Tag Archives: backpacker

Nongkrong di Hong Kong #6

Pagi-pagi, setelah subuhan, saya menghitung uang yang tersisa, sambil corat-coret di notebook kecil. Tampaknya ada beberapa tempat yang harus kami lewatkan. Apalagi gara-garanya kalau bukan karena duit cekak. 🙂

Disneyland. Ini terpaksa saya coret, walaupun Disneyland adalah impian saya waktu masih kecil. Tapi setelah browsing sana-sini, melihat-lihat Disneyland Hong Kong di YouTube, saya merasa tempat ini rada kekanakan buat saya. *sok dewasa* *padahal gak punya duit* 😛

Ocean Park. Theme park yang satu ini sebenarnya malah lebih seru daripada Disneyland. Tapi rasanya duit juga mepet, walaupun tiket masuk ke OP lebih murah daripada tiket Disneyland. Nggak apa-apa deh. Toh dulu juga udah pernah. 😛

Shenzhen, Cina. Selain butuh biaya buat visa on arrival di perbatasan Hong Kong – Cina di Lo Wu, butuh duit juga buat tiket ke objek wisata Windows of the World di Shenzhen. Nggak mahal-mahal banget sih, tapi setelah dihitung-hitung, rasanya duit juga nggak cukup kalau buat dua orang. Coret dulu deh.

Makau masih masuk di kantong. Dan saya belum pernah ke sana. So, Makau nggak jadi dicoret, dan kami akan ke sana besok (hari Selasa). Jadilah, saya pilih tempat-tempat yang gratisan aja…hehe! Hari ini, rencananya kami mau ke Victoria Peak—atau biasa disebut The Peak. Ini satu destinasi keren kalau lagi mengunjungi Hong Kong.

Beli makan murah di sini. :)

Beli makan murah di Warung Chandra. 🙂

Setelah beli nasi rames buat sarapan di Warung Chandra, kami beli roti dan buah di supermarket Wellcome buat makan siang, kami naik MTR menuju Central. Keluar dari stasiun, kami makan dulu di sebuah taman kota. Habis itu jalan kaki lagi menanjak sekitar 300-an meter, mencari Peak Tram Lower Terminus. Ongkos naik trem ke atas bukit waktu itu HK$ 28 (single trip) dan HK$ 40 (return). Di puncak bukit juga sebenarnya ada terminal bus kalau kita mau pulang lewat rute lain. Di Lower Terminus ini ada galeri yang tempat kita bisa melihat-lihat memorabilia,  foto-foto, dan replika trem versi kuno.

The Peak adalah titik tertinggi di Hong Kong (552 meter) sekaligus tempat paling keren untuk melihat kota metropolitan ini dari ketinggian. Dari ketinggian itu, kita bisa melihat sebagian besar wilayah Hong Kong dan Kowloon. Perjalanan naik trem ke atas juga sebentar, paling lama cuma 10 menit. Trem akan bergerak naik hingga mencapai kemiringan 45 derajat, dan sepanjang perjalanan ke atas kita bisa melihat pemandangan breathtaking seperti ini:

Pemandangan Hong Kong dari puncak Victoria Peak.

Pemandangan Hong Kong dari puncak Victoria Peak.

Di Peak Tram Upper Terminus, semua penumpang turun. Stasiunnya menyatu dengan mal Peak Tower yang gedungnya berbentuk bulan sabit. Turis bisa naik ke atap gedung (Sky Terrace) dan bisa mendapatkan posisi terbaik untuk melihat Hong Kong dari atas. Juga ada beberapa teropong di Sky Terrace itu.

Untuk naik ke sini, kita harus bayar. Tapi jangan takut. Buat yang kere, yang gratisan tetap ada. Keluar dari Peak Tower, kita tinggal belok kiri mengikuti jalur pedestrian di situ. Ada satu spot yang bagus buat memotret kota. Atau, cukup jalan ke mal Peak Galleria tepat di depan Peak Tower. Ada dek gratisan di atap gedungnya. Sayang, cuaca saat itu sedang berkabut. Kalau cuaca cerah, kita bisa melihat jelas hingga ke kawasan Kowloon di seberang sana, lokasi hostel tempat kami menginap. Siang atau malam, pemandangan kota dari atas sini keren banget.

Gedung Peak Tower.

Gedung Peak Tower.

Di Peak Tower ini juga ada museum patung lilin Madame Tussauds, lho. Tapi saya nggak masuk. Sebabnya jelas: tiketnya terlalu mahal. Dua kali saya nemu Madame Tussauds, di Bangkok dan Hong Kong, tetap saja nggak bisa masuk karena nggak punya duit. Nggak apa-apa, deh. Toh isinya cuma kumpulan patung lilin buat foto narsis *menghibur diri*. Dan konon kabarnya akan ada Madame Tussauds di Ancol, Jakarta. Tapi nggak tahu kapan bukanya. Akhirnya saya cuma foto-foto di depannya aja. Ada patung lilin Bruce Lee yang gratisan buat foto-foto…hehehe! 🙂

Jalurnya nyaman gini. Asyik, kan? :)

Jalurnya nyaman gini buat trekking. Asyik, kan? 🙂

Tapi, ngapain juga jauh-jauh ke sini cuma ke mal? The Peak dikelilingi perbukitan hijau dan taman nasional. Setelah sedikit blusukan, saya menemukan papan petunjuk beberapa jalur trekking. Ada jalur menuju Mt. Austin Road, Victoria Peak Garden, Pok Fu Lam Country Park, dan Hong Kong Trail. Yang terakhir ini punya jalur paling panjang, yaitu 50 kilometer (!) mengelilingi sebagian Pulau Hong Kong. Tapi setelah beberapa kilometer bisa juga pilih jalan lain untuk balik lagi ke Peak Tower.

Pok Fu Lam Country Park.

Pok Fu Lam Country Park.

Suhu siang itu sejuk, sekitar 23° Celcius. Acara jalan-jalan di sepanjang masing-masing trek itu jadi makin asyik. Apalagi jalurnya mulus beraspal dan berbeton. Saya cuma jalan di setiap jalur sejauh 3-5 kilometer saja, habis itu balik lagi…hehehe!

Di jalur Hong Kong Trail, melalui Lugard Road, setelah tiga kilometer berjalan kaki, pemandangan hutan beton berganti menjadi hutan betulan. Nun jauh di sana, saya bisa melihat sebuah waduk, dan di sananya lagi tampak garis pantai.

Waduk Pok Fu Lam nun di sana.

Waduk Pok Fu Lam nun di sana.

Semua pemandangan itu membuat saya lupa bahwa wilayah Hong Kong sebenarnya hanya 40% yang dihuni dan dipenuhi bangunan beton. Sisanya adalah hutan, perairan, dan pulau-pulau kecil. Di beberapa titik jalur trekking, ada taman dan area piknik. Beberapa orang terlihat bersantai di taman. Beberapa lagi sedang asyik jogging. Sambil ngaso sebentar, istri saya milih beryoga, sementara saya…tidur siang (!). 😛

Sebenarnya saya masih pengen jalan sampai ke pantai sana, tapi istri saya udah ngos-ngosan. Dan kami masih pengen main ke taman kota habis dari The Peak ini.

Sorenya, setelah kaki pegal-pegal, kami kembali ke Lower Terminus. Tak jauh dari situ, ada dua taman kota yang katanya sangat indah: Hong Kong Park dan Zoological & Botanical Garden. Saya memilih yang pertama dulu. Jaraknya tak sampai 200 meter dari Lower Terminus. Hong Kong Park adalah salah satu taman kota terbesar di sini. Dibuka untuk umum sejak 1991 dan luasnya mencapai 80.000 m². 

Hong Kong Park.

Hong Kong Park.

Ada beberapa bagian taman yang menarik di sini. Salah satunya adalah Edward Youde Aviary. Sangkar raksasa ini berisi 600 ekor burung dari 90 spesies. Bahkan jalak Bali juga ada di sini. Selain sangkar burung, taman ini juga punya air terjun buatan, kolam besar berisi beragam ikan dan kura-kura, restoran, museum bertema perlengkapan minum teh Cina, dan Visual Art Center.

Yang jelas, taman ini sangat indah. Bagaikan hutan tropis ditaruh di tengah kepungan gedung-gedung pencakar langit, sementara di sisi lainnya, taman ini dipagari oleh bebukitan hijau.

Suasana di Edward Youde Aviary, Hong Kong Park.

Suasana di Edward Youde Aviary, Hong Kong Park.

Sayang, selepas jalan-jalan di Hong Kong Park, kami jadi capek luar biasa. Seharian itu entah sudah berapa kilometer kami jalan kaki. Terpaksa Zoological & Botanical Garden kami lewatkan. Malam itu kami mampir dulu ke tempat kenalan saya, numpang pake komputer di warnetnya. Sayang, cuma ada karyawannya, jadi kami nggak dikasih makan…hehe! 🙂

Sebelum kembali ke hostel, kami menutup hari itu dengan makan malam di Café de Coral. Menunya tetap all beef trio curry with rice. Seporsi berdua.[]

(Bersambung)

Nongkrong di Hong Kong #5

Nasi rames @HKD 15. :)

Nasi rames @HKD 15. 🙂

Minggu Pagi di Victoria Park. Ini bukan cuma judul film Indonesia yang dibintangi Titi Sjuman dan Lola Amaria, tapi di situlah kami berada Minggu pagi itu. Setelah membeli dua bungkus nasi rames lauk telur dan ayam goreng di Warung Chandra, kami memutuskan sarapan di Victoria Park yang jaraknya hanya sekitar 50 meter dari warung Chandra.  Setiap Minggu, taman kota terbesar di Hong Kong ini disesaki TKW asal Indonesia.

Di Hong Kong berlaku peraturan libur sehari dalam seminggu bagi para domestic helper (sebutan bagi PRT asing di sini). Kebanyakan memilih hari Minggu sebagai hari liburnya, sehingga atmosfer Indonesia akan sangat terasa di hari itu. Dengan mudah kita akan menemukan ribuan TKW berkumpul di Victoria Park atau ber-window shopping di Causeway Bay.

Pernah ada joke yang bilang, artis Indonesia pun bakalan minder bila bertemu dengan para TKW di Hong Kong. Pakaian dan cara mereka berdandan tak beda dengan penduduk Hong Kong umumnya: modis dan keren. Tak ketinggalan, ponsel model terkini dalam genggaman mereka. Logat Jawa yang kental kerap terdengar ketika sedang berjalan di kawasan tersebut.

Kebanyakan TKW di Hong Kong berasal dari Jawa Timur dan Tengah. Dulu, sekitar 10 tahun lalu, para TKW di Victoria Park ini banyak yang gelar lapak, berjualan makanan, piknik, sementara yang lain duduk-duduk beralas koran. Pemandangannya jadi mirip pasar tumpah di Boulevard UGM ataupun Unpad Jatinangor di hari Minggu. Pemerintah Hong Kong memang pernah mengeluhkan taman kotanya yang kotor penuh sampah setiap Minggu. Sekarang pemerintah  melarang siapa pun berdagang tanpa izin di taman kota itu. Tentu saja, kegiatan lain seperti arisan, pengajian, kongkow-kongkow, dan banyak lagi tetap dibolehkan. Yang jelas, dilarang nyampah seenak udel. Di Hong Kong, buang sampah sembarangan, meludah, dan merokok di ruang publik dendanya mencapai HK$ 1.500 alias lebih dari Rp 2 juta.

Victoria Park. Gak berani motret yang gothic. :P

Victoria Park. 10 tahun yang lalu tempat ini mirip pasar kaget saat hari Minggu. 😛

Komposisi warga negara asing di Hong Kong yang penduduknya lebih dari 7 juta jiwa ini sangat beragam. Warga Indonesia kini tercatat sebagai warga negara asing terbanyak, yaitu lebih dari 150 ribu orang, yang sebagian besarnya adalah para TKW (nyaris semua TKI di sini wanita).

Di Hong Kong, hukum yang mengatur kesejahteraan para tenaga kerja asing (termasuk Indonesia) tampaknya relatif kuat dibandingkan negara-negara Asia lain. Jarang sekali terdengar kasus penganiayaan terhadap PRT oleh majikannya, seperti yang sering terjadi di Timur Tengah. Konon, gaji para TKI di Hong Kong menempati peringkat keempat gaji tertinggi di Asia, setelah Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Tahun 2013 saya dengar gaji TKW di sini mencapai Rp 6 juta.

Di pintu masuk taman, ada beberapa kelompok TKW yang asyik nongkrong dengan kelompoknya masing-masing. Ada yang berpakaian menor tapi masih normal, ada kelompok yang berpakaian serba hitam ala gothic yang seram dengan celak hitam di mata dan rambut jabrik, ada juga yang bergaya K-Pop gagal. 😀

Habis sarapan sekaligus makan siang itu, kami memutuskan jalan ke Ngong Ping. Menuju ke sana sangat mudah. Kami tinggal naik MTR ke stasiun Tung Chung di Pulau Lantau. Saat kereta sudah keluar dari Pulau Hong Kong, posisinya tidak lagi berada di bawah tanah, sehingga kami bisa melihat pemandangan: bukit-bukit dan perairan yang hampir tak berombak.

Tiba di Tung Chung, ada dua pilihan menuju Ngong Ping: naik cable car alias kereta gantung atau naik bus. Naik kereta gantung lebih mahal, dan antreannya gila, bisa mencapai satu jam kalau lagi apes. Saya sendiri harus mengantre sekitar 40 menit. Tapi memang pengalamannya breathtaking karena kita diajak melayang di ketinggian sambil melihat pemandangan teluk dan pulau-pulau kecil, dan bukit-bukit di bawahnya.

Pemandangan dari kereta gantung.

Pemandangan dari kereta gantung.

Setelah beli tiket seharga HK$ 135/orang (harga termurah saat weekend) untuk naik kereta gantung bolak-balik, kami masih harus mengantri lagi selama sekitar 15 menit. Entah ada berapa ratus orang mengantri dari terminal bus sampai ke konter loket penjualan tiket. Perjalanan dengan kereta gantung ini memakan waktu 25 menit dengan jarak tempuh 5,7 kilometer. Dari atas, saya juga bisa melihat jalur trekking yang panjang di bawah, naik-turun perbukitan. Asyik sekali! Apalagi kereta gantungnya bergerak stabil, tidak bergoncang, padahal angin cukup kencang saat itu.

Sekitar satu kilometer sebelum masuk ke stasiun kereta gantung, tampak siluet patung Buddha raksasa di kejauhan. Patung itulah yang menjadi daya tarik utama Ngong Ping. Keluar dari stasiun, kami langsung memasuki kawasan Ngong Ping Village. Yah, bukan benar-benar desa, sih. Untuk menuju desa betulan kita masih harus jalan kaki lebih jauh lagi. Namanya juga area buatan, di “desa” ini ada banyak restoran dan toko suvenir…hehehe. 🙂

CIMG7083

Ngong Ping. Siluet Big Buddha di latar belakang.

Pemandangan di sekitar Ngong Ping Village ini keren. Bukit-bukit hijau selalu tampak sejauh mata memandang. Bangunan-bangunan di area seluas 1,5 hektar ini juga dibangun dengan gaya arsitektur Cina. Atraksinya macam-macam, terutama yang berbau Buddha.

Selain restoran bermenu masakan Barat dan Cina, atraksi multimedia Walking with Buddha bagi yang tertarik mempelajari sedikit tentang Siddharta Gautama, ada Bodhi Wishing Shrine tempat dengan replika pohon Bodhi tempat sang Buddha mendapat pencerahan, juga ada Cable Car Gallery tempat kita bisa melihat-lihat model kereta gantung dari berbagai negara, dari masa ke masa.

CIMG7066

Patung dewa dengan Buddha di latar belakang.

Selepas itu, kita akan melihat gapura besar dan deretan selusin patung di sepanjang jalan menuju patung Big Buddha dan Po Lin Monastery. Dalam beberapa aliran di agama Buddha, dipercaya ada 12 dewa pelindung Buddha/Twelve Divine Generals (yaksha). Salah satunya bernama General Indra. Namun, dalam ajaran Hindu, Indra juga dikenal sebagai dewa cuaca dan raja kahyangan. Oleh orang-orang bijaksana, ia diberi gelar dewa petir, dewa hujan, dewa perang, raja surga, pemimpin para dewa, dan banyak lagi sebutan untuknya sesuai dengan karakter yang dimilikinya. Dewa, ya, bukan dewi. Makanya, kalau punya anak perempuan jangan dikasih nama “Indra”, soalnya itu nama laki-laki…hehehe. 🙂

Sayang sekali sedang tidak ada event khusus hari itu. Kalau tidak salah, setiap bulan Mei ada perayaan hari lahir Buddha, dan banyak pertunjukan jalanan di area ini, seperti pertunjukan kungfu, juggling, musik, dan banyak lagi. 

Objek wisata utama di Ngong Ping tentu saja adalah patung Tian Tan atau lebih dikenal dengan sebutan Big Buddha. Patung setinggi 26 meter ini adalah patung perunggu Buddha (duduk) tertinggi di dunia. Beratnya sekitar 202 ton, dengan 268 anak tangga untuk mencapainya dari bawah.

Seorang pengunjung sedang sembahyang.

Seorang pengunjung sedang sembahyang.

Lumayan ngos-ngosan juga saat naik tangga ke atas. Persis di bawah patung Buddha, ada bangunan yang ceritanya sebagai podium tempat sang Buddha duduk. Bangunan itu sekaligus berfungsi sebagai museum. Di dalamnya ada lukisan-lukisan cat minyak, piagam, benda-benda keramik, dan banyak lagi. Sayang, keterangan yang ada semuanya berhuruf Cina. Di tengah ruangan, ada sebuah lonceng raksasa. Pada hari raya nasional bulan April atau Mei, saat perayaan hari lahir Buddha, lonceng itu akan berdentang 108 kali, yang pemukulnya digerakkan oleh komputer.

Pemandangan dari podium Big Buddha.

Pemandangan dari podium Big Buddha.

Selain Big Buddha, ada Po Lin Monastery di sisi lain area ini. Sayang, biara itu sedang direnovasi. Tampak beberapa pengunjung membakar dupa dan bersembahyang di depan biara. Di samping bangunan biara, ada resto Po Lin Vegetarian Restaurant yang katanya sih terkenal dengan masakan-masakan vegetarian yang harganya terjangkau dan lumayan mengenyangkan. Tapi saya sih punya rencana lain…hehe! 🙂 Kami juga terpaksa sholat di bangku taman di belakang resto itu. Tidak ada mushola di area ini.

CIMG7067

Pemandangan Ngong Ping di sore hari.

Idealnya memang datang ke Ngong Ping atau Lantau ini di pagi hari. Beberapa spot, seperti desa nelayan di Tai O dan jalur trekking yang sepertinya menarik untuk dijelajahi, harus saya lewatkan karena sudah hampir gelap waktu itu. Menjelang maghrib, kami pun pulang. Sial, antrean pulang juga luar biasa. Kami baru mendapat giliran naik kereta gantung, kembali ke Tung Chung, setelah 40 menit. Tahu begini saya tadi mending beli tiket one way aja, balik ke Tung Chung bisa naik bus yang terminalnya tak jauh dari situ. Tapi, saat mengantre di depan restoran-restoran, cobalah nyalakan wi-fi di ponsel, karena hampir semua resto di situ memberi akses wi-fi gratis dan sinyalnya bocor ke sekitar situ. 🙂

Beef curry super lezat! :)

Beef curry super lezat! 🙂

Setiba di Tsim Sha Tsui, kami sowan ke resto favorit saya, Cafe de Coral, di sebuah mal di dekat terminal bus TST. Ini adalah jaringan resto lokal di Hong Kong yang menyajikan banyak menu. Pembelinya juga selalu membludak, terutama ketika jam makan siang dan malam. Menu favorit saya dari dulu adalah beef brisket/curry with rice. Biasanya menu ini hanya disediakan malam hari. Menunya ada di dinding di samping konter pesan/kasir, dengan bahasa Inggris dan Kanton. Pesan, bayar, lalu ambil pesanan kita di konter dapur.

Sesuai namanya, ini memang kari sapi biasa. Tapi buat saya rasa karinya gurih banget. Potongan daging sapinya juga banyak dan besar. Disajikan dengan sepotong kentang rebus di dalam kuah kari, plus sepiring nasi dengan potongan kacang panjang dan nanas. Porsi menu ini cukup banyak, sehingga kami hanya memesan seporsi untuk dimakan berdua. Lima tahun lalu, waktu transit di Hong Kong dari Kiev, harganya sekitar HK$ 30, sekarang naik jadi HK$ 43. 😦 Tapi udah termasuk segelas teh susu panas sih. Pulang dari resto tinggal jalan kaki 15 menitan ke hostel. Capek, kenyang, dan senang.[]

(Bersambung)

Nongkrong di Hong Kong #3

Dimsum adalah target hari ini!

Jumat ini, selain cari masjid buat Jumatan nanti siang, saya juga harus cari setidaknya satu lagi alternatif makanan murah. Kalau bisa sih halal. Yah…yang penting bukan baboy, deh. Dari bisik-bisik seorang teman, pagi menjelang siang itu saya mencari masjid Ammar di kawasan Wan Chai, Pulau Hong Kong. Saya cuma tahu ancer-ancernya doang sih.

Gedung Masjid Ammar

Gedung Masjid Ammar

Pokoknya, di seberang Tonnochy Road. Bus 2A dari Wan Chai Ferry Bus Terminus ternyata berhenti dua blok dari jalan itu. Dari Tonnochy Road, kami menyeberangi jalan persis di dekat halte trem Tonnochy Road. Ada taman kecil dan lapangan basket di situ. Kami menyusuri gang kecil di samping lapangan basket, naik ke atas, dan tiba di sebuah pertigaan bernama Wan Chai Road.

Jalanan di situ sempit, tapi hebatnya bus-bus double decker bisa luwes meliuk di situ. Kami menyeberang jalan dan menyusuri trotoar di samping toko 7 Eleven dan akhirnya menemukan Oi Kwan Road. Belok kiri dan terlihatlah gedung 8 lantai berwarna hijau bertulisan Masjid Ammar and Osman Ramju Sadick Islamic Centre.

Konon, di lantai 5 gedung ini ada dimsum yang joss. Berhubung saat itu baru jam 10 dan waktu sholat Jumat masih lama, saya berniat menggabungkan sarapan dan makan siang sekaligus…hehehe. 🙂

Baru juga duduk dan membaca daftar menunya, saya langsung memekik kegirangan. Soalnya, harga makanan di sini tergolong murah (untuk ukuran Hong Kong lho). Dimsum bisa dipesan langsung di konternya, sementara untuk memesan menu lain, tinggal panggil pelayan.

Rata-rata pelayannya nggak bisa bahasa Inggris, tapi karena di menunya ada  foto makanannya, beserta keterangan dalam bahasa Inggris, saya tinggal tunjuk saja. Toh, semua menu di sini dijamin halal, karena dalam pengawasan dewan masjid Ammar ini. Selain pesan dimsum (entah apa namanya) yang satu porsinya biasanya isi tiga, saya juga memesan nasi goreng. Seporsi dimsun harganya HK$ 9 – 13, sementara menu lain yang berbasis nasi dan mie rata-rata HK$ 25-28. Ada sih masakan seharga 40 dolar ke atas, tapi kan misi kami di sini untuk cari makanan murah, alternatif lain selain Warung Chandra di Causeway Bay.

Dimsumnya joss!

Dimsumnya joss!

Dimsum pun diantar ke meja (walau bisa juga ambil sendiri di konternya). Hmm..penampakannya menarik. Lagi pula, dimsumnya masih hangat. Ditambah sambel yang bau pedasnya cukup menyengat, saya jadi makin penasaran. Sekali gigit….WUAA!! JOSSS bangeeet dimsumnya! Bagian rotinya masih hangat, begitu daging di dalamnya tergigit, kelezatannya langsung meresap ke mulut. Gigitan berikutnya malah bikin saya tambah semangat! Sambelnya memang pedas gila, beraroma chinese food, tapi enaaakkk!

Nasi goreng yang kami pesan rasanya juga lumayan. Dan porsinya juga besar, bisa untuk dua orang. Setelah dimsum dan nasi goreng tuntas disantap, saya berpikir-pikir untuk memesan seporsi lagi. Dan…jadilah! Hehehe 🙂

Berhubung waktu sholat Jumat masih lama, saya dan istri blusukan dulu di sekitar area masjid. Biasanya sih ada warung-warung halal kalau di sekitar masjid. Benar saja, saya menemukan satu kedai kebab, kedai pizza (dua-duanya halal…dan mahal!), dan satu toko grosir yang jual cokelat lumayan murah. Plus, satu supermarket lokal tempat kami bisa beli buah-buahan dan air mineral murah. Eits, air mineral penting banget lho kalo pas lagi jalan-jalan begini.

Suasana di masjid Ammar.

Suasana di masjid Ammar.

Menjelang waktu sholat Jumat, kami kembali ke masjid. Ruang wudhu dan ruang sholat masjid ini sangat bersih. AC pun disetel pada suhu sekitar 15° Celcius. Dingiin! Di pinggir dinding, dipasang banyak bangku yang didesain untuk para orang tua yang sudah tidak bisa melakukan posisi sujud. Khotbahnya disampaikan dalam bahasa Urdu dan Inggris. Lucunya, istri saya bilang di lantai atas jamaah perempuan juga ikut sholat Jumat. Tapi ada warga Indonesia yang membisiki dia, “Diniatin sholat sunnah aja, Mbak.” 😛

Habis Jumatan, kami cuma jalan-jalan ngalor-ngidul. Soalnya, besok paginya penentuan apakah kami bisa menginap terus di Cosmic Guesthouse, pindah kamar, atau malah pindah penginapan. Saya pengen mewujudkan satu cita-cita saya di Hong Kong: mondar-mandir naik trem.

Walaupun mempunyai sistem transportasi publik yang sangat memadai dan menyeluruh, Hong Kong masih cukup bergantung pada moda feri untuk layanan penyeberangan dari Pulau Hong Kong ke wilayah daratan seperti Kowloon atau ke pulau-pulau lain (outlying islands). Moda yang satu ini tarifnya juga jauh lebih murah daripada MTR atau bus double decker. Lagipula, jauh lebih menyenangkan naik feri sambil melihat pemandangan kota yang cantik ketimbang berada di MTR di bawah tanah dan memandangi penumpang lain. 😛

Dermaga feri di Tsim Sha Tsui.

Dermaga feri di Tsim Sha Tsui.

Ekonomi di Hong Kong ini sepertinya lumayan stabil. Buktinya, sejak pertama kali saya main ke Hong Kong tahun 2002, sampai 2013 ini  tarif trem kayaknya nggak berubah: HK$ 2,3 jauh-dekat. Tarif bus double decker (setidaknya di Pulau Hong Kong) juga masih sekitaran HK$ 4. Tarif feri dari Wan Chai menyeberang ke Tsim Sha Tsui juga masih sekitar HK$ 2.3 (upper deck) dan HK$ 1,8 (lower deck). Soal harga makanan di resto tentu lain lagi…hehehe!

Mencicipi naik moda transportasi di Hong Kong buat saya itu pengalaman yang asyik banget. Semua moda (trem, MTR, double decker, dan feri) adalah favorit saya. Tapi MTR dan double decker hanya saya pakai kalau jaraknya jauh, saya nggak terlalu hafal tujuannya, dan kalau lagi buru-buru. MTR di Hong Kong terdiri dari 7 jalur, termasuk jalur Airport Express dan Disneyland Resort. Memiliki 53 stasiun dan digunakan oleh lebih dari 2 juta penumpang dalam sehari. Jam layanan MRT ini dimulai jam 06.05 hingga jam 1 dini hari. Oh ya, di semua moda transportasi ini, bahkan di jalanan, tidak ada orang yang merokok! Kalau mau cari orang merokok, cobalah cari di sekitar tong sampah di pinggir jalan. Biasanya, di situlah para perokok menghirup asap rokok puas-puas, karena di dalam semua bangunan umum di Hong Kong memang dilarang keras merokok! Yayy!! 😛

Trem di Hong Kong adalah moda transportasi paling murah, namun rutenya juga terbatas. Hanya melayani bagian utara Pulau Hong Kong. Tapi bagi saya, naik trem adalah satu pengalaman yang wajib dicoba. Maklum, moda yang satu ini kan nggak ada di Indonesia. Mungkin karena tarifnya yang murah itulah saya lihat banyak manula yang menggunakan trem. Kalau kita lagi buru-buru, lebih baik memang nggak usah naik trem, soalnya jalannya lambat. Dan: nggak usahlah pengen ber-high five dengan penumpang trem dari arah berlawanan…hehehe! 😛 Bagusnya lagi, hampir tidak ada kendaraan lain yang mengganggu jalur trem yang sudah fixed itu. Lihat aja nih fotonya:

Pemandangan kota dari dek atas trem.

Pemandangan kota dari dek atas trem.

Sore itu sebenarnya kami belum mau pergi jauh-jauh, cuma di muter-muter aja di Pulau Hong Kong. Kami naik trem dari satu terminal ke terminal lain. Dari ujung ke ujung. People-watching dari dek atas trem. Semilir angin sejuk dari jendela. Ketiduran. Itu asyik banget! 🙂 Lagian, bayarnya cuma HK$ 2,3. Setelah agak bosan, kami turun di Causeway Bay dan blusukan di IKEA. Ini jaringan toko furnitur dan perlengkaran rumah asal Swedia yang ngetop banget. Sayangnya di Indonesia nggak ada, baru ada Ace Hardware asal Amerika. Katanya sih IKEA di Singapura lebih bagus dan lebih besar, tapi saya nggak tahu. Lha baru pertama kali ini main ke IKEA. Memangnya ngapain main ke toko furnitur? Yaa main aja…siapa tahu ada inspirasi buat dandanin rumah saya nanti? 🙂

Malamnya, kami cuma nonton Symphony of Lights lagi sebelum balik ke hostel. Besok, setelah jelas nasib kami soal penginapan, barulah kami akan pergi ke tempat-tempat lain yang lebih asyik. Begini deh kalo persiapan kurang…udah hari ketiga masih pusing mikirin mau nginep di mana. 😛

(Bersambung)

Nongkrong di Hong Kong #2

Di apartemen itu, menjelang tengah malam, Bu A datang lagi membawa dua orang tamupegawai Telkom yang sedang dikirim dinas ke Hong Kong. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, barulah saya masuk ke kamar dan tidur pulas sampai pagi. Tapi, sebelum tidur, Pak Soni, salah satu dari mereka memberi tips yang oke punya.

Ceritanya, travel adapter yang saya bawa ternyata tidak berfungsi. Pusing lagilah saya karena nggak bisa nge-charge ponsel dan kamera. Tapi, Pak Soni langsung memberitahu saya. “Mas, coba pakai sendok, garpu, atau apa gitu, buat dicolokkin ke lubang yang atas. Itu fungsinya cuma buat buka doang, listriknya ada di dua lubang yang bawah.” Di Hong Kong memang colokannya tiga lubang gitu.

Pak Soni lalu membawa sumpit yang dia temukan di dapur, dimasukkan ke lubang atas, dan akhirnya dua lubang bawah bisa untuk colokan yang biasa. Berhasil tuh! Hihihi….baru tau! Lumayaan dapet ilmu baru. 😀 Tenang aja, saya nge-charge ponsel sampai pagi nggak ada kebakaran, tuh! 😛 Udah gitu, wi-fi di apartemen Bu A kenceng banget jalannya, jadi narsisme bisa jalan terus. 😀 Tambahan lagi, oleh kenalan saya, malam sebelumnya saya dikasih kartu SIM lokal Hong Kong yang bisa buat telepon ke Indonesia dengan biaya murah banget, kurang dari Rp 1.000 per menit!

Setelah bangun, sholat Subuh, dan mandi, kami beres-beres tas dulu. Rencananya, begitu menemukan penginapan yang rada murah hari ini, kami akan langsung check out dan pindah. HK$ 500 per malam, apalagi bayar tunai, sungguh mengerikan, bro! Pagi itu, setelah sarapan dengan nasi dan lauk yang kemarin diberi oleh kenalan saya, kami berkeliling di kawasan Causeway Bay. Di sini memang berisiko mahal karena daerah pusat kota. Dua penginapan yang kami cari pasang harga HK$ 400 dan HK$480. Masih terlalu mahal, tapi yang terakhir bisa terima kartu kredit, sementara yang pertama nggak ada kamar kosong. Tapi atmosfernya asyik banget kayaknya, ala backpacker gitu.

Lalu, kami cari satu lagi di daerah North Point. Setelah susah payah nyarinya, penampilan hostel itu nggak meyakinkan. Akhirnya saya putuskan cari di daerah Tsim Sha Tsui, Kowloon. Saya sengaja naik bus ke terminal Wan Chai, lalu dilanjut dengan feri dari Victoria Harbour, supaya istri saya bisa melihat pemandangan Hong Kong paling menakjubkan itu saat menyeberangi teluk.

Pemandangan Pulau Hong Kong dari feri yang menyeberang ke Tsim Sha Tsui.

Pemandangan Pulau Hong Kong dari feri yang menyeberang ke Tsim Sha Tsui. Breathtaking! 🙂

Naik feri ini tidak mahal, cuma HK$ 2,3 sekali jalan. Sesampainya di dermaga, kita bisa jalan kaki di sepanjang Tsim Sha Tsui Promenade, yang tempatnya memang didesain untuk pejalan kaki agar bisa melihat ke seberang, ke arah Pulau Hong Kong. kalau kita jalan kaki terus ke arah timur, nanti akan ketemu Avenue of Stars—semacam Walk of Fame di Hollywood. Cuma yang di Hong ini semuanya cetakan tangan para bintang film Mandarin. Sampai di ujung, kita bakal melihat patung Bruce Lee.

Butuh jalan kaki sekitar 20 menit dari dermaga feri ke Mirador Mansion. Ini nama sebuah gedung tua yang di dalamnya ada banyak hostel murah meriah. Biasanya para backpacker selalu ke sini kalau cari penginapan murah. Gedung ini terletak di daerah Tsim Sha Tsui, kawasan yang banyak dihuni warga imigran dari Bangladesh, Pakistan, India, dan bahkan Afrika.

Jangan kaget kalau turis bertampang Asia Tenggara disamperin sama orang-orang yang memberi brosur restoran halal dengan menu masakan Timur Tengah. Sebagian lagi menawarkan hostel-hostel atau guesthouse murah meriah. Sekitar 150 meter dari Mirador Mansion juga ada Kowloon Mosque—masjid terbesar di Hong Kong. Nggak usah takut kena scam di sini, yang penting selalu pakai common sense. Yang namanya waspada dan tenang itu di mana-mana juga perlu.

Gedung Mirador Mansion inilah yang dulu jadi tempat syuting film Chungking Express, bukan di gedung Chungking Mansion di sebelahnya. Lantai dasar gedung-gedung ini biasanya diisi aneka macam toko (biasanya toko elektronik dan suvenir), money changer, dan banyak lagi. Lantai-lantai di atasnya barulah dihuni hostel-hostel murah dan restoran.

Baru juga mau naik lift, ada seorang perempuan berkacamata mendekati saya. “Guesthouse, sir? Cheap, cheap,” katanya. Dia memberikan saya selembar kartu nama. Guesthouse yang dia tawarkan namanya Guangzhou Guesthouse.

Can I see the room first?” tanya saya.

Yes, yes. Follow me.”

Sebenarnya saya sedang mencari hostel lain, rekomendasi beberapa teman saya. Tapi, nggak ada salahnya lirik-lirik hostel lain dulu. Perempuan tadi membawa kami ke lantai 10. Lalu kami masuk ke sebuah lorong yang ada beberapa pintu kamar. Dia membuka salah satunya.

“Ini cuma HK$ 200 per malam,” katanya.

Dan…hah!! Kamarnya luar biasa kecil! Begitu buka pintu, di sebelah kanan langsung ketemu ranjang double. Tapi, di kanan-kiri ranjang itu langsung ada tembok! Saya melirik ke belakang pintu, di situ ada kamar mandi. Tapi…sempitnya sama ajaibnya dengan kamar itu. Pancuran air untuk mandi berada tepat di atas kakus. Jadi, kalau mau mandi kita harus duduk di kakus itu….hehehe! 😀

Yaah, pantesan aja murah. Tapi di ruang begini mana bisa kami bergerak? Lagipula, mereka tidak menerima kartu kredit. Terpaksa saya bilang, “Kami mau lihat yang lain dulu. Kalau oke, nanti saya balik lagi ke sini.” Perempuan itu cuma memasang tampang lemas dan sedih. Hilang sudah persenan dari hasil menggaet tamu ke hostel murmer ini.

Saya langsung menyeret istri saya keluar, sebelum si Mbak tadi nangis….hehehe! 😀 Kami lalu naik lift ke lantai 12. Di bawah tadi, saya sempat mempelajari nama-nama hostel yang ada di gedung ini. Di lantai 12, ada yang namanya Cosmic Guesthouse. Beruntung, walau saat itu baru jam 11.00, resepsionisnya mau memberi kami kamar selama dua hari.

“Saya belum bisa memastikan ada kamar kosong sampai tanggal 24 Oktober. Tapi, Anda boleh pakai kamar ini sampai dua hari ke depan. Setelah itu, kalau ada kamar, Anda mungkin harus pindah kamar,” kata si resepsionis.

“Boleh deh kalau begitu,” saya langsung setuju. Apalagi sebelumnya saya berhasil nawar dari harga HK$400 menjadi HK$300 untuk double room. Dan itu harga per kamar lho, bukan per orang. Soalnya banyak juga hostel di Hong Kong yang pasang tarif per orang. Dan bulan Oktober terhitung peak season di Hong Kong, soalnya cuaca lagi enak banget. Suhu udara antara 23-28° Celcius. Musim typhoon juga udah lewat. Mungkin kalau lagi low season harganya bisa lebih murah lagi. Tapi sebelum bayar saya mau lihat kamarnya dulu, yang kebetulan bersebelahan dengan ruangan resepsionis.

Kamar kami di Cosmic.

Kamar kami di Cosmic.

Ternyata kamarnya lumayan kok, lebih luas dibandingkan dengan kamarnya si Mbak cengeng tadi. Kamar ini juga bersih, ber-AC dan kipas angin, ada TV, dan kamar mandinya juga bersih dan air panasnya lancar. Lagian, 300 dolar itu angka yang lumayan murah untuk ukuran Asia’s World City yang mahal ini. Lagian, ini penginapan keempat (atau kelima) yang saya cari. Capek juga kalau tiap hari urusannya cari penginapan melulu.

Setelah deal, saya membayar dengan kartu kredit. Fiuhhh, akhirnya uang tunai saya selamat! Walau ada charge sebesar 3,5%, tapi bayarnya kan bisa belakangan dan bisa dicicil. Dan setidaknya untuk dua hari ke depan kami aman. Setelah itu, kalaupun terpaksa cari hostel lagi, setidaknya di gedung Mirador Mansion ini saja ada belasan hostel yang bisa dilihat-lihat dulu.

“Oke, terima kasih ya,” kata si resepsionis dalam bahasa Indonesia.

Eh? You speak Indonesian?” tanya saya heran.

“Sedikit. My boss’ wife is an Indonesian-Chinese. Oh ya, walaupun check in sebenarnya jam 13.00, tapi kalian boleh masuk sekarang kalau mau.”

Wah, baik juga orang ini. So, untuk urusan penginapan, kami aman sampai Sabtu. Saya langsung menelepon Bu A untuk memberitahu bahwa saya akan check out hari itu, tapi baru akan mengambil tas sore harinya. Siang sampai sore itu kami blusukan di sekitar Causeway Bay, Times Square, dan sekitarnya. Sambil lihat-lihat ini-itu, siapa tahu ada warung makan yang sukur-sukur halal. Tapi kok jalan-jalannya nyasar jauh banget sampai ke Happy Valley (!). Setahu saya di dekat situ ada arena pacuan kuda, yang biasa disambangi warga Hong Kong buat taruhan. Tapi karena pacuan kuda biasanya dimulai malam hari, saya nggak jadi ke situ. Emang kita cowok apaan, cyin! *aslinya sih takut kalah* 😀

Jam 4 sore, saya sudah balik ke apartemen Bu A, leyeh-leyeh sambil nunggu empunya apartemen buat bayar. Tentunya sambil nge-charge ponsel dan kamera, dan pastinya online dong, mumpung lagi ada wi-fi gratis yang aksesnya kenceng. 🙂 Sejam kemudian, ternyata suaminya Bu A yang nongol duluan. Kalau saya kasih tahu pembaca JOS suaminya ini kerja di mana, bisa heboh nanti. Pasalnya, Bu A ini memang menyewakan apartemennya tanpa izin resmi, jadi yang nyewa kamar-kamarnya hanya orang Indonesia dan itu pun tahunya dari mulut ke mulut aja…hehehe! 🙂

Ya sudahlah. Yang penting, saya sudah selamat dari kemungkinan bangkrut. Sore itu, kami menggendong backpack ke Mirador Mansion. Tapi sebelumnya, kami mampir dulu ke warung kenalan saya itu, ceritanya sekadar mau memberitahu bahwa kami pindah penginapan ke Tsim Sha Tsui, dengan harapan dikasih makan lagi. Dan benar! 🙂 Walaupun masakannya biasa saja, yang penting bisa makan gratisan dulu. Habis itu barulah kami berangkat ke penginapan baru.

Keluar dari gedung tempat warung kenalan saya itu, ada toko plus warung makan bernama Warung Chandra. Iseng-iseng saya masuk, ternyata mereka jual nasi lauk seharga HK$ 15-18 saja! “Kalau siang, makannya masih anget, Mas,” kata si Mbak penjaga warung memberitahu. Selain itu, mereka juga menjual berbagai kebutuhan sehari-hari di situ. Sambal terasi ABC juga ada di sini. Ah, pokoknya akhirnya saya seneng banget bisa nemu makanan murah! Ada sih makanan yang bisa dipanaskan lagi di situ, tapi harganya kisaran HK$ 25-35. Lha, mendingan yang HK$ 15-18 tadi dong! 😛 So, sore itu kami menuju TST dengan sekotak nasi rames.

Malamnya, setelah makan nasi seporsi berdua, kami nonton Symphony of Lights—pertunjukan laser, multimedia, dan permainan cahaya yang melibatkan puluhan gedung, baik di sisi Kowloon maupun Pulau Hong Kong.

Saya datang ngepas hampir jam 8 malam waktu itu, padahal jarak lokasinya hanya 15 menit jalan kaki dari hostel saya. Kalau melihat kerumunan sepanjang TST Promenade hingga Avenue of Stars malam itu, pasti ada ribuan orang yang menanti pertunjukan gratis yang diadakan tiap jam 8 malam oleh Hong Kong Tourism Board ini. Tanpa pertunjukan ini pun, pemandangan Pulau Hong Kong dari sisi Kowloon sudah sangat keren.

Menjelang tontonan Symphony of Lights di kawasan Avenue of Stars, TST, Kowloon.

Menjelang tontonan Symphony of Lights di kawasan Avenue of Stars, TST, Kowloon.

Pertunjukan dimulai pas jam 8. Beberapa gedung tampak menembakkan cahaya laser ke langit dan ke arah Kowloon. Sebaliknya, gedung-gedung di sisi Kowloon juga memainkan cahaya lampu dan laser mereka yang bisa dilihat dari sisi Pulau Hong Kong. Permainan cahaya ini hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit setiap malamnya. Pada hari-hari raya, misalnya Tahun Baru atau Tahun Baru Cina, katanya pertunjukannya jauh lebih heboh, dengan pesta kembang api segala. Jadi, karena malam itu hanya malam “biasa”, pertunjukannya tergolong biasa saja. Tapi, walaupun “biasa”, sedikit permainan laser sudah membuat para penonton berdecak kagum. Memang keren kok. Rugi kalau ke Hong Kong nggak nonton pertunjukan gratis ini.

Seusai acara, kami jalan-jalan di sepanjang Promenade. Banyak lapak yang menawarkan jasa foto langsung jadi, dengan latar pemandangan Pulau Hong Kong pada waktu malam. Harganya bo…mahal! Paling murah HK$ 20 untuk foto ukuran 2R, paling mahal HK$ 100 untuk yang 12R. Tapi saya cuma lihat-lihat aja sih. Sayang duitnya. Mendingan juga foto sendiri, walaupun andalan saya cuma satu kamera saku digital biasa yang kurang bagus untuk foto malam hari, plus kamera ponsel Samsung S III mini yang belum lunas. 😀 Di lapak-lapak itu, penjualnya juga memajang foto-foto yang pernah dibuat. Banyak juga yang lucu-lucu. Ada pasangan yang lagi ciuman, ada yang lagi pose kungfu, ada juga cewek bule yang *****nya gede banget…hahaha!! 😀

Pas balik ke hostel, si Mbak Cengeng yang tadi siang nawarin penginapan mendekati saya lagi. Masih menawarkan penginapan murah untuk saya. Tampaknya dia sudah lupa bahwa beberapa jam sebelumnya saya pernah mengecewakan dia. 😀 Malam itu, setelah merencanakan acara jalan-jalan esok harinya, kami tidur dengan tenang.[]

(Bersambung)

Balada Ukraina #14

DSCN2923

Keren ya, pemandangan hujan salju 🙂

Sekretariat AIESEC Kiev menempati sebuah ruangan sempit namun panjang di lantai paling atas gedung National Economics University. Gedung ini berlantai lima. Lift-nya rada kecil sehingga diisi enam orang pun sudah sesak. Terpaksalah saya dan Igor naik tangga ke lantai lima.

Di sana saya ketemu teman-teman baru yang asyik-asyik. Awalnya cuma ada 1-2 orang di sana. Sesekali saya ditinggal sendirian dan saya gunakan kesempatan itu untuk nebeng online di situ. Makin malam, makin banyak yang datang. Vlad, yang pernah menjemput saya di depan stasiun Kiev saat pertama kali saya tiba di Ukraina, juga datang. “Hey, man, what are you doing here?” sambutnya terkejut melihat saya.

Belakangan, Daniel  dan beberapa temannya tiba. Daniel-lah yang akan menampung saya di apartemennya selama dua hari. Pemuda gondrong pirang ini tak banyak bicara, tapi murah senyum. Lalu ada Oxana, gadis pirang mungil yang lebih pendek dari saya. “Hi, Indra! Gimana jalan-jalan hari ini?” sapa cewek manis itu.

Oxana rupanya adalah Reception Coordinator di AIESEC Kiev. Salah satu tugasnya mengatur siapa-siapa yang bertugas menemani anak magang dari luar negeri, termasuk yang sengaja berkunjung ke Kiev dari kota-kota lain di Ukraina, untuk urusan keorganisasian ataupun untuk yang sekadar jalan-jalan kayak saya.

Sambil ngobrol-ngobrol utara-selatan, saya mulai tebar pesona bagi-bagi suvenir berupa dompet koin motif batik yang saya beli di Pasar Baru, Bandung, seharga Rp 50 ribu untuk 100 buah. Suasana jadi tambah meriah saat saya sibuk mempromosikan film indie buatan saya tentang kampanye Dilarang Kencing Sembarangan. Sayang, sekarang VCD film saya itu sudah hilang entah ke mana. Sebagian nonton film pendek itu di laptop dengan serius, walau di akhirnya ketawa juga.

“Film bikinanmu kok pas banget ya,” komentar Sasha ngakak. Belakangan saya mengerti maksudnya. Daniel menjelaskan, di Ukraina, kondisi toilet umum biasanya sangat jorok dan mengerikan. Kalau beruntung, sih, bisa saja menemukan toilet yang rada bersih. Tentu saja, di mal-mal toiletnya selalu bersih. “Kalau lagi kebelet dan sedang di ruang terbuka, lebih baik kencing di balik pohon atau semak-semak,” kata Daniel sambil nyengir.

Bareng anak-anak AIESEC Kiev.

Bareng anak-anak AIESEC Kiev.

Ah, anak-anak ini asyik semua. Mereka menerima saya dengan hangat dan semuanya bisa berbahasa Inggris dengan baik. Seandainya ada tukang bakso di dekat situ pasti lebih asyik lagi. Dingin-dingin makan bakso panas dengan sambal melimpah, sambil nongkrong dan ketawa-ketiwi bareng teman-teman baru. Luda, cewek jangkung dan cantik, sambil malu-malu bertanya, “Indonesia itu di mana, sih?”

Teman-temannya langsung tertawa. Tapi Luda langsung sigap menyambar, “Hey! Like you know where it is?” sentaknya sambil menunjuk Sasha.

“Ehm….nggak juga, sih,” jawab Sasha malu-malu, disusul sorakan teman-temannya. Saya cuma ngakak melihat kejadian seperti itu. Untungnya ada peta dunia digantung di tembok. “Sini aku tunjukkin!” kata saya. Kami langsung merubung di depan peta itu.

“Ngomong-ngomong, kalian tahu Indonesia ada di benua apa?” tanya saya curiga, jangan-jangan mereka nggak tahu juga.

Mengajar geografi :)

Mengajar geografi 🙂

“Afrika.”

“Asia.”

“Amerika Selatan?”

Hah? Lagi-lagi saya cuma bisa ketawa. Miris juga yah lihat orang nggak tahu negara kita ini di mana? Malam itu saya pun terpaksa jadi guru geografi dadakan dan menunjukkan letak Indonesia di peta. Sementara itu, Sasha mengambil kamera saya dan memotret ke sana kemari. FYI, nama Sasha di negara-negara berbahasa Rusia itu singkatan dari Alexander (untuk cowok) dan Alexandra (cewek). Nah, Sasha yang ini kebetulan cowok.

Malam itu kami pulang ke apartemen Daniel. Hujan salju sudah reda. Jalanan Kiev tampak dramatis bagi saya karena diselimuti es serut cukup tebal. Kami lalu naik metro bareng Luda dan Oxana. Turun di stasiun Kharkiv’ska, lalu berjalan kaki sekitar 15 menit ke distrik Nova Darnytsya. Di sebuah gedung, kami naik lift ke lantai delapan.

Daniel tinggal bersama orangtuanya di kawasan timur Kiev. Apartemen mereka cukup besar. Ada dua kamar tidur berukuran lapang, satu kamar mandi, dan satu dapur. Saya ditempatkan di sebuah ruang yang sebenarnya difungsikan sebagai gudang, namun ukurannya cukup luas dan bersih. Ada ranjang yang tampak cukup lebar dan nyaman. Wah, beruntung banget saya dapat tumpangan begini.

“Kalau mau mandi, silakan saja. Ada air panas, kok,” kata Daniel.

“Hohoo! Thanks, man!” girang sekali saya. Seharian jalan-jalan rasanya bikin badan agak lengket. Walau masih musim dingin, karena banyak berjalan kaki sebenarnya badan jadi terasa agak hangat.

Seorang pria keluar dari sebuah kamar. Wajahnya lempeng seperti umumnya orang sini. Dia tersenyum singkat dan menghampri saya. “Oh, ini ayahku,” kata Daniel. Kami pun bersalaman. “здравствуйте, apa kabar?” sapa saya.

“здравствуйте,” balasnya. “Dari mana?” tanyanya dalam bahasa Ukraina. 

“Я из Индонезии, saya dari Indonesia.”

Dan sampai di situ saja percakapan kami. “Ayahku tidak bisa bahasa Inggris,” kata Daniel tersenyum. Klop, deh. Bahasa Rusia saya juga masih terbatas beberapa kata atau kalimat ringan sehari-hari. Oh ya, di Kiev, orang-orangnya berbicara dalam bahasa Ukraina, bukan Rusia. Meskipun aksara yang dipakai tetap Cyrillic, kata-katanya cenderung berbeda, walau ada kemiripan. Misalnya, dalam bahasa Rusia nama ibukota Ukraina ini ditulis “Kiev”, dalam bahasa Ukraina menjadi “Kyiv”. Mungkin seperti bahasa Melayu dengan Indonesia. Kota tempat saya tinggal, Dnipropetrovsk, masuk wilayah timur yang dominan bahasa Rusia, sementara Kiev di bagian barat yang dominan adalah bahasa Ukraina. Namun, hampir semua orang Ukraina setidaknya menguasai kedua bahasa itu.

Saya lalu pamit sebentar buat mandi. Nikmatnya mandi air panas di tengah suhu beku rasanya segar luar biasa. Tapi karena bukan di apartemen sendiri, saya nggak bisa berlama-lama. Setelah ganti pakaian, Daniel memanggil saya dari dapur. “Makan, yuk,” ajaknya. Rupanya dia baru saja membuat salad. Nah, inilah yang bikin hidup saya sehat banget selama tinggal di Ukraina. Nyaris tak pernah bersentuhan dengan makanan yang digoreng dan setiap hari jalan kaki berkilo-kilometer. Padahal, betapa nikmatnya makan nasi goreng tek-tek malam-malam dingin begitu. Dilanjut dengan minum bir pletok hangat. 😛

Sambil makan, kami banyak ngobrol dan saling bercerita tentang negara dan diri masing-masing. Daniel rupanya sudah biasa menerima tamu asing anggota AIESEC yang menginap di apartemennya. Itu cukup menjelaskan kenapa bahasa Inggrisnya sangat fasih. “Besok, kau akan ditemani Sasha Kovbasko dari pagi sampai siang. Habis itu ada beberapa orang lagi yang akan bergantian menemanimu sampai malam. Barulah aku menjemputmu lagi,” jelasnya. Nah, kan. Profesional sekali mereka ini! Backpacking ke Kiev jadi sangat murah ongkosnya berkat jaringan ini. 🙂

Jam 11, saya mulai menguap. “Poka, Indra! Selamat malam!” kata Daniel. Malam itu saya tidur sangat nyenyak. []

Balada Ukraina #13

Senin pagi jam 6 kurang saya sudah tergopoh-gopoh berlari ke luar apartemen. Penjaga piket, seorang perempuan tambun yang masih terkantuk-kantuk, menatap sebal pada saya yang sepagi itu sudah ribut menitipkan kunci kamar. Maklum, jam segitu tergolong masih subuh di sini.

Berjalan cepat menuju halte, naik trem no. 1 menuju vokzal—stasiun kereta, tak sampai 15 menit kemudian saya sudah tiba di stasiun. Sehari sebelumnya saya sudah menelepon Julia untuk menemani saya di stasiun. Untung dia mau, padahal kereta berangkat jam 06.20 ke Kiev. Saat itu saya belum bisa membaca huruf-huruf Cyrillic yang lucu itu. Jadi saya minta ditemani sekadar untuk ngobrol dan minta bantu bacain huruf-huruf aneh di tiketnya….hehehe 🙂

Kereta ke Kiev.

Kereta ke Kiev.

Jam 06.20 kereta berangkat tepat waktu. Saya sengaja naik kereta Stolichny Express pagi biar lebih cepat sampai. Kondisi keretanya nggak jauh beda sama kereta eksekutif di Indonesia, dengan formasi bangku 2-2.  Jam 12.30 siang saya tiba di Kiev. Awal Maret itu langit mendung di ibukota Ukraina itu. Jalanan juga basah karena hujan baru saja reda. Suhu masih sangat dingin bagi saya, antara 0-5 derajat Celcius.

Di stasiun, saya dijemput oleh Rimma, anak AIESEC Kiev. Sebelum jalan-jalan, kami makan siang dulu di sebuah resto di sebelah stasiun. Kata Rimma, “Hari ini ada dua orang yang akan menemanimu jalan-jalan. Setelah aku, nanti sore ada Igor yang akan menemani sampai malam. Habis itu, kalian mampir sebentar ke kampusnya. Nanti ada Daniel di sana dan kau akan menginap di apartemennya malam ini.”

Saya melongo mendengar penjelasan Rimma. AIESEC Kiev tampak profesional sekali untuk urusan ini. Saya yang anak magang dari Dnipropetrovsk, kota berjarak 450 kilometer dari Kiev, bisa diservis seperti ini untuk urusan jalan-jalan doang…hehehe! 🙂

“Kami sudah biasa begini. Lagi pula, aku pun jadi punya kesempatan bertemu orang-orang dari negeri-negeri lain. Kau orang Indonesia pertama yang kutemui,” kata Rimma panjang lebar sambil mengunyah roti. Puas makan siang, kami jalan-jalan sedikit di sekitar situ. Rimma, cewek Kiev yang baik hati ini, dengan fasih bertindak sebagai pemandu wisata saya siang itu, sambil bercerita banyak hal tentang Kiev.

Dari resto, kami berjalan-jalan menyusuri Khreshchatyk, melewati stasiun Kiev lagi. Stasiun kereta Kiev Passazhyrskyi (Київ-Пасажирський), terletak di Khreshchatyk (Хрещатик) Street, di pusat kota. Stasiun ini juga terkoneksi langsung dengan stasiun metro (kereta bawah tanah) Vokzalna.

Dari stasiun Kiev Passazhyrskyi, backpacker juga bisa menumpang keretabaik langsung maupun koneksi/ganti kereta—yang menuju kota-kota lain di Eropa Tengah dan Timur, bahkan hingga Asia Tengah! Beberapa di antaranya: Bratislava, Belgrade, Moskow, Budapest, Sofia, Praha, Saint-Petersburg, hingga kota-kota eksotis seperti Astana, Baku, dan Vladivostok, kota di Rusia yang letaknya berbatasan dengan Cina dan Korea Utara. Vladivostok bisa dicapai dalam delapan hari delapan malam naik kereta dari Kiev! Gileee….saya jadi ngiler bertualang naik kereta ke tempat-tempat itu! 🙂

DSCN2914

Saya dan Rimma di Maidan Nezalezhnosti.

Kemudian kami sampai di alun-alun besar Maidan Nezalezhnosti—alias Independence Square. Kalau akhir pekan, atau sore hari setiap hari, kawasan ini ramai dengan orang-orang yang  nongkrong bareng teman-teman mereka. Kadang ada juga konser musik kecil-kecilan pada akhir pekan. Di sinilah ribuan orang nonton bareng laga-laga Piala Eropa 2012 yang ditayangkan lewat beberapa giant screen. Tapi ingat, cerita saya ini latarnya tahun 2008 lho….hehehe! 😛

“Tempat ini dulu pernah jadi saksi sejarah bagi Ukraina. Oktober 2004, di sini ada demonstrasi besar-besaran, dikenal dengan nama Orange Revolution,” Rimma bercerita. “Waktu itu, rakyat berdemo memprotes pemilu yang dinilai curang dan penuh manipulasi dan intimidasi. Kiev menjadi pusat gerakan revolusi ini dengan ribuan demonstran berunjuk rasa setiap hari.”

Lanjut Rimma, protes yang menjalar ke seluruh negeri tersebut berhasil membatalkan hasil pemilu curang itu dan pemilu pun diulang oleh pemerintah pada tanggal 26 Desember, 2004. Di bawah pengawasan pengamat internasional dan lokal, pemilu ulang ini dinyatakan “bersih dan bebas”. Hasil akhir dimenangi oleh Victor Yushchenko yang pada pemilu pertama dikalahkan oleh pesaingnya, Victor Yanukovych. Yushchenko lalu diangkat menjadi presiden pada tanggal 23 Januari 2005 di Kiev.

Hmm…saya cuma manggut-manggut. Bisa dibayangkan situasi dan jumlah demonstran saat itu dengan melihat luasnya alun-alun ini. Saya malah jadi ingat demo besar 1998 menuntut Soeharto turun di Indonesia.

“Kenapa disebut Revolusi Oranye?” tanya saya.

“Itu warna ‘resmi” kubu Yushchenko saat pemilu waktu itu.”

Di Maidan, kami bertemu dengan Igor, “pemandu wisata” saya berikutnya. Saya bertukar alamat e-mail dengan Rimma, sebelum kami berpisah karena dia sedang punya urusan di kampusnya. Mendadak hujan turun lagi. Saya dan Igor langsung kabur ke…resto terdekat! Hehehe! Tapi berhubung saya baru makan, di sana kami cuma makan roti dan beberapa cangkir teh panas. Sambil ngobrol ngalor-ngidul. Setelah hujan reda, saya minta tolong dia untuk beli tiket pulang ke Dnipro untuk dua hari lagi.

Setelah itu, Igor mengajak saya balik ke Maidan. Sambil muter-muter nggak jelas, dia mengajak saya turun ke terowongan bawah tanah. Di situ banyak toko dan pedagang kaki lima. Saya tertarik beli topi kupluk wol murah meriah yang berlogo coat of arm Ukraina berwarna biru-kuning. “Keren!” kata Igor nyengir sambil mengangkat jempol.

Seruas jalanan di Kiev.

Seruas jalanan di Kiev.

Dari situ kami melanjutkan jalan kaki ke atas bukit. Walaupun sudah terbiasa berjalan kaki sejak tiba di Ukraina, saya tetap saja ngos-ngosan mendaki. Sementara Igor dengan enaknya berjalan seolah-olah tanahnya datar. Sesekali dia nyengir melihat saya minta berhenti sebentar karena kehabisan napas. Sepanjang jalan, saya melihat banyak gedung-gedung tua yang masih bagus; gedung pemerintahan, universitas, dan banyak lagi. Di tengah perjalanan, Igor menunjukkan stadion milik Dynamo Kiev. “Kau tahu, kan? Dynamo sering masuk putaran final Liga Champions. Biasanya bareng musuh bebuyutan kami, Shakhtar Donetsk.”

Igor mengajak saya melihat Kiev dari atas bukit. Ah, benarlah impresi yang saya punya sejak kecil tentang musim dingin. Kiev saat itu didominasi warna abu-abu kelam dan cokelat. Melewati taman-taman kota yang banyak terdapat di kota ini, saya melihat pohon gundul di mana-mana, walau ada juga sedikit warna hijau daun yang bertahan dari dinginnya musim salju.

Sebuah taman kota di Kiev.

Sebuah taman kota di Kiev.

Langit pun lebih sering mendung. Kini saya bisa merasakan sendiri betapa suramnya suasana musim dingin. Tak heran para penduduk di negara empat musim sangat merindukan musim panas. Walaupun sering kali pemandangan salju sangat memesona, suhu beku dan kesan suram musim dingin mau tak mau memengaruhi mood juga. Mungkin untuk itulah salju diciptakan: memoles pemandangan suram agar lebih cantik.

Di depan stasiun metro Arsenalna.

Tak terasa, langit sudah gelap. Serpihan-serpihan es kecil mulai turun. Gerimis salju! Kami lalu berjalan ke stasiun metro bernama Arsenalna (Арсенальна). Ada monumen meriam di depan stasiun ini—pantaslah namanya Arsenal (= gudang senjata). Di Kiev memang sepertinya bertaburan monumen-monumen peringatan Perang Dunia II. Stasiun ini juga salah satu stasiun dengan lokasi paling dalam di dunia. “Kedalamannya 107 meter,” celetuk Igor memberitahu saat kami turun dengan eskalator.

Membeli tiket metro gampang caranya, kita tinggal menuju loket pembelian tiket untuk membeli token—koin plastik, lalu memasukkan koin itu ke mesin di pintu masuk. Kira-kira mirip dengan token untuk naik MRT di Kuala Lumpur. Harga satu buah tokennya sekitar 50 kopecks (0,5 UAH alias setengah sen)) waktu itu. Satu token berlaku untuk satu kali perjalanan, jauh-dekat. Jadi kalau misalnya kita perlu beberapa kali naik kereta, kita mesti beli token beberapa buah, tergantung berapa kali perjalanan kita dengan metro.

Metro di Kiev cukup bersih. Karena musim dingin, banyak jejak sepatu dan tanah basah yang terbawa dari luar. Yang paling nggak enak adalah naik metro saat jam sibuk. Penumpang berjejalan seperti naik Metro Mini di Jakarta. Penting: jangan berdiri di dekat pintu kereta, karena secara otomatis pintu akan tertutup dengan sangat keras. Bahu bisa ngilu kalau terhantam pintu. Dan biasanya kereta juga tidak akan berangkat kalau ada sesuatu yang mengganjal pintu otomatisnya.

Saljuuu!! :D

Saljuuu!! 😀

Kami turun di stasiun Universytet (Університет). Kenapa namanya begitu, ya karena lokasinya bersebelahan dengan gedung-gedung universitas. Begitu kami keluar dari stasiun, hujan salju turun sangat lebat. Salju! Wah….saya girang bukan main. Hujan salju kedua saya di Ukraina!

Dengan noraknya saya meraup segenggam salju di tanah dan melempari Igor dengan es serut itu. Igor tertawa-tawa sambil menghindar. Tentu saja saya langsung minta difoto, mumpung hujan salju lagi deras-derasnya mengguyur Kiev malam itu. Benda putih yang selalu ingin saya sentuh dan rasakan sejak kecil itu akhirnya turun menemui saya Maret itu dalam jumlah melimpah. Gila…cantik sekali pemandangan malam itu. Padahal saat itu menjelang musim semi, tapi hujan salju masih saja turun sesekali. []

Balada Ukraina #5

Lenin Square, Dnipropetrovsk.

Lenin Square, Dnipropetrovsk.

Minggu siang, sehari sebelum mulai mengajar besoknya, saya sempat minta tolong ke Nik supaya diantar ke money changer dan ke supermarket buat beli barang kebutuhan sehari-hari. Lokasinya tak jauh dari tempat tinggal saya. Jalan kaki sekitar 500 meter. Perginya sih tak masalah. Pulangnya, sambil menggotong belanjaan, saya harus berjalan kaki mendaki bukit. Di tengah udara beku di bawah nol sekalipun, kalau begini caranya, saya masih bisa berkeringat. 🙂

Sorenya, cewek keren baik hati bernama Julia, buddy lain selain Nik (buddy adalah istilah untuk orang-orang yang bertanggung jawab atas keseharian trainee), juga mampir ke apartemen saya. Sebenarnya nama asli cewek ini Yulia, tapi rupanya ada beberapa orang Ukraina yang kadang ingin dipanggil dengan nama “versi Inggrisnya”, terutama saat bertemu orang asing. Misalnya, Yulia jadi Julia, Nikolai jadi Nicholas, Mikhail jadi Michael, dan seterusnya. “Namaku Julia, tapi aku lahir bulan Mei, bukan Juli,” kata gadis 20 tahun ini.

Julia kuliah di Dnipropetrovsk National University, jurusan Sastra Inggris, tapi banyak salah grammar di kata-katanya (beginilah kalau jadi guru bahasa Inggris, masih sempat mengoreksi…hehehe!). Dia tinggal di pinggiran kota Dnipro bersama orangtuanya, tapi kadang-kadang dia pindah ke tengah kota supaya lebih dekat dengan kampus. Kadang Julia tinggal di apartemen neneknya, tapi dia juga sedang berencana menyewa apartemen bersama pacarnya.

Setelah ngobrol-ngobrol beberapa lama, Julia saya kasih buku resep masakan Indonesia (dalam bahasa Inggris) dan dia girang banget. Kami pun janjian untuk kapan-kapan bikin pisang goreng bareng. 😛 Habis itu, cewek berambut cokelat panjang ini mengajak saya jalan-jalan sore ke Lenin Square alias Alun-alun Lenin. Ternyata apartemen saya tak jauh dari alun-alun, hanya 1,5 kilometer. Pusat kota di Dnipro ini dikelilingi gedung-gedung kotak berwarna kelabu. Ada Europe Shopping Center dengan kafe-kafe outdoor, warung kebab, restoran, dan lapangan luas berubin. Tak jauh dari situ, ada sebuah patung besar Lenin yang sedang menatap resto McDonald’s. 😛 Warga kota tampaknya biasa berkumpul di sini untuk nongkrong dan bikin janji bertemu teman-teman. Bahkan di musim dingin begini, kalau sore hari masih banyak orang yang berkumpul di situ.

Di tengah jalan, Julia mengajak saya beli teh panas di sebuah kios kaki-lima. Mantap sekali minum teh panas sambil jalan-jalan sama cewek cakep di tengah udara beku sore itu. Saya sempat merenung, mengherankan juga bahwa negara-negara bersuhu dingin seperti ini tak mengenal makanan-makanan pedas seperti di Asia. Saya membayangkan, betapa asyiknya makan oseng-oseng mercon di musim dingin begini! 😛

***

Tiap hari jalan kaki naik-turun bukit ini.

Senin pagi. Hari kerja pertama. Saya sudah diberitahu cara menuju sekolah naik trem. Setelah semalaman kedinginan di tempat tidur, pagi ini ingin saya balas dengan mandi air panas sepuasnya. Pemanas ruangan (heater) di kamar saya entah bekerja baik atau tidak, tapi yang jelas semalaman saya tetap bisa tidur nyenyak walau harus memakai sweater dan celana panjang training—plus dua selimut tebal. Maklum, suhu di luar sering naik-turun di kisaran -2 sampai -10°C! Saya selalu bisa mengecek suhu hari itu, karena setiap stasiun TV di sini selalu mencantumkan suhu udara di pojok layar.

Setelah mandi air panas dan berpakaian empat lapis plus topi kupluk tebal dari katun, saya turun dan keluar dari hotel. Udara beku segera menyergap tubuh. Saya juga menggotong satu set angklung buat modal “menaklukkan” anak-anak di sekolah. Ini hari pertama, paling hanya untuk perkenalan. Jadi saya harus bisa mencuri perhatian mereka. Saat itu sekitar jam 8 pagi. Jam mengajar saya dimulai jam 9. Saya hanya perlu jalan kaki ke halte trem yang berjarak 200 meter dari apartemen dan naik trem no. 1.

Jam berangkat kerja pagi-pagi begini ternyata sama saja di kota mana pun. Walau tingkat kemacetan tak parah, saya terpaksa harus melewatkan 1-2 trem karena sudah sangat penuh. Ketika akhirnya berhasil naik pun, trem itu sudah sangat sesak. Dalam kesempitan itu, saya mengamati bahwa beberapa orang pura-pura tidak melihat ketika kondektur (yang selalu perempuan) menagih ongkos. Sebenarnya ongkos trem tidak mahal, jauh dekat cuma 75 kopeck (sen), namun setiap kali saya naik trem ada saja penumpang yang nakal, pura-pura sudah bayar. Mata uang di Ukraina adalah hryvnia (Ukraine Hryvnia = UAH). Nilai USD 1 pada 2008 kurang-lebih UAH 5. Sementara UAH 1 = 100 kopeck (sen dalam mata uang Ukraina).

Setelah membayar, kondektur selalu memberi secarik tiket kepada penumpang. Trem pun bergerak lamban, naik dan turun. Kontur kota Dnipro memang berbukit. Jarak sekolah European Gymnasium (EG) dari apartemen saya sebenarnya tak jauh-jauh amat. Sekitar  4 kilometer saja. Namun kini saya belajar bahwa kalau pagi lebih baik berangkat 1 jam sebelumnya. Bukan karena jalanan macet, tapi lebih karena risiko transportasi umum penuh.

Marshrutka sedang beraksi.

Marshrutka sedang beraksi.

Sebenarnya sih ada transportasi lain selain trem, yaitu marshrutka. Ini semacam angkot kalau di negara kita. Semua marshrutka menggunakan mobil van Mercedes Sprinter. Untuk menyetopnya, cukup lambaikan tangan. Saat naik, langsung bayar ongkos ke sopirnya, jauh-dekat tarifnya sama. Untuk turun, tinggal teriak saja, “Ostanovite, pazhaluista!” (terjemahan bebasnya: Stop di sini, Bang!). Naik dan turun boleh di mana saja, tak perlu di halte (yang juga jarang ada di Ukraina). Nah, mirip angkot, kan? 😛

Saat musim dingin, naik marshrutka cukup nyaman karena ada penghangat (heater), tapi kalau mobil penuh dan terpaksa berdiri di belakang, ya repot juga pas mau turun. Soalnya, pintunya cuma satu dan ada di depan, sejejer sopir. Saya tidak hafal nomor rute marshrutka yang lewat dekat sekolah saya, jadi trem adalah pilihan terbaik. Lebih murah pula. Belakangan, saya memerhatikan sesuatu yang menarik saat naik minibus ini. Kalau kita naik, sebenarnya bisa langsung duduk dan bayar belakangan. Nah, lucunya, kalau misalnya kita duduk di bangku belakang, kita bisa nitip bayar dengan cara memberi uang ke penumpang di depan kita, dan penumpang itu akan mengoper terus ke depan hingga duitnya tiba di tangan sopir. Kalau uang kita ada kembaliannya, si sopir akan menyerahkan duit kembalian dengan cara mengoper ke orang di belakangnya. Begitu terus hingga duitnya sampai di kita. 😛 Hebatnya, duit itu nggak tiba-tiba lenyap atau berhenti dioper di “tengah jalan”. Hahaha! 😀

Di Dnipropetrovsk sebenarnya juga ada metro subway, tapi rutenya hanya ada di bagian selatan kota, satu jalur, dan hanya melayani 6 stasiun! Konon ini adalah rute subway terpendek sedunia, dengan panjang rel hanya 7,1 kilometer! 😛 Kata Nik, proyek kereta subway itu dihentikan karena pemerintah kekurangan dana. Selain ketiga alat transportasi di atas, tentunya ada juga bus kota yang di sini disebut trolley bus. Bus ini berjalan menggunakan listrik yang menyambung dengan bentangan kabel listrik yang malang-melintang di sepanjang jalan. Saya nggak pernah naik bus ini. Kalau pagi, padatnya sama mengerikannya dengan Metro Mini di Jakarta. Sudah begitu, bus-busnya tampak sudah sangat tua dan berkarat, sehingga pikir saya bisa ambruk sewaktu-waktu.

Turun di halte terdekat dari sekolah, saya kemudian berjalan kaki sekitar 200 meter. Gedung sekolah berada di tengah perumahan yang agak elit. Jalan yang menuju ke sekolah dari halte trem hampir selalu sepi, dan saya juga jarang berpapasan dengan murid, karena tampaknya semua murid diantar orangtuanya naik mobil. Maklum, ini sekolah swasta elit. Muridnya adalah anak-anak orang kaya kota ini. Pemandangan di sekitar juga nyaris monoton: bangunan-bangunan berwarna kelabu dan pohon-pohon yang sebagian besar daunnya sudah rontok dihajar musim dingin.

Saat itu baru jam 08.30 pagi. Murid yang datang baru beberapa. Gedung sekolah EG ini bertingkat empat. Lantai paling bawah dihuni anak-anak TK dan meja satpam sekolah. Lantai 1 sampai tiga dihuni anak-anak kelas 1 sampai 11. Di lantai 4 ada ruang kepala sekolah, ruang audio-visual, satu ruang kelas, dan ruang tidur anak-anak TK.

Hari pertama itu, oleh Oleg, saya diperkenalkan kepada staf guru, kepala sekolah, dan para satpam yang tampangnya dingin dan berbadan kekar. Terus terang saya tak bisa langsung hafal nama-nama mereka. Lagi pula, hampir semua dari mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Selain Oleg, hanya ada satu guru bahasa Inggris lagi bernama Tanya yang mengajar anak-anak SD (kelas 1-3). Setelah berkenalan dengan dengan para guru, hari itu saya dijadwalkan “mengajar” di setiap kelas dengan ditemani Oleg. Berhubung masih hari pertama, kerjaan saya cuma memperkenalkan diri.

Presentasi saya sederhana, cuma cuap-cuap memperkenalkan diri, bicara sedikit tentang Indonesia, bikin kuis berhadiah bendera merah putih, angklung, dan suvenir berupa kartu pos dan dompet koin kecil motif batik. Hampir semua murid tampak antusias. Ini awal yang bagus buat saya untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Latar belakang saya bukan guru. Pengalaman mengajar yang saya punya juga bukan mengajar sekolah umum, tapi mengajarkan bahasa Indonesia untuk orang asing. Untunglah tugas utama saya adalah mengisi kelas-kelas percakapan (conversation class), jadi nggak pusing-pusing amat sepertinya.

Di sekolah ini, ada dua kali jadwal makan, jam 10.30 dan makan siang jam 13.00. Saya sendiri bebas mau makan jam berapa, asal sedang jam kosong. Ibu kepala kantin, yang sudah diperkenalkan kepada saya, cuma bisa ngomong beberapa kata bahasa Inggris, sementara empat anak buahnya tidak bisa bahasa Inggris sama sekali. Oleg juga mewanti-wanti ke ibu itu bahwa saya tidak makan babi dan ikan. 😛 Tidak semua kelas bisa saya hadiri hari itu. Sorenya, Oleg memberikan saya jadwal mengajar selama dua minggu ke depan.

“Kenapa cuma untuk dua minggu?” tanya saya.

“Di sini jadwal pelajaran kadang berganti-ganti. Kau harus siap, nanti juga tahu sendiri,” jawab Oleg tersenyum. Dia kemudian juga menjelaskan bahwa gaji saya akan dibayar tunai setiap akhir bulan dan dalam mata uang Ukraina, senilai kurs USD yang sedang berlaku.

Moct City Center, mal di pusat kota Dnipro.

Moct City Center, mal di pusat kota Dnipro.

Hari itu jam mengajar saya selesai jam 4 sore. Saya naik trem menuju pusat kota, janjian sama Nik sore itu di Lenin Square, yang terletak di Karla Marksa Prospekt alias Jl. Karl Marx. Dia mengajak saya jalan-jalan di sekitar situ, sambil menunggu teman-teman lain datang. Sore itu suhu udara semakin dingin. Sekitar -5°C. Nik pun mengajak saya ngopi-ngopi sambil makan roti di Moct (baca: most), mal paling besar di Dnipro. Tentu saja alasannya karena dingin, bukan karena nggak ada tempat nongkrong lain di kota ini.

“Bagaimana hari ini di sekolah?” tanya Nik.

“Asyik, sekolahnya bagus. Anak-anaknya juga kayaknya baik-baik!”

Nik kuliah di National Mining University of Ukraine, Fakultas Ekonomi, tingkat akhir. Dia juga sempat magang di beberapa perusahaan besar, salah satunya P&G. Menjelang kuliahnya rampung itu, dan berkat hasil kerja magangnya, Nik punya cukup uang saku untuk tinggal terpisah dari orangtuanya. Mungkin juga supaya bisa kumpul kebo bareng pacarnya yang sempat ketemu saya waktu tiba di Dnipro beberapa hari lalu. Anak satu ini selalu tampak sibuk dan membawa laptop ke mana-mana. Julia menelepon saya, mengatakan dia batal datang karena ada urusan lain. Nastya juga cuma mampir sebentar. Ngopi secangkir, lalu bergegas kabur dengan sedan birunya. “I’ll call you tomorrow!” kata Nastya sebelum pergi, sambil cipika-cipiki ke kami. 🙂

Puas kongkow-kongkow, Nik mengantar saya hingga ke sebuah perempatan, lalu menunjuk ke sebuah arah di kiri. “Kau jalan teruuuss ke sana, sampai mentok,” katanya memberitahu arah apartemen saya. Sekitar jam 8 malam, barulah saya tiba di apartemen. Berkeringat. Ini karena jalan kaki dari alun-alun dan menanjak bukit sampai ke puncak Lenina Street, ditambah naik tangga 3 lantai ke kamar saya. Cukup bikin ngos-ngosan untuk orang yang jarang jalan kaki di negaranya. 🙂

Hari ini cukup oke. Tapi ini baru hari pertama dari enam bulan masa tinggal di sini. Tantangannya masih banyak. Kapan-kapan saya lanjutin ceritanya ya…. 🙂 []

Thai Times #7 (Tamat)

Satu sudut kota Hatyai. Liat tuh angkotnya 🙂

Sometimes you have to travel a long way to find what is near.”

~ Paulo Coelho, Aleph

Rupanya mobil travel ini tipe yang jemput penumpang dulu. Saya jadi agak-agak cemas. Mudah-mudahan aja mobil ini sampai di Hatyai sebelum jam 19.00, karena bus kami ke Kuala Lumpur berangkat jam segitu. Pemandangan sepanjang perjalanan tak terlalu istimewa. Lagipula saya sempat tertidur juga. Kami sempat berhenti di sebuah rest area untuk ke kamar kecil dan sholat. Di situ juga ada beberapa kios makanan ringan halal. Saya beli beberapa risoles isi sayur dan jagung yang rasanya….hmm, biasa saja. 🙂 Sekitar jam 17.30, mobil mulai memasuki Hatyai. Beberapa kali saya melihat masjid di pinggir jalan.

Dari balik jendela mobil, Hatyai tak tampak terlalu istimewa di mata saya. Kota ini tampak ramai, lebih besar dan lebih padat daripada Krabi Town. Di satu sudut kota, saya malah melihat beberapa baliho film-film Hollywood baru, seperti The Expendables 2 dan Resident Evil 5: Retribution. Lucunya, baliho film itu dilukis sehingga terkesan jadoel banget. 😛 Kota ini malah jadi tampak “ketinggalan” gitu.

Tak berapa lama kemudian, si sopir travel menurunkan kami sambil bicara bahasa Thai yang membingungkan. Setelah menurunkan ransel-ransel kami, dia menunjuk-nunjuk seorang pria berhelm. Saya tanya, “Mana kantor agennya?” Si sopir cuma mengangguk-angguk sebelum kembali naik mobil dan tancap gas, meninggalkan kami yang terbengong-bengong di pinggir jalan. Setelah tengok kanan-kiri, Davis Tour, tempat saya memesan tiket bus ke KL, tidak ada di sekitar situ. Rupanya si sopir brengsek tadi menurunkan kami di situ karena tidak tahu lokasinya atau malas. Pokoknya saya kesal setengah mati karena merasa ditipu.

Kantor Davis Tour.

Sementara itu, si pria berhelm yang rupanya tukang ojek itu menegur saya dan dengan Inggris yang terbata-bata menawari kami naik ojek ke Davis Tour. Berhubung buta kota ini, saya memutuskan naik ojek saja.

Awalnya dia minta 100 baht untuk 2 orang dan ransel-ransel kami, tapi saya tawar jadi 80 baht (Rp 24.000). Dan sodara-sodara, akhirnya kami naik ojek cenglu (bonceng telu/bonceng bertiga), dengan ransel-ransel ditaruh di keranjang depan! Tak sampai 10 menit, kami sampai di depan kantor agen Davis Tour.

Setelah check in, kami jalan-jalan di sekitar situ. Hatyai hanya sebuah kota “biasa” yang cukup bersih di Thailand selatan.

Ditata dengan sistem blok-blok kecil, kota ini malah mengingatkan saya pada kawasan Jl. Otista atau Pasar Baru di Bandung. Mirip banget. Deretan toko dan warung di sepanjang pinggir jalan.

Angkotnya juga tampak lucu: mobil bak kecil yang dipasangi atap dan bangku panjang. Di sini mudah sekali menemukan warung makan halal. Tampak ada banyak  juga travel agent yang melayani rute ke kota-kota di Thailand, Malaysia, hingga Singapura. Saya bahkan menemukan sebuah hotel yang sembarangan pake nama saya. 😛

Bus keren Sri Maju.

Saat itu uang baht saya tinggal sedikit. Kami cuma beli buah-buahan untuk dimakan di bus. Setelah numpang sholat maghrib di satu ruang kantor yang kosong di travel agent itu, jam 19.00 busnya sudah siap. Busnya keren dan bersih. Namanya Sri Maju. Saya sudah booking tiket secara online beberapa minggu sebelumnya. Tarif Hatyai-Kuala Lumpur sekitar RM 47 atau Rp 141.000. Cukup terjangkau. 🙂

Kebetulan saya duduk persis di belakang bangku sopir, jadi bisa leluasa melihat ke depan. Diawaki dua sopir India yang bahasa Melayunya susah dipahami, kami berangkat tepat waktu. Sekitar jam 22.00 kami tiba di Sadao, kota perbatasan Thailand-Malaysia. Semua penumpang turun dan mengantre di loket imigrasi.

Perbatasan ini tak terlalu ketat. Saya melihat seorang yang sudah melewati loket, namun kembali lagi mencari toilet. Saat saya mengecek paspor istri saya, ternyata petugas imigrasi lupa “ketok palu” paspornya dengan cap “departed“, jadi kami cari lagi petugas itu yang ternyata sudah selesai bertugas. Mungkin imigrasi mau tutup jam segitu? Gawat juga kan kalau nanti di imigrasi Malaysia ditanyain kenapa nggak ada cap yang menunjukkan si pemilik paspor sudah resmi meninggalkan Thailand.

Setelah melewati jembatan, penumpang bus kembali turun dan mengantri di imigrasi Malaysia. Setelahnya kami langsung bablas dan hanya berhenti dua jam kemudian di rest area untuk makan. Sebelum berangkat dari Hatyai tadi, saya sempat melihat pengumuman di tembok bahwa bus ini dijadwalkan tiba di Kuala Lumpur jam 5 subuh. Hmm….cocok banget nih, bisa tidur nyenyak. AC bus lumayan dingin, dan saya nggak bawa jaket. Tapi kantuk bisa mengalahkan segalanya.

***

Saya terbangun jam 5 pagi. Di luar masih gelap, namun lampu dari gedung-gedung bertingkat menandakan bahwa kami sudah memasuki Kuala Lumpur. Terminal Puduraya masih direnovasi. Jadi, bus menurunkan penumpang di depan terminal. Untungnya, di depan terminal itu ada beberapa hostel backpacker. Saya mencoba menawar satu hostel untuk sekadar ngaso selama 6 jam. Lumayan deh dapet double room ber-AC seharga RM 25 (Rp 75.000) sampai jam 12 siang di sebuah hostel bernama Kameleoon.

Kamarnya ternyata sempit banget, pas satu ranjang double, satu meja kecil, dan satu space kosong yang ngepas buat sholat dan meletakkan ransel-ransel. Walau kamar mandinya di luar, bagi kami tak masalah. Setelah subuhan, leyeh-leyeh, lalu mandi-mandi gembira, jam 7 pagi kami mulai jalan-jalan. Waktu kami nggak banyak. Kami targetkan jam 10 sudah balik ke hotel, tiduran sebentar, mandi lagi, lalu jam 11 udah cabut ke bandara. Saya sengaja beli tiket pulang dari Kuala Lumpur ke Bandung, karena saat booking tiket online, harga yang sesuai kantong ya tinggal dari ibukota Malaysia ini.

Ini pertama kali saya masuk ke Kuala Lumpur via Puduraya. Sebelumnya, Februari lalu, kami masuk lewat Berjaya Times Square di Imbi, tak jauh dari Bukit Bintang. Dan ternyata Jl. Bukit Bintang sangat dekat dari Puduraya. Jadi saya masih hafal jalanan di sekitar situ. Bukit Bintang masih agak sepi pagi itu.

Sarapan di KL 🙂

Tak jauh dari depan mal Low Yat Plaza, kami melihat ada tukang nasi sudah buka lapak. Kami pun membeli dua bungkus nasi rames dengan lauk mie goreng, ayam goreng, dan telur dadar. Harga satu porsinya cuma RM 3,5 (Rp 10.500). Makannya cukup di pinggir jalan, sambil memerhatikan beberapa orang kantoran yang juga beli nasi di situ dan beberapa tukang pijat seksi yang, herannya, sepagi itu udah nongkrong di pinggir jalan.

Habis makan, kami jalan kaki ke KLCC Park. Sebenarnya sejak sebelum berangkat backpacking, saya sudah berencana memberi tema “taman” buat perjalanan ini. Kenapa taman? Yaa karena sulit sekali mencari taman yang indah, bersih, tidak terlalu ramai, dan bebas dari pedagang kaki lima di kota tempat saya tinggal. Setelah sukses mengunjungi Gardens by the Bay di Singapura, di Thailand saya malah gagal mengunjungi Lumphini Park—sebuah taman kota yang besar dan indah di Bangkok. Di Kuala Lumpur ini, berhubung waktu kami sangat terbatas, saya hanya berencana main ke KLCC Park. Februari lalu saat saya ke sini malah nggak tahu di belakang Petronas Twin Towers ada taman yang cakep. 😛

Dari Bukit Bintang, hanya butuh 30 menit jalan kaki menuju KLCC. Kami langsung menuju bagian belakang gedung dan taman itu pun langsung tampak. KLCC Park adalah sebuah taman seluas 20 hektar yang dibangun pada 1980 di tengah-tengah kepungan hutan beton di pusat kota Kuala Lumpur.

Saat itu sekitar jam 8 pagi. Cuaca masih agak sejuk. Beberapa ekspatriat tampak sedang asyik lari pagi mengelilingi jogging track taman itu yang kalau tak salah panjangnya 1,3 kilometer. Beberapa petugas taman tampak sedang sibuk menyiangi atau menyiram taman.

Saya duduk-duduk di bangku taman yang banyak tersebar di sekitar situ. Mencoba menyerap dan menikmati suasana pagi di taman yang cantik ini. Saya memang suka ketenangan. Bahkan di tengah kota seperti itu pun saya masih bisa mendengar kicauan burung dan bahkan sempat melihat seekor tupai sedang asyik jogging melompat dari satu pohon ke pohon lain.

Sambil makan keripik Lays rasa cumi bakar made in Thailand, saya sibuk berkhayal: betapa asyiknya duduk-duduk di sini seharian, bawa laptop, lalu menulis buku. Buat diskusi juga asyik. Kalau lapar, itu bukan masalah. Ada mal Suria KLCC di dekat situ dengan foodcourt di lantai 6-nya. Di lantai yang sama juga ada Kinokuniya. 🙂 Kalau mau jalan ke tempat lain dan tak hafal rute bus kota, di lantai underground KLCC ada stasiun MRT yang di beberapa stasiun sambung-menyambung dengan jalur monorel. Naik MRT atau monorel lebih enak karena peta jalurnya jelas.

Di taman ini juga ada danau buatan dengan jembatan sepanjang 43 meter melintang di atasnya. Jembatan ini tampak dibangun sedemikian rupa sebagai spot yang bagus untuk berfoto-foto dengan Twin Towers sebagai latar belakang. Ah…kenapa di Monas nggak dibangun taman gede kayak gini ya? Pasti keren. Jadi ada taman dan ada spot tempat kita bisa foto-foto dengan latar Monas gitu. Seperti di KLCC Park, kita bisa nampang di jembatan dan di belakangnya ada landmark yang keren kayak Twin Towers.

Taman di sekitar Monas standar banget sih, penataan dan pemanfaatan lahan untuk taman kurang digarap maksimal. Kalau cuma bikin taman saya yakin nggak susah. Yang susah itu adalah membangun kesadaran jajaran pemerintah kota untuk membangun dan merawat taman sebagai ruang publik bagi warga kota untuk berinteraksi dan bersosialisasi. Ini belum bicara soal kesadaran warga kota yang kadang susah banget diajak bergaya hidup bersih—dan tentunya serbuan pedagang kaki lima. 🙂

Di danau buatan di taman ini ternyata juga ada pertunjukan air mancur. Saya kebetulan banget bisa lihat “test drive“-nya di pagi hari. Kata seorang petugas taman, “pertunjukan” air mancur itu biasanya dimainkan pada siang dan sore hari. Keren banget deh air mancurnya! Bisa nyemprot berbagai gaya gitu. Ada gaya kupu-kupu terbang, gaya ngebor, dan buanyak lagi! Walau “test drive” air mancurnya cuma 15-20 menit, tapi lumayan kan dapat tontonan gratis? Hehehe… 🙂

Gaya kupu-kupu terbang…hehehe 😛

Puas menikmati taman, kami memutuskan balik ke hostel. Setelah leyeh-leyeh sebentar dan mandi lagi, sekitar jam 11 kami gendong ransel dan check out. Jalan kaki ke stasiun monorel Bukit Bintang yang jaraknya hampir satu kilometer lumayan juga sambil gendong backpack begini. Mana saat itu matahari sudah terik.

Dari stasiun Bukit Bintang, kami naik monorel sampai di stasiun KL Sentral. Dari sana ada banyak pilihan untuk menuju bandara LCCT (Low Cost Carrier Terminal). Sekadar info, letak bandara LCCT cukup jauh dari Kuala Lumpur International Airport (KLIA). LCCT adalah bandara khusus untuk maskapai-maskapai murah (budget airlines) seperti AirAsia atau Tiger Airways. Pilihan pertama untuk menuju bandara LCCT dari KL Sentral adalah dengan bus. Ada dua pilihan: Skybus, milik AirAsia, biayanya RM 9 (Rp 27.000). Lalu ada Aerobus, milik swasta lain, dengan biaya RM 8 (Rp 24.000). Dua-duanya langsung ke bandara LCCT tanpa ngetem atau mampir-mampir.

Cara kedua, naik kereta. Ada dua jenis kereta menuju bandara dari KL Sentral. Pertama ada KLIA Ekspres—kereta tercepat ke bandara KLIA, tanpa berhenti di stasiun mana pun. Lama perjalanan cuma 30 menit. Tarifnya juga mahal: RM 35 (Rp 105.000). Sementara yang kedua adalah KLIA Transit. Yang ini berhenti di setiap stasiun yang dilewati. Tarifnya RM 12,5 (Rp 37.500). Berhubung saya demen banget naik kereta, dan atas nama pengalaman, saya pilih naik kereta KLIA daripada bus. Soalnya saya belum pernah ke LCCT naik kereta.

Tiket dan interior kereta KLIA Transit.

Baik stasiun maupun interior kereta ini bersih dan bagus. Penumpangnya juga tidak membludak. Mungkin banyak orang lebih memilih naik bus yang lebih murah. Berhubung saya naik KLIA Transit, kereta ini berhenti di tiga stasiun: Bandar Tasik Selatan, Putrajaya & Cyberjaya, dan Salak Tinggi. Penumpang yang akan lanjut ke LCCT harus turun di Salak Tinggi dan naik shuttle bus gratis ke LCCT. Sementara kereta terus melaju ke KLIA.

Pemandangan sepanjang perjalanan sebenarnya biasa saja. Lepas dari Kuala Lumpur, kita bisa melihat pinggiran kota dengan deretan townhouse khas Asia Tenggara. Kereta tiba di Salak Tinggi sekitar setengah jam kemudian, lalu kami keluar dari stasiun dan naik shuttle bus yang sudah disediakan. Dari sini perjalanan masih sekitar 20-30 menit lagi ke LCCT.

Antrean di konter Air Asia di LCCT.

Setiba di bandara, kami nggak bisa leha-leha sedikit karena melihat antrean di konter check-in yang ngeri banget panjangnya. Keramaiannya sama dengan terminal-terminal bus saat musim mudik. 🙂 Setelah lebih dari setengah jam mengantre dan menaruh backpack di konter untuk masuk ke bagasi, kami mencari makan dulu. Masih tersisa cukup ringgit untuk beli makanan karena kami hanya makan tadi pagi.

Berhubung waktu sudah mepet, kami cuma beli burger di McDonald’s. Tapi waktunya semakin mepet sehingga kami harus cepat-cepat boarding. Nggak sempat makan burger deh jadinya. Selepas boarding pass diperiksa, saya harus tanya ke petugas di mana pesawatnya, karena tidak ada petunjuk tertulis. Ke kiri atau ke kanan? Tapi akhirnya kami bisa duduk dengan lega di pesawat. Lama penerbangan sekitar 2,5 dari Kuala Lumpur ke Bandung.

***

Tiba di bandara Husein Sastranegara, suasana yang saya dapatkan sungguh jomplang. Baru kali itu saya tiba di bandara ini dari luar negeri. Terakhir kali saya tiba di sini dari Denpasar tiga tahun yang lalu. Walau menyandang nama “internasional”, Husein Sastranegara sungguh jauh dari layak untuk jadi bandara berkelas global. Selain berukuran kecil, fasilitas di sini tampak memprihatinkan. Ban berjalan untuk bagasi penumpang tidak memutar, cukup berbentuk lurus dan di ujung ban itu nanti ada petugas yang meletakkan koper dan tas penumpang di pinggir. Tidak praktis, merepotkan. Apalagi ratusan penumpang juga menunggu tas-tas mereka di sekitar ujung ban berjalan itu.

Urusan transportasi juga menyusahkan bagi mereka yang belum pernah ke Bandung. Taksi di bandara adalah milik Angkatan Udara—eksklusif dimonopoli oleh Primkopau. Selain merek ini, taksi lain dilarang “belagu” mengambil penumpang di area bandara. Sistemnya pun terbuka untuk “merampok” calon penumpang taksi: kita memesan dulu, menyebutkan tujuan, dan membayar sesuai angka yang disebut petugasnya—tentu saja tak pakai argometer, alias tarif borongan. Saat saya menyebut tujuan, si petugas meminta tarif Rp 80 ribu. Tentu saja saya ogah, karena saya tahu berapa tarifnya kalau taksinya tak serakus mereka. Jadi kami berjalan kaki ke pintu keluar yang jaraknya sekitar 300 meter, dan saat hampir sampai di jalan raya, sebuah taksi Cipaganti menepi. Singkat cerita, kami sampai di rumah dengan tarif hanya Rp 54 ribu. Nah, kan? 🙂

Malam itu, selesai membongkar tas dan mandi, kami ngaso di ruang tengah sambil makan burger yang dibeli di Kuala Lumpur. Besok paginya kami harus ngantor seperti biasa. 🙂

***

Perjalanan kali ini sungguh luar biasa. Tiga negara “dihajar” sekaligus dalam seminggu. Capek, tapi senang bukan main. Dan saya lebih senang lagi karena bisa mengajak istri, yang sebelumnya belum pernah ke mana-mana, keliling tiga negara Asia Tenggara—dua di antaranya dikunjungi dua kali. Tentunya pengalaman batin yang masing-masing kami dapat berbeda. Saya akan tuliskan kapan-kapan di postingan terpisah. Untuk sementara, serial Thai Times ini untuk cerita-cerita perjalanan dulu. Oleh-oleh dari saya yang lagi belajar nulis—karena tulisan-tulisan saya belum ada apa-apanya.

Seperti kata Alexander Solzhenitsyn, “Own only what you can carry with you: know language, know countries, know people. Let your memory be your travel bag.” Perjalanan ini bagi saya hanya pembuka jalan. Saya masih ingin terus melihat negeri-negeri lain, termasuk yang sudah pernah saya kunjungi. Bagi saya jalan-jalan itu konsepnya hampir sama seperti rezeki—sudah diatur oleh Tuhan, tapi ditebar di muka bumi agar kita mau berikhtiar menjemputnya. Begitupun dengan traveling—keindahan bumi ciptaan-Nya beserta bermacam jenis manusia disebar di seluruh planet ini, agar kita bisa melihat dan belajar dari semua itu. Agar kita selalu merasa kecil di hadapan-Nya dan tak lupa bersyukur karena telah diberi kesempatan melihat secuil keindahan bumi ciptaan-Nya. Begitulah.

Don’t tell me how educated you are, tell me how much you have travelled.” – Prophet Muhammad PBUH

Pokoknya: tetap sehat, tetap semangat, supaya kita bisa tetap jalan-jalan! 🙂

(Tamat)

Next destination: Jogja, Solo (Oktober 2012); Ho Chi Minh City, Da Lat, Nha Trang, Hanoi, Ha Long Bay, Tam Coc—Vietnam (2013).

Thai Times #6

Selamat pagi, Krabi! 🙂

The real voyage of discovery consists not in seeking new landscapes, but in having new eyes.

~ Marcel Proust

Minggu, 26 Agustus 2012

Pagi yang tenang. Udara pun terasa agak sejuk. Langit sebagian cerah, sebagian lagi masih menyisakan mendung. Sisa hujan tadi malam terlihat dari sedikit genangan air di jalanan. Jam 6 lewat sedikit, kami sudah keluar dari hotel. Mencari sarapan sekaligus informasi soal bagaimana menuju Hatyai. Kami masih punya waktu 2 jam sebelum dijemput untuk main kayak di Ao Thalane.

Kata resepsionis (kali ini wanita berbeda tapi sama ramahnya), di sepanjang jalan dekat sungai dan sekitarnya ada banyak travel agent yang punya rute menuju Hatyai, bahkan sampai ke Kuala Lumpur dan Singapura. Jadi pagi itu kami cuma jalan sekenanya, memutari beberapa blok, melihat mobil baru tabrakan dan sedang menunggu polisi, sambil menikmati suasana pagi di Krabi Town. Kami kembali melewati dermaga Chao Fa, sambil duduk-duduk dan memandangi bukit karang kembar Khao Khanap Nam nun di sana.

Salah satu travel agent. Rutenya menarik. 🙂

Lalu kami melanjutkan jalan kaki dan akhirnya menemukan satu ruas jalan dengan beberapa kantor travel agent. Di jalan itu ada tiga kantor, tapi hanya dua yang sudah buka sepagi itu. Kalau tahu dari sini ada transportasi ke Kuala Lumpur, saya tak perlu mampir ke Hatyai segala. Sayangnya saya sudah memesan bus dari Hatyai ke Kuala Lumpur. Setelah bertanya-tanya dan membandingkan harga serta jam berangkat, kami memilih yang kedua, bernama Bai Ngoen Tour. Tiket ke Hatyai naik van sekitar 200 baht (Rp 60.000) per orang. Kami lantas minta dijemput jam 12.30 di hotel kami.

Lega karena sudah mendapatkan tiket, kami jalan lagi mencari sarapan. Sepengamatan saya, banyak sekali warga Krabi Town yang punya mobil truk pick-up, misalnya Toyota Hilux atau Isuzu D-Max. Pemandangan ini cukup mencolok, apalagi jika dibandingkan dengan mobil sedan atau city car yang jarang terlihat.

Tak sengaja, kami menemukan papan bertulisan Day Market dan menemukan sebuah pasar besar bernama Maharaj Market. Di depan pintu masuk, tampak beberapa bhiksu Buddha sedang berjejer dan menerima sumbangan uang atau makanan dari warga setempat.

Bhiksu Buddha.

Setahu saya, di negara-negara yang mayoritas Buddha memang lumrah ketika para bhiksu setiap pagi pergi berkeliling dan menerima sumbangan makanan dari warga. Bhiksu perempuan dilarang menerima makanan, tapi boleh menerima bahan makanan (misalnya beras)—kadang uang— untuk kemudian dimasak bersama di biara. Bagi umat Buddha, memberi sumbangan atau makanan kepada biarawan/wati adalah simbol menanam kebaikan yang nanti hasilnya akan dipetik suatu saat kelak, dalam bentuk reinkarnasi yang lebih baik.

Maharaj Market. Kucing dan anjing dilarang masuk!

Rupanya pasar ini letaknya hanya di belakang hotel kami. Pasar ini menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari: sayuran, buah-buahan, bumbu dapur, dan makanan jadi. Pasar ini pun bersih, berubin, dan tak ada sampah berserakan di gang-gangnya.

Ukuran pasar indoor yang mirip hanggar pesawat ini cukup luas. Dibagi menjadi gang-gang yang setiap bagiannya berisi pedagang yang dagangannya sejenis. Turis asing pun tak terlalu kesulitan saat mencari sesuatu, karena biasanya pedagang di sini mencantumkan angka harga dagangan mereka. Memang sih jarang sekali yang bisa bahasa Inggris di sini. Tapi dalam urusan jual-beli, angka adalah bahasa universal. 🙂

Moslem section. 🙂

Di satu bagian, berjejer ibu-ibu berjilbab menjual makanan. Rata-rata mereka menjual nasi, lauk-pauk, ayam goreng, dan minuman. Wah, saya langsung ngiler. Langsung deh kami beli dua porsi nasi briyani, dua potong ayam goreng, dan segelas es Thai milk tea yang udah jadi favorit saya. 😛 Semuanya cuma 100 baht (Rp 30.000).

Sampai di kamar hotel, kami langsung mandi dan dilanjut dengan sarapan. Makanan yang kami beli tadi di pasar enak banget! Thai milk tea-nya juga segar. Di Indomaret dekat kantor saya juga ada Thai milk tea kalengan sih, cuma harganya lebih mahal.

Jam 8 kurang, kami sudah check-out dan siap di lobi. Ransel-ransel kami titipkan ke petugas resepsionis, sementara kami hanya bawa tas selempang. Van dari tour agent Sea Kayak Krabi yang menjemput kami hanya telat 5 menit. Si pemandu yang menjemput kami bernama Hakeem—seorang Muslim asli Krabi. Perjalanan ke Ao Thalane, sebuah teluk di Krabi, memakan waktu sekitar 35 menit dengan mobil. Van yang kami naiki waktu itu bagus. Sopirnya juga rapi dan sopan. Pantaslah harga paket tur kayaking ini rada mahal.

Sepanjang jalan ke Ao Thalane.

Perjalanan menuju Ao Thalane menyajikan pemandangan cukup menarik. Kami bisa melihat beberapa sisi Krabi Town yang rapi dan tenang. Hutan dan bukit-bukit karang yang hijau menandakan bahwa kami sudah berada di luar kota—hanya dalam waktu beberapa menit (!). Setengah jam kemudian, kami di tiba di tujuan.

Ao Thalane adalah sebuah desa nelayan kecil di teluk bernama sama. Desa ini berlokasi di jantung jaringan hutan bakau yang terawat baik dan dikelilingi banyak batu karang (limestone), lengkap dengan “pulau-pulau” pasir kecil yang hanya bisa didarati ketika air sedang tidak pasang. Selain perikanan, desa ini juga dikembangkan sebagai area wisata alam di wilayah yang eco-friendly. Main kayak atau kano mengelilingi batu-batu karang hijau dan hutan bakau di sekeliling teluk adalah salah satu magnet untuk menyedot turis asing di Ao Thalane.

“Kita bahkan bisa jalan kaki di perairan, kalau laut sedang tidak pasang. Ada juga beberapa ‘pulau’ pasir kecil dan di sana kita bisa main-main dengan ribuan kepiting lumpur kecil,” Hakeem menjelaskan. “Kata ‘Ao Thalane’ dalam bahasa Thai itu artinya ‘teluk lumpur’.”

Sebelum mulai kayaking, Hakeem menjelaskan dulu bagaimana caranya mendayung.

“Sudah pernah main kayak?”

“Belum sama sekali,” jawab saya.

“Gampang kok. Ikuti gerakan saya, ya.”

Hakeem memperagakan gerakan mendayung. Menurut saya sih nggak susah. Kurang dari 10 menit latihan, Hakeem mengajak kami mulai. Saat itu air laut sedang turun. Kedalaman juga cukup dangkal. “Paling cuma satu meter,” kata pemandu kami itu. Beberapa barang kami, seperti dompet, kamera, dan ponsel (ini untuk memotret juga), disimpan di sebuah kantong kulit kedap air. Hakeem juga mempersilakan kami mengambil beberapa botol air mineral buat bekal minum. Sementara tas kami bisa disimpan aman di loker.

Ukuran perahu kayak ada yang 1 hingga 3 orang. Kami meminta yang ukuran 3 orang, dengan Hakeem di posisi paling belakang dan saya di depan. Dan mulailah kami mendayung. Duh, ternyata asyik juga! Walau saya berhenti mendayung setiap 5-10 menit karena pegal, itu tak menghalangi kami menikmati pemandangan indah di sekitar teluk. Pagi itu tampaknya hanya kami turis asing yang sedang main kayak.

Asyiknya main kayak 🙂

Baru setengah jam mendayung, saya tiba-tiba kok langsung merasa sehat ya…hehehe! Soalnya, setiap kali backpacking, kami sangat sering jalan kaki dan banyak bergerak serta minum air. Dan yang namanya traveling jelas bawaannya senang melulu. Jadi, harus sering-sering traveling nih! Biar jasmani dan rohani sehat semua. 🙂

Pagi itu udara cukup sejuk, matahari juga tidak terlalu terik, malahan langit sedikit mendung. Wah, kalau hujan bisa kacau acara asyik ini. Tapi Hakeem meyakinkan bahwa setengah hari ini cuaca bakal cerah. “Kalaupun hujan, biasanya sore hari,” katanya. Yang jelas, mendayung di tengah cuaca enak itu sangat menenangkan dan menyenangkan. Kadang-kadang kami berhenti mendayung karena pegal. Posisi duduk di kayak memang gampang bikin pinggang pegal karena tidak terbiasa.

Batu atau bukit karang benar-benar berkah bagi Krabi. Limestone yang bertebaran di berbagai penjuru Krabi ibaratnya tanah yang ditebari batu-batu permata. Menambah indah alam Krabi. Paket tur yang saya ambil ini sebenarnya sederhana. Rutenya pun pendek. Saya sendiri juga minta agar kami diantarkan kembali di hotel sebelum jam 12.30, karena van ke Hatyai akan menjemput kami jam segitu. Artinya kami harus menyudahi acara kayaking sekitar jam 11.30.

Kami mendayung memasuki celah-celah di antara batu-batu karang besar, membelah sungai di tengah hutan bakau yang lebat. Suara-suara kumbang dan binatang lain terdengar seperti orkestra alam di telinga kami. Kata Hakeem, kalau kami beruntung, kadang-kadang terlihat juga monyet, biawak, burung elang, dan “….buaya!”

“Hah?? Ada buaya di sini?” Saya langsung berhenti mendayung.

Hakeem terbahak. “Nggak kok! Cuma bercanda.”

Huh, sialan. 😛

Sesekali kami berhenti untuk memotret atau sekadar ngaso sebentar sambil minum. Di tengah hutan bakau kami juga melihat dua ekor biawak, lalu kami juga turun sebentar sambil mencoba menangkap kepiting lumpur yang sangat gesit saat menggali lubang untuk kabur, atau iseng berjalan kaki saat melewati bagian perairan yang dalamnya cuma setengah meter. Kami juga melihat dua ekor monyet galau sedang berjalan di pinggir hutan bakau. Udara segar, orkestra alam karya para tonggeret, dan keheningan total. Nikmat sekali rasanya…

Turis lain yang lagi kayaking.

Kami kemudian mendayung ke arah “pulau” pasir. Dari jauh terlihat banyak turis bule mendayung kayak warna-warni, setelah sebelumnya mereka semua turun dan berfoto di sana-sini di “pulau” itu. Yang disebut “pulau” ini sebenarnya adalah secuil area pantai yang membukit kala air sedang surut. Kalau sedang pasang tentu “pulau” itu tenggelam.

“Di sana ada ribuan kepiting lumpur. Kita bisa mengejar-ngejar kepiting itu dan melihat mereka kabur sambil menggali lubang di pasir. Seru sekali,” kata Hakeem. Wah, saya jadi penasaran. Kami turun ke darat bersamaan dengan para bule tadi meninggalkan “pulau” ini. “Nah, pulau ini milik kalian selama 15-2o menit. Oke?” kata Hakeem.

Hakeem, saya, dan “Patrick”. 😛

Saya dan istri pun berlarian ke tengah sambil menyerbu ribuan kepiting lumpur yang panik. Suara ribuan kepiting itu agak mengerikan saat dikejar. Tapi lucu sekali rasanya melihat binatang-binatang itu berlarian dan berlomba-lomba menggali lubang untuk bersembunyi. Kecepatan menggalinya itu lho yang hebat!

Beberapa kepiting yang agak lamban menggali tampak menutupi badannya dengan pasir secukupnya, seolah-olah bisa mengelabui kami. 🙂 Sebagian kepiting di sini juga bentuknya rada aneh bagi saya yang bukan ahli biologi. Salah satu capitnya lebih besar dari yang satu lagi dan warnanya oranye, sementara badannya sendiri berwarna kekuningan. Hakeem juga menemukan beberapa bintang laut di sini. Hoho…setelah kemarin kami bertemu Nyonya Puff, sekarang malah ketemu Patrick! 😀

Puas main-main dan foto-foto narsis di “pulau” seluas setengah lapangan bola itu, kami kembali mendayung kayak. Kembali ke dermaga. Walau saya puas, dua setengah jam main kayak terasa cukup singkat. Rasanya enak betul tinggal di kota kecil yang tenang dan bersih, dan kalau rada bosan tinggal main ke pulau atau pantai yang jaraknya cuma 1-2 jam dari kota.

Ao Thalane, Krabi.

Setelah kami kembali ke dermaga, ada seorang kru dari Sea Kayak Krabi yang memotret kami. Setelah membersihkan diri di pancuran dan makan buah-buahan jatah paket tur setengah hari, si pemotret mendatangi saya dan menyerahkan foto yang tadi, sudah terbungkus soft-frame bertulisan Ao Thalane, Krabi, Thailand.

“Ehm, ini harganya 100 baht,” katanya malu-malu.

“Lho, harus bayar ya?” saya agak kaget.

“Ehm, iya…”

Haduh. Saya cuma ngomel-ngomel sambil keluarin duit senilai Rp 30.000 itu. Kalau nggak bayar nggak enak juga. Tapi saya jadi merasa ditipu walau nilainya cuma seharga makan siang dua orang. Ya sudahlah.

Van Sea Kayak Krabi.

Beberapa menit kemudian, kami melompat ke van yang tadi. Jok penumpang sudah ditutupi plastik. Turis yang baru main kayak pastilah rada basah atau badannya masih dilengketi pasir.

Sampai di hotel hampir jam 12.30. Di dekat lobi ada kamar kecil yang bisa kami pakai untuk sedikit membersihkan diri dan berganti pakaian. Habis itu kami leyeh-leyeh sambil main Internet pakai ponsel dengan wi-fi yang sinyalnya agak lumayan kalau berada di lobi. Hingga jam 13.00, mobil ke Hatyai belum menjemput kami. Terpaksa saya minta tolong si resepsionis untuk menelepon travel agent-nya. “Soon,” katanya.

Lobi hotel JP Mansion.

Sambil menunggu, saya foto-foto dulu hotel ini. Penataan ruangan lobinya beda dibandingkan hotel konvensional. Ada satu bale-bale panjang yang dilengkapi kasur tipis buat tamu untuk leyeh-leyeh. Cocok juga kalau mau panggil Thai massage ke sini. 😛 Meja dan kursinya pun terbuat dari kayu. Jadi atmosfernya memang dibikin santai dan natural. Asyik deh pokoknya.

Jam 1 siang lewat sedikit, van kami datang. Sopirnya tampak tidak bisa bahasa Inggris sedikit pun. Sampai repot menjelaskan bahwa kami harus duduk di tengah. Setelah mengucapkan goodbye sama mbak resepsionis yang ramah itu, kami pun berangkat. Van itu kembali dulu ke kantor travel agent untuk mengambil penumpang.

Hujan kembali turun saat kami berangkat. Selamat tinggal, Krabi. Rasanya suatu hari saya harus balik ke sini lagi dan tinggal sedikit lebih lama. Jarang sekali saya bisa merasakan suasana kombinasi kota kecil yang tenang dan bersih plus tempat-tempat turistik dalam radius satu jam dari kota. Apalagi paket-paket tur yang saya ambil itu masih yang standar. Kalau saya masih punya waktu, tentu saya akan mengambil paket-paket lain seperti jungle trekking, kayaking dengan rute yang lebih jauh dan yang pemandangannya lebih cakep, main ke pantai-pantai sepi lain di Krabi, kalau perlu lanjut terus ke Phuket dan pulau-pulau seperti Phi-Phi dan James Bond. Tak apa…saya toh masih ingin kembali ke Thailand suatu hari nanti.

Siang yang berhujan itu, saya memasang earphone ke ponsel, lalu menyetel Mr. Saxobeat-nya Alexandra Stan. Sambil menyandarkan kepala, saya memejamkan mata dan mencoba tidur. Mobil melaju mantap membelah hujan deras. Menuju Hatyai, Thailand selatan, empat jam dari sini.

Selamat tinggal, Krabi. 🙂

(Bersambung)

Thai Times #5

Ibu penjual ayam goreng.

The more you read, the more things you will know. The more you learn, the more places you will go to.”

~ Dr. Seuss

Sabtu, 25 Agustus 2012

Wangi ayam goreng membangunkan tidur saya. Hampir lepas subuh ketika muncul seorang ibu yang berjualan ayam goreng. Menjelajah dari satu gerbong ke gerbong lain. Empat orang keluarga Cina di depan kami tampak sedang membeli ayam goreng yang masih hangat itu.

Sebenarnya, sejak malam sebelumnya ada beberapa orang pedagang asongan yang mondar-mandir dari gerbong ke gerbong. Bahkan ada satu pemuda yang agak gemulai sehingga saya duga dia ini ladyboy…hehehe! Macam-macam dagangan mereka, makanan dan minuman. Ada juga petugas KA yang menawarkan makan malam. Baju yang dipakai sekenanya: bagian yang dimasukkan ke celana tampak memaksa keluar dan kartu pengenalnya pun tampak butut dan mulai pudar.

Di kereta api Thailand, kalau kita berada di kelas dua dan tiga (tanpa AC), para penumpangnya gemar membuka jendela lebar-lebar. Sepoi angin yang masuk ke gerbong lumayan bikin badan terasa sejuk kembali. Maklum, hawa di Thailand sungguh bikin gerah. Di gerbong saya (kelas 2 non AC), walau sudah ada kipas angin pun, para penumpang tetap membuka jendela lebar-lebar.

Seorang bapak bermata sipit dengan bahasa isyarat meminta izin kepada saya untuk memundurkan punggung kursinya. Saya hanya tersenyum sambil mengangguk. Jarak antara kursi yang sudah dimundurkan dengan kursi di belakangnya masih cukup lega. Diam-diam saya mengamati empat orang di depan saya. Dari bahasanya, saya menebak mereka dari Cina. Yang luar biasa, keempat orang itu tampaknya satu keluarga. Si bapak sudah berumur dan beruban, begitu pun istrinya. Sementara anak dan menantu mereka adalah sepasang suami-istri yang mungkin masih sebaya saya.

Tak banyak yang bisa dilihat waktu malam dari jendela gerbong kereta. Sesekali kereta melewati perkampungan kumuh dan beberapa pasar–yang bagi orang Cina dan beberapa bule di depan saya mungkin menarik, karena mereka tak henti memotret. Satu hal yang bikin saya salut sama Thailand: gerbong kami malam itu lebih dari setengahnya “dikuasai” oleh turis asing. Begitu pula yang saya lihat di beberapa gerbong lain. Sambil menunggu kantuk, saya memilih membaca buku, sebelum akhirnya tertidur dua jam kemudian.

Sudah jam 7 pagi, tapi tampaknya kereta masih agak jauh dari Surat Thani, pemberhentian kami. Setelah telat 1,5 jam dari jadwal, kami segera keluar dari stasiun kecil tersebut. Di luar, banyak bus dan agen perjalanan yang terlihat. Setelah repot tanya sana-sini, akhirnya kami menemukan bus kami: sebuah bus tingkat yang sudah mulai butut karena rada uzur. Sayangnya, mungkin koordinasi agen bus itu kurang jelas, sehingga banyak turis backpacker yang bingung mencari bus masing-masing. Pasalnya, memang ada beberapa bus dari halaman stasiun Surat Thani yang menuju rute berbeda.

Beberapa bule yang saya ajak ngobrol juga lagi kebingungan. Seorang wanita yang tampaknya koordinator tampak sibuk ngomel ke sana kemari karena ditanyai banyak orang yang mencari busnya. Padahal itu kan gampang diatasi dengan menempelkan poster bertulisan rute bus.

Jam 9 kurang, bus pun berangkat. Bus bertingkat, khas bus antarkota di Thailand, walau yang saya naiki ini sudah agak tua modelnya. Kalau melihat peta, sebenarnya bus ini menuju arah timur lebih dulu untuk menurunkan penumpang di dermaga Don Sak. Dari dermaga itu kita bisa menuju pulau-pulau macam Ko Pha Ngan dan Ko Samui—dua pulau berpantai cantik tempat pesta-pesta hedonis sering diadakan, seperti full moon party. Baru setelah itu bus melaju ke arah barat laut menuju Krabi.

Sekitar jam 13.00, bus sudah memasuki Krabi. Penumpang diturunkan di sebuah halaman kosong yang tampaknya jadi pool bus tersebut. Dari sana, kami harus bayar sekitar 50 baht (Rp 15.000) lagi per orang untuk naik van yang kemudian menurunkan kami persis di depan hotel.

Kamarnya lumayan kan? Murah, pula 🙂

Saya sudah memesan kamar di JP Mansion, sebuah budget hotel di pusat kota Krabi. Tarifnya nggak mahal, cuma 300 baht (Rp 90 ribu) untuk double room ber-AC, kamar mandi privat, dan handuk. Sayangnya, jendelanya menghadap ke koridor. Tapi nggak apa-apa sih, kamar begini kan untuk tidur doang. Resepsionisnya juga ramah sekali. Saat saya tanya apakah dia punya peta Krabi, dia menjawab sambil tersenyum, “Oh, it’s finish.” Sudah habis, maksudnya. 😀 Selepas membongkar bawaan, mandi pakai shower, dan sholat, sore itu kami pun langsung mulai jalan-jalan.

Krabi Town adalah ibukota Provinsi Krabi—provinsi yang sedang naik daun namanya di kalangan turis yang mengunjung Thailand. Krabi Town ini sebenarnya hanya kota kecil biasa. Tapi memang saya tertarik untuk mengetahui dan merasakan langsung suasana kota kecil di Thailand, lepas dari hiruk-pikuk Bangkok.

Dengan penduduk hanya sekitar 25.000 jiwa, Krabi Town lebih sering dijadikan pintu masuk dan tempat persinggahan sementara bagi para turis. Sebab, Provinsi Krabi juga menawarkan banyak spot menarik dalam radius mulai dari 30 menit hingga 1,5 jam dari kota ini naik transportasi publik seperti bus, van, atau speed boat—dari pantai-pantai cantik (Ao Nang, Rai Leh, dll) hingga pulau-pulau cantik (Phi Phi Island, Ko Lanta, James Bond Island, dll). Kita juga bisa pergi ke Phuket dengan van yang makan waktu 3-4 jam dari Krabi Town.

Manusia purba penunggu lampu merah 🙂

Kota ini ditata rapi dengan dengan model kotak seperti blok-blok gitu. Jarak dari satu blok ke blok lainnya tak terlalu jauh. Karena penduduknya sedikit, jalanan di kota ini tampak sedikit lengang, walau sebenarnya banyak sekali pertokoan dan hotel serta mobil dan motor yang parkir di sepanjang jalan. Kotanya pun bersih sekali. Kalau tak suka dengan suasana kota yang agak sepi ini, turis bisa langsung naik songthaew (semacam angkot) menuju pantai Ao Nang yang bisa dicapai dalam 30-40 menit dari kota. Tapi, sebaliknya, buat yang tak suka suasana yang terlalu touristy (seperti saya ini), Krabi Town menawarkan kenyamanan tersendiri.

Menginap 1-2 hari di sini rasanya cukup pas. Banyak pantai yang bisa dicapai dengan mudah. Kita juga bisa ikut tur-tur ke pulau-pulau lain, ikut tur main kayak dan kano, atau trekking ke area-area wisata alam di banyak titik di provinsi ini. Ada yang unik di beberapa persimpangan di pusat kota: lampu lalu-lintas didesain dengan patung purba sedang menggotong lampunya. Kreatif juga nih! 😛

Yang pertama saya cari saat itu adalah: makanan! Maklum, belum makan apa-apa sejak pagi tadi. Mau beli ayam goreng wangi di kereta pun takut nggak halal. Sore itu cuacanya enak. Krabi Town sedikit lebih sejuk jika dibandingkan Bangkok yang gerah. Dari van tadi, saya sempat melihat sebuah warung makan halal. Lokasinya tak jauh dari hotel kami, sekitar 300 meter saja. Rasanya lega sekali melihat warung makan yang ada tulisan “Makanan Islam” dan beberapa ibu berjilbab tampak sedang makan di sana juga.

Nyam nyaam! 😛

Kami memesan dua porsi nasi ayam briyani dan seporsi mie goreng. Yang lucu, mie goreng di sini selalu ditambahi dengan semangkuk kecil kuah, seperti kuah bakso gitu. Untuk minumnya saya memesan es Thai milk tea yang segar. Untuk semuanya itu saya harus bayar sekitar 150 baht (Rp 45.000).  Mahal? Yah, beginilah kalau sarapan dan makan siang jadi satu. 😛 Tapi bener deh, makanan ini walau sederhana tapi rasanya enak banget. Bumbunya sangat terasa.

Setelah makan, kami lanjut jalan lagi. Hanya beberapa puluh meter dari warung tadi, kami menemukan kantor travel agent yang menawarkan paket-paket wisata buat turis. Wah, kebetulan sekali. Saya memang sudah berencana main kayak di sini, soalnya waktu kami cuma sampai besok siangnya. Tidak cukup kalau mau ambil paket tur ke Phi-Phi yang half-day sekalipun. Jadi, saya harus keluar duit Rp 400.000 buat paket kayak half-day untuk dua orang ke Ao Thalane. Kami akan dijemput dengan van jam 08.00 pagi untuk menuju spot itu, yang jaraknya sekitar 35-40 menit naik mobil. Karena paketnya setengah  hari, kami cuma akan mendapat ekstra buah-buahan dan gantungan kunci—tanpa makan siang.

Nah, sore ini kami hanya berencana putar-putar di kota. Dari hasil banyak baca referensi, saya tahu ada sungai tak jauh dari pusat kota yang menarik untuk sekadar nongkrong. Ternyata sungai tersebut juga tak jauh dari hotel kami. Tempatnya asyik banget menurut saya. Pedestrian dengan pohon-pohon rindang dan taman kecil di pinggir sungai menawarkan kenyamanan tersendiri bagi saya yang tinggal di kota padat nan semrawut. Di kejauhan, ada dua bukit karst (limestone) yang secara alami berhadapan dan membentuk formasi “The Two Towers”—seolah jadi “gerbang” kota Krabi.

Maskot Krabi Town: yuyukangkang! 🙂

Ada sekeluarga patung kepiting yang terdiri dari empat buah patung di landmark Krabi Town ini. Menurut keterangan yang saya baca di situ, patung-patung itu menyimbolkan berlimpahnya hutan bakau (mangrove) di sepanjang muara di Krabi Town ini. Dan di tengah hutan bakau atau di banyak pantai di Krabi, kepiting lumpur ini mudah sekali ditemukan. Luas hutan bakau di Krabi tercatat sebagai yang terbesar keempat di seluruh Thailand. Wilayah Krabi juga dikelilingi bukit-bukit karang yang tersebar baik di perairan maupun daratan.

Di sekitar dermaga Chao Fa ini banyak pemilik perahu longtail yang menawarkan tur singkat naik boat di sepanjang muara sungai. Beberapa menyapa saya dengan sapaan assalamualaikum dan menebak saya dari Malaysia. Yang pertama menawarkan tarif 500 baht. Saya cuma menolaknya sambil tersenyum. Tak lama, ada lagi seorang pria, yang mengaku bernama Muhammad. Dia sepakat dengan angka 300 baht (Rp 90.000) untuk kami berdua menyusuri sungai selama satu jam dan melihat beberapa spot menarik di situ.

You muslim, I muslim, I won’t cheat on you,” katanya membujuk.

Berhubung dia bersedia menawarkan harga yang rada murah, saya pun mau. Nikmat sekali rasanya sore-sore naik longtail boat—perahu tradisional khas yang sangat populer di Thailand. Perahu ini terbuat dari kayu dan berbodi “kurus”, sehingga kalau penumpang banyak “bergoyang”, maka perahunya pun bisa ikut goyang ke kanan-kiri. Semilir angin sejuk dan pemandangan hijau di sekitar terasa sangat menyenangkan. Sekitar 15 menit kemudian, Muhammad menepikan perahunya ke Koh Klang, sebuah perkampungan nelayan Muslim.

“Nyonya Puff” 😀

Dermaga perkampungan ini dibuat terapung dengan beberapa bangunan yang berfungsi sebagai warung makan dan toko suvenir. Ada juga beberapa bagian yang difungsikan sebagai kolam. Kami diajak melihat beberapa hewan laut di penangkaran di situ: lobster besar, anak  ikan hiu, dan ikan buntal alias Nyonya Puff, guru nyetir Spongebob itu. Wah, saya baru kali ini lihat bentuk asli hewan berbentuk bulat ini. 😛 Pas liat, rasanya langsung pengen nendang bola! Hahaha 😀

“Kalau Anda mau lihat hewan ini menggembung, coba bikin dia marah dulu,” kata Ibrahim, yang memandu kami di perkampungan itu (wah, orang sini kok pake nama nabi semua, ya?). Dan benar saja….setelah ditepuk-tepuk dan disentil, ikan (yang nggak mirip ikan) buntal yang tadinya agak kempis itu menggembung dan mulutnya mengeluarkan air, seolah barusan tersedak. 😛 Ketika dilemparkan kembali ke air pun dia hanya mengambang. Benar-benar aneh dan lucu ikan yang satu ini. 😛

Sebenarnya saya tahu bahwa mereka mengharapkan kami membeli makanan seafood atau minuman di warung mereka, tapi karena baru makan kami tak membeli apa-apa. Tak lama kemudian, hujan pun turun. Kami terpaksa nongkrong dulu di situ. Sambil menunggu hujan reda, saya ajak Muhammad ngobrol-ngobrol.

“Anda asli Krabi?”

“Ya, betul,” jawab Muhammad. Saya melihat pria ini ramah dan terbuka. Walau bahasa Inggrisnya berantakan dan kadang pelafalannya salah total, isi omongannya masih bisa dipahami. “Saya dan istri tinggal di perkampungan ini. Anak saya dua orang, cewek semua,” lanjutnya sambil tersenyum.

“Apakah di sini banyak penduduk Muslim?”

“Di perkampungan ini iya, tapi di kota Muslimnya cuma sedikit. Di sini ada beberapa guesthouse murah, pemiliknya Muslim juga. Semakin Anda ke wilayah selatan Thailand, semakin banyak Muslimnya. Saya dulu pernah berdakwah selama empat bulan di Yala dan sekitarnya.” Yala adalah sebuah kota di  Provinsi Pattani, Thailand selatan, yang banyak dihuni penduduk Muslim Melayu.

“Bagaimana hubungan warga Muslim dan Buddha di sini?”

“Wah, baik sekali. Semuanya rukun di sini, walau kami penduduk minoritas. Tapi di wilayah Pattani sering ada keributan. Kadang ada bom meledak. Orang-orang Muslim di sana sering memberontak, ingin merdeka. Saya tidak paham kenapa mereka harus begitu.” Pattani adalah sebuah provinsi di Thailand selatan yang berbatasan dengan Malaysia. Memang sering terdengar berita tentang pemberontakan kaum Muslim di sana.

Tell me, apa saja yang bisa saya lihat di kota ini?”

Khao Khanap Nam yang keren. 🙂

“Hmm….nanti Anda akan saya bawa ke Khao Khanap Nam, bukit karang kembar yang kelihatan dari dermaga tadi. Terus, kalau mau, nanti Anda bisa mampir ke pasar malam di kota. Ada dua pasar di sini. Di yang pertama Anda bisa beli buah-buahan dan makanan segar. Di yang satunya lagi selalu ada pasar malam dan biasanya ada acara di sana.”

“Tiap hari apa?”

“Oh, setiap hari! Anda harus coba ke sana. Selain makanan halal, di sana juga banyak jual suvenir murah.”

“Terus, bagaimana kalau saya mau ke pantai, misalnya ke Ao Nang?”

“Oh, gampang. Anda cari saja songthaew. Itu bentuknya seperti mobil bak terbuka yang dipasangi atap dan bangku. Coba cari di depan Vogue Department. Di sana banyak songthaew yang ngetem. Ke Ao Nang nggak jauh kok, paling lama cuma sejam. Ongkosnya juga murah. Di sini juga banyak agen wisata kalau Anda tertarik main kayak, trekking, atau main ke pantai sepi.”

Tak lama hujan pun reda. Lumayan juga saya bisa mendapat banyak informasi dari penduduk lokal. Muhammad pun mengajak kami berangkat lagi. Kali ini ia mengajak kami ke Khao Khanap Nam—ini “The Two Towers” yang saya sebut tadi. Kalau dari dermaga awal tadi kapal menuju ke kanan, kali ini ke kiri ke arah bukit karang itu.

Ternyata di sana ada area eco-tourism berupa gua yang, kata Muhammad, pada Perang Dunia II konon pernah dihuni beberapa tentara Jepang yang kabur dari kejaran musuh. Beberapa tengkoraknya masih ada di sana. Sampai di lokasi, suasananya sepi. Sore itu tampaknya hanya kami turis yang mampir. Masuknya pun harus bayar 10 baht (Rp 3.000) per orang. Sial, ternyata tak banyak yang bisa dilihat di sini. Tapi memang suasananya sangat hening dan nyaman.

Di ujung area ada tangga menuju gua di atas. Sayang, di dalam gua suasananya sangat gelap dan agak menyeramkan. Kamera saku saya yang kemampuannya standar banget pun nggak bisa ngambil gambar apa-apa dalam kegelapan. Rasanya jadi malas untuk menjelajahi gua itu. Konon di puncak bukit itu juga ada sepasang burung elang berdada putih yang juga menjadi simbol Krabi.

Bisa banget ya Thailand. Cuma kayak begini juga bisa dijual ke turis. Tapi memang saya sadar bahwa 300 baht berdua tak cukup untuk membawa kami ke tempat-tempat yang lebih spektakuler pemandangannya. Saat gerimis muncul, kami nongkrong di sebuah pondok beratap rumbai sama Muhammad lagi.

“Di sini sepi sekali. Apa selalu seperti ini?” tanya saya ke Muhammad.

“Tidak juga. Sekarang memang sedang low season dan masuk musim hujan. Kalau sedang high season lebih ramai daripada sekarang.”

Saya dan Muhammad 🙂

Saat gerimis itu kami melihat dua pria bule lewat sambil bawa payung. Saat itu juga, hujan reda. Kami pun kembali ke dermaga kota. Sebenarnya yang paling menyenangkan adalah naik perahu itu sendiri. Apalagi saat hujan baru reda. Udaranya sejuk dan segar. Pemandangan ke arah kota pun indah, ditambah dengan kawasan hutan bakau yang hijau. Sesekali perahu kami juga berpapasan dengan beberapa perahu lain yang berhasil menggaet turis untuk sekadar cari angin.

“Terima kasih, ya,” kata Muhammad saat kami sudah turun dari perahu. “Semoga Anda betah di Krabi. Kalau mau ke pasar malam, jalan ke arah sana,” katanya sambil menunjuk ke satu arah. Ah, saya suka keramahan orang ini.

“Terima kasih kembali, Muhammad,” kata saya sambil menyalaminya. Tak lama setelah itu, saya melihat pelangi di atas hutan bakau. Ah, sesuatu banget… 🙂

Di sekitar dermaga kota, selain patung kepiting tadi, ada patung burung elang laut berdada putih bernama Nok Awk. Patungnya berada tak jauh dari keluarga kepiting tadi. Pemerintah kota membangun patung ini sebagai simbol pengetahuan, hidup sederhana namun berkucukupan, juga kepedulian terhadap orang lain—sifat-sifat yang diambil dari karakter elang itu. Di depan patung ini juga ada simbol “0 km”, lumayan buat foto-foto.

Setelah itu, kami berjalan mencari pasar yang tadi diceritakan Muhammad. Setelah bertanya ke sana kemari, kami menemukan pasar yang pertama. Ini pasar yang dibilang Muhammad yang menjual buah-buahan dan makanan halal.

Warung halal di pasar.

Ternyata betul, di sini ada banyak warung tenda yang penjualnya ibu-ibu berjilbab. Kami membeli mango sticky rice seharga 20 baht (Rp 6.000) dan…durian! Ternyata harga durian di sini agak mahal: 200 baht (Rp 60.000) untuk sekotak durian isi 8 buah dibungkus plastik. Untunglah ukuran buahnya cukup besar, daging duriannya tebal, dan rasanya manis.

Dari situ kami berjalan kaki lagi dan menemukan pasar malam yang dimaksud. Tata kota yang didesain berbentuk blok cukup memudahkan saya menghafal jalanan. Letaknya di belakang Vogue Department, dekat dengan hotel kami. Tampak pedagang-pedagang di sana sedang sibuk menata dagangannya.

Suasana pasar malam di Krabi.

Pasar malam ini buka setiap malam menjelang maghrib. Kita bisa melihat macam-macam di sana: penjual makanan dan minuman, pedagang kaos oblong, suvenir aneka macam, pengamen jalanan, dan saat kami ke sana ternyata sedang ada acara di panggung utama: kontes breakdance!

Wow, masih ada yang breakdance ya hari gini? Hehehe…Beberapa kelompok anak muda Krabi asyik memamerkan kebolehannya di atas panggung. Suasananya asyik banget. Langit biru tua petang hari, sambil makan durian dan mango sticky rice, menonton alay-alay Thailand pamer kebolehan, dan alay-alay lain yang mondar-mandir di sekitar situ. Banyak juga turis asing yang nonton acara ini. Lumayanlah buat sedikit hiburan.

Panggung breakdance.

Sayangnya, di sekitar situ nggak ada yang jual kaos oblong yang rada bagusan. Kesannya malah agak-agak ndeso gitu kaosnya…hihihi! 😛 Nah, kalau yang jual makanan enak, ini banyak banget. Akhirnya saya beli ayam goreng yang wanginya mengingatkan saya pada si ibu penjual ayam goreng di kereta pagi tadi. Ditambah kebab buat makan malam di kamar…hehehe! 😛

Ini beberapa foto suasana pasar malam Krabi itu:

Menjelang maghrib, siap-siap buka lapak.

Bocah-bocah Thailand main musik tradisional. Lemparkan sedikit uang ke kotak kalau berkenan. 🙂

Si ibu penjual kebab.

Pantomim bareng pria bercat biru.

Setelah puas muter-muter di pasar malam, kami memutuskan kembali ke hotel. Di tengah jalan kami mampir sebentar ke Vogue Department—sebuah toserba biasa semacam Griya di Bandung atau Mirota di Jogja. Siapa tahu ada kaos yang bagus. Ternyata tidak ada. Selain itu cuma ada KFC di situ.  Tak banyak lagi yang bisa dilihat di Krabi Town saat malam. Tentu saja ada beberapa kafe dan kelab malam di kota ini, tapi sejak dulu saya memang nggak tertarik main ke tempat-tempat itu.

Sampai di kamar, setelah makan kebab, kami bersiap tidur. Besok kami ada acara main kayak. Butuh tenaga banyak. 🙂

(Bersambung)

Thai Times #4

Lobi hotel.

“A traveler without observation is like a bird without wings.”

~ Moslih Eddin Saadi

Jumat, 24 Agustus

Pagi itu lobi hotel sepi. Bule-bule backpacker yang biasanya nongkrong di situ tampaknya belum ada yang bangun. Baguslah, jadi saya bisa pake Internet sebentar. Rencananya saya mau memesan hostel di Krabi, berhubung malam ini kami berangkat ke sana naik kereta. Sekalian web check-in untuk pesawat Air Asia kami dari Kuala Lumpur nanti.

Pakai Internet di hotel ini asyik juga. Sistemnya cukup dengan memasukkan koin 10 baht (Rp 3.000) untuk akses Internet selama 15 menit. Mahal sih, makanya nggak baik berlama-lama di depan Internet di sini.

Setelah beres semua urusan itu, kami menyeberang ke Stasiun Hua Lamphong. Di area food court di stasiun ini ada satu kedai makanan halal di pojokan. Masakannya sederhana saja: ada nasi goreng, tom yam, padthai, dan aneka lauk tumis serta oseng. Saya pilih nasi dengan lauk tumis ayam masak pedas, sementara istri saya pesan nasi goreng dengan telur dan suwir ayam. Untuk masakan yang porsinya rada banyak itu harganya cuma 50 baht (Rp 15.000) per porsi.

Sistem belinya emang agak ribet. Setelah memesan dan menanyakan harga, kami harus pergi ke loket kupon yang ada di situ. Kita lalu harus beli kupon seharga makanan yang barusan dipesan tadi. Misalnya saya pesan makanan seharga 100 baht, maka saya harus beli kupon senilai 100 baht di loket, lalu menukarkan kupon itu di tempat kita memesan makanan tadi. Tentunya setelah makanannya siap.

Rasanya? Muaknyuss….ayam masak pedas pesanan saya sukses bikin saya keringetan. Rasanya juga gurih nikmat. Sementara nasi gorengnya juga enak. Mirip-mirip nasi goreng tek-tek langganan saya lah. Bumbunya cukup terasa. Duh, saya demen dah makanan kayak gini! 🙂

Setelah makan, saya memutuskan untuk melihat-lihat isi stasiun ini dulu. Kan lumayan bisa buat bahan cerita di blog ini. 🙂

Tampak depan Stasiun Hua Lamphong, Bangkok.

Saat pertama kali masuk ke stasiun ini hari sebelumnya, saya mendapat kesan lega pada bangunan ini. Sepertinya itu disebabkan langit-langit stasiun yang didesain tinggi dan melengkung. Mirip sebuah hanggar pesawat. Menurut saya, desain Hua Lamphong memang kuno, hampir tak ada kesan mewah dan modern, namun cukup elegan, bersih, dan terawat. Di atas pintu masuk utama dan pintu masuk ke peron ada poster raja Thailand berukuran besar. Setiap jam 6 sore, di tempat-tempat publik, termasuk stasiun, akan dikumandangkan lagu kebangsaan Thailand. Semua orang berdiri khidmat untuk menghormati lagu kebangsaan, termasuk turis–demi sopan santun.

Hua Lamphong melayani lebih dari 130 trayek dan sekitar 60 ribu penumpang setiap hari. Penumpang dapat langsung membeli tiket di hari yang sama dengan keberangkatan, tetapi untuk tujuan populer dan ingin kelas sleeper train, sebaiknya kita memesan jauh-jauh hari hingga 60 hari sebelum keberangkatan. Di tiket kita akan tercetak waktu, tanggal, dan nomor bangku. Dua layar monitor berukuran besar akan memperlihatkan jadwal kereta yang akan berangkat hari itu. Mirip seperti di bandara.

Saya lihat ada total 22 loket pembelian tiket. Setengahnya untuk pembelian hari H, dan sisanya untuk pemesanan 1-60 hari sebelum keberangkatan. Tak semua loket buka, memang, tergantung kebutuhan. Petugas loket juga rata-rata bisa bahasa Inggris, walau sangat pas-pasan. Petugas di bagian Informasi bahasa Inggrisnya rada mendingan. Calon penumpang (biasanya backpacker bule) yang kehabisan atau malas duduk di tempat duduk memilih untuk leyeh-leyeh di area tengah yang luas sambil menunggu kereta mereka siap. Backpack mereka yang besar-besar diletakkan di lantai untuk sandaran.

Interior Hua Lamphong.

Fasilitas apa saja yang ada di stasiun ini? Selain food court, ada money changer dan Left Baggage untuk menitipkan tas. Tarifnya per 24 jam. Kalau tak salah, untuk backpack yang agak besar dikenakan tarif 70 baht (Rp 21.000).

Mushola.

Toilet di sini juga bisa digunakan untuk mandi dengan tarif 20 baht (Rp 6.000). Di depan toilet, ada tangga ke atas menuju mushola. Papan petunjuknya terbaca jelas seperti di foto. Di lantai 2, yang ada di sayap kanan dan kiri, ada kantor pos, kafe yang rada mahal, warnet, dan beberapa kantor agen perjalanan wisata ke kota-kota lain di Thailand.

Puas menjelajahi stasiun, kami kembali ke hotel. Selesai berkemas, jam 12 kami check out. Di hotel-hotel Thailand biasanya kita boleh menitipkan tas tanpa bayar walau sudah check out. Bisa dimaklumi, mereka ingin tambahan layanan ini bisa membuat tamu kembali kalau kapan-kapan main ke Bangkok lagi.

Mah Boon Krong (MBK).

Jelas saya senang karena tak perlu keluar uang untuk menitipkan tas di stasiun. Dua backpack kami pun diletakkan di tengah-tengah tumpukan ransel tamu lain yang sudah check out. Siang itu kami menuju mal MBK. Rutenya cukup mudah, tinggal naik MRT dari Hua Lamphong, turun di stasiun Si Lom, disambung dengan BTS Skytrain (= monorel) dan turun di stasiun Sala Daeng. Dari situ tinggal jalan kaki ke MBK.

Mal ini berada di kawasan Siam. Kawasan ini dikepung oleh mal-mal besar. Selain MBK, ada Siam Square, Siam Paragon, dan beberapa yang lain. Pokoknya tempat-tempat ini ini benar-benar shopping heaven, deh!

Kaos-kaos serba 99 baht!

Di lantai 4 dan 5…nah, ini surganya orang gila belanja. Segala suvenir dengan harga murah. Saya, yang kalau ke luar negeri cuma pengen beli kaos oblong, langsung ngiler ngeliat toko-toko dan kios-kios t-shirt semuanya kompak jualan kaos keren cuma 99 baht (Rp 29.700)! Padahal bahannya bagus lho, agak-agak elastis gitu. Udah gitu desain gambarnya lucu-lucu. Ada yang serba tulisan “Thailand”, ada juga yang permainan kata bahasa Inggris. Misalnya: Sex Instructor, The Comma Sutra, Beer is the reason I get up every afternoon, dan banyak lagi.

Sialnya, setelah lirik-lirik dompet, ternyata uang baht kami tidak cukup lagi untuk sekadar beli oleh-oleh. Padahal kami belum lagi berangkat ke Krabi, dan masih harus ke Hatyai untuk melanjutkan perjalanan ke Kuala Lumpur. Sialnya lagi, tak satu pun pedagang di sana yang bisa menerima pembayaran dengan kartu kredit.

Setelah gempor muter-muter dan tak ada satu pun pedagang kaos dan suvenir yang bisa menerima kartu kredit, bahkan hingga keluar dari MBK dan muter-muter kawasan Siam ke mal-mal di sebelahnya, akhirnya kami terpaksa ngaso sebentar. Kaos bagus paling murah yang kami temukan sepertinya cuma di MBK. Jadilah kami kembali ke mal itu, mencari mushola (ada di lantai 5), dan mojok sebentar untuk menghitung lagi recehan kami di dompet.

Kios suvenir.

Setelah mengaduk-aduk dompet, ditemukanlah beberapa puluh ribu rupiah (yang untungnya masih ada harganya di sini), dan kebetulan juga kami punya 100 dolar Hong Kong (= Rp 100.000!), dan beberapa ringgit. Setelah sholat, kami muter-muter dulu mencari money changer di sana. Saya memilih satu yang berstiker Master Card dan menanyakan apakah saya bisa mengambil uang tunai baht dengan kartu kredit saya itu. Dan ternyata bisa! Walau dengan syarat harus mengambil minimal 3.000 baht (Rp 900.000), itu tak masalah karena bisa kami pakai buat cadangan hingga ke Kuala Lumpur. Mungkin bahkan masih sisa sampai di Bandung.

Total jenderal kami berhasil mengumpulkan 5.000 baht (Rp 1,5 juta) buat menyambung hidup sampai pulang. 🙂 Yang pasti: beberapa kaos oblong, gantungan kunci, dan kantong bordiran yang digantungkan di dinding (saya nggak tahu apa sebutannya) akhirnya berhasil dibeli. Kemudian, kami memutuskan segera pergi ke stasiun. Saya menyesal setengah mati karena tak sempat mampir ke Lumphini Park di dekat stasiun MRT Si Lom. Ini artinya suatu hari nanti saya harus datang ke Bangkok lagi! *bersumpah*

Menu makan malam 🙂

Setelah mengambil ransel-ransel yang dititipkan di hotel, kami menyeberang ke stasiun Hua Lamphong. Gara-gara urusan kehabisan duit tadi, kami malah jadi nggak sempat makan siang. Jadi, kami kembali ke warung halal di foodcourt tadi pagi. Kali ini memesan menu yang agak beda. Istri saya pesan nasi goreng ayam-telor lagi, sementara saya pesan nasi dengan dua lauk tumisan ayam, kentang, dan sayur. Semuanya cuma 100 baht (Rp 30 ribu). Hebat juga nih yang masak, cuma tumisan sederhana begini enaknya bikin merem melek! 😀 Saya perhatikan, di Thailand jarang sekali ada sambal. Jadi kalau kita ingin makanan kita tambah pedas, biasanya disediakan cabe bubuk. Mantap kok, tetap bisa bikin kita berdesis kepedesan! 🙂

Puas makan, kami bergantian ke mushola. Pas giliran saya, ada sekelompok pemuda tanggung lagi nongkrong di sana. Sambil mengucapkan salam, saya meminjam sajadah ke mereka (di mushola itu cuma ada karpet). Setelahnya, saya coba mengajak mereka ngobrol sebentar. Tampaknya mereka tak bisa bahasa Inggris sama sekali, tapi saat saya bilang saya dari Indonesia, mereka tampak mengerti dan menjawab bahwa mereka dari Pattani, kawasan Thailand selatan yang banyak dihuni muslim. Salah satu dari mereka entah ngomong apa ke saya, tapi saya menangkap dua kata intinya: “kakak ipar” dan “Aceh”. Oooh, begitu. 🙂 Lalu saya pamit sambil mengucap salam. Saya dan istri segera ke peron dan mencari gerbong kami.

Kereta antarkota di Thailand penampilannya biasa saja, jelas bukan tandingan MRT dan Skytrain-nya. Ornamen kayu di dinding bagian dalam terkesan kuno. Kursinya tipe 2-2 dan reclining seat. Jarak antar kursi di depan dan belakang juga cukup lega, sehingga ketika penumpang di depan kita menurunkan punggung kursi, penumpang di belakangnya tidak akan terganggu. Jendela keretanya lebar dan bisa dibuka dengan cara ditarik ke bawah. Kereta berangkat tepat waktu jam 19.30. Menurut jadwal, kami akan tiba di Surat Thani jam 07.00 keesokan harinya untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus ke Krabi.

(Bersambung)

Thai Times #3

Chakri Maha Prasat Hall, Grand Palace.

“To get to know a country, you must have direct contact with the earth. It’s futile to gaze at the world through a car window.”

~ Albert Einstein

Lolos dari jebakan scammers tolol, kami akhirnya menemukan pintu masuk Grand Palace. Saat itu sekitar jam 9 pagi, tapi ramainya luar biasa. Backpacker, turis ber-guide yang heboh dan ribet banget, anak-anak sekolah, mahasiswa, alay, semua udah ngumpul di sana. Oh ya, untuk memasuki kawasan ini, pengunjung diminta untuk berpakaian sopan: tidak boleh menampakkan lengan, bahu, betis, paha, dada. Gampang aja kok, pakai celana jins dan kaos oblong (berlengan) tuh udah sopan banget di sini. 🙂 Biasanya turis bule yang doyan buka-bukaan gitu. Tapi nggak apa-apa, di sini ada tempat khusus untuk pinjam pakaian buat menutupi bagian-bagian tadi. *duh, bahasanya*

Anak-anak sekolah Bangkok lagi study tour.

Pas sampai di loket, saya sempat bengong dulu: harga tiket masuknya 400 baht (Rp 120.000). Tapi masa iya udah di Bangkok nggak main ke Grand Palace? Itu memalukan, kawan! 😛 Saya duduk-duduk dulu dekat loket penjualan tiket. Sambil ngaso sejenak, saya memerhatikan keadaan sekitar. Grand Palace saat itu sangat penuh dengan turis asing dan domestik. Ada yang sendirian, berkelompok kecil, dan banyak juga rombongan besar yang dipandu tour guide yang tampak stres mengatur rombongannya. Bahasa mereka bermacam-macam. Saya mencoba mengenali beberapa di antaranya: Inggris, Spanyol, Cina, Rusia, Jepang, dan beberapa orang yang saya duga dari Eropa Timur.

Setelah duduk-duduk nggak jelas beberapa lama, akhirnya saya membeli tiket. Begitu masuk ke area dalam, duit sebanyak itu sudah tak terasa berat lagi. Kompleks ini keren dan sangat indah. Bagus banget buat yang doyan fotografi, sejarah, atau sekadar foto-foto narsis. Grand Palace adalah kompleks bangunan istana yang berfungsi sebagai kediaman resmi raja-raja Thailand dari abad ke-18 dan seterusnya.

Setelah Raja Rama I naik tahta pada 1782, istana ini pun dibangun. Sebelumnya, istana kerajaan dan pusat administrasi pemerintahan berada di Thonburi, di sebelah barat Sungai Chao Phraya. Karena beberapa alasan, raja yang baru ini menganggap ibukota di Thonburi itu sudah tak layak lagi dan ia pun memutuskan untuk membangun yang baru di sisi timur sungai tadi. Di bawah pemerintahan Raja Rama I, istana yang baru pun dibangun, tak hanya sebagai tempat tinggalnya, namun juga sebagai lokasi kantor-kantor pemerintahan dan tempat ibadah umat Buddha. Kompleks ini belakangan dikenal dengan nama Grand Palace.

Temple of the Emerald Buddha.

Di area seluas 218 ribu meter persegi ini ada sekitar 35 bangunan, belum termasuk restoran dan toilet. Warna bangunan-bangunan yang ramai dan didominasi warna emas membuat kompleks ini tampak genit dan menarik. Di sini bahkan ada miniatur Angkor Wat, kompleks candi yang luas di Kamboja itu. Sesekali saya mendekati kelompok turis yang menggunakan pemandu wisata untuk menyimak penjelasan tentang bangunan-bangunan yang ada di kompleks ini.

Di bangunan Chakri Maha Prasat Hall (lihat foto paling atas) sebenarnya ada museum senjata—memamerkan ratusan jenis senjata yang dipakai Kerajaan Siam di masa lalu. Sayangnya pengunjung dilarang memotret di dalam ruangan itu. Setidaknya di situ ada beberapa kipas angin besar, lumayan lah buat mendinginkan badan yang sudah bermandi keringat ini. Sepertinya kalau jalan-jalan lagi ke Bangkok ada baiknya bawa kaos cadangan dan handuk terus mandi. Panasnya bisa bikin baju basah kayak habis kehujanan.

Pedagang kaki lima di sekitar Grand Palace.

Puas menikmati kompleks Grand Palace, kami berjalan menuju satu wat (kuil/candi) lagi di belakangnya: Wat Pho. Kami berjalan balik ke arah tempat kami dikerjain scammer gagal tadi, tapi kali ini di sisi seberangnya. Di sisi yang ini ada banyak sekali pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di trotoar.

Saat itulah kami melihat penipu tadi sedang beraksi di seberang jalan. Korbannya kali ini beberapa orang kulit putih. Tadinya saya pengen banget nyamperin mereka sambil ngomong, “Woi, Grand Palace udah buka tuh dari tadi pagi!” Tapi jangan-jangan nanti saya malah digebugin geng sopir tuk-tuk gara-gara saya bongkar aksi penipuan mereka…hehehe! 😛

Berhubung siang itu suhunya puanas banget, saya membeli semangka segar dan duduk di sebuah taman kecil dekat situ. Sambil makan semangka, saya memerhatikan sekelompok anak sekolah berseragam biru-putih (kayaknya anak SMP) lagi nongkrong di taman. Lagi bolos sekolah, mungkin…hehehe! Di sebelah saya juga ada seorang pria yang sedang sibuk menebar remah rotinya ke sekitar burung-burung merpati di taman itu.

Setelah segar makan buah dan sebotol air, kami masuk ke kompleks Wat Pho. Dan ternyata: masuk ke Wat Pho harus bayar juga. 😦 Memang nggak mahal sih, cuma 100 baht (Rp 30.000). Tapi di sini kan ada patung Reclining Buddha alias Buddha lagi santai Buddha berbaring. “Sekali seumur hidup lah. Cuma 30 ribu kok. Kan rugi udah jauh-jauh ke sini,” kata istri saya. Ah, ya sudahlah. 🙂 Oh ya, tiket segitu udah termasuk sebotol air minum dingin ya.

Reclining Buddha.

Wat ini sebenarnya bernama asli Wat Phra Chetuphon Vimolmangklararm Rajwaramahaviharn.  Nama Wat Pho diambil dari sebuah biara yang diyakini pernah menjadi tempat tinggal Buddha.

Sebelum dibangun, tempat ini adalah pusat pendidikan khusus pengobatan tradisional Thailand, dengan patung-patung yang menunjukkan posisi-posisi yoga.

Setelah sebuah patung Buddha raksasa di Ayuthaya dihancurkan oleh Burma pada 1767, Raja Rama I mengumpulkan puing-puingnya dan membangun patung yang lebih besar serta memperluas kompleks Wat Pho ini.

Hampir sama dengan Grand Palace, di kompleks ini ada banyak bangunan dan kuil-kuil indah dengan warna-warna mencolok. Tapi sajian utamanya adalah patung Buddha—terbesar di Bangkok. Panjangnya 43 meter dan tingginya 15 meter, dengan hampir semua tubuhnya berwarna emas.

Di telapak kaki patung Buddha ini ada 108 simbol Buddha. Wat Pho juga dikenal sebagai tempat lahirnya Thai massage yang terkenal itu.

Tampaknya orang Buddha senang membuat patung Buddha dengan berbagai pose. Tak jarang patung-patung tersebut berukuran raksasa.

Saya jadi teringat patung Buddha raksasa yang saya lihat di Ngong Ping, Hong Kong, sekian tahun lalu—saat belum ada kamera digital alias masih harus cuci-cetak. *negatifnya manaa negatifnyaaa* 😛

Waktu sudah menjelang sore. Tadinya kami mau main ke Mah Boon Krong (MBK), satu mal di Bangkok yang terkenal di kalangan orang yang suka belanja suvenir murah meriah. Tapi akhirnya  kami memutuskan untuk main ke Khaosan Road yang jaraknya sekitar satu kilometer lebih dikit dari dua kompleks wat ini. Sebenarnya ada satu wat lagi—Wat Arun—dekat situ. Lokasinya di seberang dermaga Tha Tien tempat kami turun tadi pagi dari speed boat di sungai Chao Phraya. Tapi kami sudah capek liat wat.

Khaosan sebenarnya cuma seruas jalan biasa, tapi jalan ini sangat terkenal di kalangan backpacker yang mengunjungi Bangkok, sebab di sini banyak sekali penginapan murah, toko-toko suvenir murah, warung makan murah, dan semua yang bikin nyaman turis saat mengunjungi suatu negara. Saya cuma pengen tahu aja ada apa di sini. Beberapa sopir tuk-tuk yang kami cegat menolak tarif yang saya mau, jadi kami pun memutuskan berjalan kaki saja.

Setelah gempor jalan kaki dan sampai di Khaosan, saya jadi maklum kenapa backpacker kulit putih sangat betah di sini. Hedonisme mereka terpuaskan di tempat yang mata uangnya sangat berlimpah jika dikurskan dari mata uang negara mereka. Banyak di antara mereka yang leyeh-leyeh sepanjang hari, minum bir siang-malam, mabuk dan berkelahi setelah berdisko waktu malam, muntah-muntah di jalanan, dan pergi tidur saat pagi tiba. Mungkin juga mereka menyempatkan diri main ke Patpong—kawasan “lampu merah” di Bangkok…hehehe 😛 Setidaknya, kalau mengacu ke cerita beberapa teman yang pernah menginap di sini, begitulah gambaran Khaosan Road.

Di ujung jalan, saya sempat menukar uang dolar Singapura yang masih tersisa. Agak sebal juga saat melihat di depan saya ada seorang pemuda yang lagi menukar uang—cuma bertelanjang dada dan pakai celana pendek yang memamerkan setengah celana dalamnya yang berwarna merah muda. Alay banget deh…. 😛 Sayang, saya telat mengeluarkan kamera…hehehe!

Khaosan Road.

Setelah itu saya jalan-jalan di sepanjang Khaosan. Jalan ini dikuasai backpacker kulit putih, disusul orang-orang Jepang dan Korea, dan sesekali tampak orang kulit hitam. Banyak lelaki bertelanjang dada di sini. Tapi kenapa perempuannya nggak ada yang….ah, sudahlah! 😀 Di kanan-kiri jalan ini ada banyak toko suvenir, kaos oblong, kafe, restoran, hostel/hotel, dan macam-macam lagi. Pedagang makanan kaki lima, bahkan yang halal, juga cukup mudah ditemukan. Mereka biasanya menjual kebab, buah-buahan, dan lain-lain. Banyak hal yang serba murah di sini, dihitung dengan rupiah sekalipun…hehehe! 😀

Di Khaosan ini saya juga menemukan beberapa kios yang menjual buku-buku Lonely Planet (LP) bekas—dan bajakan. Harganya cukup miring dibandingkan jika beli buku aslinya yang rata-rata di atas Rp 250 ribu di toko buku. Saya sempat tergoda beli beberapa juga. Harganya cuma sekitar Rp 100 ribu kalau dirupiahkan. Tapi saya dengar beberapa buku LP di sini juga fotokopian. Beberapa buku LP yang saya lihat pun agak meragukan. Saya pun mengurungkan niat beli LP. Lagian ransel saya bakalan makin berat kalau kalap beli buku di sini.

Setelah melihat-lihat beberapa toko, saya sempat membeli sepotong kaos oblong keren….dan harganya cuma Rp 48 ribu! Padahal bahannya bagus lho, agak-agak elastis gitu malah. Berhubung harga segitu udah nggak bisa ditawar lagi, saya memutuskan untuk beli kaos lagi di MBK—yang konon harganya lebih miring.

Penjual mango sticky rice.

Tak sengaja, saya menemukan penjual mango sticky rice. Penasaran, saya pun mencobanya. Hitung-hitung makan malam deh. 🙂 Mango sticky rice ini adalah potongan-potongan mangga segar, dimakan dengan beras ketan yang rasanya manis. Harganya cuma 25 baht alias Rp 7.500 seporsi. Rasanya? Enaaak!! 😀

Saya sempat tanya-tanya polisi soal bus nomor berapa yang menuju MBK (no. 15). Tapi karena setelah setengah jam ditunggu bus itu tak lewat juga, akhirnya kami memutuskan pulang ke hotel karena hari menjelang magrib dan kaki sudah sangat gempor. Transportasi yang cepat dan bisa ditawar tentunya cuma tuk-tuk. MRT dan Skytrain belum mencapai kawasan ini.

Setelah menawar hingga 90 baht (Rp 27 ribu) menuju stasiun Hua Lamphong, sang sopir langsung melesat—berzig-zag di antara kendaraan-kendaraan lain, masuk-keluar gang, ngebut hingga nyaris nabrak orang berkursi roda yang sedang menyeberang jalan. Sepanjang perjalanan dengan tuk-tuk, saya ketawa senang, istri panik. 😛

Suasana Stasiun Hua Lamphong. Difoto dari lantai atas.

Akhirnya setelah 20-25 menit, kami tiba di Hua Lamphong dengan selamat. Rencananya kami akan membeli tiket kereta ke Surat Thani, lalu dilanjutkan dengan bus ke Krabi. Sial, saya kehabisan tiket sleeping train—kereta yang kalau malam bangkunya bisa dilipat menjadi ranjang. Padahal saya pengen banget cobain kereta tidur gitu, tapi karena belinya sehari sebelum berangkat, malah kehabisan.

Jadilah saya beli tiket second class yang berkipas angin. Lebih murah daripada sleeping train, cuma 398 baht (Rp 120 ribu) untuk perjalanan dari jam 19.30 – 07.00 esok harinya. Tapi kemudian si petugas di loket menawarkan joint ticket, yaitu tiket bus menuju Krabi dari Surat Thani. Provinsi Krabi memang belum dilewati jalur kereta api, sehingga untuk menuju ke sana harus naik bus dari Surat Thani. Harga joint ticket ini 250 baht (Rp 75.000).

Untuk hari ini rasanya sudah cukup. Lumayanlah bisa tidur agak lama malam itu.

(Bersambung)

Thai Times #2

Mejeng dulu di Suvarnabhumi 🙂

“When you travel, remember that a foreign country is not designed to make you comfortable. It is designed to make its own people comfortable.”

~ Clifton Fadiman

Touchdown Bangkok! Jam 16.50 waktu Thailand (sama dengan WIB) akhirnya kami tiba di Bandara Suvarnabhumi (orang Thai melafalkannya: suwarnabum). Bandaranya lumayan bagus. Yang jelas masih lebih bagus daripada Soekarno-Hatta. Untuk menuju pusat kota, kita tinggal turun ke lantai B1 dan naik MRT. Sambil turun terus ke bawah dengan elevator, saya melihat ada banyak kios agen wisata yang menawarkan bus atau van ke tempat-tempat lain di sekitar Bangkok, misalnya ke pantai Pattaya.

Sejak sebelum berangkat, saya sudah hafal peta pusat kota Bangkok. Saya bahkan tahu harus naik apa menuju ke mana sebelum berangkat ke Thailand, termasuk cara menuju hotel kami di kawasan stasiun kereta Hua Lamphong. Semua jadi lebih nyaman dengan persiapan yang cukup. Di bandara, setelah mencomot beberapa peta Bangkok yang boleh diambil gratis, kami membeli tiket kereta Airport Rail Link menuju Makassan City Air Terminal. Harganya 150 baht (Rp 45.000) seorang.

Berhubung hanya punya pecahan 1.000 baht (Rp 300.000) dan ticket vending machine hanya menerima uang pecahan 10, 50, dan 100 baht, kami beli minuman dulu di 7 Eleven dekat pintu masuk ke stasiun, biar ada recehan. Setelah membeli tiket nanti kita akan mendapatkan token—keping plastik bulat yang berfungsi sebagai tiket. Tinggal ditempelkan saja di electronic reader saat mau masuk ke stasiun awal dan masukkan ke lubang di stasiun tujuan.

Pemandangan yang langsung membuktikan bahwa Thailand adalah negara yang dikunjungi 12 juta turis setahun adalah kereta dari bandara yang penuh dengan backpacker waktu itu. Ransel-ransel mereka banyak yang lebih besar daripada backpack saya. Bahkan ada beberapa bule yang bawa backpack gede sampai dua segala, depan-belakang. Saya perkirakan dua ransel model gitu ukurannya minimal 100 liter. Kalau terisi penuh, beratnya minta ampun dan merepotkan (buat saya), mungkin 20kg lebih. Biasanya backpacker yang begini jalan-jalannya lama, berminggu-minggu atau bahkan sampai bertahun-tahun (!). Kalau punya banyak duit dan waktu, saya juga bisa gitu kok. *mimpi*

Sekitar 30 menit kemudian, kami tiba di stasiun Makassan. Dari sini kami kami harus menyambung dengan MRT di stasiun Phetchaburi. Waktu saya bertanya ke petugas stasiun, dengan sangat ramah dia bahkan mengantar saya sampai ke dekat pintu keluar dan menunjukkan arah ke stasiun itu. Ternyata kami harus keluar dulu dari Makassan City Air Terminal, berjalan sekitar 200 meter melalui perlintasan kereta, menemukan stasiun MRT Phetchaburi, dan turun di stasiun Hua Lamphong. Stasiun yang terakhir ini tersambung langsung dengan stasiun kereta utama Hua Lamphong—semacam stasiun besar Gambir kalau di Jakarta. Hotel kami terletak di seberang gerbang depan stasiun ini.

Hotel kami.

Nama hotelnya pun mirip: @Hua Lamphong. Kami tiba sekitar jam 6-an sore. Sebenarnya tarif hotel ini agak mahal, sekitar Rp 200 ribu/hari untuk double bed. Pertimbangan saya, lokasi hotel ini sangat dekat dengan stasiun Hua Lamphong, sehingga kami bisa dengan mudah naik kereta ke kota lain dari Bangkok. Rencananya memang kami hanya akan tinggal dua hari di Bangkok, lalu lanjut ke Krabi naik kereta. Ada sih hotel, hostel, atau guesthouse yang lebih murah, berkisar 100 ribu atau kurang per malam, misalnya di Khaosan Road, tapi daerah itu belum dijangkau oleh jalur MRT ataupun Skytrain (sebutan monorel di Bangkok).

Sore itu kami mendapat kamar di lantai 5. Sialnya, nggak ada lift! Walhasil kami harus ngos-ngosan naik tangga sampai ke kamar. Tapi setelah sampai di kamar, kondisinya tidak mengecewakan. Kamar mandi bersih, TV, AC, dan kulkas kecil.

Si ibu penjual pancake.

Setelah mandi dan leyeh-leyeh sebentar, kami jalan-jalan di sekitar hotel. Banyak warung kaki lima di sepanjang trotoar, sayang nggak ada tulisan huruf latinnya, dan tak ada label halalnya. Setelah satu jam kurang, kami memutuskan kembali ke hotel.  Jangan lupa, saat itu masih hari yang sama dengan saat kami jalan-jalan di Singapura, jadi ya kami masih capek. 🙂 Di trotoar dekat hotel, ada seorang ibu berwajah Thai campur Arab yang menjual pancake.

Sederhana, tapi kok enak banget ya….

Saya beli dua pancake pisang seharga 30 baht (Rp 15.000). Saya juga bertanya soal di mana kami bisa mencari makanan halal. Si ibu menunjuk ke arah stasiun. “Di daerah dekat stasiun ada beberapa. Di dalam stasiun juga ada,” katanya dengan bahasa Inggris patah-patah. Setelah itu kami membeli beberapa botol air minum di sebuah minimarket. Lumayan kan, bisa didinginkan dulu semalaman di kulkas di kamar. Jalan-jalan di Bangkok bakal menyiksa tanpa banyak air minum. Setelah makan pancake di kamar (enak banget ternyata!), jam 9 kami sudah siap tidur.

***

Kamis, 23 Agustus 2012

Paginya, setelah sholat Subuh, jam 06.00 kami sudah mandi dan siap jalan-jalan. Agenda hari itu adalah main ke Grand Palace, Wat Pho, dan Khaosan Road. Grand Palace adalah kompleks bangunan istana yang indah, yang berfungsi sebagai kediaman resmi raja-raja Thailand dari abad ke-18 dan seterusnya. Wat Pho adalah kompleks kuil Buddha dengan patung reclining Buddha (Buddha berbaring) yang sangat besar. Sementara yang terakhir adalah nama jalan paling ngetop di Bangkok di kalangan backpacker. Banyak barang-barang murah di Khaosan—suvenir, kaos oblong, Lonely Planet bekas (dan bajakan), money changer, warung makan, dan banyak lagi.

Dengan berbekal peta Bangkok dan Lonely Planet, pagi itu kami jalan kaki ke dermaga Ratchawong di tepian sungai Chao Phraya. Kalau dikira-kira sih, sekitar 30 menit jalan kaki seharusnya sudah sampai di dermaga itu. Saat itu kami berjalan melalui Chinatown—kawasan pecinan di Bangkok yang banyak jalan kecil dan gang. Gara-gara nggak ketemu juga itu dermaganya, terpaksalah kami naik tuk-tuk. Awalnya si sopir yang menghampiri saya menawarkan jasanya. Dia menyebut angka 60 baht (Rp 18.000).

“Masih jauh kalau jalan kaki. Kalau naik itu, Anda harus bayar 40 baht per orang,” katanya sambil menunjuk sekumpulan tukang ojek. Setelah adu sombong dan adu gengsi, saya berhasil menawar sampai 30 baht saja (Rp 9000). Akhirnya dia mau. Tuk-tuk adalah semacam becak motor di Bangkok. Modelnya lucu dan rame berwarna-warni. Dan yang paling top: sopirnya selalu ngebut! *kayak saya* 😛 Orang bule mungkin bakal shock saat pertama kali naik tuk-tuk, tapi buat kita yang negaranya mirip-mirip Thailand, tuk-tuk sih sepotong kueee piece of cake! 😛 Jadi, sementara istri saya teriak-teriak panik, saya jerit-jerit kesenengan. 😀

Untuk naik kendaraan yang satu ini  memang harus nawar dulu. Itu pun sebaiknya kita sudah tahu perkiraan jarak ke tujuan. Tawarlah sampai sekitar 50% atau bahkan lebih. Kalau sopirnya menolak, ya tinggal saja. Kalau belakangan kita dipanggil lagi, artinya dia setuju dengan tawaran kita. Kalau naik bus kota, kesulitannya adalah semua tulisan ditulis dalam aksara Thai. Yang terbaca hanya nomor rute busnya. Bisa juga tanya-tanya orang di jalan—ini pun butuh kesabaran karena umumnya orang Thai tak bisa berbahasa Inggris dengan baik, aksennya pun kadang rada aneh dan sulit dimengerti.

Tuk-tuk 🙂

Dibandingkan bajaj di Jakarta yang suaranya berisik, naik tuk-tuk rasanya lebih asyik. Tarikannya enteng macam motor bebek baru, tempat duduk untuk penumpang pun lega. Keringat bisa langsung hilang setelah angin-anginan pakai kendaraan satu ini….hehe! Ternyata naik tuk-tuk ke dermaga itu tak sampai 10 menit. Ini cuma gara-gara nyasar di Chinatown aja. 🙂

Hanya menunggu 5 menit di dermaga, datanglah perahunya. Kalau tak salah, ada dua macam speed boat, yang ekspres dan yang biasa. Lebih aman, tanyalah petugas di tepi dermaga, sebutkan tujuan, dan dia akan dengan ramah menunjukkan di mana kita harus menunggu perahu. Naik perahu ini bayarnya pas kita udah naik. Ongkosnya tergantung jarak. Waktu itu saya cukup bayar 15 baht (Rp 4.500) per orang ke tujuan kami, dari dermaga Ratchawong ke Tha Tien. Saya perhatikan, kalau “kondektur”nya lupa nagih, boleh juga kita nakal sedikit dengan pura-pura nggak lihat…hehehe! *jangan ditiru* 🙂 Naik perahu begini sangat menyenangkan di tengah suhu kota Bangkok yang panasnya sekitar 33-34 °C. Embusan angin terasa segar di tengah sungai yang airnya cokelat namun bersih dari sampah.

Serunya naik perahu di Chao Phraya 🙂

Sekitar 15 menit kemudian kami tiba di dermaga Tha Tien—dermaga terdekat dengan kompleks Grand Palace dan Wat Pho. Di sekitar dermaga ada pasar dan banyak juga kios yang menjual suvenir dan warung makan. Berhubung belum sarapan, kami pun mencari makanan di sekitar situ. Tak sengaja, kami menemukan satu warung yang ada label halalnya. Menunya nasi goreng dan padthai. Karena harganya agak mahal, 60 baht (Rp 18.000) per porsi, saya pesan satu porsi padthai saja untuk dimakan berdua. Untunglah porsinya banyak.

Padthai 🙂

Padthai adalah sejenis kwetiauw ala Thailand, dimasak dengan berbagai macam sayuran, tauge, potongan wortel, dan kalau mau spesial bisa ditambah telur dan potongan daging ayam. Yang jelas rasanya sangat Thai: ada manis-asem-pedas gitu. Rasanya lumayan lah. Tapi saya pribadi tak terlalu memfavoritkan menu ini, lebih karena asemnya itu. Kalau pedasnya kurang, bisa tambah cabe bubuk yang sepertinya selalu ada di setiap warung kaki lima di Thailand.

Saat sedang makan, ada sekelompok turis Indonesia yang lewat dipandu tour guide. Si pemandu ini malah menyapa kami dengan assalamualaikum dan menyalami saya. Walau bahasa Indonesianya bagus, saya tebak orang ini orang Thailand, karena bahasanya Indonesianya cenderung formal, ber-Anda-Anda-ria, dan selintas ada aksen yang aneh. Kalau soal wajah sih ya Asia Tenggara banget. 🙂 Si pemandu sedang menggiring kelompok turis tadi untuk beli tahu goreng khas Thailand di depan kami. Tapi tahunya mahal, 20 baht (Rp 6.000) satunya.

Trotoar yang ini adalah sisi kanan kompleks Grand Palace (kalau dilihat dari arah pintu masuknya, di ujung sana terus belok kanan). Kami dihadang scammers di sini.

Kenyang makan, kami melanjutkan perjalanan. Kompleks Grand Palace dan Wat Pho langsung terlihat tak lama kemudian. Yang paling dekat dengan dermaga adalah kompleks Wat Pho, tapi kami memilih untuk mencari pintu masuk Grand Palace dulu.

Saat itu kami berjalan di sisi kanan (kalau dilihat dari arah pintu masuk Grand Palace), tapi di bagian yang dekat dengan sisi dinding Grand Palace, bukan di seberangnya—yang banyak pedagang kaki lima (lihat foto). Tiba-tiba, dua orang pria mencegat kami. Salah satunya menyapa ramah, dengan senyum licik. Yang satu lagi agak galak, sambil bilang, “Stop! Grand Palace is closed!” katanya sambil menunjukkan kartu pengenal bertulisan Tourist Police dari sakunya. Saya langsung waspada dan sadar bahwa kami mungkin akan ditipu. Tapi saya baru tahu ada modus pakai kartu identitas palsu segala.

“Hello, where are you from? Malaysia?” kata yang pertama setelah melirik istri saya yang berjilbab.

No, Indonesia,” jawab saya. Saya teringat blog-blog dan buku-buku panduan yang pernah saya baca. Di tempat-tempat wisata seperti Grand Palace ini, banyak scammer (penipu) yang mencoba mengalihkan turis ke tempat-tempat lain dengan naik tuk-tuk atau taksi. Dalam kasus Grand Palace ini, saya hafal sekali bahwa penipu macam ini akan bilang bahwa Grand Palace tutup karena sedang dipakai untuk ibadah, baru buka jam 3 sore, lalu dia akan menawarkan rute melihat kuil-kuil lain atau “pameran” perhiasan. Kenyataannya, turis nantinya akan dipanggilkan tuk-tuk yang akan membawa ke toko-toko perhiasan. Si penipu dan sopir tuk-tuk ini akan mendapat persenan kalau turis mau beli perhiasan di toko-toko tertentu.

“You bring map? Let me show you other interesting places.” Si penipu kemudian mencorat-coret peta saya.

Saya cuma cengengesan sambil bilang ke istri, “Asyik nih, kita lagi ditipu!” Tapi saya ladeni dulu usaha si penipu. Yah, sedikit menghargai usaha orang lain lah….hahaha! 😀 Tapi Anda nggak usah takut. Posisi penipuan itu di daerah ramai orang kok, walau saat itu kami berada di sisi trotoar yang lengang. Tapi di seberang jalan sangat ramai. Mereka hanya mencoba menipu turis. Rasanya saya belum pernah dengar mereka mencoba menggunakan kekerasan fisik.

“So, where you want to go?” si penipu selesai mencorat-coret, mungkin juga sambil bersiap memanggilkan tuk-tuk.

Saya jawab, “Ya sudah, kalau tutup, saya balik lagi aja nanti.”

“Hei, jangan lewat sana! Lagi ada ibadah.”

“Ya sudah, saya mau ke Khaosan Road aja!”

“Khaosan Road? Tapi di sana juga tutup!”

“Tutup apaan?? Saya kan nginep di Khaosan Road!”

Pria yang satu lagi mencoba nimbrung, tapi langsung dicegah sama temannya tadi. Dalam bahasa Thai, dia tampak sangat murka. Kayaknya dia ngomel-ngomel, “Udah, biarin aja! Ni orang keras kepala, gak bisa ditipu!” *sok tau bahasa Thai*

Saya dan istri cepat-cepat menyingkir dari situ, sambil maki-maki dan ketawa-ketiwi. 😀

(Bersambung)

Thai Times #1

Backpacking ke 3 negara cukup bawa ini aja 🙂

“Traveling…it leaves you speechless, then turns you into a storyteller.”

~ Ibnu Batutah (“backpacker” & travel writer abad ke-14)

Namanya pegawai swasta, jatah cuti sangat terbatas. Jadi saya harus bisa pintar-pintar mengatur waktu supaya hobi backpacking saya tidak terganggu. Untunglah libur Lebaran tahun ini harinya sangat enak: Idul Fitri jatuh pada 19-20 Agustus 2012. Itu hari Minggu dan Senin. Puasa sudah, sholat Ied sudah, silaturahim dengan keluarga sudah. Di TV beritanya juga cuma soal macet melulu. Tempat-tempat publik juga pasti sangat ramai karena semua orang liburnya bersamaan. Duh, membosankan! Jadi, mau apa lagi? Jawaban saya sudah jelas: backpacking! 🙂

Lagi pula, ini pertama kalinya saya bisa ngetes backpack Rei ukuran 50 liter saya untuk pertama kali, setelah selama ini cuma gendong ransel kecil yang sehari-hari juga dipakai buat ngantor itu. 🙂

Jadi, hari Selasanya saya dan istri memilih terbang ke Thailand buat backpackingyahooo!! Sebelum berangkat, sejak 2,5 bulan sebelumnya saya sudah memesan semua tiket pesawat, hotel, dan bus dari Hatyai ke Kuala Lumpur. Entah ada hubungannya atau tidak, agak susah dapat tiket pesawat langsung ke Thailand yang harganya rada murah di bulan Agustus atau sekitar hari raya Idul Fitri.  Jadi saya sengaja cari rute yang bisa transit di sana-sini agar tiketnya bisa rada murah dikit. 🙂 Jadilah saya beli 3 tiket pesawat: Jakarta-Singapura, Singapura-Bangkok, dan Kuala Lumpur-Bandung.

Supaya tidak rugi transit di satu negara, saya memilih jeda waktu yang agak panjang saat transit di Singapura dan KL. Lumayan kan jalan-jalan seharian di sana? 🙂 (FYI, mulai September Mandala membuka rute Jakarta-Bangkok langsung). Tiket Jakarta-Singapura sekitar Rp 250 ribu per orang dengan Jetstar. Tiket dari Singapura ke Bangkok sendiri sekitar Rp 600 ribu per orang dengan pesawat Tiger Airways.

Kami tiba di Singapura tengah malam jam 00.50 waktu lokal. Setelah lewat pemeriksaan imigrasi, saya langsung menyesal karena tampaknya spot untuk tidur lebih nyaman di area transit sebelum keluar dari imigrasi. Tapi setelah iseng-iseng naik Skytrain (= monorel di kawasan Bandara Changi) bolak-balik ke terminal 2 dan 3, saya kembali ke Terminal 1 dan menemukan banyak tempat duduk kosong di luar departure lounge dan banyak pula orang yang tidur di sekitar situ. Dan setidaknya di area ini tak terlalu ramai seperti di area dalam imigrasi.

Karena lupa membawa jaket, saya mengeluarkan sarung untuk sedikit melindungi tubuh karena AC di sini lumayan dingin. Backpack yang cuma berisi baju saya jadikan bantal. Pukul 05.30 saya bangun. Setelah cuci muka dan sikat gigi (istri saya malah sempat mandi pakai shower WC gitu :P), kami mencari mushola, namun ternyata mushola hanya ada di bagian dalam departure lounge. Terpaksalah kami sholat di samping kursi tempat kami tidur tadi.

Walaupun terhitung transit, saya punya misi khusus di Singapura kali ini: mengunjungi taman indah yang baru dibuka di Singapura: Gardens by the Bay. Gardens by the Bay adalah wahana baru Singapura yang baru dibuka sekitar akhir Juni lalu. Sebuah taman raksasa seluas 101 hektar di kawasan Marina Bay. Setelah sarapan kari ayam dan laksa di area bandara, sekitar jam 06.30 kami pun keluar. Lebih tepatnya, turun ke stasiun MRT di bawah Terminal 2.  Sebelumnya, saya menitipkan backpack kami di bagian Left Luggage di Terminal 2—biayanya SGD 6 untuk dua tas besar selama 24 jam. Saya juga masih punya kartu EZ Link, biar praktis ke mana-mana naik MRT.

Sekitar 40 menit kemudian, saya tiba di stasiun Bayfront. Keluar dari stasiun, di sebelah kiri tampak gedung Marina Bay Sands yang terkenal itu. Dan di sebelah kanan pintu keluar langsung tampak pohon-pohon artifisial berukuran raksasa yang menjadi ikon utama Gardens by the Bay. Dari jauh, taman raksasa itu sudah tampak menakjubkan.

Gardens by the Bay, Singapura.

Gardens by the Bay adalah bagian integral dari proyek pemerintah Singapura untuk mengubah tata kota negara itu dari “Garden City” (Kota Taman) menjadi “City in a Garden” (Kota di Dalam Taman). Itu semua ditujukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan di perkotaan. Taman besar itu juga dibangun untuk menjadi ruang terbuka publik terbesar di Singapura dan ikon negara-kota tersebut.

Pemandangan ke arah Singapore Flyer dari Dragonfly Bridge, gerbang Bay South, Gardens by the Bay.

Gardens by the Bay dibagi menjadi dua bagian: Bay South dan Bay East. Memang masih ada area yang belum selesai dibangun, tapi itu tak mengganggu bagian-bagian lain yang bisa dinikmati pengunjung. Dari arah stasiun MRT Bayfront, pengunjung taman ini akan langsung diarahkan ke area Bay South—area ini gratis dan buka pukul 05.00 sampai 02.00 dini hari. Dari pintu masuk, pengunjung akan menyeberangi jembatan di atas danau buatan yang dinamakan Dragonfly Lake. Setelah itu, pengunjung akan menemukan Supertrees—media berupa tiang-tiang yang dibentuk menyerupai pohon, kemudian jutaan flora langka dan flora yang masuk dalam daftar konservasi ditempatkan di tubuh “pohon” tadi.

Pohon-pohon artifisial yang surealis itu 🙂

Sekitar 11 Supertrees menjulang ke angkasa. Pemandangan semacam ini terasa surealis dan mengingatkan saya pada film Avatar dengan pohon-pohon raksasa setinggi dan sebesar gedung belasan lantai. Dengan membayar SGD 5, Anda bisa naik lift di salah satu pohon yang disambungkan dengan jembatan ke sebuah pohon lain. Dari atas, Anda bisa melihat pemandangan taman dan sebagian kota.

Taman ini keren banget buat yang suka fotografi dan punya kamera bagus (gak kayak saya) 😛

Pada malam hari, Supertrees—yang di tubuhnya juga dipasangi lampu-lampu hias—akan menyala terang dan menciptakan pemandangan spektakuler. Di sekitar situ juga ada area Heritage Garden, sebuah theme park yang akan membawa pengunjung menikmati kebun dengan nuansa sejarah dan budaya tiga etnik besar di Singapura: Melayu, Cina, dan India.

Setelah itu, saya sampai di area Cloud Forest dan Flower Dome. Untuk masuk ke kedua wahana itu, pengunjung harus membayar tiket yang sangat mahal: SGD 28 per orang (sekitar Rp 205.000). Setelah merenung dan mengamati dompet sejenak, akhirnya saya memutuskan untuk membeli tiket. Pikir saya, ya sudahlah, tak apa kalau hanya untuk sekali seumur hidup.

Air terjun buatan menyambut pengunjung di pintu masuk Clod Forest.

Gedung Cloud Forest didesain ala suasana pegunungan tropis berketinggian 1.000-3.500 meter. Di pintu masuk, pengunjung akan disambut dengan air terjun artifisial dan embusan angin sejuk yang disetel pada suhu belasan derajat Celcius. “Gunung” buatan ini bisa dijelajahi dengan lift, tangga, atau cukup berjalan kaki di sepanjang jalur yang ada. Dinding-dinding di bagian dalam dipenuhi gambar-gambar berisi informasi tentang lingkungan hidup.

Di dalam “gunung”, ada area bioskop mini bernama +5, tempat pengunjung disuguhi film dokumenter berdurasi sekitar 5 menit yang terus diulang dengan jeda 15 detik. Pesan film tersebut adalah tentang pemanasan global alias global warming—suhu Bumi diperkirakan akan naik 5 derajat Celcius selama abad ke-21 ini dan bagaimana dampaknya pada kehidupan di planet kita.

Bioskop +5. Keren, gambarnya juga “ditembak” dari atas ke lantai di depan layar 🙂

Menariknya, di ruangan ini gambar juga ditembakkan dari atas, sehingga area di depan layar pun ikut menjadi media yang menciptakan gambar-gambar yang memanjakan mata. Dari Cloud Forest, saya lanjut ke Flower Dome yang desain interiornya spektakuler. Ini adalah taman bunga yang menampilkan ribuan panel yang diisi ribuan jenis bunga dan pohon dari berbagai wilayah dunia.

Di Bay East, pengunjung akan disuguhi pemandangan hutan tropis, danau buatan yang luas, taman bunga, area jalan-jalan, hingga lokasi piknik dengan pemandangan perairan Marina Bay yang indah. Area bagian timur ini cocok digunakan sebagai tempat nongkrong dengan teman, bersantai bersama keluarga, atau bahkan melakukan aktivitas olahraga seperti jogging dan bersepeda.

Ini dia yang namanya Flower Dome.

Kalau jalan-jalan santai model begini, sudah pasti kita akan dehidrasi kalau tak banyak minum. Untunglah Singapura adalah negara yang menyediakan air di tempat-tempat publik yang bisa langsung diminum. Jadi, saran saya, jangan lupa bawa  botol kosong dan cari tempat-tempat yang mirip wastafel di area taman ini untuk mendapatkan air minum gratis. Di Bandara Changi sendiri sebelumnya saya sudah mengisi botol sampai penuh buat bekal. Di Gardens by the Bay ini juga ada. Lumayanlah, daripada beli. 🙂

Ngisi botol minum dulu di bandara 🙂

Sambil ngaso di bawah rindangnya pohon-pohon dan minum air gratisan tadi, saya melamun soal taman ini. Singapura sialan, batin saya. Mereka bahkan bisa mengemas taman menjadi tujuan wisata yang mengagumkan. Padahal konsepnya lumayan sederhana, hanya memang eksekusinya total dan serius.

Apakah Anda sekadar transit atau memang menghabiskan beberapa hari di Singapura, Gardens by the Bay ini wajib dikunjungi. Sebagian besar areanya gratis, hanya Cloud Forest dan Flower Dome yang memungut bayaran kalau mau masuk. Itu pun saat kita keluar dari kedua wahana itu, tangan kita akan dicap khusus yang bisa dilihat hanya dengan senter infra merah dan kita diperbolehkan kembali masuk pada hari yang sama. Jadi, kalau dana cekak, jalan-jalan di Bay South dan East saja udah lebih dari cukup bikin kaki gempor. Tapi puas kok! 🙂 Kalau masih ada waktu, jalan kaki dari sini ke Merlion Park (yang ada patung singa itu) juga dekat. Paling jalan sekitar 30 menit lah. Itu pun kalau nggak berhenti-berhenti dulu buat foto-foto narsis…hehehe. 😛

Tak terasa, sudah jam 1 siang. Sebenarnya waktu itu saya berencana mengunjungi Botanic Park dan taman-taman lain di Singapura (yang gratisan). Tapi berhubung sudah capek dan saya perkirakan waktunya ngepas buat sampai di bandara untuk ambil tas, naik shuttle bus ke Budget Terminal, check-in, dan makan siang, saya putuskan untuk kembali ke bandara dari Gardens by the Bay.

Pukul 15.30, Tiger Airways yang kami tumpangi terbang ke Bangkok, Thailand. Penerbangan ini akan makan waktu 2,5 jam.

(Bersambung)

NB: Ini saya kasih bonus foto-foto keren Gardens by the Bay. Apa artinya taman cantik kalau tak difoto? 🙂

Satu pemandangan di Cloud Forest.

Gardens by the Bay dengan latar gedung Marina Bay Sands.

Supertrees dengan latar belakang gedung Marina Bay Sands.

Flower Dome yang megah 🙂

Di dinding-dinding Cloud Forest banyak gambar dan info soal lingkungan hidup.

Pohon baobab asal Afrika. Yang disebut-sebut di buku “Little Prince”-nya Saint-Exupery itu 🙂

Dragonfly Lake.

Salah satu sudut taman.

Toko suvenir. Di sini sih mahal-mahal. Saya cuma beli magnet kulkas satu aja. 😛

Balada Ukraina #4

Kota Dnipro dilihat dari sisi selatan.

Kota Dnipro dilihat dari sisi selatan.

Sekitar pukul 11, Nik dan saya keluar dari apartemen. Di luar tiga orang sudah menunggu kami, salah satunya Nastya. “Indra! At last I can see you!” Nastya menghambur ke arah saya sambil tersenyum lebar. Gadis pirang ini hanya sedikit lebih tinggi daripada saya, agak gemuk, dan bicaranya cepat sekali. Sepertinya telinga saya harus membiasakan diri dengan bahasa Inggris logat Ukraina di sini. Ia menyalami dan memperkenalkan saya kepada seorang pria di sampingnya. Oleg, namanya. Ia guru bahasa Inggris di sekolah tempat saya akan mengajar. Oleg sedikit lebih pendek daripada saya, usia sekitar 40-an, dengan wajahnya bulat. Kumis tebalnya mengingatkan saya pada Hercule Poirot—atau Pak Raden, tapi orangnya ramah dan bahasa Inggrisnya berlogat cenderung British, sementara saya berlagak American. Satu orang lagi bernama Ivan sedang duduk di bangku pengemudi di mobil yang menunggu kami.

“Oke, jadi begini rencananya. Kami akan mengantarmu ke apartemen, dan setelah itu Oleg akan mengantarmu melihat-lihat gedung sekolah. Nanti sore Nik akan menjemputmu di apartemen dan mengantarmu ke tempat Global Party!” jelas Nastya panjang lebar dengan bahasa Inggris logat Ukraina. Global Party adalah pesta penyambutan trainee baru di AIESEC.

Kami pun menaiki mobil. Nastya dan aku duduk di belakang mobil van itu. Ivan tampaknya jenis pengemudi ugal-ugalan—atau jangan-jangan memang begitulah orang Ukraina menyetir mobil. Dia adalah satpam sekaligus sopir sekolah. Ia ngebut sepanjang perjalanan dan tak mau repot-repot menginjak pedal rem ketika sudah waktunya. Ia masih sempat menengok beberapa kali ke belakang untuk mengomentari obrolan kami. Walaupun tak mengerti bahasa Inggris, ia bisa menangkap beberapa kata, seperti misalnya ketika Oleg bertanya tentang apa yang saya tahu tentang Ukraina. Saya menjawab tidak banyak: negara pecahan Uni Soviet, ibu kota Kiev, Andrey Shevchenko, dan dua klub sepak bola Ukraina yang kadang tampil di turnamen Piala Eropa, yaitu Dynamo Kiev dan Shakthar Donetsk.

Ivan menyeletuk obrolan ketika saya menyebut dua nama klub itu. Ia mengatakan sesuatu yang tidak saya mengerti. Oleg menerjemahkan, “Dia penggemar berat klub Dnipro FC, dan mengira kau penggemar dua klub itu. Shakhtar Donetsk adalah musuh bebuyutan Dnipro.” Saya hanya terbahak mendengarnya. “Coba bilang ke dia, klub favorit saya bukan Shakhtar, tapi Manchester United.” Ivan mengatakan sesuatu lagi, dan kata Oleg, “Dia bilang, dia juga suka Chelsea.” Halah! 😛

Mobil membelok ke sebuah jalan menanjak. Sisi kanan dan kiri jalan itu dihiasi pohon-pohon kapas gundul dengan selaput putih salju masih menyeliputi batang-batang besarnya. Di trotoar, tampak sisa-sisa salju yang mencair atau masih berupa es. Kami berhenti di sebuah gedung bertingkat empat dengan papan nama bertulisan Hotel Sport dalam aksara Cyrillic. Ternyata saya diberi kamar di sebuah hotel! Tenang, ini bukan hotel mewah, kok. Gedungnya tua, berlantai empat, dan agak seram. Ditambah lagi lokasinya yang berada di atas bukit, dengan pohon-pohon di sepanjang jalanan yang semua tak berdaun, dan sisa-sisa salju yang masih ada di dahan-dahannya. Beberapa burung gagak hitam malah berkaok-kaok, menambah seram dan suram suasana di sekitar situ. Entah kenapa saya kok merasa bakalan nggak kaget kalau tiba-tiba Brandon Lee lompat dari atas pohon bersama burung gagak. 😛 Dan Anda tahu nama jalannya? Prospekt Lenina alias Jl. Lenin.

Oleg dan Ivan membantu saya membawa tas dan koper masuk melalui pintu kaca dobel bangunan itu. Seorang pria bertubuh tinggi besar dan berkacamata menyambut dan menyalami kami di lobi. Oleg dan Ivan berbicara dengannya. Saya menangkap kata yang bunyinya seperti “filipin” dari Oleg yang sedang menunjuk-nunjuk saya. Saya segera menanyakan hal itu ketika Oleg selesai berbicara dengannya.

“Kau bilang aku dari Filipina?”

“Kau orang Filipina, kan?” tanya Oleg heran.

“Hah? Bukan! Aku dari Indonesia,” saya mengoreksi. Tampaknya ada kesalahpahaman di sini.

“Oh, maaf. Nastya tidak bilang begitu.”

Saya menoleh ke arah Nastya yang pura-pura tidak mendengar.

***

Kami naik ke lantai tiga, ke kamar saya. Kamarnya punya ranjang dua, tapi nggak ada dapurnya. Soalnya saya tiap hari bakal makan di kantin sekolah. Setelah menumpuk semua barang saya di kamar, Oleg mengajak saya ke sekolah. Dari apartemen hotel, saya harus jalan kaki ke halte trem terdekat yang jaraknya sekitar 200 meter. Lokasi sekolahnya hanya sekitar 4-5 kilometer dari tempat tinggal saya. Naik trem juga mudah, walau trem di jalur ini tampaknya trem paling butut di kota ini. Di dalam trem akan ada kondektur yang menarik bayaran dari setiap penumpang. Setelah beberapa waktu, saya baru menyadari bahwa sopir dan kondektur trem semuanya perempuan—di semua trem, bukan hanya di trem yang saya naiki. Di halte tempat kami turun, kami masih harus berjalan kaki lagi sekitar 200 meter.

Kamar saya di Hotel Sport. Lumayan, deh! 🙂

Sesampai di gedung sekolah, Oleg mengajak saya tur sedikit. Saat itu hari Sabtu dan tidak ada kegiatan apa pun di sana. Ia menunjukkan kelas-kelas, kantin, lapangan basket, dan ruang guru. Gedung sekolah swasta bernama Evropenskaya Gymnaziya (European Gymnasium) ini berlantai empat dan tampak nyaman. Saya cuma bisa berdoa agar kegiatan saya mengajar saya di sini lancar. Enam bulan di negeri asing—ini pertama kalinya saya tinggal lama di luar negeri.

Tampak depan gedung sekolahnya 🙂

***

Malamnya, ada acara khusus buat anak baru anggota organisasi, alias saya sendiri. Namanya Global Party. Walaupun pakai kata “global”, di pesta itu cuma ada tiga orang asing: saya dan dua pemuda Mesir yang mukanya bisa bikin ABG kita klepek-klepek. Yang lainnya tentu para mahasiswa AIESEC Dnipropetrovsk. Pestanya diadakan di sebuah apartemen sewaan. Di sana, cewek-ceweknya memeluk dan mencium pipi kiri-kanan saya. Hoho, rupanya cara menyapa teman di sini memang begitu. Untung cowoknya cuma meluk biasa, sambil nepuk-nepuk punggung. Baru sehari di Ukraina, saya langung dapet cipika-cipiki lebih banyak daripada di Indonesia!

Sesuai rencana, setelah acara kenalan, saya bersiap pasang aksi di situ. Saya sengaja bawa beberapa bungkus mie instan dan kerupuk yang tinggal digoreng. Selesai kenalan, sama 20-an orang, saya langsung mengajak sebagian dari mereka ke dapur. Rasa nasionalisme saya langsung mekrok ketika teman-teman baru saya berkumpul di dapur, memerhatikan saya pamer kebolehan masak mie instan goreng dan rebus intel, dan mereka semua menjerit takjub saat melihat kerupuk udang dan kerupuk bawang warna-warni mengembang setelah saya cemplungin ke minyak goreng panas. Top, dah! 😛

Aksi berikutnya, saya pake baju batik ala pak lurah, kain jarik, dan blangkon. Semuanya saya pakai asal-asalan. Memangnya bakal ada yang tahu? Dengan berpakaian begitu, saya sajikan mie instan plus kerupuk tadi. Teman-teman baru saya langsung menyerbu. Situasi langsung berubah chaos. Wah, ndeso banget deh pokoknya! Beberapa yang merasa kepedesan langsung menenggak bir dan vodka dingin. Dalam beberapa menit, masakan saya langsung ludes.

Global Party.

“Ini masakan tradisional Indonesia?” tanya seorang cewek imut berambut cokelat.

“Betul sekali. Saya belajar masak makanan ini sampe berbulan-bulan,” jawab saya asal-asalan.

“Enak banget!” kata si cewek, yang belakangan saya tahu bernama Daria.

Malam itu, saya menutup aksi saya dengan memutar film indie bikinan sendiri. Durasinya cuma lima menit, nyaris tanpa dialog, dan pesannya sangat jelas: jangan pipis sembarangan! Semakin malam, suasananya makin mirip film-film Hollywood. Ada yang ngumpul sambil minum vodka, ada yang main kartu (saya ikut yang ini, dan kalah melulu!), ada yang mojok sambil ciuman… hyaaa, ini sih udah bukan bagian saya! Jam dua dini hari, saya langsung menyeret Nik, minta diantar pulang. Pas pamit, yang cewek-cewek pada cipika-cipiki lagi dong sama saya. “We’ll see you again soon!

Di luar dingin banget, anginnya rada kenceng. Nik, yang ngaku-ngaku traveler dan doyan bawa termometer sama kompas ke mana-mana, bilang saat itu suhunya -7! Hwaaaa!! Sejak hari pertama di Dnipropetrovsk, saya langsung membiasakan diri memakai baju empat lapis, dari yang paling dalam: T-shirt, sweater, jaket katun hoodie, dan yang paling luar adalah jaket musim dingin super tebal.

Yang jelas, hari pertama di kota ini saya sukses memperkenalkan diri dan budaya Indonesia (halah!). 😛

(Bersambung)

Perjalanan ke Atap Dunia

Judul: Perjalanan ke Atap Dunia: Tibet, Nepal, dan Cina dalam Potret Jurnalisme

Penulis: Daniel Mahendra

Penerbit: Medium (imprint Penerbit Nuansa Cendekia)

Cetakan I: Mei 2012

Tebal: 354 halaman

“Begitu banyak petualang, traveler, atau backpacker. Tapi sedikit sekali yang melakukan pekerjaan menulis.” ~ Gol A Gong

Awalnya agak susah mencari buku ini. Mungkin karena saya terlalu cepat mencarinya (dan terlalu bernafsu, karena saya doyan buku-buku kayak begini), padahal buku ini belum beredar di toko buku. Sampai suatu hari saya menemukan informasi tentang acara bedah buku ini di sebuah kampus swasta di Bandung, Sabtu 5 Mei lalu.

Acara tersebut sebenarnya dijadwalkan mulai pukul 19.00. Tapi waktu saya datang jam 20.00 pun acara belum juga dimulai. Hanya tampak beberapa orang (yang sepertinya panitia) di ruangan itu. Akhirnya saya hanya beli bukunya, tapi langsung pergi lagi karena ada acara lain. Lumayan, saya beli buku ini dengan harga Rp 39.900, lebih murah daripada harga aslinya yang Rp 58.000. 😛

Seminggu kemudian saya baru sempat membaca buku ini. Persisnya di kereta dalam perjalanan menuju Jogja. Saya memang selalu gelisah dan tidak tahan kalau bepergian tanpa membawa buku. Dan buku ini ternyata sangat pas dibaca dalam perjalanan saya dengan kereta malam itu.

Membaca sebuah catatan perjalanan (travel writing) itu sesungguhnya sangat menyenangkan. Pembaca dibawa ke negeri-negeri asing, seolah ikut melihat dan merasakan apa yang dialami penulisnya, berikut pergulatan batinnya. Perjalanan ke Atap Dunia berkisah tentang mimpi Daniel Mahendra. Saat masih kecil ia begitu terpukau pada komik Tintin berjudul Tintin di Tibet. Selain itu ia juga sangat menggemari kisah petualangan Balada Si Roy karya Gol A Gong (tak pelak, soul buku ini pun terasa sangat Gol A Gong). Belum lagi saat ia menonton film Seven Years in Tibet. Makin lengkaplah segala hal yang mendorongnya pergi ke negeri yang berada di dataran tertinggi di dunia tersebut.

Persiapan sebelum berangkat pun ia ceritakan dengan detail. Awalnya Daniel hendak pergi bersama seorang kawannya, namun karena ada halangan ia akhirnya harus pergi sendiri. Singkat cerita, Daniel pun berangkat dengan Thai Airways, menginap semalam di bandara Suvarnabhumi di Bangkok, lalu mendarat di Chengdu, Cina. Dari Chengdu perjalanan diteruskan lewat jalan darat.

Sungguh asyik saat menyimak kisah Daniel naik kereta yang perlahan-lahan melaju ke daratan tinggi, hingga ribuan meter dari permukaan laut. Kemudian saat Daniel menjalin pertemanan dengan beberapa backpacker dari negara-negara lain, jatuh cinta kepada seorang gadis Perancis yang sedang studi doktoral di India, bergantian terkena Acute Mountain Sickness (aneka penyakit yang timbul akibat berada di ketinggian ribuan meter) bersama Juan Carlos Muñoz, pemuda Amerika Latin namun berkewarganegaraan Amerika Serikat. Atau saat Daniel mengamati kehidupan warga Muslim Tibet yang minoritas dan sholat bersama mereka. Juga cara Daniel mengisahkan betapa sebalnya dia karena nama Indonesia ternyata tak terlalu dikenal oleh orang-orang dari negara lain, entah dia disangka orang Malaysia, atau saat dia bertemu orang yang betul-betul tidak tahu di mana itu Indonesia—kecuali saat sudah diberitahu bahwa Indonesia itu terletak di dekat Singapura dan Malaysia. Pendek kata: seru!

Daniel menuliskan pengalamannya dengan bahasa yang enak dan mengalir, namun hal ini tak mengurangi bobot tulisannya. Ia juga tak lupa menyelipkan potongan kisah yang ironis tapi disampaikan dengan kocak. Misalnya saat ia melihat kebiasaan warga Cina yang terkenal itu: berdahak keras dan meludah sembarangan. 🙂 Daniel menulis: “Bukankah aku sedang berada di negara mereka? Mengapa aku harus jijik dengan kebiasaan mereka hanya karena aku datang dari negara yang tidak memiliki kebiasaan seperti itu?” Pemikiran yang cukup adil, saya kira, walau belum tentu semua orang setuju. Yang saya suka, Daniel selalu menyelipkan kutipan-kutipan indah pada awal setiap bab yang dia tulis.

Daniel juga gelisah. Awalnya dia sangat gembira karena akhirnya bisa mengunjungi negeri yang diimpikannya sejak lama. Namun saat ia memasuki kuil-kuil dan melihat para biksu yang sedang berdoa dijadikan tontonan oleh para turis, hatinya berontak. Tapi ia sedikit bisa berkompromi saat melihat bahwa para biksu itu pun tampak tidak peduli dan tetap khusyuk merapalkan kitab suci mereka.

Foto-foto berwarna di dalam buku. Sayang kurang banyak 🙂

Buku ini dilengkapi dengan foto-foto berwarna dan diberi kata pengantar oleh Gol A Gong—yang isinya tak kalah asyik dibanding tulisan Daniel. Yang lucu, Gol A Gong tampak “geram” saat Daniel meminta dibuatkan kata pengantar: “Huh! Sialan sekali Daniel ini! Baru juga ke Tibet, sudah menulis buku!” 😛 Kemudian Gol A Gong pun mendidih dan adrenalinnya berontak. Naluri petualangannya muncul akibat membaca tulisan Daniel ini….hehehe!

Ya, saya kira memang begitu rasanya saat kita membaca catatan perjalanan orang lain—kita seolah ikut melihat pemandangan yang dikisahkan penulisnya, merasakan pergulatan batin penulisnya.

Walau demikian, ada beberapa catatan dari saya:

1. Subjudul Tibet, Nepal, dan Cina dalam Potret Jurnalisme tidak cocok dengan isinya. Setelah rampung membaca buku ini, menurut saya tulisan Daniel sama sekali bukan sebuah tulisan jurnalistik. Emosi dan pergulatan batin penulis sangat kuat di sini. Buku ini jelas sebuah memoar, lebih tepatnya lagi catatan perjalanan. Contoh buku catatan perjalanan yang ditulis dengan gaya jurnalistik adalah buku Haji Nekat yang resensinya saya tulis di blog ini juga.

2. Ada beberapa typo dalam buku ini. Misalnya di halaman 21, tertulis “Traveling, al you have to do…” (ya, kurang satu ‘l’). Kemudian di halaman yang sama ada tulisan begini: “Suhu udara yang minus 0° Celcius terasa….”. Hmm, menurut saya sih nol ya nol, tidak ada namanya -0°, kan? Kemudian dalam buku ini bandara di Bangkok itu selalu ditulis Survanabhumi, padahal yang benar adalah Bandara Suvarnabhumi.

3. Cap bertulisan “Menggapai Impian, Meraih Makna Perjalanan” itu sama sekali tidak perlu. Kalimat tersebut berbau buku motivasi, padahal ini travelogue—memoar dan catatan perjalanan Daniel Mahendra. Cover-nya sendiri sudah oke, gambar rel kereta di tengah kepungan gunung, sepi dan melankolis.

Namun, terlepas dari sedikit kekurangan di atas, saya harus mengakui bahwa ini buku keren. Jangan berpikir bahwa catatan dari saya di atas lantas membuat buku ini jadi tidak asyik disimak. Tebalnya yang 350-an halaman malahan terlalu tipis rasanya buat saya, karena kisah perjalanan Daniel ini sangat menarik. Mestinya ada lebih banyak traveler/backpacker yang menuliskan pengalamannya. Soalnya buku panduan traveling sudah terlalu banyak.[]

Haji Nekat: Lewat Jalur Darat

Judul: Haji Nekat: Lewat Jalur Darat

Penulis: Haji Bahari

Penerbit: Pena Semesta (imprint JP Books)

Terbit: Maret 2012

Tebal: 494 halaman

Saya menjumpai buku ini di Gramedia di rak buku baru. Pertama, saya tertarik karena judulnya kocak, agak “norak”. 😛 Sampulnya yang sewarna dengan bungkus nasi rames pun lumayan enak dilihat di mata saya. Membaca sampul belakang dan membaca sedikit isi buku yang kebetulan tak dibungkus plastik, saya langsung tertarik beli. Saya doyan baca buku model begini. Tanpa pikir panjang, saya ambil satu untuk dibawa ke kasir.

Buku ini berisi kumpulan tulisan karya wartawan Jawa Pos, Haji Bahari, yang pernah dimuat secara berseri di koran tersebut. Ceritanya, Bahari diberi kepercayaan melakukan ibadah haji melalui jalur darat dan menuliskan laporannya secara rutin—backpacking way. 🙂 Perjalanan itu dimulai dari Surabaya tanggal 5 Agustus 2011 dan berakhir di Makkah pada 1 November 2011. Bahari melewati 11 negara sebelum mencapai Makkah, yaitu Malaysia, Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Cina (selatan), Nepal, India, Pakistan, Oman, dan (tentu saja) berakhir di Arab Saudi.

Dari situ saja saya bisa membayangkan betapa menarik dan serunya petualangan wartawan satu ini dalam menempuh perjalanan darat sejauh itu. Pertama-tama, Bahari berziarah dulu ke makam Wali Songo, sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta, naik bus ke Jambi, menyeberang ke Malaysia, lalu lanjut naik kereta ke Thailand dan terus ke utara. Asyiknya, ia selalu menulis pernak-pernik menarik tentang tempat yang dikunjunginya. Misalnya, saat ia tiba di Jambi, ia menulis tentang jejak Islam di kota itu, juga tentang bisnis barang-barang eks Singapura seperti elektronik, pakaian, alat rumah tangga, dan banyak lagi.

Dilengkapi banyak foto berwarna di bagian belakang.

Saat berada di Bangkok, Thailand, ia menulis tentang komunitas Muslim keturunan Jawa di sana, juga soal soal masjid-masjidnya. Bahari banyak menulis soal komunitas Muslim di beberapa negara yang ia lewati, seperti di Thailand, Vietnam, serta kota-kota di Cina selatan dalam perjalanan menuju Tibet dan Nepal. Dalam perjalanannya, tentu saja, ia menemui banyak halangan. Misalnya, pada saat ia hendak menembus Myanmar, ia masuk ke Tamu, kota yang sangat terlarang bagi warga asing. Namun ia tetap nekat ke sana karena hanya ingin lewat untuk menuju India.

Karena gagal, ia naik pesawat ke New Delhi, tapi oleh redaksi Jawa Pos, ia diminta balik ke Bangkok. Dahlan Ihsan, Menteri BUMN sekaligus bos Jawa Pos, yang memintanya mengulang perjalanan itu dari Thailand. “Bukan jalan darat lagi namanya,” begitu kata Dahlan di Kata Pengantar. Rute baru ini membuat Bahari jadi melewati Kamboja, Laos, Vietnam, dan kota-kota di Cina selatan. Perjalanan selanjutnya malah jadi menarik, terutama karena Bahari cukup piawai mendeskripsikan tempat-tempat yang dilewati itu, dan sekaligus menambah wawasan bagi pembaca. Asyik sekali menikmati catatan perjalanan Bahari selama menempuh perjalanan dari Asia Tenggara, naik bus di jalan yang mulus dan kereta hingga ke dataran tinggi, melewati Cina selatan, lalu naik ke Nepal dan Tibet, sebelum masuk ke India dan Pakistan. Dari Oman, perjalanan ke Arab Saudi tak memungkinkan lagi lewat jalan darat, sehingga ia harus naik pesawat. Sebab, pemegang visa haji kuota harus masuk ke Jeddah melalui imigrasi Bandara King Abdul Aziz.

Harus diakui, Bahari adalah pejalan yang tangguh. Statusnya sebagai wartawan tak lantas mempermudah perjalanannya itu. Di Pakistan, ia harus tabah dibuntuti intel dan nyaris dipenjara gara-gara ketahuan bekerja sebagai wartawan tapi mengaku sebagai pekerja seni. Dalam seluruh petualangannya ini, ia banyak dibantu oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negara yang ia kunjungi, para staf KBRI, dan juga para warga lokal.

Sesampainya di Arab Saudi pun ia banyak menulis tentang Makkah dan Madinah: tentang ibadahnya, tempat-tempat belanja, pembangunan di sana, dan banyak pernak-pernik menarik lain. Tulisan Bahari renyah dan mengalir. Sudah begitu, ia membagi tulisannya per bagian yang masing-masing hanya terdiri dari 4-10 halaman, jadi memudahkan pembaca yang senang membaca dengan cara “ngemil”. Tak penting benar apakah pembaca juga akan mengikuti jejaknya melakukan perjalanan haji lewat darat, yang notabene lebih keras dan berbahaya daripada langsung ke Arab Saudi naik pesawat. Fisik kuat dan mental baja adalah syarat mutlak. Eh, tapi…kalau mencermati halaman fotonya, dugaan saya ia berangkat dengan 1-2 temannya, karena foto-foto itu dibuat bukan oleh Bahari (bisa dilihat di kredit foto).

Secara keseluruhan, catatan perjalanan ini sangat menarik. Sangat detail dan kronologis. Penuh dengan kisah-kisah petualangan yang menegangkan dan informasi-informasi menarik. Sayangnya, masih ada beberapa typo di sana-sini dalam buku ini, walaupun sudah dikawal oleh dua editor. Sayangnya lagi, Bahari ini tipe wartawan sejati. Dia nyaris tidak pernah melibatkan emosinya dalam tulisan-tulisannya. Tapi, yaah…namanya juga tulisan feature jurnalistik. Wartawannya harus menjaga garis batas antara peristiwa yang dilaporkan dan opini/emosi pribadinya. Walhasil, walau peristiwa yang dilaporkan tetap seru, buku ini agak kehilangan jiwanya. Berjarak dengan pembacanya. Ini pendapat saya, lho.

Seandainya Bahari mau menulis ulang semua kisahnya dan memberi polesan emosi, saya yakin buku ini jadi dahsyat sekali.  Namun, buku ini tetap seru dan saya rekomendasikan, khususnya bagi penyuka buku travel writing.[]

Cerita Singapura #6 (Tamat)

Selasa, 21 Februari 2012

Hari terakhir di Singapura itu kami tak punya acara khusus. Pagi itu kami sedikit bersantai setelah berkemas dan membereskan tas-tas. Berhubung teman saya si Abah harus pergi ngantor jam 09.00, kami harus berfoto dulu dengan keluarganya…hehehe. Sekalian pamit. Kebetulan pas difoto, saya dan anak-anak Abah belum mandi semua…top! 🙂

Jam 10 kami jalan-jalan lagi, menghabiskan beberapa jam yang tersisa di Singapura. Pesawat kami terbang jam 18.30, jadi setidaknya kami sudah berada di bandara jam 16.00 biar nggak terburu-buru. Perjalanan ke bandara pun butuh waktu sedikitnya 1 jam dengan kereta MRT. Berhubung kami hanya jalan-jalan santai, pagi menjelang siang itu kami awali dengan ritual sarapan nasi lemak di Chinese Garden dulu, seperti biasa. 🙂

Selama mondar-mandir naik MRT di Singapura, saya suka memerhatikan tingkah laku warga di sini. Salah satu hal yang kita dapat saat jalan-jalan ke luar negeri adalah mengadopsi kebiasaan positif warga di negara yang kita kunjungi. Di gerbong MRT, walaupun ada tempat duduk khusus untuk orang lanjut usia, ibu hamil, orangtua dengan balita, dan difabel, kalau memang tak ada orangnya mereka tetap duduk di situ. Tapi kalau ada, mereka akan berdiri dan menawarkan tempat duduk itu. Hari pertama tiba di Singapura pun saya sempat duduk di situ, tapi menawarkan tempat saya ke seorang nenek. Tapi dia malah menolak. “No, no. Sit, sit lah,” begitu katanya. Di hari lain, seorang cewek berpakaian tanktop dan hot pants yang tadinya duduk di tempat khusus manula mendadak menghampiri seorang pria lanjut usia untuk menawarkan tempat duduknya. Tapi pria itu menolak dengan ramah, dan si cewek seksi itu juga tidak kembali ke tempat duduknya.

Saat dalam perjalanan, sebagian penumpang lebih suka mengobrol dengan teman atau bermain dengan gadget masing-masing. Untuk smartphone, sebagian besar mereka lebih memilih iPhone, atau berbagai ponsel Android seperti Samsung dan HTC. BlackBerry? Saya hampir tak pernah lihat. Mungkin benar juga tuh berita-berita yang menyatakan bahwa penggila BlackBerry tinggal orang Indonesia saja. 🙂 Untuk tablet, lagi-lagi produk Apple-lah yang paling sering terlihat di sini: iPad. Banyak juga yang pakai Samsung Galaxy Tab. Bagaimana dengan BlackBerry PlayBook? Saya nggak pernah lihat. 🙂

Antre panjang menunggu bus kota.

Soal budaya antre, jangan tanya. Mereka bahkan bersedia antre bus kota walau panjang seperti ini. Soal kebersihan juga menakjubkan. Di sini saya nyaris tak pernah melihat petugas kebersihan di jalanan. Polisi lalu-lintas juga tidak pernah terlihat. Siang itu kami hanya mondar-mandir ke Chinatown, Little India, dan beberapa tempat lain. Kami hanya berhenti di satu stasiun, turun, mondar-mandir di sekitar situ, lalu naik kereta lagi dan turun di tempat lain.

Jam 2 siang kami sudah pulang lagi ke apartemen, berkemas sedikit lagi, makan siang, dan pamitan sama Atti dan anak-anak. Di stasiun, kami sempat membeli waffle dan jus leci untuk ngemil di bandara nanti. Enaknya naik dari stasiun yang nyaris di ujung rute kereta, kami selalu mendapati gerbong yang nyaris kosong. Berhubung perjalanan ini akan makan waktu satu jam dan kami membawa beberapa tas yang sudah penuh, berdiri sepanjang perjalanan jelas cuma bikin sengsara. 🙂 Sambil duduk manis dan menyender, kami hanya tinggal menikmati perjalanan kereta ke bandara Changi. Saya bahkan sempat tertidur selama 15 menit. Lumayan lah. 🙂

***

Traveling itu menyenangkan. Bahkan banyak orang sering bilang “life is a journey, not a destination.” Jadi, why not travelingBackpacking mengajarkan banyak hal kepada kita—selain kemandirian, pastinya. Saat-saat berkemas, misalnya, menunjukkan bahwa sebenarnya hidup itu tak perlu berlebihan. Seperlunya saja dan seringkas mungkin. Artinya kita belajar untuk merencanakan sesuatu sebaik mungkin. Termasuk Plan B-nya juga. Persiapan sebelum pergi sebenarnya mengasyikkan, walau terkesan agak merepotkan: Memilih-milih dan menggulung baju yang akan dibawa, mengemas perlengkapan mandi dengan ringkas, mempelajari rute perjalanan dan informasi penting tentang negara yang akan dikunjungi, menghitung dan menyesuaikan biaya perjalanan dengan tabungan, memilah-milah uang agar tidak disimpan di satu tempat, menukar uang rupiah dengan mata uang negara tujuan, menghitung jatah cuti dari kantor, mengurus visa (kalau negara yang dikunjungi mensyaratkan visa), dan banyak lagi. Tapi semua kerepotan itu terbayar lunas saat kita tiba di tujuan dan tinggal menikmati semua yang kita rencanakan.

Namun, entah kenapa saya masih bisa menangkap kesan membosankan kalau tinggal di Singapura dalam jangka lama (Ya, kadang saya membayangkan seperti apa rasanya tinggal dan bekerja di sini). Sekali lagi: entah kenapa. Apakah karena terlalu banyak aturan dan ancaman denda? Rasanya tidak. Saya pribadi kok bisa menerima semua itu, ya? Dilarang merokok, meludah, makan dan minum di bus dan kereta, buang sampah sembarangan, dan lain-lain…apa yang salah dengan semua itu? Lihat hasilnya: bersih dan tertib di mana-mana. Sejak pertama ke luar negeri ke Hong Kong 10 tahun lalu, sadar tak sadar saya juga mengikuti kebiasaan positif warganya. Sekarang kalau akan membuang sampah dan tidak melihat ada tempat sampah di dekat saya, biasanya saya simpan dulu benda yang akan saya buang itu. Cuma memang kebiasaan positif ini kalau dibawa ke Indonesia sering bikin sakit hati. 😛 Atau mungkin karena saking teraturnya negara mungil ini terasa kurang “hidup”? Rasanya tidak. Singapura sudah lama menjadi kota yang sering menggelar konser band-band internasional. Pusat seni dan kebudayaan juga tak kurang. Lalu apa? Biaya hidup yang tinggi? Entah juga. Apartemen teman saya di sini yang berkamar tiga biaya sewanya sekitar S$ 2.000 – 2.500. Tapi tentu saja standar gaji di Singapura jauh lebih tinggi dibandingkan kita.

Jadi, apa dong? Yaa…saya tidak tahu. 😛 Mungkin ini: banyak hal terasa artifisial di sini. Kita tahu Singapura pernah (dan masih) melakukan reklamasi wilayah dengan pasir. Sekarang pun pemerintahnya masih membeli pasir dari luar negeri, persisnya dari Thailand (karena Indonesia dan Malaysia tak lagi mau menjual pasirnya). Ini bisa dimaklumi mengingat terbatasnya wilayah mereka, sementara jumlah penduduk terus bertambah. Saat ini jumlah penduduk Singapura mencapai 5 juta orang. Hebatnya, dengan wilayah yang “sempit” itu mereka bisa memaksimalkan potensi negaranya: sanggup menarik sekitar 13 juta wisatawan tahun lalu, menjadi pelabuhan laut paling sibuk no.6 sedunia, punya bandara Changi yang disebut sebagai salah satu bandara terbaik sedunia, dan sederet prestasi lain. Tapi beberapa tempat bagi saya terkesan artifisial dan datar saja (mungkin ya karena alamnya tak seindah kita). Misalnya, Sentosa Island atau Merlion. Kita bisa saja toh bikin patung Garuda di pinggir pantai, dilengkapi dengan air mancur, dan jadilah salah satu ikon Indonesia, kan? Memang sih kita punya patung Garuda Wisnu Kencana di Bali, tapi mosok Indonesia cuma Bali melulu sih? Gagal dong promosi pariwisata kita kalau turis asing cuma tahu Bali dan Bali lagi. Namun secara keseluruhan saya harus mengakui keunggulan Singapura dalam hal penataan kota, kebersihan, keamanan, kedisipilinan warganya, dan transportasi massal yang terintegrasi. Semua itu sanggup mendongkrak semua hal yang biasa-biasa saja dan artifisial menjadi penyedot turis asing untuk selalu datang ke negeri kecil ini.

Semua kisah yang saya tulis ini tentu adalah persepsi saya pribadi. Memang masih terlalu umum dan menyederhanakan, hanya berdasarkan pengamatan selama beberapa hari. Jadi tentu tak bisa mewakili kondisi sebenarnya. Saya hanya pergi melancong ke negeri lain dan menikmati momen-momen anak kecil yang selalu takjub ketika melihat dan mengalami hal-hal baru. The joy of finding new things. Paul Theroux, seorang penulis top buku-buku bergenre travel writing, pernah bilang, “Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukanlah perjalananku.” Kesan yang didapat istri saya yang baru pertama ke luar negeri juga pasti berbeda dengan saya.

***

Suasana di Budget Terminal, Changi.

Jam 16.00 kami sudah tiba di Budget Terminal Bandara Changi. Ini pertama kali saya melihat terminal keberangkatan di area ini. Sebenarnya terminal ini tampak sederhana, tapi jadi nyaman sekali rasanya karena tempat ini sangat bersih. Setelah check in, kami numpang duduk di area sebuah kafe dan menghabiskan kue waffle dan jus leci yang kami beli di stasiun Pioneer sejam sebelumnya. Soalnya di pesawat nanti cuma dikasih sebungkus kecil kacang, tanpa minum. 🙂

Setelah makan, kami masuk ke ruang tunggu di area Boarding Gates. Selain beberapa kafe, resto, toko suvenir, dan toko buku, ada area untuk main Internet gratis di sini. Walau gratis, akses Internet akan mati sendiri setelah 15 menit, supaya bisa bergantian dengan pemakai berikutnya. Tapi kalau tidak ada orang lain yang mengantre, silakan lanjut. 🙂 Habis dari situ saya juga sempat main ke toko buku Hudson News dan membeli buku biografi Steven Tyler…hehe!

Internet gratis di area Boarding Gates.

Setelah 15 menit ber-Internet ria, kami mencari keberangkatan kami dan duduk di depannya. Setelah mendaftar untuk mendapatkan boarding pass di gate tersebut, saya kena bencana. Saat itu istri saya bertanya, “Lho, mana tas yang satu lagi?” Saat itu saya hanya membawa backpack, satu tas selempang kecil, dan satu tas tenteng kecil berisi celana dalam kotor dan buku-buku pesanan teman kantor yang saya beli di Kinokuniya. Yang terakhir ini tidak ada. Saya mendadak panik luar biasa.

Satu-satunya tempat yang saya ingat adalah tempat duduk di luar gate ini tadi. Saya berlari keluar dan sempat diteriaki petugas agar meninggalkan paspor dan kertas boarding pass saya dulu. Baru setelah itu saya bisa berlari-lari mencari tas saya yang hilang. Di deretan kursi depan gate tidak ada. Saya berlari ke area Internet gratis tadi. Tidak ada juga. Ke toko buku tadi, tidak ada juga. Siapa yang mengambil? Mungkin salah seorang penumpang yang berbakat klepto. Atau bisa juga petugas keamanan bandara yang menyangka tas itu berisi bom. Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya sepanik ini. Saat itu mungkin 15 menit lagi pesawat akan lepas landas. Tinggal satu cara: melapor ke petugas keamanan.

Tas saya hilang di sini 😦

Saya pun lari menemui petugas keamanan terdekat, seorang wanita India. Herannya, sambil ngos-ngosan, saya masih sanggup melaporkan kehilangan saya (dengan bahasa Inggris) dan mendeskripsikan bentuk serta warnanya. Si petugas membawa saya ke kantor dan saya dilayani seorang petugas bertampang Melayu. Saya melaporkan lagi soal tas saya yang hilang, tapi kali ini dengan bahasa Indonesia. Saya sudah tidak sadar lagi bicara dengan bahasa apa ke kedua orang itu. Gonta-ganti. Mereka pun sibuk dengan walkie-talkie dan beberapa detik kemudian empat orang petugas mendekat. Setelah di-briefing beberapa detik, mereka pun berpencar. Para petugas keamanan bandara kini jadi sibuk gara-gara saya. Si petugas Melayu tetap menemani saya. Seorang pelayan kafe melaporkan ada sesuatu yang ditinggalkan di meja. Tapi ternyata hanya sebuah tas yang bukan milik saya. Lalu saya mendengar nama saya dipanggil lewat pengeras suara untuk segera naik karena tinggal saya penumpang yang belum muncul.

They’re calling my name,” kata saya ke si petugas yang masih tetap sibuk berkomunikasi dengan walkie-talkie.

It’s okay, tenang. I understand.”

Si petugas Melayu juga bertanya ke orang-orang sekitar, termasuk ke petugas boarding. Tapi hasilnya nihil. “Nothing,” katanya kepada saya sambil pasang wajah menyesal dan angkat bahu. Saya cuma bisa lemas dan berjalan gontai ke pesawat.

Di pesawat, saya masih sedih dan menyesali kehilangan tas saya. Bukan soal celana dalam yang hilang, itu sih biarin aja, tapi hilangnya tiga buah buku senilai dua ratus ribuan pesanan teman kantor yang sebenarnya bisa diklaim nantinya. Tapi ya…sudahlah. Itu keteledoran saya sendiri. Tas saya juga kemungkinan sulit dilacak karena tas itu akan dibawa masuk ke kabin, jadi nggak dilabeli nomor apa pun seperti tas-tas yang masuk ke bagasi pesawat. Bisa saja sih mengecek CCTV dan mencari siapa pun yang mengambil tas saya. Tapi jelas sudah tidak ada waktu lagi. Istri saya bahkan sudah naik ke pesawat. Sepertinya karena terlalu capek, saya jadi teledor meninggalkan tas saya di samping kursi tunggu. Saat hendak boarding, saya menenteng backpack saya—bukan menggendongnya. Jadi secara psikologis saya merasa sudah membawa tas saya yang ditenteng—padahal tas itu tertinggal di samping kursi saya tadi. Sial…. 😦

***

Mendarat kembali di Bandara Soekarno-Hatta, saya merasa semakin sedih. Meskipun hanya dibedakan sekitar 1,5 jam terbang, kondisi Changi dan Cengkareng sangat berbeda. Ibarat bumi dan langit. Ya, negara tertib dan negara semrawut tentu saja berbeda. Setelah membeli tiket bus ke Bandung, saya diminta menunggu di sebuah sudut karena busnya akan menjemput penumpang di situ. Berhubung tempat duduk terdekat sudah penuh (dan banyak perokok brengsek), saya pun nongkrong di dekat tembok. Itu pun saya diusir satpam, dan disuruh duduk di deretan kursi yang sudah penuh tadi. Sebalnya, jarak antara deretan kursi itu ke kursi terdekat lainnya lebih dari 150 meter. Padahal ruang kosong yang ada untuk menempatkan kursi-kursi pun sebenarnya masih luas sekali.

Setelah naik ke bus yang menuju Bandung, saya membayangkan diri menjadi orang asing yang baru pertama kali datang ke Indonesia. Betapa membingungkan. Tak ada papan petunjuk bagaimana caranya menuju pusat kota Jakarta. Kalau tak ada orang yang menjemput, semua harus naik taksi (padahal taksi itu mahal!). Naik bus Damri pun pasti harus tanya-tanya ke sana kemari dulu. Kereta dari/ke bandara? Wah, paling cepat baru selesai pembangunannya akhir tahun 2012 ini. Ojek? Walah, memangnya turis first-timer tahu itu benda apa? 😛

Untuk urusan transportasi, kita tertinggal cukup jauh dibandingkan para tetangga kita. Singapura memiliki MRT sejak 1987. Kuala Lumpur punya monorail dan subway sejak awal tahun 2000-an, Bangkok boleh berbangga dengan skytrain dan MRT yang dioperasikan sejak 1999. Manila punya LRT dan MRT sejak 2005. Diam-diam negara-negara tetangga kita itu maju dengan mantap dan pasti, sementara kita di sini masih ribut dengan banjir dan tomcat. Okelah, Bangkok memang masih didera kemacetan pada jam sibuk walau sudah punya sistem transportasi yang lebih maju daripada Indonesia (baca: Jakarta). Tapi itu masih lebih bagus karena setidaknya mempu mengurangi tingkat kemacetan yang lebih parah sebelum moda transportasi massal itu diluncurkan. Untuk soal transportasi ini, Singapura masih juara di Asia Tenggara.

Konon, negara tertinggal bisa dilihat dari masih adanya sistem setoran dan angkot. Nah, kita masih punya semua itu. Siapa pun bisa saja membeli beberapa mobil untuk angkot. Asalkan si pemilik mengantongi izin dari Dishub dan Organda, beres deh. Tinggal mencari beberapa orang untuk menjadi sopirnya, dan mereka diwajibkan memberikan setoran sekian ratus ribu sehari. Perkara si sopir mau kebut-kebutan, balapan dengan angkot lain, jalan mundur, ngetem sembarangan berjam-jam, menaik-turunkan penumpang seenaknya, kongkalikong dengan pemerkosa yang sakit jiwa, itu urusan lain. Yang penting pemilik mobil terima setoran tiap hari.

Walhasil, dengan pola seperti itu, kacau balaulah transportasi kita. Bus dalam kota dan antarkota kebanyakan juga masih pakai sistem setoran. Angkot bikin macet, tidak aman karena penumpangnya rentan dirampok atau diperkosa, sopirnya pun banyak yang jadi korban pemalakan preman yang minta disebut timer, dan macam-macam lagi. Warga yang sudah muak pun banyak yang lebih suka beli kendaraan pribadi—motor jelas yang paling murah. Kalau sudah begini, jalanan jadi tambah macet. Butuh revolusi transportasi kalau begini caranya. Mestinya pemerintah bisa bikin konsorsium bekerja sama dengan swasta atau luar negeri, hapus sistem setoran, bikin perusahaan profesional, gandeng dan bina semua sopir angkot dan bus kota untuk jadi karyawan bergaji, remajakan semua kendaraan yang tidak layak jalan. Paling-paling yang protes Organda…hehehe. 🙂

Saya menyadari betapa mahalnya harga sebuah mentalitas negara maju. Soal infrastruktur sih kita masih bisa berutang ke sana kemari. Itu pun mudah-mudahan nggak dikorupsi. Bikin gedung pencakar langit, alat transportasi massal, jalanan lebar, kita semua bisa kok. Tapi mental warga negara maju tidak bisa dibeli. Ia harus diusahakan melalui pendidikan atau edukasi informal, dan dilengkapi dengan peraturan yang dipatuhi semua warga. Tapi prosesnya mungkin akan makan waktu bertahun-tahun.

Warga Beijing dulu terkenal doyan meludah sembarangan. Tapi Olimpiade Beijing 2008 lumayan bisa mengubah kebiasaan buruk itu. Larangan meludah sembarangan dikeluarkan dan dijalankan dengan tegas. Jelas pemerintah Cina akan malu berat kalau turis-turis yang datang untuk nonton Olimpiade melihat sendiri warga ibukotanya meludah massal di jalanan. TransJakarta itu dulunya bus yang bagus dan pada awalnya semua pengguna bus itu masih tertib. Sekarang bus itu sudah kacau balau, kotor, banyak yang rusak, sesekali bahkan terbakar sendiri. Pengelola tidak bekerja maksimal, jumlah bus yang beroperasi semakin sedikit. Penumpang juga semakin susah diajak tertib. Kalau lagi ramai, mau keluar dari bus pun mesti sikut-sikutan dulu dengan penumpang yang akan masuk. Belum lagi kadang ada orang gila yang suka melakukan pelecehan seksual di bus. Semrawut. Suatu hari nanti, kalau Indonesia (baca: Jakarta) sudah punya kereta bawah tanah subway, seperti apa ya orang kita menyikapi dan memperlakukan fasilitas itu? 😛

***

Singkat cerita, tengah malam saya sampai di daerah Batununggal, pemberhentian terakhir bus Primajasa kami. Beberapa taksi sedang antre menunggu penumpang di sana. Ada plang pengumuman yang isinya pemberitahuan bahwa semua taksi harus antre dan harus memakai argometer. Saat saya tanya beberapa sopir taksi, mereka semua bilang tak mau memakai argo dan memasang tarif Rp 40 ribu untuk ke rumah saya di daerah Ciganitri—tidak jauh, sebenarnya.

Jelas kami nggak mau, karena kami tahu tarifnya tidak semahal itu kalau pakai argo. Jadi, kami pun menelepon Blue Bird. Operatornya bilang mereka akan menjemput kami di masjid dekat situ, karena mereka “tidak bisa” menjemput penumpang persis di depan pool Primajasa. Silakan tebak sendiri kenapa. 😛

Omong-omong, berapa tarif taksi setelah sampai di rumah saya? Hanya 25 ribu. []

Tamat.

with abahSpecial thanks to Abah & family for making our trip more fun and cheaper 🙂

Next backpacking trip in 2012: Thailand.

Cerita Singapura #5 (+ KL Stories)

Kawasan Bukit Bintang dengan KL Tower menjulang di latar belakang.

Senin, 20 Februari 2012

Walau baru satu malam berada di Kuala Lumpur, saya kadang berpikir bahwa mengunjung Malaysia atau Singapura itu seperti mengunjungi kampung halaman sendiri. Banyak hal terasa sama. Secara psikologis, tingkat ketegangan saat melancong ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura tak setinggi saat berkunjung ke negara yang sangat “asing”. Saat tinggal di Ukraina empat tahun lalu, ketegangan tingkat tinggi dimulai ketika saya mendarat di Bandara Borispol, Kiev. Petugas bertanya kepada saya dengan bahasa Rusia dan di mana-mana tulisan didominasi huruf Cyrillic. Bahasa Inggris hanya sedikit berguna karena sebagian besar warga di Ukraina tak bisa berbahasa Inggris. Sesekali ada orang yang menoleh ke arah saya, dan mereka yang sering tertidur saat pelajaran geografi di sekolah mengira saya orang Afrika. Pada saat-saat seperti itulah saya merasa asing.

Di Singapura dan Malaysia, bahasa Indonesia masih bisa dimengerti orang-orang di sana. Kalau mentok, ya pakai bahasa Inggris campur Melayu–serendah apa pun level bahasa Inggris kita, mereka masih mengerti. Toh, bahasa Inggrisnya warga biasa di Singapura dan Malaysia juga nggak bagus-bagus amat. Mungkin masalah bahasa itulah yang menjadi faktor utama kalau kita merasa tegang datang ke negeri lain. Soal fisik sih mereka tak akan menoleh dua kali kalau melihat saya: rambut sama hitam, kulit sama cokelat. Rasa makanan juga cuma 11-12 alias beda tipis. Yang berbeda mungkin hanya nasib. 🙂

Selain bahasa, faktor “atmosfer” atau lingkungan pasti juga berpengaruh. Maksud saya, cukup melihat sekeliling, kalau atmosfernya terasa sama atau mirip, secara psikologis itu berpengaruh untuk mengurangi ketegangan kita. Nah, itulah yang saya rasakan selama main di dua negara tetangga jiran kita.

Pagi itu, jam 07.30, setelah mandi dan sholat Subuh (hei, di sini Subuh jam 6 lho), kami keluar dari hostel. Walaupun hostel kami berada persis di samping McDonald’s dan A&W, ternyata kalau pagi ada juga pedagang kaki lima yang jualan nasi lauk. Kebanyakan pembelinya adalah warga sekitar atau para pegawai kantor yang sedang dalam perjalanan ke tempat kerja. Sialnya, saya baru lihat ada pedagang-pedagang nasi pas sudah sarapan burger telor dan teh manis di McD…haha! Melayanglah RM 9 untuk makan berdua…tapi saya beli lagi sih sebungkus nasi lemak. Naik ke kamar lagi sebentar, makan pakai tangan, dan turun lagi buat nerusin jalan-jalan.

Salah satu penjual nasi.

Salah seorang pedagang nasi lauk di Ain Arabia. Itu tabung gas kok di atas gitu sih 😛

Persis di belakang deretan hostel saya ada satu kampung yang namanya Ain Arabia alias Arab Street. Kawasan ini banyak dihuni oleh restoran (halal) dan toko suvenir yang digemari turis. Konon, kawasan ini memang didesain oleh pemerintah kota Kuala Lumpur untuk menarik minat para wisatawan dari Timur Tengah, tempat orang-orang Arab makan, berbelanja, atau nongkrong bareng teman dan keluarga. Namun walaupun didesain untuk orang Arab, kawasan ini juga selalu diramaikan oleh warga lokal dan wisatawan non-Arab yang ingin merasakan suasana Timur Tengah di Malaysia.

Kata si pedagang nasi, kawasan ini biasanya ramai oleh turis sekitar bulan Juli sampai September saat banyak warga Arab mengunjungi Malaysia untuk berlibur. Pada bulan-bulan itu juga biasanya sekolah sudah libur dan banyak warga Timur Tengah pergi ke luar negeri untuk menghindari hawa panas Timur Tengah yang sangat menyengat gila-gilaan—biasanya di atas 47°C.

Gerbang depan kawasan Ain Arabia.

Pagi hari di kawasan Ain Arabia. Sepi. Beberapa orang masih tidur di taman.

Salah satu warung makan di kawasan Ain Arabia yang buka 23 jam. Yang 1 jam buat apa ya? 🙂

Sejauh saya lihat sih, kawasan ini tak terasa atau terlihat terlalu Arab. Paling-paling hanya warung-warung makannya yang memberi kesan seperti itu. Ada banyak warung makan/resto yang menyajikan masakan India, Pakistan, Yaman, dan Melayu di kawasan ini. Pedagang-pedagang suvenir kaki lima di sini juga berwajah Arab, tapi tak semuanya.

Pagi itu agak sejuk dan sedikit mendung diiringi gerimis. Tujuan kami adalah Petronas Twin Towers. Kami berjalan kaki menyusuri Jl. Sultan Ismail. Menurut si tukang nasi tadi, kami hanya perlu berjalan sekitar satu kilometer. Tidak mungkin nyasar, karena itu adalah menara kembar tertinggi di dunia. Perhatikan kata “kembar”nya, ya. 🙂 Sampai tulisan ini dibuat, sih, gedung tertinggi di dunia masih Burj Khalifa di Dubai (Uni Emirat Arab) dengan ketinggian 829 meter.

Hari Senin itu jalan raya cukup ramai, tapi tak bisa dibilang macet. Motor-motor juga berseliweran di jalanan, tapi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kota-kota di Indonesia. Soal ketertiban sih relatif, ya. Pengendara motor di Jakarta atau Bandung masih jauh lebih ganas. 🙂

Kalau di perempatan Buah Batu, Bandung, motor-motornya maju sampai ke tengah perempatan. 🙂

Mungkin karena di kawasan jalan protokol, saya merasa berjalan di trotoar Kuala Lumpur lebih nyaman daripada di Jakarta atau Bandung. Memang ada 1-2 pedagang nasi lemak kaki lima yang menggunakan motor saat kami berjalan menuju Petronas, tapi kami tak merasa terganggu sama sekali. Sepanjang jalan pun keadaannya relatif bersih dan sejuk oleh rimbun pepohonan.

Suasana jalan di KL. Puncak KL Tower di belakang sana sedikit kelihatan.

Monorail di KL.

Sampai di perempatan Bukit Nanas, kami berbelok ke kanan ke Jl. Ampang. Menara Petronas sudah terlihat sehingga mudah dijadikan panduan. Sekitar 300 meter dari menara Petronas, kami melihat satu kios yang baru buka. Ini bukan kios jajanan, tapi semacam tourism information center. Di sana kami bisa mengambil brosur-brosur wisata dan peta rute monorail, dan tentu saja peta Kuala Lumpur. Ini sangat membantu orang-orang yang sedang melancong ke Kuala Lumpur. Saya tidak ingat (dan tidak tahu) apakah di Jakarta, Bandung, atau kota-kota besar lain di Indonesia ada tourism information center seperti ini. Mengunjungi Indonesia untuk pertama kali dijamin sangat membingungkan bagi orang asing, terutama transportasinya.

Jalan kaki di perkotaan emang enak kalo trotoarnya bersih dan lebar.

Sampailah kami di Petronas Twin Towers. Jangkung dan megah. Langsunglah kami bikin foto-foto narsis, dong. Mungkin karena masih pagi atau bukan musim turis, suasana di sekitar menara kembar itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua kelompok besar dan beberapa pasang turis, termasuk kami.

Mejeng dulu 😛

Kami hanya sempat berfoto-foto selama setengah jam di situ, sambil duduk-duduk santai menikmati pemandangan sekitar. Perlahan gerimis mulai turun dan 10 menit kemudian berubah menjadi hujan deras. Sial, kenapa ya saat mengunjungi landmark di Singapura dan Malaysia kok malah hujan terus? Saat kami mau masuk ke gedung untuk naik ke Skybrigde, jembatan yang menghubungkan kedua menara itu (lihat foto), petugas keamanan di situ memberi tahu kami bahwa hari Senin Skybridge ditutup bagi pengunjung. Sial lagi, deh. Sambil menunggu hujan reda, kami sibuk membaca peta Kuala Lumpur.

Dari tahun 1998 sampai tahun 2004, Petronas Twin Towers adalah gedung tertinggi di dunia, sebelum disalip oleh menara Taipei 101 di Taiwan. Namun, dengan tinggi 452 meter, setidaknya menara ini tetaplah menara kembar tertinggi di dunia. Dua menaranya dihubungkan dengan jembatan yang bernama Skybridge yang terletak di lantai 41.

Skybridge buka dari Selasa sampai Minggu. Jam berkunjung dari jam 09.00 sampai jam 17.00. Pada hari Senin, Skybridge akan dibuka setengah hari dari jam 09.00 sampai jam 13.00 siang bila liburan sekolah dan dibuka full day jika hari itu termasuk dalam public holiday. Sayangnya, tiketnya tidak lagi gratis. Sejak tahun 2010, tiket masuknya dijual seharga RM 10.

Istri saya mengajak ke Pasar Seni, lalu saya bertanya ke petugas keamanan di situ cara menuju ke sana. Petugas keamanan bernama Adam yang tampangnya mirip Bripda Saeful Bahri ini menjelaskan kepada saya dengan ramah. “Pasar Seni? Bisa naik bas…tapi better naik tren lah,” katanya dengan bahasa Melayu kesurupan bahasa Inggris. Soalnya bahasa Melayu untuk “kereta api” kan “keretapi”. Dari dia juga saya tahu cara terbaik menunggu hujan reda: Daripada bengong di pelataran Petronas, mendingan masuk lewat pintu tengah gedung dan jalan-jalan di mal Suria KLCC (Kuala Lumpur City Center, sebutan lain untuk gedung Petronas ini).

Suria KLCC adalah sebuah pusat perbelanjaan yang cukup sibuk di Kuala Lumpur. Lokasinya masih di gedung Petronas Twin Towers, tingginya 5 lantai dengan berbagai macam toko, termasuk department store Isetan dan—ini dia—toko buku Kinokuniya! Kebetulan pas kami naik ke lantai 6, pintu Kinokuniya persis baru dibuka.

Kinokuniya di lantai 6 mal Suria KLCC.

Ukuran Kinokuniya KL ini sekitar 1/3-nya yang di Singapura, tapi tetap saja luas. Setelah sekali lagi berhasil menahan nafsu belanja buku, kami segera mencari stasiun subway—masih di KLCC. Semua petunjuk yang mengarah ke stasiun mudah dipahami. Keretanya pun cukup nyaman, walau saya heran juga kenapa subway di sini cuma sedikit tempat duduknya dibandingkan dengan MRT Singapura.

Di subway.

Silakan tengok kenyataan hidup Anda di sini 😛

Saat itu sudah hampir jam 11 siang. Sebenarnya, tadi kami bisa saja mampir ke satu lagi tujuan menarik di KLCC, yaitu Petrosains,  pusat peragaan ilmu pengetahuan yang menekankan pada aspek industri minyak Malaysia. Petrosains terletak di lantai empat Suria KLCC. Biasanya kalau liburan sekolah, banyak pelajar yang main ke sini. Sayang, hari Senin itu tutup juga! Di subway, saya berembug dengan istri; karena jam 12 kami harus check out, kami memutuskan untuk kembali ke hostel, mandi, berkemas, lalu pergi jalan-jalan lagi sambil menggendong tas punggung.

Seperti di Singapura, jaringan subway di Kuala Lumpur ini juga mudah dipahami bagi turis yang baru pertama kali datang ke sini. Peta rute ada di setiap stasiun. Cara membeli tiketnya pun, kalau tak punya tiket berlangganan seperti EZ Link di Singapura, juga mudah. Cukup mainkan layar sentuh pada mesin tiket di setiap stasiun, masukkan uang, dan voila! Jadi, kami turun di stasiun Bukit Nanas dan berganti monorail untuk kembali ke Bukit Bintang. Sampai di hostel kami mandi dan berkemas, lalu melanjutkan sisa hari itu dengan jalan-jalan lagi. Tapi sebelumnya kami harus makan siang dulu, dong. Tadinya sih kami mau makan di resto Turki (yang tampak mahal), tapi tak sengaja kami menemukan warung nasi di gang di belakang hostel. Banyak karyawan rendahan yang bekerja di sekitar Bukit Bintang makan siang di situ—sambil melirik dua backpacker kere yang makan banyak banget di gang senggol itu.

Warung nasinya si orang India muslim.

Menunya bikin ngiler 😛

Setelah diintip-intip, ternyata menunya menarik. Mirip warung nasi atau warteg di gang senggol gitu deh. Nasinya juga boleh ambil sendiri. Si penjual cuma mengira-ngira saja berapa banyak nasi dan lauk yang saya ambil. Jadi siang itu kami makan enak dengan lauk kari kambing, ayam goreng, oseng toge, dan telur dadar. Untuk semua itu kami hanya bayar RM 12, itu karinya udah nambah lho!:) Kari kambingnya mantap lezatnya, kuahnya gurih, dagingnya empuk dan tidak bau prengus. 😛

Menu maksi kami (sebelum nambah) ^_^

Markimak! (Mari kita makan)

Kenyang makan, kami naik monorail ke stasiun Pasar Seni. Sempat nyasar satu kali karena salah baca peta, akhirnya kami sampai juga di sana. Dari namanya, sih, Pasar Seni gampang ditebak adalah pusat jualan aneka suvenir. Jalan kaki dari stasiun Pasar Seni ke Pasar Seninya sendiri tidak jauh. Sambil menuju ke sana, saya lihat ada penjual gorengan dan minuman di pinggir jalan. Waduh, familiar sekali! Jelas saya beli dong buat iseng-iseng. 😛 Murah kok, 1 ringgit dapat 5 biji…itung-itung ngabisin koin sen ringgit laah…hehehe!

Tukang gorengan 🙂

Bangunan Pasar Seni tampak seperti bangunan peninggalan zaman kolonial yang sudah pernah dipugar kembali. Suasana di dalam cukup nyaman, bersih, dan sejuk karena berpendingin udara. Saat itu Pasar Seni juga tidak terlalu ramai oleh pengunjung. Isinya macam-macam: ada toko pakaian, suvenir, foodcourt, dsb.Kami hanya membeli suvenir-suvenir kecil seperti gantungan kunci, piring hiasan, dan magnet kulkas. Di beberapa toko, kita juga bisa menawar harganya. Ada juga lorong yang berisi toko-toko pakaian yang menjual batik. Saya mengintip bagian leher beberapa kemeja batik. Hmm, banyak yang buatan Indonesia, tapi ada juga yang buatan Malaysia. Tadinya saya iseng mau tanya ke penjualnya soal batik itu, tapi saya sedang malas berkonfrontasi soal batik dengan Malaysia…hehehe 🙂

Tampak depan bangunan Pasar Seni.

CIM5019A

Suasana di Pasar Seni.

Tak terasa sudah jam 2 siang lebih. Sore sebelumnya saya sudah menanyakan soal jam berangkat bus ke Singapura di agen perjalanan yang sama. Saya dan istri sepakat pulang sore hari, sebelum jam 5 sore, mengingat waktu tempuh yang memakan waktu lima jam agar kami tidak terlalu malam sampai di apartemen Abah. Di dekat Pasar Seni katanya sih ada Chinatown juga. Tapi rasanya Chinatown di mana-mana hampir sama. Tadinya malah saya mau jalan-jalan ke terminal bus Puduraya gara-gara lihat bus-bus mondar-mandir di depan Pasar Seni. Tapi, ngapain juga ya lihat terminal bus? Hehehe! Ya…sudahlah. Sejak awal kami memang berencana hanya menghabiskan satu malam di Kuala Lumpur—walau ada teman yang bilang bahwa tak banyak yang bisa dilihat di sini. Yah, saya toh cuma ingin jalan-jalan, lihat-lihat, nyobain naik monorail, subway, dan beli sedikit suvenir. Kapan-kapan saya bisa ke sini lagi, kan? 🙂

Suasana di dalam monorail.

Satu sudut kota KL, difoto dari monorail 🙂

Kami lalu naik monorail ke stasiun Imbi, pas di depan Berjaya Times Square, lalu mencari kantor StarMart Express dan membeli tiket. Ternyata tiket bus dari KL ke Singapura lebih murah daripada sebaliknya: cuma 90 ringgit untuk dua orang! Kami membeli tiket  untuk jam 16.30. Sebelum berangkat, saya menukarkan uang ringgit saya kembali ke dolar Singapura, dan hanya tersisa 5,5 ringgit saat itu. Tak mau rugi, sisa uang itu saya gunakan untuk membeli roti yang agak besar dan sebotol jus. Totalnya: 6 ringgit. Waduh, saya jadi bingung karena tak punya ringgit lagi. Saya langsung protes, “Gimana sih, Mas? Tadi saya liat di label harganya nggak segini.” Si kasir langsung mengecek dan ternyata label harganya salah. Akhirnya dikoreksi dan total harganya jadi 5,4 ringgit. Sisa 10 sen buat kenang-kenangan, deh! Hahaha 🙂

Tepat jam 16.30 kami pun naik ke bus. Kali ini kami dapat bus tingkat dan sopirnya orang India (lagi). Ini yang paling saya suka kalau lagi jalan-jalan: mencicipi alat transportasi di negara itu sepuasnya. Penumpang bus saat itu tak terlalu banyak. Ternyata bus dari KL ini mampir sebentar ke terminal bus Tasik Selatan untuk menjemput beberapa penumpang. Berhubung tak banyak yang bisa dilihat sepanjang perjalanan, saya cuma bisa menunggu kantuk datang sambil membaca buku atau melihat-lihat foto di kamera. Kalau punya tablet mungkin saya bisa sambil menulis. 🙂

Sekilas pemandangan pusat kota KL .

Beberapa kali saya melihat motor melintas di bahu jalan tol antarnegara bagian dalam perjalanan ke dan dari Kuala Lumpur. Setelah tanya ke makcik di sebelah, saya baru tahu bahwa motor memang boleh melintas di jalan tol…dan gratis! Cuma, para pengendara motor harus tetap berada di bahu jalan. Ada sih 1-2 pengendara nakal yang nekat menyalip bus dan mobil. Wah, seandainya jalan tol di Indonesia dibolehkan dan digratiskan bagi pengendara motor….bisa bahaya, malah. 😛 Yang jelas, perjalanan dengan bus kelas satu itu sangat nyaman. Jalan sepanjang ratusan kilometer itu mulus tanpa tambalan dan bus juga melaju dengan kecepatan sedang-sedang saja.

Motor melintas di jalan tol.

Waktu “pulang” ke Singapura dapat bus double decker 🙂

Tiba di imigrasi Tuas, Singapura, seperti biasa kami harus melewati dua check point, satu untuk keluar dari Malaysia, dan satu lagi untuk masuk ke Singapura. Entah kenapa, saya diminta oleh petugas imigrasi Singapura untuk masuk ke kantor. Di sana, bersama satu perempuan Filipina (atau Thailand?) saya diminta menunggu karena mereka akan memeriksa paspor saya. Bahkan mereka sempat melihat paspor lama saya (ya, saya bawa paspor lama kalau-kalau mereka mengira saya baru pertama kali ke luar negeri) dan memindai sidik jadi saya. Seorang petugas berwajah India yang tampak ramah meminta paspor saya dan membawanya pergi sebentar. “Apa salah saya, Pak?” tanya saya kepada petugas yang sedang memindai kedua jempol saya. “Pemeriksaan biasa,” begitu doang jawabnya.

Perasaan saya mereka sedang iseng saja. Karena saat sedang duduk menunggu, ada 2-3 petugas malah sibuk berfoto. Saya tak menyisakan sedikit pun celah bagi mereka untuk mencari kesalahan saya. Semua dokumen dan tiket pesawat pulang bisa saya tunjukkan. Uang dolar Singapura juga masih sisa banyak. Setelah hampir 10 menit, saya dibebaskan keluar. Di luar pintu kantor imigrasi, ada seorang kakek berkursi roda sedang difoto dan diajak mengobrol rame-rame oleh para petugas imigrasi lainnya. Lagi dikerjain, mungkin? Entahlah. Istri saya sudah panik menunggu di luar, sementara saya cuma cengengesan. Hasil mengobrol dengan si sopir India, kalau dalam setengah jam ada penumpang yang belum kembali ke bus, dia akan ditinggal. “Sometimes they try to find your weakness for no reason. If you have all the documents with you, especially the return ticket, you’ll be alright,” kata si sopir. Ooh, begitu, ya? 😛 Kami pun melanjutkan perjalanan ke Golden Mile Complex. Si perempuan di kantor imigrasi yang bersama saya tadi sudah kembali.

Persis jam 12 malam, kami menyelinap ke apartemen Abah yang sengaja tidak dikunci buat kami—rasanya kayak maling. 🙂 Setelah mandi (oh, segar sekali!) dan sholat, kami langsung tidur—mengistirahatkan kaki gempor kami. Hanya tersisa setengah hari besok sebelum kami pulang. Perjalanan singkat ini mungkin sedikit terburu-buru, walau masih bisa disebut slow travel. Enam hari rasanya tak cukup untuk menjelajahi dua negara untuk bahan sebuah tulisan yang bagus dan mendalam seperti yang dilakukan para jagoan travel writer macam Paul Theroux, Eric Weiner, atau Pico Iyer. Tapi saya merasa rileks dan (untuk sementara) lega bisa berkesempatan jalan-jalan ke luar negeri lagi, menyerap banyak pengalaman yang sulit dinilai dengan uang, mengumpulkan bahan tulisan buat blog. 🙂

Beberapa menit saya sebelum lenyap ditelan mimpi, saya melamun. Seandainya kita setuju bahwa hidup adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan, bukankah kita harus jalan-jalan? Bepergian? Melihat dunia? Ah…

Bersambung….

Next: tulisan terakhir, bikin heboh di Bandara Changi!

Cerita Singapura #4 (+ KL Stories)

Minggu, 19 Februari 2012

Hari itu kami bangun pagi seperti biasa. Bedanya, kali ini kami tak terlalu terburu-buru. Setelah sarapan laksa dua mangkok (dipaksa tuan rumah), saya memilih bersantai dulu sambil main sama anak-anaknya Abah. Mereka sekeluarga rencananya mau mampir ke KBRI hari Minggu itu. “Ada pemutaran film Laskar Pelangi sama jumpa fans dengan Andrea Hirata. Mau ikut?” Waduh, sudah pasti nggak mungkin deh. Malam tadi saya sudah mencatat jadwal bus yang menuju Kuala Lumpur.

Teman saya ini sudah punya 3 junior: Zahwa (4,5 tahun), Gazi (2,5 tahun), dan si bayi Raissa (4 bulan). Lucunya, Zahwa dan Gazi sudah bisa bicara bahasa Inggris sederhana. Lumayan cas-cis-cus untuk anak seumuran itu. Gazi yang belum bisa bicara dengan jelas pun mengerti ketika saya ajak ngobrol dengan kata-kata sederhana. Sementara Zahwa sudah bisa memperlihatkan aksen bahasa Inggris yang bagus, tak ada aksen Singlish (Singaporean English) sama sekali.

Menurut Atti, ibu mereka, anak-anak Singapura sebenarnya terbiasa berbahasa Inggris, tapi dalam percakapan sehari-hari mereka lebih terbiasa berbahasa Singlish alias bahasa Inggris berantakan versi warga negeri singa ini. Katanya lagi, kadang-kadang orang yang berbahasa Inggris dengan “baik dan benar” malah ditertawakan. Walaupun pemerintah dan warga kelas atas Singapura tak menyukai/menyetujui penggunaan bahasa aneh ini, Singlish nyatanya populer di kalangan masyarakat umum. Pemerintah memang pernah mencanangkan Speak Good English Movement—sebuah kampanye untuk “memaksa” dan menyadarkan warganya akan pentingnya berbicara dengan bahasa Inggris standar yang dipahami secara umum oleh masyarakat dunia. Kampanye ini digaungkan misalnya di sekolah-sekolah dan media massa. Tetap saja, bahasa Inggris yang membingungkan itulah yang dipakai secara luas dalam keseharian warga Singapura. 😛 Tapi situasi yang mirip sebenarnya juga ada di negara kita, kok. Walau punya bahasa nasional yang diajarkan sejak SD, sebagian besar orang Indonesia juga tak bisa berbahasa Indonesia dengan baik, apalagi kalau sudah berada di ranah bahasa tulis. Kalau bahasa lisan sih bisa macam-macam, tapi yang biasa muncul di TV kita sih biasanya bahasa Betawi. Terserah mau menyalahkan sistem pendidikan atau apalah. Saya sih lebih suka belajar sendiri. Misalnya, dengan cara nge-blog. 🙂

Setelah berkemas dan mandi, kami segera turun dan melompat ke MRT menuju stasiun Nicoll Highway, lalu berjalan kaki sekitar 10 menit ke Golden Mile Complex. Di dalam gedung kompleks di sini ada deretan ruko yang bersih dan didominasi oleh warga Thailand. Beberapa bendera Thailand tampak digantung di beberapa sudut bagian dalam bangunan itu. Mungkin Golden Mile Complex ini bisa disebut “Little Thailand” di Singapura.

Di tempat ini Anda dapat menemukan sedikit pengalaman Thai. Sebelumnya tempat ini dikenal sebagai Kompleks Who Hup. Ada total 400-an toko di sini, dan Anda akan menemukan toko-toko yang menjual CD, bir, pakaian, sayuran, dan buah-buahan segar. Golden Mile Complex katanya juga tempat terbaik di Singapura untuk mencicipi masakan Thailand yang murah dan enak. Sayangnya kami belum lapar waktu itu sehingga cuma membeli beberapa bungkus kecil kacang—untuk menghabiskan uang koin kami.

Satu sudut di Golden Mile Complex yang menjual sayuran, buah-buahan, dan daging.

Golden Mile Complex juga dikenal karena banyak agen perjalanan bermarkas di sini, dengan bus yang berangkat dan datang dari beberapa kota tujuan di Malaysia secara reguler. Sepengamatan saya, sebagian besar bus antarkota (atau bisa saya sebut antarnegara) dari sini, dan juga bus-bus umum di jalanan dan bandara Singapura, menggunakan kendaraan buatan Scania—produsen bus dan truk asal Swedia. Bus-bus Scania menurut saya bertampang keren dan modern. Baru melihat saja saya sudah jatuh cinta dan ingin segera melompat masuk. Tapi sebelumnya kami harus beli tiket dulu. Setelah bertanya ke 2-3 agen perjalanan, kami memilih bus StarMart Express tujuan Berjaya Times Square—sebuah mal di Kuala Lumpur. Berangkat jam 12.30 siang.

Agen-agen perjalanan di Golden Mile Complex.

Kami beli tiket bus di sini. Murah lho! 🙂

Kata petugas agen itu, sih, Times Square terletak dekat sekali dengan Jl. Bukit Bintang, Kuala Lumpur—sebuah ruas jalan yang terkenal di kalangan backpacker karena banyak penginapan murah dan aksesnya mudah ke mana-mana. Tiket ke Kuala Lumpur cuma S$25/orang. Kalikan saja dengan Rp 7.100. Untuk perjalanan lima jam dengan bus mewah keren kelas satu, itu sih murah! Sambil duduk menunggu jam keberangkatan, saya berjalan-jalan ke sana kemari di kompleks pertokoan itu.

Naik bus ke Kuala Lumpur. Tiket untuk 2 orang cuma S$ 50 (sekitar Rp 350 ribu).

Sekelompok backpacker bule dengan tas punggung yang ada emblem daun maple tampak berkelompok sambil melihat-lihat agen perjalanan yang oke. Di depan kami ada dua lajur yang diperuntukkan untuk mobil. Yang sebelah kiri khusus untuk antre taksi, sementara yang kanan untuk mobil lain atau taksi yang akan menurunkan penumpang. Di ujung jalur, ada tempat khusus bagi calon penumpang taksi untuk mengantre. Saat itu ada dua orang yang sudah mencegat taksi dan memasukkan beberapa tas ke bagasi, tapi salah satunya balik lagi entah ke mana, sepertinya ada barang yang ketinggalan, sementara yang satu lagi menunggu di dekat taksi. Calon penumpang taksi di belakang mereka kehilangan kesabaran karena taksi di belakang jelas terhambat. Dia langsung minggat ke lajur kanan dan mencegat taksi yang baru menurunkan penumpang. Hebatnya, si sopir taksi menolak sambil menunjuk-nunjuk lajur kiri. Dia menolak karena ingin bersikap tertib. Penumpang hanya boleh naik taksi yang di lajur kiri. Sayang, taksi kedua yang dicegat orang itu bersedia ditumpangi.

Sementara itu, penumpang yang tadi bikin antrean taksi terhambat akhirnya menyadari kebodohannya—setelah 5 menit temannya belum kembali juga. Dia mengeluarkan tas-tasnya dari bagasi supaya taksi itu bisa diambil penumpang lain yang sudah mengantre panjang di belakangnya. Nah, gitu dong! Saya mengutuk dalam hati. Sudah bagus orang bodoh itu nggak dimaki orang-orang. Seolah mendukung kedongkolan saya saat melihat drama itu, sebuah taksi lewat di depan saya. Ada iklan bank di bodi sampingnya yang bertulisan “Life is simple when it’s organized”. Wew, ah. Bener banget!

Si cewek backpacker di sebelah asik banget baca Lonely Planet. 😛

Saya menoleh ke kiri saya. Melihat ada cewek backpacker asal Kanada yang lagi serius banget baca Lonely Planet Asia Tenggara, saya menyapanya untuk meminjam bukunya—sekadar ingin melihat peta Kuala Lumpur sekilas. Saya tak banyak tahu tentang Kuala Lumpur dan tempat-tempat apa saja yang akan kami kunjungi di sana. Ternyata benar, dari Times Square tinggal jalan kaki ke Jl. Bukit Bintang. Katanya, sih, di sana nanti tinggal mencari penginapan murah dan itu tidak sulit. Saya memotret peta itu dengan ponsel saya, sekadar jaga-jaga. Terminal bus Puduraya—yang sering saya baca di milis atau grup FB khusus backpacker—sebenarnya juga tak jauh lokasinya dari Times Square, tapi Times Square lebih dekat lokasinya ke Jl. Bukit Bintang. Menara kembar Petronas pun terbilang dekat untuk dicapai dengan jalan kaki dari situ.

Setengah jam kemudian, para penumpang dipanggil untuk masuk ke bus. Dan….oh, busnya keren sekali! 🙂 Bus itu parkir sebentar di depan pom bensin. Setelah semua penumpang naik dan dicek, bus pun berangkat. Bagian dalam busnya sangat nyaman dan bersih. Kursinya berukuran lebih lebar daripada rata-rata bus antarkota di Indonesia, dengan formasi tempat duduk 1-2. Penumpang siang itu tak terlalu banyak. Paling-paling bus hanya terisi 3/4-nya. Sopirnya orang India yang berbadan besar tapi ramah.

Bus kami menuju KL. 🙂

Interior bus. Formasi tempat duduk 1-2 bikin kursinya jadi lebar dan nyaman.

Perjalanan menuju Tuas, lokasi kantor imigrasi Singapura sebelum menyeberang ke daratan Malaysia, ditempuh dalam waktu satu jam dari Golden Mile Complex. Saya tak bosan-bosan menikmati pemandangan kota. Singapura sangat bersih dan rimbun. Tipe kota ala game PS NFS Underground. 😛 Di Tuas, semua penumpang turun tanpa membawa barang bawaan kecuali paspor, kemudian naik lagi ke bus yang menyeberangi jembatan yang membentang di atas Selat Johor. Di ujung daratan satunya lagi, semua penumpang harus turun dengan membawa semua tas/koper dan mengantre di konter imigrasi. Kami hanya ditanyai soal tiket pulang dan paspor saya pun dihiasi cap imigrasi Malaysia untuk pertama kali. 🙂

Perjalanan menuju KL melewati jalan tol antarprovinsi yang mulus dan dan tidak terlalu ramai. Sebenarnya, pemandangan sepanjang perjalanan itu tak terlalu bagus. Di kanan-kiri ada banyak perkebunan kelapa sawit. Terus terang saja, tol Cipularang malah menyajikan pemandangan yang lebih indah dan beraneka. Di bus, saya memilih membaca koran Strait Times edisi Minggu dan koran berbahasa Melayu Berita Harian yang kadang bikin dahi saya berkerut karena bahasa yang rada aneh. Selesai baca koran sampai habis, saya pun tertidur. Bangun lagi, baca buku The Geography of Bliss, lalu tertidur lagi. Setelah dua jam, bus berhenti di sebuah rest area. Jangan bayangkan rest area di sini sekeren Rest Area 57 di tol Cikampek yang penuh resto dan toko. Isinya cuma toilet (yang rada pesing), dan dua mobil bak terbuka yang difungsikan sebagai warung. Kami cuma beli minuman di situ.

Warung di rest area dalam perjalanan ke KL.

Bus-bus keren yang parkir di rest area.

Sekitar jam 17.30 kami tiba di Kuala Lumpur. Berdasarkan ingatan pada peta yang tadi saya potret, kami berjalan kaki ke Jl. Bukit Bintang. Jalanan kota sore itu ramai, namun tidak macet, apalagi kalau pakai ukuran Jakarta dan Bandung. Sepeda motor juga banyak, tapi tergolong sedikit kalau dibandingkan dengan di kota-kota besar di Indonesia. Kami menyeberang jalan dan melewati sebuah jalan yang dilalui monorail di atas kami. Tiba-tiba istri saya berteriak, “Iih! Itu ada orang pipis sembarangan!” Sial, saya sempat melihat orang sialan yang lagi pipis itu. Bukan apa-apa, tapi posisi orang itu mudah terlihat siapa pun di sekitarnya. Orang itu bahkan tak mau repot-repot ngumpet saat pipis. Saya tak sempat mengambil kamera di tas. Memang bukan pemandangan yang bagus untuk dua orang yang baru saja tiba di KL. Tapi, sudahlah. Di kita juga banyak kok. 😛

Sore hari di KL.

Sepuluh menit berjalan kaki dari Berjaya Times Square, kami langsung menemukan Jl. Bukit Bintang. Ternyata kawasan itu memang kawasan turis. Ada banyak tempat penting yang dibutuhkan backpacker: hotel murah, money changer, ratusan toko, kios-kios penjual cinderamata, mal, stasiun monorail, serta ratusan warung makan dan resto. Beberapa resto cepat saji juga gampang terlihat. Setelah merasa cukup melihat-lihat kawasan di sekitar situ, kami mulai mencari penginapan murah. Patokan kami adalah hostel bertarif maksimal RM 80 atau di bawah Rp 250 ribu (RM 1 = Rp 2.900).

Monorail melewati kawasan Bukit Bintang.

Kawasan Bukit Bintang.

Di sebelah resto McDonald’s, ada satu tangga menuju ke lantai atas. Begitu mau naik, saya melihat sepasang betis putih, kemudian rok mini, kemudian tank top ketat, dan semua itu akhirnya mewujud menjadi sosok seorang wanita seksi berpenampilan mesum dan wajah berbedak tebal nan lebay. “Massage? Massage?” kata si wanita ke saya, menawarkan jasa pijat. Saya berpandangan dengan istri saya sambil cengar-cengir bingung. “Ini daerah mesum kali, ya?” bisik saya.

Akhirnya kami berjalan lagi sedikit dan hanya 10 meter dari situ ada hostel  bernama Shuttle Inn yang menawarkan tarif RM 77 (sekitar Rp 223 ribu) untuk double bed (kamar dengan satu ranjang untuk 2 orang). Nggak dapat sarapan sih, tapi itu bukan masalah. Di sudut mana pun di kawasan ini kami selalu melihat makanan. 🙂 Karena sudah capek, kami pun mengambil kamar di situ. Seorang pria India dengan bahasa Melayu melayani kami. “Check-out jam 12 siang, ya,” katanya sambil menyerahkan kunci. Saat itu sudah jam 6 sore. Kamar kami cukup bagus. AC-nya disetel dengan suhu tetap, sehingga tamu tidak bisa menaik-turunkan suhu udara (tapi dinginnya pas, kok). Kamar mandinya dilengkapi dengan pancuran sekaligus ember besar sebagai bak mandi. Airnya sejuk dan bersih. Mereka juga menyediakan handuk dan sabun.

Hostel di sini banyak yang model begini, pintu sempit di bawah, tapi di lantai atas tersedia banyak kamar.

Kamar hostel kami di KL.

Ada TV butut yang cuma bisa menangkap 4 saluran. 😛

Setelah mandi dan sholat, kami jalan-jalan di kawasan itu untuk mencari makan malam. Saya sempat kaget saat jalan-jalan dan melihat ada beberapa hostel menawarkan tarif RM 28 atau RM 35. Setelah dicek, ternyata itu adalah tarif kamar dormitory alias satu kamar dengan banyak ranjang buat backpackers. Jadi tarif hotel saya tadi jatuhnya masih tetap murah, karena per orangnya cuma Rp 110 ribu. Plus privasi, tentunya. 🙂

Jl. Bukit Bintang memang daerah turis. Yang bisa dilakukan di sini pertama jelas sightseeing. Di sepanjang jalan itu isinya didominasi resto, minimarket, toko suvenir, toko baju, warung Internet, dan banyak lagi. Kalau mau lebih ekstrem, alternatif kedua adalah mencoba pijat refleksi di daerah Changkat Bukit Bintang. Di sini banyak tukang pijat refleksi berpakaian mini-mini menjajakan jasanya. Tarifnya rata-rata RM 30 untuk setengah jam pijat. Kalau melihat nasib kaki yang masih sisa sedikit gempor, pengen juga sih dipijit…hehehe. Iseng-iseng saya tanya: boleh nggak pijat dua orang masing-masing 15 menit aja? Kan tarifnya tetap sama. Si makcik cuma ketawa. Katanya sih, di Bukit Bintang juga ada Red District yang disamarkan dengan pijat refleksi semacam itu. Tapi saya juga melihat 1-2 tempat pijat yang terbuka (bisa dilihat dari luar) yang untuk keluarga. Soalnya saya liat ada ibu-ibu berjilbab dan para suami mereka pijat di situ. Mungkin kaki mereka gempor habis belanja ke sana kemari.

Suasana Jl. Bukit Bintang saat malam.

Kawasan Bukit Bintang saat malam. Jalan ke sana dikit ketemu Jl. Alor.

Kami berbelok ke Jl. Alor. Menurut satu sumber yang bisa dipercaya, di jalan ini saat malam hari berubah menjadi surga kuliner. Benar saja, berbelok sedikit dari Jl. Bukit Bintang, di sepanjang jalan yang kalau siang isinya hostel dan toko ini dipenuhi tenda-tenda dan meja-meja para pedagang makanan kaki lima. Makanan yang ditawarkan macam-macam: chinese food, Thai food, Indian, sampai Melayu. Melihat istri saya yang berjilbab, beberapa pedagang merayu dengan kata “halal”. “Pak, makan dulu biar kenyang. Nanti enak jalan-jalannya,” sapa seorang pelayan di warung makan Thailand. Saya cuma senyum sambil melambai.

Wisata kuliner di Jl. Alor.

Ayo jajaaaan! 😛

Akhirnya kami memilih satu warung bernama Alor Food Corner yang jelas mencantumkan logo halal. Koki dan para pelayannya semua orang India. Menu yang ditawarkan pun tak asing: aneka nasi goreng, bihun, mie, sotong (sejenis cumi), dan aneka masakan berbasis ayam. Kami memesan nasi goreng kampung dan ayam masak pedas. Tak disangka, dua masakan sederhana itu rasanya maknyus luar biasa! Untuk dua menu itu kami cuma bayar RM 15. Nggak terlalu mahal sih, tapi emang rasanya lezat banget. 🙂

Menunya tampak akrab 🙂

Nasi goreng kampung dan nasi ayam masak pedas.

Uh, enak banget masakannya! Buat si eneng di meja sebelah, sabar ya! 😛

Habis makan, kami jalan-jalan lagi dong. Selain wisata kuliner, di sudut lain kawasan ini tentu saja juga ada: mal (!). Kami masuk ke Plaza Low Yat yang isinya barang-barang elektronik. Kira-kira mirip BEC di Bandung lah. Katanya sih harganya miring-miring, walau menurut saya sama saja. Tapi, menurut seorang mata-mata saya, di tempat ini ada satu toko cokelat yang wajib dikunjungi. Nama tokonya Famous Amos. Di sini banyak cokelat Beryl’s bikinan Malaysia. Cocok buat oleh-oleh. Tak lama kemudian, lenyaplah uang sebesar 30 ringgit untuk menebus enam kotak cokelat. Kalau bukan karena melihat kondisi dompet, saya mungkin juga ikut-ikutan menyambar dua kaleng cokelat hanya karena gambarnya bagus. : )

Di sekitar mal itu ada beberapa pedagang kaki lima yang menjual bermacam-macam barang. Ada yang menjual baju, ikat rambut, dan tas. Hampir saja saya kepengen beli tas di situ. Soalnya, tas punggung saya bagian retsletingnya sudah jebol di satu arah. Jadi, kalau saya tutup ke kanan, retsletingnya masih terbuka. Untung pas ditarik ke kiri masih bisa tertutup.

Belanja cokelat di Famous Amos.

Penjual "ikat rambut ajaib" 🙂

Setelah membeli minum dan alat cukur di sebuah minimarket, jam 10 malam kami kembali ke hostel dengan kaki gempor. Sebenarnya malam itu bisa saja kami jalan kaki atau naik kendaraan umum ke Petronas Twin Tower. Foto gedung itu pas malam hari pasti keren. Tapi, yaah…kaki gempor bikin kami jalan kaki ke stesen (= stasiun) monorail pun jadi malas. Padahal stesen-nya dekat dari hostel. Tapi masih harus menyambung lagi naik kereta ke KLCC alias menara kembar itu.

Ah, sudahlah…masih ada esok hari!

Bersambung….

Cerita Singapura #3

Sabtu, 18 Februari 2012

Bangun subuh sekitar jam 6.30 (itu masih Subuh lho di sini!), gempor di kaki saya sudah berkurang setengahnya. Tapi tetap saja sakit. Setelah tidur nyenyak hampir 8 jam di kamar ber-AC, ditambah mandi pagi dengan air dingin, sekitar jam 07.30 kami menyelinap keluar dari apartemen Abah tanpa sepengetahuan si tuan rumah (kalau nulisnya kayak begini kok serasa maling yah?).

Pagi itu, kami mengawali jalan-jalan hari Sabtu kami dengan sarapan nasi lemak (!). Makannya di mana lagi kalau bukan di Chinese Garden (!)…hehehe. Tapi hari itu pun saya sengaja beli seporsi mie goreng juga biar cukup tenaga buat jalan-jalan. Cuma nambah S$ 1,5 buat seporsi mie goreng (dan porsinya banyak juga). Sejak kenal taman ini sehari sebelumnya, saya jadi terobsesi buat sering-sering sarapan di pinggir kolam, mumpung hawanya belum panas. Sensasinya tak tergantikan. Kapan lagi bisa begini di kampung sendiri? Taman yang bagus dan sepi aja nggak ada.

Sarapan hari ini harus lebih banyak! 😛

Setelah sarapan dan jalan-jalan keliling taman sebentar untuk membakar lemak di tubuh, kami segera melompat ke MRT menuju Esplanade. Sepertinya kami keluar di exit yang salah. Tapi tak lama kemudian kami melihat Singapore Flyer (apa bahasa Indonesianya, ya? Bianglala?). Tapi sialnya, baru berjalan 10 menit saja setelah keluar dari stasiun MRT, kaki kami mulai terasa gempor lagi. Sakitnya bukan main! Sambil memaksa diri berjalan sedikit lebih jauh lagi, tiba-tiba saya melihat gedung Marina Bay Sands. Artinya, patung singa Merlion sudah dekat!

"Itu dia! Kita udah deket!"

Bus "Hop-on hop-off", bus tingkat yang dek atasnya terbuka biar turis-turis bisa asyik melihat-lihat pemandangan kota.

Kami duduk-duduk dulu di taman dekat situ sambil memijit-mijit kaki. Toh kami tak terburu-buru. Ternyata kelingking kaki kiri saya sudah ada jendolan alias kapalan. Haduh! Waktu mengaso sejenak itu saya gunakan untuk melihat-lihat peta. Selain memuat peta MRT Singapura, lembar peta itu juga memuat berbagai macam iklan tujuan wisata di Singapura. Ada beberapa yang menarik dicoba di sekitar Marina Bay ini. Misalnya Duck and Hippo Tour, yaitu naik kendaraan amfibi menyusuri Singapore River, kemudian langsung naik ke darat (dengan kendaraan yang sama) dan berkeliling daerah sekitar situ.

Lalu ada bus hop-on hop-off, yaitu bus double decker (bus tingkat) yang bagian atasnya terbuka sehingga turis bisa leluasa mendapat pemandangan kota yang cantik. Cocok banget buat yang malas jalan kaki dan yang ingin mengoleksi banyak foto dari banyak sudut kota dari atas bus. Sebenarnya menarik, tapi harga tiketnya cukup mahal buat saya. Duck & Hippo Tour tiketnya dijual seharga S$ 33 per orang untuk durasi satu jam. Bus hop-on h0p-off tadi tiketnya seharga S$ 27 per orang. Durasinya sih bisa seharian. Kita juga bisa membeli tiket gabungan semua itu, tentunya harganya tetap mahal. 🙂 Tapi kami lebih suka jalan kaki sambil sesekali naik MRT.

Setelah sekitar 10 menit duduk-duduk, seolah sedang mengolok-olok saya, lewatlah sebuah bus hop-on hop-off penuh turis bule sedang sibuk memotret ke sana kemari.  Sambil memandang iri ke turis-turis bule itu, kami jalan lagi dan tak sampai 100 meter kemudian tampaklah pemandangan yang menjadi ikon Singapura selama ini. Kami tiba di kawasan Marina Bay.

Lanskap sekaligus ikon Singapura. Keliatan nggak patung Merlion di situ? Kecil karena difoto dari jauh.

"Horee!"

Kawasan Marina Bay ini adalah sebuah teluk yang perairannya menempel langsung dengan kawasan Central Business District (CBD) Singapura. Pemandangan ini mengingatkan saya pada banyak kota di dunia yang punya pemandangan serupa: perairan (bisa laut, sungai, selat, teluk) yang dilatarbelakangi pemandangan kota dengan hutan beton yang megah dan breath-taking. Selain Singapura, kita bisa melihat pemandangan sejenis di Hong Kong, Mumbai, Shanghai, Sydney, dan banyak lagi. Tak percaya? Simak foto-foto ini:

Singapura.

Hong Kong.

Dnipropetrovsk (Ukraina).

Sydney (hehe...saya belum pernah ke sini ding... 🙂

Siang itu tampaknya agak mendung. Setelah berjalan sekitar 100 meter, kami menemukan sebuah taman kecil dengan beberapa bangku. Kami memutuskan ngaso lagi di situ, sambil ngemil sandwich isi telur dan ayam yang kami beli paginya di sebelah warung nasi lemak. Selesai makan, sambil memandang orang-orang yang lalu lalang di sekitar situ, perlahan kantuk saya pun muncul. Angin sepoi-sepoi saat mendung, ditambah kaki pegal dan habis makan sedikit, saya pun memutuskan untuk tidur siang sebentar…hehehe…. 🙂 Patung Merlion itu bisa menunggu. Jaraknya juga hampir satu kilometer, walau patungnya sendiri sudah terlihat dari posisi kami.

Makan siang cuma sandwich sama teh botolan. Dasar kere 🙂

Habis makan siang, ya tidur siang! 🙂

Setelah tidur siang hampir setengah jam, kami berjalan lagi. Menjelang jalan raya, kami menemukan semacam panggung yang disebut Theatres on the Bay dan gedung Esplanade yang eksteriornya berbentuk mirip kulit durian. Area Theatres on the Bay ini adalah area terbuka dengan atap melengkung di atasnya. Di depan panggung tersedia undak-undakan yang berfungsi sebagai tempat duduk penonton. Mungkin kapasitasnya hampir 1.000 orang. Mendung tampak sangat tebal saat itu. Udara pun menjadi lebih sejuk. Hebatnya, awan mendung dan kabut yang turun menyelimuti gedung-gedung pencakar langit justru membuat efek warna abu-abu yang keren.

Menjelang hujan badai. Mendung dan kabut menciptakan efek dramatis 🙂

Tiba-tiba, angin bertiup sangat kencang dan kami melihat kabut dan awan mendung menyelimuti gedung-gedung pencakar langit di kejauhan sana. Gerimis pun turun diikuti hujan badai yang hebat beberapa menit kemudian. Turis-turis di sekitar situ pun berlarian dan berlindung di area tempat duduk penonton di depan panggung teater terbuka tadi. Tapi namanya juga hujan badai. Angin kencang meniup air hujan hingga membasahi area tempat duduk penonton. Mau tak mau semua turis pun makin merapat demi menghindar dari air hujan. Selama hampir satu jam kami terjebak di situ. Ada enaknya juga sih. Setidaknya udara jadi terasa sejuk dan segar.

Hujan badai di Esplanade 🙂

Di belakang area penonton tadi ada gedung Esplanade Mall. Setelah hujan reda, iseng-iseng kami masuk ke mal itu. Sebenarnya tempat ini kurang pas kalau disebut mal. Atmosfernya lebih mirip sebuah gedung kantor yang santai dan bersuasana layaknya sebuah gedung seni yang modern. Di dalamnya ada beberapa pusat seni dan budaya, kafe, restoran, dan ada sebuah perpustakaan keren bernama library@esplanade. Perpustakaan ini terletak di lantai 3. Coba naik ke lantai 4, di sana ada ruang terbuka berupa taman yang cantik dan sajian pemandangan kota yang sangat indah dan menakjubkan.

Si patung Merlion di kejauhan, dilihat dari atap Esplanade Mall.

Pemandangan lanskap Singapura dari atap Esplanade Mall. Kabut sisa hujan badai masih menggantung.

Marina Bay Sands dari atap Esplanade Mall sehabis hujan badai.

Habis itu kami segera menuju lokasi wajib foto-foto di Singapura: Merlion! Sialnya, pas sampai di sana, hujan deras turun lagi dan kami kehujanan sedikit. Terpaksalah kami berteduh di bawah tenda sebuah kedai kopi selama setengah jam lebih. Padahal si Merlion itu hanya berjarak 25 meter di depan saya. Begitu hujan reda, turis-turis pun merubungi area di sekitar patung Merlion sambil bikin foto-foto yang banyak. 🙂

Haus 😛

Biar baju basah kehujanan, yg penting foto narsis dulu! 😛

Singapore Flyer dan Marina Bay Sands di latar belakang 🙂

Ada teman kantor yang minta print out wajahnya difoto di Merlion ini. Oleh-oleh paling gampang! 😛

Masih jam 3 sore waktu itu. Kami segera mencari stasiun MRT terdekat dan menuju Vivo City dan Sentosa Island di kawasan Harbour Front. Vivo City adalah sebuah mal berukuran besar yang terletak persis di seberang Sentosa Island. Orang Indonesia mestinya sudah bosan dengan mal dan mal melulu. Jadi setelah putar-putar sebentar, mengintip foodcourt, dan membeli sandal karet di Giant (sandal lama kami sudah sekarat dan belakangan akhirnya dibuang!), kami keluar lewat pintu belakang Vivo dan dari sana langsung terlihat Sentosa Island. Untuk menuju ke sana setidaknya ada dua pilihan: naik monorail bertiket S$ 3 atau jalan kaki lewat boardwalk (jalur pedestrian yang lantainya terbuat dari kayu) dan membayar tiket S$ 1 di pintu masuk area Sentosa. Jelas kami memilih berjalan kaki. 🙂

Jalan kaki menuju Sentosa Island tidak jauh, sekira 500-600 meter saja. Di boardwalk itu ada travelator (kadang disebut horizontal escalator), semacam “tangga” berjalan. Tapi yang ini bentuknya datar dan bergerak secara elektronis. Pas banget buat pejalan kaki yang malas atau gempor. 😛 Jalur ini juga dilengkapi dengan kanopi yang dirimbuni tanaman dan pepohonan di sepanjang jalannya.

Ini yang namanya travelator 🙂

Boardwalk menuju Sentosa Island.

Monorail dari Vivo City menuju Sentosa Island.

Sentosa adalah sebuah resor populer di Singapura, dikunjungi sekitar 5 juta turis per tahun. Pulau kecil ini menawarkan banyak atraksi hiburan: pantai, lapangan golf, hotel bintang lima, dan yang paling terkenal adalah sebuah theme park bernama Universal Studios Singapore. Ada permainan Transformers: The Ride yang konon sedang digandrungi para pengunjung taman hiburan itu. Sambil berjalan mencari Universal Studios dan mengamati seorang gadis India yang pacaran dengan seorang pemuda etnis Cina (seperti apa anak mereka nanti?), saya mengamati penataan pulau taman hiburan itu. Jujur saja, menurut saya tidak sangat istimewa. Kurang-lebih sama dengan Dunia Fantasi dan Ancol dalam versi tidak terlalu ramai. Tapi harus saya akui, Singapura memang pandai jualan. Semuanya ditata dengan rapi. Transportasi mudah dan nyaman. Menyampah dan sejenisnya didenda berat. Angka kriminalitas sangat rendah. Akhirnya semua itu menjadi modal yang lumayan untuk “menjual” negara ini sebagai tujuan wisata dan belanja. Indonesia punya jauh lebih banyak daripada itu, kecuali mental, visi, dan tingkah laku para pemimpin serta banyak warganya yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi negara maju. Dan itu sudah cukup untuk menjadikan kita jalan di tempat sambil dengan memelas memandang para tetangga kita melesat maju.

Tiba di area Universal Studios, bisa ditebak, lagi-lagi kami urung menikmati atraksi di sana. Pasalnya, harga tiket terusannya sangat mahal buat kami: S$ 74 per orang alias Rp 500 ribu lebih! Akhirnya kami cuma berfoto di depannya. 😛

Tiketnya mahal! 😛

@Universal Studios. Gapapa deh gak masuk, yang penting nampang dulu dong 🙂

Tapi orang baik-baik selalu diganjar sesuatu yang lain. Persis di sebelah konter tiket Universal Studios, saya melihat ini:

Malaysian Food Street P

Kebetulan kami sudah sangat lapar karena siangnya cuma makan sandwich, jadi tempat ini memang paling cocok! 🙂 Malaysian Food Street sendiri sebenarnya adalah sebuah restoran beruangan luas yang dikonsep dengan gaya warung-warung kaki lima. Kebanyakan makanan di sini adalah chinese food, tapi kita juga bisa menemukan masakan India dan Malaysia yang halal. Setelah survei sebentar, kami memutuskan membeli nasi lemak (lagi?) with beef (yang ternyata rendang) dan nasi briyani. Semuanya full set dengan porsi lumayan banyak. Untuk dua menu itu kami harus membayar S$ 9,5 saja. 🙂 Rasanya sendiri tak mengecewakan. Sudah begitu, istri saya pun nggak habis makannya, jadi saya bisa beraksi di ronde kedua!

Nasi lemak dan nasi briyani. Banyak juga kan? 😛

Daripada ngurusin kaki gempor, mendingan makan! 😛

Kampung Nasi Lemak. Yang disebut "beef" di papan menu itu tak lain adalah rendang! 😛

Kenyang makan dan lelah, kami memutuskan untuk pulang saja. Dengan acara jalan-jalan non-stop sekitar 10-12 jam setiap hari begini, kami sudah tak kuat lagi untuk menikmati pemandangan Singapura malam hari. Sayang juga sih. Tapi, bagaimana lagi? Kaki sudah sangat gempor.

Kami tiba di apartemen Abah sekitar jam 8 malam. Setelah ngobrol dan makan (lagi), malam itu saya pergi tidur jam 10. Istri saya sudah lebih dulu bertualang di alam mimpi. Saya merebahkan diri dan langsung mengembuskan napas lega. Rebahan di kasur saat kaki sudah heboh menuntut haknya untuk diistirahatkan terasa sangat nikmat. Saat kaki mulai terasa rileks, giliran benak saya yang mengembara ke mana-mana.

Saya sedang jatuh cinta kepada negeri singa ini. Saya jatuh cinta kepada jaringan kereta di negeri mungil ini. Saya menyukai derunya yang halus. Saya menyukai bunyi derak roda kereta saat menghantam rel. Saya menyukai rekaman suara wanita yang mengumumkan nama-nama stasiun lewat pengeras suara. Saya menyukai bunyi pintu MRT saat membuka dan menutup. Saya menyukai bunyi beep saat menempelkan kartu EZ Link pada mesin elektronik untuk membayar tiket kereta. Saya suka pemandangan saat seorang gadis muda berpakaian seksi menawarkan tempatnya kepada seorang lelaki lanjut usia (yang malah menolak dengan ramah, mungkin karena si lelaki masih merasa bugar). Saya menyukai trotoar-troatoar di negeri ini, bersih dan lebar. Mereka tahu persis bagaimana memanusiakan pejalan kaki.

Kadang saya berpikir bahwa mungkin itulah sebabnya kenapa jalanan Singapura tak pernah kelihatan macet. Bus dan kereta di sini lebih dari cukup untuk melayani warga kota bepergian ke mana-mana dengan nyaman. Etnis Cina yang jadi mayoritas di sini pun tampak rata-rata berbadan langsing. Mungkin ini ada hubungannya dengan jaringan kereta MRT yang stasiunnya terletak di bawah tanah dan sebagian lagi di atas. Untuk menuju stasiunnya kita harus berjalan agak jauh dan naik-turun tangga. Jalan kaki dengan nyaman adalah sebentuk kemewahan bagi saya. Di kota-kota dengan infrastruktur yang rapi seperti ini, beraktivitas sehari-hari menggunakan MRT pun menurut saya sudah tergolong berolahraga. Di Hong Kong beberapa tahun lalu pun saya merasakan hal yang sama. Butuh beberapa hari berjalan untuk membiasakan kaki bisa keliling kota tanpa gempor.

Saya menguap lebar-lebar. Ah, kantuk sudah berhasil menaklukkan keinginan saya untuk melamun lebih lama. Saya harus segera tidur. Besok kami akan pergi ke Kuala Lumpur.

Bersambung…

Cerita Singapura #2

Setelah memulai petualangan di tempat yang bukan “Singapura banget”, kami melanjutkan perjalanan ke Chinatown. Malam sebelumnya, kami sudah menandai tempat-tempat mana saja yang akan kami kunjungi dan stasiun MRT terdekat mana yang harus dituju. Berkat peta rute MRT yang gampang dilihat di tiap stasiun (kami juga menyimpan peta MRT buat dibawa-bawa), semua tujuan yang sudah direncanakan jadi gampang dicari.

Setelah Chinese Garden, kami naik MRT menuju Chinatown. Pintu keluar dari stasiun MRT ke Pagoda Street di Chinatown agak dramatis. Begitu kita naik dengan tangga berjalan, yang terpampang di depan mata adalah sebuah pedestrian dengan toko-toko suvenir di kanan-kiri. Yang begini ini yang bikin turis jadi kalap belanja.

Saya pikir, “Wah, salah juga nih jalan ke sini duluan. Seharusnya ini jadi tujuan terakhir, karena di sini itu areanya orang belanja suvenir!” Tapi istri saya memaksa supaya kami belanja saat itu saja, mumpung sedang berada di Chinatown. Jadilah kami belanja benda-benda mungil yang harganya miring-miring itu. Sebagai yang memegang kartu kredit, saya berusaha mati-matian agar barang bawaan kami tetap murah dan kecil. Wajar dong kalau laki-laki logikanya dulu yang jalan: selama barang itu murah dan kecil, saya bersedia mempertimbangkan. Misalnya barang-barang seperti ini:

Yang lebih murah daripada ini juga banyak, asal sabar nyarinya 🙂

Niat saya backpacking kan beneran pengen jalan-jalan, lihat-lihat, curi-curi pandang. 😛 Oleh-oleh itu bersifat opsional. Walhasil, beberapa barang “besar” harus dikembalikan. Belum lagi godaan dari para pedagang yang bisaan banget menggoda kami dengan bahasa Singlish yang terdengar aneh di kuping saya.

You buy now lah, you come back later, somebody will take this t-shirt,” kata si makcik waktu saya lagi ngitung duit buat beli kaos oblong.

Can I pay with MasterCard?” tanya saya.

Can! Can!

Ha?”

Percakapan ganjil model begitu juga terulang di beberapa toko lain, dengan aksen yang membuat saya merasa bego mendadak untuk urusan berbahasa Inggris. Tapi umumnya warga Singapura juga bisa bahasa Melayu, termasuk mereka yang dari etnis Cina dan India, jadi bahasa Inggris dan Melayu itu dicampur semua.

Chinatown, salah satu surga belanja suvenir di Singapura.

Setelah satu jam merasa cukup berbelanja, kami berkeliling sebentar di wilayah itu. Di ujung Pagoda Street, ada bangunan unik yang ternyata adalah sebuah kuil Hindu bernama Sri Mariamman Temple. Dibangun dengan gaya Dravidian, yang paling mencolok dari bangunan ini adalah gopuram (menara di pintu masuknya). Gopuram itu terdiri dari enam tingkat, dihiasi dengan pahatan-pahatan berbentuk dewa-dewa Hindu, beberapa tokoh lain, dan dekorasi atau ornamen lain, yang semuanya dicat warna-warni. Menara itu skalanya makin kecil dari bawah ke atas. Mungkin untuk membantu menciptakan ilusi tentang ketinggian.

Kuil Sri Mariamman.

Sri Mariamman Temple Singapore

Detail pada pahatan gopuram.

Menjelang jam 12 siang, saya menyeret istri saya keluar dari situ. “Little India? Walking? Better take MRT lah,” kata seseorang yang saya tanyai arah ke Little India. Ceritanya saya mau lanjut perjalanan sekaligus mencari masjid untuk sholat Jumat. Katanya sih ada masjid di sekitar situ, tapi saya memilih untuk lanjut ke tujuan berikut. Biar sekalian jalan, gitu lho. Kalau naik MRT, stasiun Little India bisa dicapai kurang dari 5 menit. Keluar entah di jalan apa, nuansa India langsung terasa. Kalau tadi segalanya berasa atmosfer Cina, mendadak di sini berubah jadi India: orang-orangnya, aroma dupa, aroma rempah, dan musik India yang berdentum dari jejeran toko-toko di sana. Warga di sekitar sini mengenal dan menyebut kawasan Little India dengan nama Tekka.

Tanpa tahu mau ke mana, kami berjalan saja ke sana kemari, mengikuti nama jalan yang lucu-lucu, misalnya ini:

Tak ada kerbau di jalan ini 🙂

Beberapa kali kami melihat orang-orang berbaju gamis dan memakai  peci, jadi kami berasumsi bahwa masjid sudah dekat. Saat saya tanya seseorang, dia bilang, “Mosque? Go straight, turn left, and keep walking. You will see it. It’s about 10 minutes walking from here,” kata Pak Haji dengan logat India Tamil yang masih bisa tertangkap kuping saya.

Sambil mengikuti petunjuk Pak Haji, kami berjalan kaki di bawah terik mentari siang itu. Berbeda dengan di Chinatown, toko-toko yang kami lewati di sini tak banyak yang menjual suvenir. Kami melewati pasar tradisional, deretan toko emas, beberapa monkey money changer, dan (ini yang asyik) banyak warung atau resto yang menjual makanan India (!).

Setelah melewati deretan toko emas, tanpa sengaja kami melihat sebuah bangunan yang ternyata sebuah kuil Hindu (eh, si Pak Haji  tadi nunjukkin masjid atau kuil ini?). Melihat banyak turis yang mampir ke bangunan itu, kami pun ikut-ikutan masuk sebentar. Kuil ini bernama Sri Veeramakaliamman Temple.

Plang nama kuil.

Tampak depan kuil ini. Di bagian atas ada gopuram.

Kuil Sri Veeramakaliamman terletak di Serangoon Road, sebuah jalan utama di distrik komersial Little India. Setelah hanya melihat-lihat sebentar, kami meneruskan perjalanan mencari masjid. Di sebuah area parkir, kami memutuskan untuk duduk-duduk dulu sambil ngaso. Kaki sudah lumayan pegal karena sejak pagi sudah berjalan kaki lumayan jauh. Acara ngaso sebentar itu lumayan bisa buat ngemil dan melihat-lihat peta lagi. Jalan-jalan seperti ini ternyata membutuhkan banyak sekali air minum.

Minum teruuss. Entah berapa botol/kaleng sehari 🙂

Setelah ngemil sandwich, kami jalan lagi. Ternyata masjid itu sudah dekat. Sekitar 200 meter dari kuil itu saya melihat bangunan bertulisan Masjid Angullia. Bangunannya sendiri tak terlalu istimewa. Tak ada kubahnya. Saya bertanya kepada seorang pria berjenggot lebat di depan masjid.

Assalamualaikum. Jam berapa sholat Jumat di sini, Pak?”

One thirty,” jawabnya.

Okay, thank you,” kata saya. Saat itu hampir jam 12 siang. Jadi saya masih punya waktu buat jalan-jalan!

Masjid Angullia, di seberang Mustafa Center.

Bagian dalam masjid.

Masjid Angullia ini masih berada di Serangoon Road. Di seberangnya ada satu jalan bernama Syed Alwi Road di sebelah mal kecil bernama Mustafa Center yang penuh dengan restoran atau warung yang menyediakan masakan India dan Pakistan. Tempat ini betul-betul surga kuliner! Lihat deh:

Banyak resto India di sini.

Buat yang vegetarian 🙂

Burger-burger juga ada 🙂

Saat sedang asyik survei tempat makan siang, ada pelayan resto di seberang jalan yang memanggil-manggil kami. Sepertinya sih orang Indonesia. “Pak! Bu! Ayo, makan di sini…makan!” teriaknya sambil melambai. Saat melihat plang namanya, kami langsung ketawa ngakak. Nama restonya kok Madura, tapi menyediakan masakan India dan Pakistan. 😛  Tapi sebenarnya Madura itu adalah nama sebuah kota di Provinsi Tamil Nadu di India. Sekarang nama kota itu sudah ganti jadi Madurai.

 

Resto Madura's.

Akhirnya kami memilih satu resto kecil bernama AB Mohammed Restaurant. Menunya India. Kami memesan satu set nasi briyani seharga S$ 6. Berhubung porsinya cukup banyak dan istri saya tidak terlalu lapar, nasi briyani tadi kami makan berdua saja. Ngirit, deh! 🙂

Nasi briyani kumplit plus jus jeruk 😛

Siap melahap nasi briyani 😛

Di set ini, ada dua mangkuk kecil. Yang satu isinya semacam kuah gurih dan satu lagi mirip bubur susu. Kalau nggak salah sih namanya payasam. Rasanya manis banget, tapi kok uenak ya? 🙂 Resto ini selain menyajikan masakan lezat juga menyajikan pemandangan Singapura yang internasional dan multietnis. Pemiliknya orang India, para pelayannya ada yang Cina, India, dan Melayu. Pengunjungnya juga macam-macam, termasuk seorang bule pirang gondrong di sebelah saya yang makan banyak banget…dan ludes sampai licin!

Kenyang makan, saya pun menuju masjid untuk sholat Jumat, sementara istri saya jalan-jalan keluar-masuk ke beberapa mal kecil di sekitar situ. Jamaah di situ kebanyakan beretnis India Tamil, hanya sedikit yang tampak berwajah Melayu atau Cina. Sesudah wudhu dan tahiyatul masjid, saya duduk tenang bersila, sambil dengan khusyuk mendengarkan khotbah (yang disampaikan dalam bahasa Tamil). 😛

Usai sholat, sambil menunggu giliran istri saya sholat dzuhur, saya berleha-leha di lantai masjid. Ada rombongan perempuan (dari bahasanya jelas orang Indonesia) masuk. Di antara mereka ada dua perempuan berpakaian minim (yang satu memamerkan pundak dan memakai rok di atas lutut). Si penjaga masjid menegur mereka karena berpakaian kurang pantas di lingkungan masjid. Saat ia memanggil temannya untuk mengambilkan sarung, dua perempuan itu ngeloyor pergi. “Kami mau ambil celana dulu di mobil,” begitu alasan si cewek rok mini. Dan mereka pun tidak kembali lagi. Telanjur malu, mungkin. Habisnya saya pelototin melulu sih. Tapi hebat juga ya si rok mini masih mau sholat. 😛

Dari masjid, kami jalan lagi mencari stasiun MRT terdekat, yaitu Farrer Road. Dari situ kami menuju Orchard Road. Sebenarnya sih Orchard Road biasa saja. Cuma seruas jalan utama yang penuh dengan gedung-gedung mal dan hotel di kedua sisinya. Tapi saya dari dulu memang suka lanskap perkotaan. Apalagi sejak kenal game PlayStation balapan mobil yang namanya Need For Speed (NFS), saya jadi tambah senang sama jalanan kota. Tapi lanskap kota yang tertata rapi, dong, dengan gedung-gedung modern dan rimbun pepohonan di kanan-kiri jalan. Kadang-kadang, pas lagi main NFS, saya malas ikutan balapan (aslinya sih emang udah kalah!), dan malah “nyetir keliling kota” buat cuci mata. Nah, Singapura ya kayak “sirkuit” NFS gitu, deh! 🙂

Orchard Road. Ada skuter nyempil di situ 🙂

Narsis dikit ah 😛

Satu sudut Orchard Road.

Tiba-tiba lamunan saya itu jadi nyata: dua mobil mewah sedang kebut-kebutan di Orchard Road. Satu Ferrari dan satu lagi Lamborghini. Deru knalpotnya yang bising dan ngebas bergema di antara gedung-gedung di jalanan itu. Gaya ah tuh orang-orang kaya Singapura (sambil mijit kaki yang gempor). Setelah membatalkan niat mampir ke foodcourt di Lucky Plaza yang katanya penuh makanan murah dan enak, kami masuk ke mal Ngee Ann City. Saya dititipin beli beberapa buku buat kantor, belinya di Kinokuniya di mal ini. Dan ternyata Kinokuniya di sini luaaass banget! Mungkin luasnya sekelurahan (lebay, deh!).

Mal Ngee Ann City di Orchard Road.

Biasanya, kalau saya ada di toko buku, itu artinya tanda-tanda kebangkrutan segera tiba, karena saya jarang bisa menahan nafsu beli buku—satu di antara nafsu-nafsu yang tidak bisa saya lawan. Tapi hebatnya, setelah mendapatkan buku-buku pesanan kantor, saya berhasil menahan diri buat beli buku. Paling cuma baca buku ini-itu sebentar sambil ngiler. Terus terang, saat lagi traveling begini, nafsu baca buku agak berkurang, mungkin karena terlalu capek (yang nggak berkurang sih nafsu makan, tapi itu pun masih tertahan sama kondisi dompet). Gara-gara porsi olahraga rada kurang (paling cuma sepedaan tiap pagi), sore itu kaki kami mulai gempor luar biasa. Benar-benar mau copot rasanya!

Setelah duduk-duduk sebentar di teras mal, kami memutuskan menyusuri jalanan sekitar Orchard Road, lalu pergi ke Bras Basah. Dengar-dengar sih di Bras Basah Complex ada yang jual buku-buku bekas dengan harga super murah. Konon, buku Lonely Planet bekas bisa ditebus dengan S$ 2 saja! Ngiler dengan gosip ini, kami pun mencari stasiun MRT terdekat. Sambil di kereta menertawakan aksen bule saat melafalkan nama stasiun Bras Basah, saya membayangkan di masa depan di Indonesia ada stasiun kereta bawah tanah bernama Bras Ketan atau Bras Merah (coba lafalkan dengan aksen bule!).

Turun dari kereta dan naik ke jalan Bras Basah, kami menemukan peta wilayah sekitar situ. Sialnya, setelah berjalan tiga blok lebih, yang ketemu kok malah Bugis Street dan akhirnya malah nyasar ke terminal bus Queen Street. Waduh, salah baca peta! Sambil duduk-duduk pasrah dan nyaris ditabrak bus jurusan Singapura-Johor Bahru (Malaysia), kami sibuk memijit-mijit kaki yang sudah sangat sakit. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang saja. Sambil pulang, kami sempat bertanya soal harga tiket bus ke Johor Bahru, walaupun nantinya kami memilih pergi ke Kuala Lumpur.

Kawasan Bugis Street.

Stasiun terdekat dari situ ternyata adalah MRT Bugis. Di daerah Bugis sendiri tidak ada yang terlalu istimewa, menurut saya. Banyak hostel murah untuk backpacker di daerah sini, dan pastinya juga banyak tempat belanja ini-itu: dari CD, pakaian, suvenir, hingga makanan kecil dan buah-buahan. Saya sendiri sudah tidak berminat lagi belanja apa pun. Dan malam itu kami pun tiba di apartemen Abah dengan kaki gempor minta dipijit. Setelah seharian jalan kaki keliling kota, sambil sesekali naik MRT yang kadang naik-turun ke stasiunnya pun sudah terhitung olahraga, mandi dan tidur terasa luar biasa nikmat! Pastinya sambil memimpikan acara jalan-jalan esok harinya. 🙂

Next: Esplanade, Merlion, Vivo City, Sentosa Island, dan banyak lagi!

Bersambung….

Cerita Singapura #1

Backpacking cukup bawa ini aja, bisa masuk kabin semua.

Sering kali, Singapura atau Malaysia jadi pengalaman pertama bagi orang Indonesia yang baru pertama kali pergi ke luar negeri. Buat saya sendiri ini sudah kedua kali. Terakhir kali ke Singapura kira-kira 10 tahun lalu, itu pun hanya jalan-jalan beberapa jam karena cuma transit sebelum terbang lagi ke Hong Kong. Tapi, saya sudah janji ke istri saya buat jalan-jalan ke luar negeri. Paling dekat dan paling murah ya cuma Singapura dan Malaysia. Cuma modal tiket, uang saku, dan tas punggung, nggak perlu ribet ngurus visa karena masuk ke negara-negara Asia Tenggara memang tidak perlu visa. Lagi pula, saya sudah gatal pengen backpacking lagi setelah empat tahun.

Terakhir kali saya backpacking tahun 2008 ke Ukraina dan Hong Kong. Jadilah September 2011 lalu kami kasak-kusuk cari tiket buat berangkat pada Februari 2012. Dapat tiket Tiger Airways dengan harga Rp 1,5 juta untuk dua orang, pulang-pergi. Dengan jarak waktu yang enak seperti itu, setidaknya kami punya 4-5 bulan menabung untuk uang saku kami di sana. Everything is well-planned. Bayar cicilan rumah juga nggak terganggu dengan acara backpacking ini. 🙂

Saya pun ambil cuti empat hari dari kantor, 16-17 Februari dan 20-21 Februari. Jadi saya dapat “bonus” 2 hari (Sabtu dan Minggu) buat jalan-jalan. Sejak awal saya sudah wanti-wanti ke istri supaya kami pergi backpacking saja. Toh kami cuma pergi berdua. Sederhananya, backpacking itu artinya mengelola perjalanan secara mandiri dengan bawaan seperlunya dan dengan biaya seiirit mungkin. Mandiri artinya semua diurus sendiri, nggak perlu bermanja-manja pakai travel agent segala. Toh, saya juga nggak pernah dan nggak tahu cara pergi backpacking pakai travel agent. Apalagi saya ini orangnya bermental irit. 🙂

Jadi, bawaan kami masing-masing ya cuma seperti di foto atas itu. Satu tas punggung dan satu tas selempang kecil, khususnya buat benda-benda yang harus disendirikan dan sering keluar-masuk: paspor, tiket, uang, dan kamera (aslinya sih memang nggak punya backpack yang gede…dasar kere). Di Singapura, kami akan menginap di apartemen teman lama saya yang sudah tinggal sekitar 5 tahun di sana.

Kami berangkat jam 5 subuh dari Bandung, dan pesawat kami lepas landas jam 11.25 dari Soekarno-Hatta. Pesawat Tiger ini lumayan bagus dan nyaman (standar budget airline deh), tapi sialnya, di pesawat mereka cuma memberi sebungkus kecil kacang kepada penumpang, tanpa minuman sama sekali. Makanan lain dan minuman harus beli di pesawat, dan harga minuman paling murah itu S$ 3 untuk soft drink kalengan (S$ 1 = Rp 7.100 – 7.200). Berhubung perjalanan cuma 1,5 jam, kami enggan beli minuman kaleng mahal begitu (aslinya sih memang kere).

Pemandangan Singapura dari pesawat menjelang mendarat.

Tiger Airways mendarat sekitar jam 14.00 waktu lokal di Budget Terminal Bandara Changi, Singapura. Budget Terminal ini letaknya agak jauh dari terminal-terminal lain. Begitu keluar dari imigrasi Singapura (sambil ngembat beberapa peta dan brosur berhadiah pembatas buku), tak jauh dari pintu keluar ada shuttle bus yang menunggu penumpang untuk menuju Terminal 2. Gratis. Di shuttle bus, ada segerombolan ABG Indonesia (ketauan dari bahasa Betawinya) tampak sibuk berkicau. Dari pakaian dan isi obrolannya, saya jadi tahu mereka datang ke Singapura buat nonton Super Junior (Suju), boyband Korea Selatan yang akan manggung di Singapore Indoor Stadium hari Sabtu dan Minggunya (18 & 19 Februari).

Dari Terminal 2, kami menuju stasiun bawah tanah dan membeli kartu EZ Link seharga S$ 12 biar gampang naik bus atau MRT (Mass Rapid Transit), jaringan kereta di Singapura. Perjalanan dari Changi menuju stasiun Pioneer, dekat tempat teman saya tinggal, memakan waktu satu jam, alias dari ujung ke ujung kalau melihat peta jalur MRT.

Suasana di dalam MRT. Papan elektronik di atas pintu keluar memudahkan penumpang, yang belum pernah ke Singapura sekali pun.

Enaknya main ke negara maju, petunjuk arahnya banyak dan mudah diikuti. Begitu turun di stasiun Pioneer, di kawasan Jurong West, nama jalan dan nomor gedung apartemen yang saya cari pun gampang ditemukan. Saya langsung merasa betah di lingkungan situ. Kompleks apartemen di sana terdiri dari beberapa gedung. Setiap gedung ada nomornya, rata-rata berlantai 16, dan tinggal cari nomor apartemennya. Teman saya ini, yang biasa dipanggil Abah, tinggal di lantai 15.

Kompleks apartemen teman saya. Nomor gedung ada di tembok atas dan di papan warna biru.

Setiba di apartemen Abah sekitar jam 5 sore, ada Atti, istrinya, sudah menunggu bersama ketiga anaknya yang lucu-lucu. Si Abah sendiri baru sampai di rumah sejam kemudian. Setelah ngobrol, tanya-tanya soal tempat-tempat yang wajib dikunjungi, mandi, dan makan ayam KFC (yang ukurannya nyaris sama dengan kepalan tangan seorang petinju), kami pun jalan-jalan sebentar. Malam itu kami sebenarnya sudah agak lelah. Keuntungan tiba sore/malam hari di negara tujuan jalan-jalan adalah bisa tidur cukup dan bangun dengan segar keesokan harinya. Siap jalan-jalan seharian.

Malam itu kami cuma jalan-jalan ke Chinese Garden, sebuah taman kota berjarak kurang dari 5 menit naik MRT dari stasiun Pioneer. Turun di stasiun MRT Chinese Garden dan jalan kaki sekitar 200 meter sampai ke gerbang depannya. Taman ini buka dari jam 06.00 sampai jam 23.00. Sayang hari sudah gelap, padahal malam itu sambil lalu pun kami yakin taman ini akan tampak lebih cantik kalau terang. Beberapa orang sedang jogging, beberapa pasang lain tampak sedang sibuk pacaran. Dua jam kemudian kami pulang ke apartemen Abah, setelah sebelumnya survei kecil-kecilan mencari kios atau warung buat jajan atau beli makanan yang murah meriah di sekitar stasiun Pioneer. Kami mengincar tiga tempat: satu kios bernama Sweetie menyediakan aneka jus buah segar dan wafel, satu toko roti, dan satu warung bernama Ananas Cafe yang menyediakan nasi lemak dan aneka lauk lain. Semua harganya murah (untuk ukuran dolar Singapura, lho). Pas buat backpacker kere macam kami ini. 🙂

Malam itu setelah kembali ke apartemen, kami menyusun itinerary buat beberapa hari ke depannya, dibantu Abah dan Atti, sambil mainin (dan dipermainkan) anak-anak mereka….hehehe. Sekitar jam 11 kami pun tidur. Waktunya sangat cukup untuk istirahat dan tidur agak lama. Apalagi saya belum tidur lagi sejak jam 3 dini hari itu saat menjelang berangkat dari Bandung. Waktu subuh di Singapura sekitar jam 6 pagi. Matahari terbit pun sekitar jam 07.30.

***

Jumat, 17 Februari 2012

Jam 07.30 kami sudah selesai mandi dan siap menjelajahi kota. Tuan rumah belum ada yang keluar kamar, dan malam sebelumnya mereka bilang kalau kami mau jalan dari pagi, langsung keluar saja. Jam segitu di Singapura masih agak gelap. Langit belum terang sepenuhnya. Dan sepertinya juga sedikit mendung. Sambil berjalan kaki sekitar 300-400 meter menuju stasiun Pioneer, kami membeli dua porsi nasi lemak di sekitar stasiun MRT itu, rekomendasinya si Abah. Ditambah sandwich isi ayam dan telur buat ganjal perut kalau lapar agak siangan nanti. Setelah itu kami langsung naik kereta ke Chinese Garden. Taman kota itu hanya berjarak sekitar 200 meter dari stasiun MRT Chinese Garden.

Warung nasi lemak. Sudah buka sejak pukul 07.00.

Red Bridge di Chinese Garden.

Saat mencapai gerbang taman ini, ada jembatan merah yang oleh orang Cina dianggap sebagai simbol keberuntungan. Sungai di bawahnya memang berwarna agak keruh, tapi sangat bersih. Kita masih bisa melihat ikan dan kura-kura di sungai itu. Memancing, merokok, menyampah sembarangan, dan mengendarai sepeda di lingkungan Chinese Garden diancam dikenai denda sebesar beberapa ratus dolar Singapura. Ancaman denda ada di mana-mana. Inilah yang membuat Singapura dijuluki “A Fine City” (fine = bagus/denda).

Ikan dan kura-kura masih kelihatan 🙂

Kami pun masuk dan menemukan lokasi yang oke buat sarapan: di bangku di pinggir kolam kecil tak jauh dari gerbang masuk. Suasana pagi itu tenang sekali. Udara pun masih terasa sejuk. Beberapa orang tampak sedang lari pagi, sementara yang makan cuma kami. Tapi, siapa yang peduli? Tak ada larangan makan di sini, asal sampahnya dibuang di tempat sampah. Sarapan nasi lemak di taman kota yang rimbun dan indah, di pinggir kolam yang cantik dan bersih, udaranya pun segar…sensasinya luar biasa.

Nasi lemak adalah jenis makanan khas Malaysia, masih satu etnis dengan nasi uduk dan nasi liwet di kita, deh. Makanan ini biasa dihidangkan untuk sarapan pagi. Nasi lemak merujuk kepada nasi yang dimasak menggunakan santan kelapa untuk menambah rasa gurih dan wangi. Kadang-kadang daun pandan dimasukkan ketika nasi lemak dimasak untuk menambahkan aromanya. Untuk lauknya bisa apa saja. Kebetulan saya beli set meal seharga S$ 2,50 per porsi di warung Ananas tadi. Lauknya sederhana banget: telur mata sapi, sosis goreng, dan ayam yang digiling dan digoreng dengan balutan tepung. Pilihan menu lauk lain ada sih: oseng kacang panjang, bakmi goreng, kentang goreng, dan banyak lagi. Sambalnya juga enak. Agak manis di depan, tapi di akhirnya cukup pedas dan bisa bikin saya berkeringat.

Sensasi sarapan nasi lemak di pinggir danau 😛

Nasi lemak. Sederhana, tapi enak banget! 😛

Singapura memang kota metropolitan, tapi punya beberapa taman rimbun dan indah seperti ini. Jalanan-jalanannya pun nyaris tak ada yang sepi dari pepohonon rimbun. Pagi pertama kami justru dihabiskan di sini, bukan di jalanan dengan hutan beton khas kota besar. Taman semacam ini selain sangat penting buat paru-paru kota, juga bisa menjadi tempat warga kota melepas lelah sedikit dari deru kesibukan kota besar dan tekanan pekerjaan sehari-hari. Di Indonesia taman keren macam ini bisa habis dikotori pedagang kaki lima dan disesaki warga sehingga bisa mirip pasar kaget. Itu sebabnya sarapan di sini sensasinya luar biasa buat kami. Sensasi keheningan yang menentramkan. Belakangan kami malah jadi terbiasa makan pagi di sini. Lagi pula, kalau makan pakai tangan di pinggir danau sini ada toilet buat cuci tangan. 🙂

Kenyang makan nasi lemak, foto mesra dulu dong 🙂

Setelah sarapan dan leha-leha sebentar, kami memutuskan jalan-jalan keliling Chinese Garden. Taman ini dibangun dengan konsep taman ala Cina. Karakternya menggabungkan arsitektur Cina bergaya imperial dengan tata kebun dan lingkungan alam yang rindang serta tertata rapi. Taman ini dibangun pada 1975, dikomandoi oleh arsitek Taiwan Yuen-Chen Yu. Di dalamnya ada satu area berisi patung-patung— tokoh, legenda, filsuf, termasuk patung Confucius dan Mulan seukuran manusia yang tersebar di antara rumpun perdu dan bunga di sekitarnya. Tak jauh dari deretan patung itu, ada Ru Yun T’a, pagoda 7 lantai setinggi kira-kira 30 meter. Warga Singapura juga memanfaatkan taman ini untuk banyak hal. Selain orang-orang yang sibuk jogging, kami melihat sekumpulan manula sedang berlatih tai chi, kemudian ada juga sekelompok orang India sedang asyik bermain kriket, sebuah olahraga permainan yang mirip bisbol. Bersambungan dengan Chinese Garden ini juga ada Japanese Garden. Namanya sudah cukup menunjukkan seperti apa tamannya.

Berikut ini beberapa foto Chinese garden dan Japanese Garden yang saya ambil:

Pagoda Ru Yun T’a.

Orang India emang sukanya main kriket 🙂

Pemandangan tepi kolam yang indah.

Patung-patung itu…

Mejeng di Twin Pagoda, tapi yang kefoto cuma satu… 🙂

Kebun bonsai di Japanese Garden.

Para manula asyik ber-tai chi…

“Ketemu” Confucius 🙂

Stasiun MRT Chinese Garden, cuma 200 m dari tamannya.

Setelah satu jam puas mengelilingi taman ini, kami langsung menuju stasiun dan menuju beberapa lokasi berikutnya dalam itinerary kami hari itu: Chinatown, Little India, dan banyak lagi. Beruntung sekali kami bisa menengok sisi lain Singapura—yang ternyata bukan cuma Orchard Road, Merlion, atau Universal Studios di Sentosa Island.

Bersambung…

Sina, Petra, dan Teddy Bear

Hari Minggu siang bulan Mei tahun lalu (22/5), saya agak kaget menerima SMS dari nomor yang tidak saya kenal. Isinya:

Hey,

My name is Sina and I am from Germany. I am coming to Bandung with my German friend around 25th May for 2 or 3 days and looking for accomodation…

How about your place? Would it be possible? I do speak Indonesian as well. No problem. 

I can tell you later more about me if you wish some information 🙂

Thank you very much for your help

Sina

Ah, ternyata dia tau nomor ponsel saya dari situs http://www.hospitalityclub.org (HC). Saya tak berpikir terlalu lama. Langsung saya jawab oke. Sina bilang dia akan datang hari Rabu (25/5) dan akan menginap selama beberapa hari. Kami pun janjian lewat SMS gimana cara ketemunya. Dia bilang dia akan tiba di Bandung dari Jakarta setelah jalan-jalan selama 2 hari di sana. Sore menjelang pulang kantor, saya kirim SMS ke dia dan memberi petunjuk bagaimana ke rumah saya naik taksi. Taksinya yang biru itu lho 🙂

Sekitar jam 8 malam, dua perempuan bertubuh subur makmur sentosa turun dari sebuah taksi biru di depan rumah saya. Nama mereka Sina dan Petra. Keduanya berasal dari kota kecil indah bernama Konstanz, Jerman, mepet dengan perbatasan Swiss. Sina bisa bicara bahasa Indonesia dengan sangat baik. Ternyata dia mengambil mata kuliah bahasa Indonesia di kampusnya, Universitas Konstanz. “Sebenarnya saya mengambil jurusan Bisnis/Ekonomi dan Studi Asia. Jadi saya juga belajar beberapa bahasa Asia, di antaranya Jepang dan Indonesia,” jelas perempuan 23 tahun ini.

Sina memutuskan untuk belajar bahasa Jepang langsung di negeri matahari itu pada usia 18 tahun. Dia menghabiskan setahun hidup di Tokyo. Sejak Agustus 2010, dia memperdalam kemampuan bahasa Indonesianya di Jogja, persisnya di UGM. Saya jadi merasa bertemu teman lama sefakultas, karena saya juga alumnus Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kami lantas saling bercerita tentang kehidupan kampus dan banyak hal lain. Untuk tidak membuat Petra merasa dicuekkin, saya mengajak Sina berbahasa Inggris saja.

Petra membuat saya terkagum-kagum. Dalam usia di atas 50 tahun, dia masih cukup bugar untuk melakukan perjalanan keliling dunia. “Saya sudah 20 tahun bekerja sebagai perawat di panti jompo. Tabungan saya juga sudah cukup untuk sedikit jalan-jalan,” jelas perempuan lajang ini.

Saya dan istri saya kemudian membantu merencanakan acara jalan-jalan mereka di Bandung. Sejak awal mereka sudah berencana pergi ke Tangkuban Perahu, Ciater, dan Maribaya. Kebetulan saya punya buku tentang jalan-jalan di Bandung dan sekitarnya, dan karena Sina bisa bahasa Indonesia, buku itu jadi lumayan berguna. Kami memberi mereka semua informasi berguna: nomor telepon taksi, cara menuju tempat-tempat itu, naik bus apa, warung-warung nasi dan laundry di kompleks kami, dan lain-lain.

Menjelang tiba waktu tidur (karena kami dan mereka sudah ngantuk), saya menunjukkan di mana kamar mereka. Rumah saya punya dua ruang tidur, tapi hanya satu yang ada ranjangnya. Saya sejak awal menolak gagasan bahwa rumah kecil ini harus didominasi ranjang. Akhirnya kamar yang satunya lagi saya jadikan perpustakaan dan ruang kerja, ditambah sebuah sofa-bed nyaman berwarna merah marun. Sofa itu bisa dibuka-lipat menjadi tempat tidur kalau dibutuhkan. Sebelumnya mereka dengan sopan menolak sate ayam suguhan saya karena sudah makan bebek di Braga sebelum menuju rumah saya. Tapi mereka sedikit mencicipi martabak keju, mangga, dan jambu suguhan kami. Terpaksalah saya menghabiskan 20 tusuk sate ayam dan sapi sendirian, padahal saya beli buat suguhan untuk tamu.

Kami juga sempat diskusi soal rencana keesokan paginya. Berhubung saya dan istri berangkat ke kantor sekitar jam 7 pagi, saya dan istri sepakat meninggalkan kunci cadangan untuk mereka. Esok paginya, selain meninggalkan kunci, saya meninggalkan surat. Saya bilang, kalau mau makan, silakan cari sesuatu di kulkas atau lemari di dapur, ada mie instan, telur, roti tawar, dan selai. Di profil saya di HC, saya memang mencantumkan dengan jelas bahwa saya tidak menjanjikan makan di rumah, dan ini normal saja di HC. Malamnya, setiba di rumah, saya sempat melirik sofa dan tertawa saat menemukan boneka Teddy Bear di situ (!).

Jam 8 malam, Sina dan Petra tiba di rumah, basah karena sedikit kehujanan. Mereka dengan riang bercerita soal jalan-jalan hari itu. Mereka bahkan terkesan dengan sikap ramah sopir taksi biru yang mau menunjukkan, bahkan mencegat, minibus yang menuju Lembang dan sekitarnya. Pulangnya mereka membawakan kami nanas madu yang lalu kami makan sama-sama. Sina sempat membaca beberapa bab buku The Naked Traveler sambil tertawa-tawa. “Mungkin nanti saya mau mampir ke Gramedia dan membeli buku ini,” katanya. Kami lalu ngobrol sampai menjelang tengah malam, tentang Jerman, tentang keluarga mereka, tentang kegiatan Sina di UGM, tentang pekerjaan Petra, tentang pekerjaan saya, tentang Helloween (“Kamu suka Helloween? Padahal mereka nggak ngetop-ngetop amat di Jerman,” kata Sina tertawa), tentang makanan di Jerman, dan banyak lagi. Lucunya, malam itu adalah terakhir kali saya bertemu mereka. Seperti biasa, mereka bilang tidak bisa bangun pagi, jadi mereka mau pamitan lebih awal. Dan tentu saja kami sempat berfoto-foto lebih dulu.

Sina, saya, dan Petra

Sore hari Jumat (27/5), mereka naik kereta ke Malang. Sina sempat kirim SMS ke saya dan bilang dia menghabiskan mie instan terakhir di lemari saya. Seperti kemarinnya, kami meninggalkan kunci rumah kami yang nantinya dititipkan di tetangga sebelah kalau mereka mau pergi. Sina sangat ingin melihat Bromo dan mencicipi apel malang. “Ada seseorang yang sudah mengonfirmasi bahwa kami bisa tinggal di rumahnya. Dia sudah berkeluarga dan punya 2 anak,” jelas Sina. Saya tak heran, begitulah cara kerja Hospitality Club. Selalu ada orang yang bersedia menampungmu saat berkunjung ke negara atau kotanya.

Tampilan profil saya di situs HC

Buat yang belum tahu, Hospitality Club adalah situs yang sangat populer di kalangan backpacker di seluruh dunia. Saya sudah bergabung di situs ini sejak 4 tahun yang lalu.Keanggotaan organisasi tidak dipungut bayaran dan pendaftaran dilakukan melalui situs web. Ini semacam jejaring sosial khusus buat orang-orang yang hobi ber-backpacking ria ke negara-negara lain. Anggotanya saat ini sudah lebih dari 600 ribu orang di lebih dari 200 negara. Situs ini dikelola secara sukarela oleh para anggotanya.

Kalau misalnya mau backpacking ke Jerman, misalnya, cari saja anggota-anggota HC yang tinggal di kota yang kamu tuju di Jerman. Tinggalkan pesan dengan ramah bahwa kamu butuh tempat menginap selama tinggal di sana. Kamu bisa kirim pesan ke banyak anggota dan lihat nanti siapa yang menanggapi. Dalam suatu profil, selain data diri, kamu juga bisa mengisi kolom Travels and InterestsHelp and Advice, dan Accommodation. Ini contoh kolom Accommodation saya:

Accommodation

I live with: my partner (wife, husband, girl/boyfriend)

Sleeping place I can offer: space on the floor – sofa – separate room

Please bring: sleeping bag

Maximum number of guests: 2

Maximum length of stay: 2-3 days

Notification – visitors: should notify 14 days in advance, must notify  days in advance, can call on arrival and are asked to call between 7pm and 9pm.

Gender of guest: doesn’t matter

Smoking: not at all

Requirements and Restrictions: no drugs – no alcohol – pay for phone calls – pay for food – do dishes – other:negotiable Pets: Don’t like pets 

Kegiatan utama organisasi HC adalah pertukaran tempat tinggal. Status keanggotaan dibagi dua, yaitu sebagai tuan rumah (host) dan tamu (guest); yang mencari dan meminta kesediaan anggota lain yang berstatus tuan rumah untuk diinapi dengan cuma-cuma tanpa transaksi pembayaran, murni berdasarkan kerelaan calon tuan rumah. Setiap anggota menuliskan keterangan berapa lama seorang tamu diperbolehkan tinggal, apakah mereka menyediakan makanan bagi para tamu, dan persyaratan lainnya di dalam halaman keanggotan masing-masing.

Setelah terjadi persetujuan oleh kedua belah pihak, pertemuan pun bisa dilakukan. Selain pertukaran akomodasi, anggota dapat saling bertemu melalui di seputar lokasi yang dikujungi/ditinggali. Tersedia pula halaman wiki yang berisi panduan wisata untuk membantu anggota selain forum bagi anggota yang disediakan untuk mencari sahabat seperjalanan. Bahkan, kalau kita tak bisa menyediakan akomodasi, kita tetap bisa saling bertemu untuk sekadar ngopi bareng.

Selain HC, ada juga situs sejenis bernama CouchSurfing (www.couchsurfing.org, alias CS). Cara kerjanya kurang lebih sama, kecuali bahwa HC tampil lebih minimalis. Kalau kamu ingin bergaul dengan banyak warga dunia, bergabung di kedua situs adalah cara yang bagus, bahkan tanpa perlu ke luar negeri.

Berdasarkan pengalaman saya, para anggota HC dan CS benar-benar orang yang ramah dan bisa dipercaya. Mereka menginap di rumah-rumah anggota lain bukan karena tak punya duit untuk hotel, tapi karena mereka ingin mengenal orang-orang lokal di negara tempat mereka melancong. Orang seperti saya, yang meninggalkan kunci rumah kepada tamu, juga tidak sedikit. Tak jarang, entah tamu atau tuan rumah adalah suami-istri atau keluarga yang senang berkeliling dunia dan bersahabat dengan semua warga dunia. Tak sedikit mereka yang sudah punya anak pun senang mendapat tamu orang asing. Anak-anak mereka bisa belajar bergaul dengan orang-orang asing yang ramah. Sejauh ini saya sudah bertemu dengan backpacker dari Jerman, Rusia, Italia, dan Polandia.

Sina dan Petra akan meninggalkan pesan di profil HC saya tentang bagaimana saya menjamu mereka. Komentar itu akan sangat berguna ketika kelak ada tamu lain dari entah negara apa membaca profil saya dan mengetahui bahwa saya adalah tuan rumah yang baik. ^_^

Perpus saya, sofa-bed, dan Teddy Bear itu 🙂