaganti menepi. Singkat cerita, kami sampai di rumah dengan tarif hanya Rp 54 ribu. Nah, kan? 🙂

Malam itu, selesai membongkar tas dan mandi, kami ngaso di ruang tengah sambil makan burger yang dibeli di Kuala Lumpur. Besok paginya kami harus ngantor seperti biasa. 🙂

***

Perjalanan kali ini sungguh luar biasa. Tiga negara “dihajar” sekaligus dalam seminggu. Capek, tapi senang bukan main. Dan saya lebih senang lagi karena bisa mengajak istri, yang sebelumnya belum pernah ke mana-mana, keliling tiga negara Asia Tenggara—dua di antaranya dikunjungi dua kali. Tentunya pengalaman batin yang masing-masing kami dapat berbeda. Saya akan tuliskan kapan-kapan di postingan terpisah. Untuk sementara, serial Thai Times ini untuk cerita-cerita perjalanan dulu. Oleh-oleh dari saya yang lagi belajar nulis—karena tulisan-tulisan saya belum ada apa-apanya.

Seperti kata Alexander Solzhenitsyn, “Own only what you can carry with you: know language, know countries, know people. Let your memory be your travel bag.” Perjalanan ini bagi saya hanya pembuka jalan. Saya masih ingin terus melihat negeri-negeri lain, termasuk yang sudah pernah saya kunjungi. Bagi saya jalan-jalan itu konsepnya hampir sama seperti rezeki—sudah diatur oleh Tuhan, tapi ditebar di muka bumi agar kita mau berikhtiar menjemputnya. Begitupun dengan traveling—keindahan bumi ciptaan-Nya beserta bermacam jenis manusia disebar di seluruh planet ini, agar kita bisa melihat dan belajar dari semua itu. Agar kita selalu merasa kecil di hadapan-Nya dan tak lupa bersyukur karena telah diberi kesempatan melihat secuil keindahan bumi ciptaan-Nya. Begitulah.

Don’t tell me how educated you are, tell me how much you have travelled.” – Prophet Muhammad PBUH

Pokoknya: tetap sehat, tetap semangat, supaya kita bisa tetap jalan-jalan! 🙂

(Tamat)

Next destination: Jogja, Solo (Oktober 2012); Ho Chi Minh City, Da Lat, Nha Trang, Hanoi, Ha Long Bay, Tam Coc—Vietnam (2013).