Ibu penjual ayam goreng.
“The more you read, the more things you will know. The more you learn, the more places you will go to.”
~ Dr. Seuss
Sabtu, 25 Agustus 2012
Wangi ayam goreng membangunkan tidur saya. Hampir lepas subuh ketika muncul seorang ibu yang berjualan ayam goreng. Menjelajah dari satu gerbong ke gerbong lain. Empat orang keluarga Cina di depan kami tampak sedang membeli ayam goreng yang masih hangat itu.
Sebenarnya, sejak malam sebelumnya ada beberapa orang pedagang asongan yang mondar-mandir dari gerbong ke gerbong. Bahkan ada satu pemuda yang agak gemulai sehingga saya duga dia ini ladyboy…hehehe! Macam-macam dagangan mereka, makanan dan minuman. Ada juga petugas KA yang menawarkan makan malam. Baju yang dipakai sekenanya: bagian yang dimasukkan ke celana tampak memaksa keluar dan kartu pengenalnya pun tampak butut dan mulai pudar.
Di kereta api Thailand, kalau kita berada di kelas dua dan tiga (tanpa AC), para penumpangnya gemar membuka jendela lebar-lebar. Sepoi angin yang masuk ke gerbong lumayan bikin badan terasa sejuk kembali. Maklum, hawa di Thailand sungguh bikin gerah. Di gerbong saya (kelas 2 non AC), walau sudah ada kipas angin pun, para penumpang tetap membuka jendela lebar-lebar.
Seorang bapak bermata sipit dengan bahasa isyarat meminta izin kepada saya untuk memundurkan punggung kursinya. Saya hanya tersenyum sambil mengangguk. Jarak antara kursi yang sudah dimundurkan dengan kursi di belakangnya masih cukup lega. Diam-diam saya mengamati empat orang di depan saya. Dari bahasanya, saya menebak mereka dari Cina. Yang luar biasa, keempat orang itu tampaknya satu keluarga. Si bapak sudah berumur dan beruban, begitu pun istrinya. Sementara anak dan menantu mereka adalah sepasang suami-istri yang mungkin masih sebaya saya.
Tak banyak yang bisa dilihat waktu malam dari jendela gerbong kereta. Sesekali kereta melewati perkampungan kumuh dan beberapa pasar–yang bagi orang Cina dan beberapa bule di depan saya mungkin menarik, karena mereka tak henti memotret. Satu hal yang bikin saya salut sama Thailand: gerbong kami malam itu lebih dari setengahnya “dikuasai” oleh turis asing. Begitu pula yang saya lihat di beberapa gerbong lain. Sambil menunggu kantuk, saya memilih membaca buku, sebelum akhirnya tertidur dua jam kemudian.
Sudah jam 7 pagi, tapi tampaknya kereta masih agak jauh dari Surat Thani, pemberhentian kami. Setelah telat 1,5 jam dari jadwal, kami segera keluar dari stasiun kecil tersebut. Di luar, banyak bus dan agen perjalanan yang terlihat. Setelah repot tanya sana-sini, akhirnya kami menemukan bus kami: sebuah bus tingkat yang sudah mulai butut karena rada uzur. Sayangnya, mungkin koordinasi agen bus itu kurang jelas, sehingga banyak turis backpacker yang bingung mencari bus masing-masing. Pasalnya, memang ada beberapa bus dari halaman stasiun Surat Thani yang menuju rute berbeda.
Beberapa bule yang saya ajak ngobrol juga lagi kebingungan. Seorang wanita yang tampaknya koordinator tampak sibuk ngomel ke sana kemari karena ditanyai banyak orang yang mencari busnya. Padahal itu kan gampang diatasi dengan menempelkan poster bertulisan rute bus.
Jam 9 kurang, bus pun berangkat. Bus bertingkat, khas bus antarkota di Thailand, walau yang saya naiki ini sudah agak tua modelnya. Kalau melihat peta, sebenarnya bus ini menuju arah timur lebih dulu untuk menurunkan penumpang di dermaga Don Sak. Dari dermaga itu kita bisa menuju pulau-pulau macam Ko Pha Ngan dan Ko Samui—dua pulau berpantai cantik tempat pesta-pesta hedonis sering diadakan, seperti full moon party. Baru setelah itu bus melaju ke arah barat laut menuju Krabi.
Sekitar jam 13.00, bus sudah memasuki Krabi. Penumpang diturunkan di sebuah halaman kosong yang tampaknya jadi pool bus tersebut. Dari sana, kami harus bayar sekitar 50 baht (Rp 15.000) lagi per orang untuk naik van yang kemudian menurunkan kami persis di depan hotel.
Kamarnya lumayan kan? Murah, pula 🙂
Saya sudah memesan kamar di JP Mansion, sebuah budget hotel di pusat kota Krabi. Tarifnya nggak mahal, cuma 300 baht (Rp 90 ribu) untuk double room ber-AC, kamar mandi privat, dan handuk. Sayangnya, jendelanya menghadap ke koridor. Tapi nggak apa-apa sih, kamar begini kan untuk tidur doang. Resepsionisnya juga ramah sekali. Saat saya tanya apakah dia punya peta Krabi, dia menjawab sambil tersenyum, “Oh, it’s finish.” Sudah habis, maksudnya. 😀 Selepas membongkar bawaan, mandi pakai shower, dan sholat, sore itu kami pun langsung mulai jalan-jalan.
Krabi Town adalah ibukota Provinsi Krabi—provinsi yang sedang naik daun namanya di kalangan turis yang mengunjung Thailand. Krabi Town ini sebenarnya hanya kota kecil biasa. Tapi memang saya tertarik untuk mengetahui dan merasakan langsung suasana kota kecil di Thailand, lepas dari hiruk-pikuk Bangkok.
Dengan penduduk hanya sekitar 25.000 jiwa, Krabi Town lebih sering dijadikan pintu masuk dan tempat persinggahan sementara bagi para turis. Sebab, Provinsi Krabi juga menawarkan banyak spot menarik dalam radius mulai dari 30 menit hingga 1,5 jam dari kota ini naik transportasi publik seperti bus, van, atau speed boat—dari pantai-pantai cantik (Ao Nang, Rai Leh, dll) hingga pulau-pulau cantik (Phi Phi Island, Ko Lanta, James Bond Island, dll). Kita juga bisa pergi ke Phuket dengan van yang makan waktu 3-4 jam dari Krabi Town.
Manusia purba penunggu lampu merah 🙂
Kota ini ditata rapi dengan dengan model kotak seperti blok-blok gitu. Jarak dari satu blok ke blok lainnya tak terlalu jauh. Karena penduduknya sedikit, jalanan di kota ini tampak sedikit lengang, walau sebenarnya banyak sekali pertokoan dan hotel serta mobil dan motor yang parkir di sepanjang jalan. Kotanya pun bersih sekali. Kalau tak suka dengan suasana kota yang agak sepi ini, turis bisa langsung naik songthaew (semacam angkot) menuju pantai Ao Nang yang bisa dicapai dalam 30-40 menit dari kota. Tapi, sebaliknya, buat yang tak suka suasana yang terlalu touristy (seperti saya ini), Krabi Town menawarkan kenyamanan tersendiri.
Menginap 1-2 hari di sini rasanya cukup pas. Banyak pantai yang bisa dicapai dengan mudah. Kita juga bisa ikut tur-tur ke pulau-pulau lain, ikut tur main kayak dan kano, atau trekking ke area-area wisata alam di banyak titik di provinsi ini. Ada yang unik di beberapa persimpangan di pusat kota: lampu lalu-lintas didesain dengan patung purba sedang menggotong lampunya. Kreatif juga nih! 😛
Yang pertama saya cari saat itu adalah: makanan! Maklum, belum makan apa-apa sejak pagi tadi. Mau beli ayam goreng wangi di kereta pun takut nggak halal. Sore itu cuacanya enak. Krabi Town sedikit lebih sejuk jika dibandingkan Bangkok yang gerah. Dari van tadi, saya sempat melihat sebuah warung makan halal. Lokasinya tak jauh dari hotel kami, sekitar 300 meter saja. Rasanya lega sekali melihat warung makan yang ada tulisan “Makanan Islam” dan beberapa ibu berjilbab tampak sedang makan di sana juga.
Nyam nyaam! 😛
Kami memesan dua porsi nasi ayam briyani dan seporsi mie goreng. Yang lucu, mie goreng di sini selalu ditambahi dengan semangkuk kecil kuah, seperti kuah bakso gitu. Untuk minumnya saya memesan es Thai milk tea yang segar. Untuk semuanya itu saya harus bayar sekitar 150 baht (Rp 45.000). Mahal? Yah, beginilah kalau sarapan dan makan siang jadi satu. 😛 Tapi bener deh, makanan ini walau sederhana tapi rasanya enak banget. Bumbunya sangat terasa.
Setelah makan, kami lanjut jalan lagi. Hanya beberapa puluh meter dari warung tadi, kami menemukan kantor travel agent yang menawarkan paket-paket wisata buat turis. Wah, kebetulan sekali. Saya memang sudah berencana main kayak di sini, soalnya waktu kami cuma sampai besok siangnya. Tidak cukup kalau mau ambil paket tur ke Phi-Phi yang half-day sekalipun. Jadi, saya harus keluar duit Rp 400.000 buat paket kayak half-day untuk dua orang ke Ao Thalane. Kami akan dijemput dengan van jam 08.00 pagi untuk menuju spot itu, yang jaraknya sekitar 35-40 menit naik mobil. Karena paketnya setengah hari, kami cuma akan mendapat ekstra buah-buahan dan gantungan kunci—tanpa makan siang.
Nah, sore ini kami hanya berencana putar-putar di kota. Dari hasil banyak baca referensi, saya tahu ada sungai tak jauh dari pusat kota yang menarik untuk sekadar nongkrong. Ternyata sungai tersebut juga tak jauh dari hotel kami. Tempatnya asyik banget menurut saya. Pedestrian dengan pohon-pohon rindang dan taman kecil di pinggir sungai menawarkan kenyamanan tersendiri bagi saya yang tinggal di kota padat nan semrawut. Di kejauhan, ada dua bukit karst (limestone) yang secara alami berhadapan dan membentuk formasi “The Two Towers”—seolah jadi “gerbang” kota Krabi.
Maskot Krabi Town: yuyukangkang! 🙂
Ada sekeluarga patung kepiting yang terdiri dari empat buah patung di landmark Krabi Town ini. Menurut keterangan yang saya baca di situ, patung-patung itu menyimbolkan berlimpahnya hutan bakau (mangrove) di sepanjang muara di Krabi Town ini. Dan di tengah hutan bakau atau di banyak pantai di Krabi, kepiting lumpur ini mudah sekali ditemukan. Luas hutan bakau di Krabi tercatat sebagai yang terbesar keempat di seluruh Thailand. Wilayah Krabi juga dikelilingi bukit-bukit karang yang tersebar baik di perairan maupun daratan.
Di sekitar dermaga Chao Fa ini banyak pemilik perahu longtail yang menawarkan tur singkat naik boat di sepanjang muara sungai. Beberapa menyapa saya dengan sapaan assalamualaikum dan menebak saya dari Malaysia. Yang pertama menawarkan tarif 500 baht. Saya cuma menolaknya sambil tersenyum. Tak lama, ada lagi seorang pria, yang mengaku bernama Muhammad. Dia sepakat dengan angka 300 baht (Rp 90.000) untuk kami berdua menyusuri sungai selama satu jam dan melihat beberapa spot menarik di situ.
“You muslim, I muslim, I won’t cheat on you,” katanya membujuk.
Berhubung dia bersedia menawarkan harga yang rada murah, saya pun mau. Nikmat sekali rasanya sore-sore naik longtail boat—perahu tradisional khas yang sangat populer di Thailand. Perahu ini terbuat dari kayu dan berbodi “kurus”, sehingga kalau penumpang banyak “bergoyang”, maka perahunya pun bisa ikut goyang ke kanan-kiri. Semilir angin sejuk dan pemandangan hijau di sekitar terasa sangat menyenangkan. Sekitar 15 menit kemudian, Muhammad menepikan perahunya ke Koh Klang, sebuah perkampungan nelayan Muslim.
“Nyonya Puff” 😀
Dermaga perkampungan ini dibuat terapung dengan beberapa bangunan yang berfungsi sebagai warung makan dan toko suvenir. Ada juga beberapa bagian yang difungsikan sebagai kolam. Kami diajak melihat beberapa hewan laut di penangkaran di situ: lobster besar, anak ikan hiu, dan ikan buntal alias Nyonya Puff, guru nyetir Spongebob itu. Wah, saya baru kali ini lihat bentuk asli hewan berbentuk bulat ini. 😛 Pas liat, rasanya langsung pengen nendang bola! Hahaha 😀
“Kalau Anda mau lihat hewan ini menggembung, coba bikin dia marah dulu,” kata Ibrahim, yang memandu kami di perkampungan itu (wah, orang sini kok pake nama nabi semua, ya?). Dan benar saja….setelah ditepuk-tepuk dan disentil, ikan (yang nggak mirip ikan) buntal yang tadinya agak kempis itu menggembung dan mulutnya mengeluarkan air, seolah barusan tersedak. 😛 Ketika dilemparkan kembali ke air pun dia hanya mengambang. Benar-benar aneh dan lucu ikan yang satu ini. 😛
Sebenarnya saya tahu bahwa mereka mengharapkan kami membeli makanan seafood atau minuman di warung mereka, tapi karena baru makan kami tak membeli apa-apa. Tak lama kemudian, hujan pun turun. Kami terpaksa nongkrong dulu di situ. Sambil menunggu hujan reda, saya ajak Muhammad ngobrol-ngobrol.
“Anda asli Krabi?”
“Ya, betul,” jawab Muhammad. Saya melihat pria ini ramah dan terbuka. Walau bahasa Inggrisnya berantakan dan kadang pelafalannya salah total, isi omongannya masih bisa dipahami. “Saya dan istri tinggal di perkampungan ini. Anak saya dua orang, cewek semua,” lanjutnya sambil tersenyum.
“Apakah di sini banyak penduduk Muslim?”
“Di perkampungan ini iya, tapi di kota Muslimnya cuma sedikit. Di sini ada beberapa guesthouse murah, pemiliknya Muslim juga. Semakin Anda ke wilayah selatan Thailand, semakin banyak Muslimnya. Saya dulu pernah berdakwah selama empat bulan di Yala dan sekitarnya.” Yala adalah sebuah kota di Provinsi Pattani, Thailand selatan, yang banyak dihuni penduduk Muslim Melayu.
“Bagaimana hubungan warga Muslim dan Buddha di sini?”
“Wah, baik sekali. Semuanya rukun di sini, walau kami penduduk minoritas. Tapi di wilayah Pattani sering ada keributan. Kadang ada bom meledak. Orang-orang Muslim di sana sering memberontak, ingin merdeka. Saya tidak paham kenapa mereka harus begitu.” Pattani adalah sebuah provinsi di Thailand selatan yang berbatasan dengan Malaysia. Memang sering terdengar berita tentang pemberontakan kaum Muslim di sana.
“Tell me, apa saja yang bisa saya lihat di kota ini?”
Khao Khanap Nam yang keren. 🙂
“Hmm….nanti Anda akan saya bawa ke Khao Khanap Nam, bukit karang kembar yang kelihatan dari dermaga tadi. Terus, kalau mau, nanti Anda bisa mampir ke pasar malam di kota. Ada dua pasar di sini. Di yang pertama Anda bisa beli buah-buahan dan makanan segar. Di yang satunya lagi selalu ada pasar malam dan biasanya ada acara di sana.”
“Tiap hari apa?”
“Oh, setiap hari! Anda harus coba ke sana. Selain makanan halal, di sana juga banyak jual suvenir murah.”
“Terus, bagaimana kalau saya mau ke pantai, misalnya ke Ao Nang?”
“Oh, gampang. Anda cari saja songthaew. Itu bentuknya seperti mobil bak terbuka yang dipasangi atap dan bangku. Coba cari di depan Vogue Department. Di sana banyak songthaew yang ngetem. Ke Ao Nang nggak jauh kok, paling lama cuma sejam. Ongkosnya juga murah. Di sini juga banyak agen wisata kalau Anda tertarik main kayak, trekking, atau main ke pantai sepi.”
Tak lama hujan pun reda. Lumayan juga saya bisa mendapat banyak informasi dari penduduk lokal. Muhammad pun mengajak kami berangkat lagi. Kali ini ia mengajak kami ke Khao Khanap Nam—ini “The Two Towers” yang saya sebut tadi. Kalau dari dermaga awal tadi kapal menuju ke kanan, kali ini ke kiri ke arah bukit karang itu.
Ternyata di sana ada area eco-tourism berupa gua yang, kata Muhammad, pada Perang Dunia II konon pernah dihuni beberapa tentara Jepang yang kabur dari kejaran musuh. Beberapa tengkoraknya masih ada di sana. Sampai di lokasi, suasananya sepi. Sore itu tampaknya hanya kami turis yang mampir. Masuknya pun harus bayar 10 baht (Rp 3.000) per orang. Sial, ternyata tak banyak yang bisa dilihat di sini. Tapi memang suasananya sangat hening dan nyaman.
Di ujung area ada tangga menuju gua di atas. Sayang, di dalam gua suasananya sangat gelap dan agak menyeramkan. Kamera saku saya yang kemampuannya standar banget pun nggak bisa ngambil gambar apa-apa dalam kegelapan. Rasanya jadi malas untuk menjelajahi gua itu. Konon di puncak bukit itu juga ada sepasang burung elang berdada putih yang juga menjadi simbol Krabi.
Bisa banget ya Thailand. Cuma kayak begini juga bisa dijual ke turis. Tapi memang saya sadar bahwa 300 baht berdua tak cukup untuk membawa kami ke tempat-tempat yang lebih spektakuler pemandangannya. Saat gerimis muncul, kami nongkrong di sebuah pondok beratap rumbai sama Muhammad lagi.
“Di sini sepi sekali. Apa selalu seperti ini?” tanya saya ke Muhammad.
“Tidak juga. Sekarang memang sedang low season dan masuk musim hujan. Kalau sedang high season lebih ramai daripada sekarang.”
Saya dan Muhammad 🙂
Saat gerimis itu kami melihat dua pria bule lewat sambil bawa payung. Saat itu juga, hujan reda. Kami pun kembali ke dermaga kota. Sebenarnya yang paling menyenangkan adalah naik perahu itu sendiri. Apalagi saat hujan baru reda. Udaranya sejuk dan segar. Pemandangan ke arah kota pun indah, ditambah dengan kawasan hutan bakau yang hijau. Sesekali perahu kami juga berpapasan dengan beberapa perahu lain yang berhasil menggaet turis untuk sekadar cari angin.
“Terima kasih, ya,” kata Muhammad saat kami sudah turun dari perahu. “Semoga Anda betah di Krabi. Kalau mau ke pasar malam, jalan ke arah sana,” katanya sambil menunjuk ke satu arah. Ah, saya suka keramahan orang ini.
“Terima kasih kembali, Muhammad,” kata saya sambil menyalaminya. Tak lama setelah itu, saya melihat pelangi di atas hutan bakau. Ah, sesuatu banget… 🙂
Di sekitar dermaga kota, selain patung kepiting tadi, ada patung burung elang laut berdada putih bernama Nok Awk. Patungnya berada tak jauh dari keluarga kepiting tadi. Pemerintah kota membangun patung ini sebagai simbol pengetahuan, hidup sederhana namun berkucukupan, juga kepedulian terhadap orang lain—sifat-sifat yang diambil dari karakter elang itu. Di depan patung ini juga ada simbol “0 km”, lumayan buat foto-foto.
Setelah itu, kami berjalan mencari pasar yang tadi diceritakan Muhammad. Setelah bertanya ke sana kemari, kami menemukan pasar yang pertama. Ini pasar yang dibilang Muhammad yang menjual buah-buahan dan makanan halal.
Warung halal di pasar.
Ternyata betul, di sini ada banyak warung tenda yang penjualnya ibu-ibu berjilbab. Kami membeli mango sticky rice seharga 20 baht (Rp 6.000) dan…durian! Ternyata harga durian di sini agak mahal: 200 baht (Rp 60.000) untuk sekotak durian isi 8 buah dibungkus plastik. Untunglah ukuran buahnya cukup besar, daging duriannya tebal, dan rasanya manis.
Dari situ kami berjalan kaki lagi dan menemukan pasar malam yang dimaksud. Tata kota yang didesain berbentuk blok cukup memudahkan saya menghafal jalanan. Letaknya di belakang Vogue Department, dekat dengan hotel kami. Tampak pedagang-pedagang di sana sedang sibuk menata dagangannya.
Suasana pasar malam di Krabi.
Pasar malam ini buka setiap malam menjelang maghrib. Kita bisa melihat macam-macam di sana: penjual makanan dan minuman, pedagang kaos oblong, suvenir aneka macam, pengamen jalanan, dan saat kami ke sana ternyata sedang ada acara di panggung utama: kontes breakdance!
Wow, masih ada yang breakdance ya hari gini? Hehehe…Beberapa kelompok anak muda Krabi asyik memamerkan kebolehannya di atas panggung. Suasananya asyik banget. Langit biru tua petang hari, sambil makan durian dan mango sticky rice, menonton alay-alay Thailand pamer kebolehan, dan alay-alay lain yang mondar-mandir di sekitar situ. Banyak juga turis asing yang nonton acara ini. Lumayanlah buat sedikit hiburan.
Panggung breakdance.
Sayangnya, di sekitar situ nggak ada yang jual kaos oblong yang rada bagusan. Kesannya malah agak-agak ndeso gitu kaosnya…hihihi! 😛 Nah, kalau yang jual makanan enak, ini banyak banget. Akhirnya saya beli ayam goreng yang wanginya mengingatkan saya pada si ibu penjual ayam goreng di kereta pagi tadi. Ditambah kebab buat makan malam di kamar…hehehe! 😛
Ini beberapa foto suasana pasar malam Krabi itu:
Menjelang maghrib, siap-siap buka lapak.
Bocah-bocah Thailand main musik tradisional. Lemparkan sedikit uang ke kotak kalau berkenan. 🙂
Si ibu penjual kebab.
Pantomim bareng pria bercat biru.
Setelah puas muter-muter di pasar malam, kami memutuskan kembali ke hotel. Di tengah jalan kami mampir sebentar ke Vogue Department—sebuah toserba biasa semacam Griya di Bandung atau Mirota di Jogja. Siapa tahu ada kaos yang bagus. Ternyata tidak ada. Selain itu cuma ada KFC di situ. Tak banyak lagi yang bisa dilihat di Krabi Town saat malam. Tentu saja ada beberapa kafe dan kelab malam di kota ini, tapi sejak dulu saya memang nggak tertarik main ke tempat-tempat itu.
Sampai di kamar, setelah makan kebab, kami bersiap tidur. Besok kami ada acara main kayak. Butuh tenaga banyak. 🙂
(Bersambung)