Jam 9 kurang seperempat pagi itu, ketika sopir mobil travel menurunkan saya dan Mbak Dhias, rekan sekantor, sedikit di depan gerbang tol Slipi. Hari itu (Sabtu, 18/4), kami dijadwalkan ikut acara Pelatihan Penyuntingan Buku Terjemahan di Gedung Kompas-Gramedia di kawasan Palmerah Barat. Baru kali ini saya diturunkan di jalan tol…hehe! Tapi emang saya yang minta sih. Kalau tidak, turunnya bisa lebih jauh lagi di Tanjung Duren.
Saat berjalan kaki ke perempatan Slipi – Palmerah untuk nyambung naik mikrolet, tak sengaja saya menemukan penjual nasi bebek (!). Tapi karena acara yang akan dimulai jam 9, saya terpaksa jalan terus dan hanya menoleh sedih ke arah gerobak nasi bebek itu.
Ternyata, waktu jam 9-an saya sampai di lantai 7 di gedung KG, acara belum dimulai. Acara ini sendiri diadakan oleh HPI (Himpunan Penerjemah Indonesia) bekerja sama dengan Penerbit GPU (Gramedia Pustaka Utama). Kaget juga saya melihat ruangan yang sangat penuh. Setelah menandatangani daftar hadir, saya mendapat goodie bag yang isinya cihuy: dua buku notes, kalender meja GPU, bolpen, dan novel terbitan GPU. Saya tadinya mendapat jatah novel Hopeless-nya Colleen Hoover, tapi belakangan boleh saya tukar dengan Burial Rites-nya Hannah Kent berkat Kak Mei yang baik (ge-er nih pasti orangnya). 😛
Setelah sambutan dari panitia, yang diwakili Mbak Uci, Andi Tarigan, salah seorang editor non-fiksi GPU, melanjutkan kata sambutan. Dia bilang, panitia tadinya membatasi peserta untuk 30-40 orang saja. Namun, ternyata antusiasme peserta sangat besar sehingga yang mendaftar mencapai 90 orang (!). Bahkan ada yang datang dari Jogja dan Sumatra. Ini setidaknya saya baca sebagai: (a) stok penerjemah banyak, penerbit senang, (b) bagi penerjemah lepas, pesaing akan semakin banyak dan mereka harus menjaga kualitas terjemahan mereka. Penerbit ya senang juga…hehehe! 🙂
Sambutan berikutnya disampaikan oleh Pak Hananto (Ketua HPI). Pak Hananto mengatakan bahwa acara kali ini lebih bersifat sharing ketimbang pelatihan. Beliau juga mengisahkan sejarah singkat HPI dan pentingnya peran penerjemah. Menurut Pak Hananto, “Terjemahan tidak akan pernah bisa sempurna dilakukan oleh mesin.”
Meskipun ada Google Translate dan peranti lunak semacamnya, sebagus-bagusnya hasil terjemahan software, hasilnya tidak akan bisa sebagus terjemahan oleh manusia, karena manusia memiliki rasa dan akal budi yang memungkinkannya menerjemahkan berdasarkan konteks yang pas atau sesuai. Penerjemahan dan penyuntingan juga bisa disebut seni, karena membutuhkan keahlian memilih dan menyusun kata-kata yang tepat untuk menyampaikan maksud si penulis asli ke bahasa lain tanpa menghilangkan ciri khas atau gaya tutur si penulis.
Selepas sambutan, ada sesi coffee break sejenak sebelum acara dimulai jam 10. Sambil ngofi brek, saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa wajah yang saya kenal, seperti Kak Mei, Mbak Dina, Mbak Lulu, Mbak Linda, dan Mbak Rere (ada yang kelewat? hehe!). Setelah melahap dua potong pastel sayur (satu dikasih Mbak Dina yang nggak doyan pastel) dan sambil membawa secangkir teh krim hangat, saya masuk lagi ke ruangan dan acara pun dimulai.
Pembicara pertama di acara ini adalah Nina Andiana. Menurut salah seorang editor fiksi GPU ini, menerjemahkan atau menyunting karya fiksi bertujuan menciptakan pengalaman membaca semirip mungkin dengan pengalaman saat membaca buku aslinya. Pembaca mendapat rasa buku sesuai buku aslinya, tapi pada saat yang sama editor juga harus sanggup menyampaikan ide, rasa, dan “suara” penulis asli buku itu dengan baik dan pas.
Nina mengajukan pertanyaan: lebih penting menerjemahkan kata demi kata dengan akurat atau menerjemahkan sesuai jiwa/semangat buku tersebut? Idealnya, kedua hal itu harus dilakukan secara proporsional.
Nina melanjutkan, jika ingin menjadi editor yang baik, ada beberapa syarat dasar yang mutlak harus dipenuhi: gila baca, punya kompetensi dalam bahasa target, bisa menulis, punya kompetensi dalam bahasa sumber dan bahasa target. Penguasaan bahasa target justru lebih dipentingkan. Kenapa? Jika kita tidak mengerti sepenuhnya bahasa sumber, kita masih bisa mencari artinya di kamus atau Internet. Namun, menerjemahkan naskah buku asing ke dalam bahasa Indonesia yang tepat, pas, sesuai konteks, dan enak dibaca memerlukan penguasaan bahasa Indonesia yang sangat baik. Karena itulah sebaiknya editor juga harus punya kemampuan di atas rata-rata dalam hal menulis dan menerjemahkan dalam bahasa target, sehingga hasil suntingan punya tingkat keterbacaan tinggi. Nah, makanya … harus rajin ngeblog atau nerbitin buku solo sekalian … 🙂
Ada beberapa hal yang wajib diperhatikan editor saat menyunting: tata bahasa dan ejaan, kosakata, idiom, selingkung, fakta, dan gaya bahasa. Editor tidak boleh malas memeriksa ulang kalimat-kalimat bahasa target dan sumber yang terasa ganjil, karena bisa saja itu idiom atau peribahasa khas di negara asal penulis. Editor juga harus memeriksa fakta-fakta dalam bahan terjemahan agar tidak salah memahami maksud penulis. Gaya bahasa harus diperhatikan dengan cermat sehingga bisa dipahami dengan mudah, namun tetap menjaga gaya khas si penulis. Nina juga memberi tips untuk penerjemah agar mengecek ulang setelah menerjemahkan satu kalimat atau bagian, sehingga tidak repot mengecek hal-hal di atas tadi saat merapikan hasil terjemahan.
Peserta kemudian diminta mencoba dua latihan penyuntingan. Latihan pertama menggunakan beberapa paragraf dari Tales of the Beedle Bard karya J.K. Rowling. Peserta diminta menerjemahkannya dan kemudian hasil terjemahan salah satu peserta dikoreksi bareng-bareng. Latihan kedua diambil dari novel Dark Divine karya Bree Despain. Di sini kami diminta mengoreksi naskah terjemahan mentah (belum diedit) dari penerjemah buku itu.
Rasanya banyak yang sepakat dengan Nina, bahwa seni menerjemahkan dan menyunting itu bukan melulu masalah benar atau salah. Kesimpulannya, menurut saya, mungkin seperti kata Rumi: “Beyond our ideas of right-doing and wrong-doing, there is a field. I’ll meet you there”. Untuk konteks dunia penerjemahan dan penyuntingan buku, terjemahan asal-asalan saya adalah: lebih daripada sekadar benar atau salah, terjemahan adalah juga seni menyampaikan gagasan dari bahasa lain secara tepat, pas, dan mulus dibaca. I’ll meet you there … 😛
Usai sesi pertama, peserta diberi waktu satu jam untuk makan siang dan sholat. Menu makan siangnya: nasi rames, lauknya ayam suwir, gepuk, telor pindang, oseng tempe, dan satu lagi oseng pedas apa gitu (lupa). Tapi, walau sederhana, kok enak ya … sayang nggak bisa nambah … hehehe! 🙂
Jam satu, acara dilanjutkan lagi. Kali ini pembicaranya adalah Andi Tarigan. Salah seorang editor non-fiksi GPU ini bilang bahwa menyunting naskah non-fiksi tentu tidak bisa disamakan begitu saja dengan menyunting naskah fiksi. Dia lalu menyampaikan beberapa prinsip dasar dalam menyunting naskah terjemahan:
– Membaca: membangun cakrawala pemahaman dan memahami argumentasi
Editor perlu memahami terlebih dahulu gagasan besar yang ingin disampaikan penulis, juga konteks dan alam pikir yang mendasari seluruh proses penulisan. Jadi, sebaiknya editor membaca dulu isi buku aslinya sebelum mengedit hasil terjemahan.
– Penyuntingan: akurasi, konsistensi, kecermatan, gramatika, ejaan, tanda baca, etika, dan kesantunan
Ada cukup banyak item yang harus diperiksa editor dalam menyunting naskah non-fiksi. Terminologi, nama (orang, institusi, perusahaan, dan merek dagang), gelar (religius, kultural, akademik), simbol dan rumus yang dipakai disiplin ilmu, data historis (apa, kapan, dan di mana terjadinya satu peristiwa), data deskriptif (sistem pemerintahan, metode perdagangan, dll.)
Editor juga harus memeriksa printilan semacam data rujukan (judul buku, jurnal, artikel, majalah, koran, dan situs web), referensi (catatan kaki dan daftar pustaka), hak cipta (foto, ilustrasi, gambar, grafik, dan tabel), daftar isi: kesesuaian antara daftar isi dan isi buku.
Ini masih ditambah dengan tata bahasa, ejaan, kalimat efektif, dan tanda baca. Masalah penulisan kata depan “di” dan imbuhan “di-“, misalnya, tentu saja masih bikin kesal para editor hingga hari ini. Maklum, mayoritas orang Indonesia memang tidak tahu bedanya, padahal itu pelajaran SD. 😛
Kepekaan juga dituntut dalam pekerjaan penyuntingan. Editor dituntut untuk sangat peka terhadap teks-teks yang sekiranya “berbahaya” jika diloloskan, misalnya isu-isu SARA dan sejenisnya.
Tambahan saya sih … keseimbangan membaca buku fiksi dan non-fiksi juga sangat penting bagi editor. Membaca banyak jenis buku akan menumbuhkan kemampuan meluweskan dan memuluskan tulisan atau hasil terjemahan. Tentu keterampilan ini sangat diwajibkan bagi editor (dan penerjemah) ketika bertemu dengan kalimat-kalimat buku non-fiksi yang kadang kaku dan penuh anak kalimat.
Yah, itulah yang bisa saya rangkum dari acara kemarin. Semoga berguna buat pembaca blog keren ini. 🙂
***
Acara disudahi jam tiga sore. Setelah Ashar dan ngobrol lagi sana-sini, kami pun pulang segera sesudah hujan reda. Menurut petunjuk Kak Mei, ada pool DayTrans nggak jauh dari situ. Benarlah, hanya satu kilometer naik mikrolet, saya melihat pool itu.
Setelah membeli tiket, berhubung uang makan masih utuh, sibuklah saya menjelajahi daerah sekitar untuk mencari warung makan yang cihuy. Tak sengaja, saya menemukan warung kecil yang dari luar tampak menarik. Salah satu menunya adalah: bebek mercon! Ha … lumayan lah buat pengganti nasi bebek yang terlewatkan tadi pagi! 😛
Bagian dalam warung tampak bersih dan penataannya cukup berselera. Sambil melahap makan sore, saya merenungkan sedikit isi pelatihan tadi. Sebagai editor in house, saya menganggap hampir semua materi yang dihidangkan tadi adalah makanan saya setiap hari. Tentu saja tetap menarik melihat bagaimana beberapa peserta mencoba merapikan terjemahan saat sesi latihan tadi.
Satu hal mencolok yang membedakan sebenarnya cuma soal selingkung alias kecenderungan/kebiasaan di masing-masing penerbit/media massa. Kapan ya bahasa Indonesia tak perlu berkubu-kubu lagi seperti ini? 🙂
Terus, ada bagusnya juga kalau lain kali acara semacam ini dibikin rada eksklusif, dengan jumlah peserta yang sangat terbatas dan bahasan yang jauh lebih fokus. Misalnya pelatihan khusus editor dan penerjemah buku yang jam terbangnya tinggi saja (bukan pemula), gitu. Misalnya lagi, fokus ke tema penerjemahan dan penyuntingan novel romance, thriller, atau buku bisnis. Yaa … sekadar usul aja sih 🙂
Oke, waktunya balik ke Bandung. Beberapa menit sebelum berangkat, saya menyempatkan diri mampir ke Circle K di samping pool mobil travel, membeli minuman segar dan chicken katsu untuk menyibukkan diri di perjalanan.[] 🙂