Ketahanan mental saya mulai diuji di bulan ketiga saya di Dnipro. Sejauh ini kegiatan mengajar saya baik-baik saja. Sejak awal, saya melakukan pendekatan bersahabat kepada semua murid. Lagipula, saya memang dibebaskan untuk mengajar dengan gaya saya sendiri. Dibandingkan dengan guru-guru lokal yang gaya mengajarnya konvensional, saat saya mengajar justru murid-murid bisa bersikap lebih santai.
Berhubung saya cuma mengajar kelas percakapan, tentu kurang sip kalau gaya mengajarnya standar dengan cara berdiri di depan kelas dan meminta semua murid menyimak. Saya biasanya mengajak murid-murid duduk beramai-ramai di sofa atau karpet sampet main games ini-itu.
Cara mengajar seperti ini memang tidak bisa diterapkan di semua kelas. Kelas 1-3, guru/wali kelas masih mendampingi sementara saya mengajar. Kadang saya miris melihat Tanya, wali kelas mereka, masih main tangan saat ada anak yang rewel atau membandel.
Kelas 4 tergila-gila main angklung dan sering berebutan minta jatah mainin lagu Jingle Bells. Kelas 5 senang main bola di kelas, tapi walau bandel mereka masih bisa dikendalikan. Kelas 6 adalah favorit saya. Anak-anaknya begitu sopan dan manis. Dan inilah satu-satunya kelas yang memanggil saya “Mr. Indra”…hehehe! Mereka selalu antusias saat jam mengajar saya tiba, langsung duduk ketika saya muncul di pintu kelas. Dan saya pun sering menggiring mereka untuk duduk di sofa dan karpet, lalu bermain games.
Suatu hari, saya dan anak-anak kelas 6 bermain permainan meneruskan kalimat. Saya ingin mengajari mereka menulis cerita sederhana dalam bahasa Inggris. Permainan itu saya lakukan di awal-awal jam pelajaran supaya belakangan mereka mengerti cara menulis yang enak dengan logika yang benar. Saat wali kelasnya masuk untuk menengok, wajahnya tampak agak heran karena kami semua sedang duduk-duduk di sofa dan karpet. Namun Anton berteriak, “Kami sedang belajar!” dan wanita itu pun menyelinap pergi.
Kelas 7, seperti saya ceritakan sebelumnya, adalah salah satu dari trio kelas war zone. Bandelnya bukan main. Bahkan Oleg, guru bahasa Inggris utama, kewalahan mengatur mereka. Hingga suatu hari, Oleg terpaksa membagi dua kelas itu saat jam pelajaran saya. Masing-masing berisi 4 anak. Tapi, walau sudah dipisah pun, keganasan mereka cuma berkurang sedikit. Kelas 8 juga hampir sama dengan kelas 7. Sulit sekali mengumpulkan kelima anak kelas 8 untuk berkumpul dan melakukan kegiatan bersama. Sepuluh menit pertama mereka mau bekerja sama, tapi selepas itu semuanya asyik sendiri-sendiri. Yang namanya Yuri bahkan tak bisa lepas dari PSP (PlayStation Portable) yang dia bawa setiap hari. Kalau sudah menyerah, biasanya saya ikutan main PSP juga….hahaha! 😀
Kelas 9? Kalem, walau anak-anaknya sok pintar semua. Kelas 10 cukup bersahabat, tapi semuanya lebih suka ngobrol berkelompok. Kadang-kadang ceweknya hobi memakai make-up di dalam kelas. Hanya satu murid yang tampak masih menghormati saya, yaitu Amina. Pernah, suatu hari, hanya dia yang berada di dalam kelas.
“Ke mana yang lain?” tanya saya.
“Nggak tahu. Aku sendiri nggak ikutan, dari tadi menunggumu,” kata Amina. Dan akhirnya kami berdua cuma ngobrol ngalor-ngidul. Macam kelas privat aja ini! 🙂 Tapi dari hasil ngobrol-ngobrol beginilah saya jadi banyak tahu tentang Dnipro dan Ukraina.
Pendekatan bersahabat saya tak selalu berhasil menjinakkan murid-murid. Yang aslinya bandel bakal menemukan “kebebasan” saat saya mengisi jam pelajaran percakapan bahasa Inggris. Juara untuk hal yang satu ini sudah pasti kelas 7. Saya biasa mengajar mereka di ruangan saya, departemen bahasa Inggris. Di dalam ruang itu ada ruang kecil untuk menyimpan buku-buku dan barang-barang keperluan mengajar.
Suatu hari, Maria, guru olahraga, masuk ke ruangan untuk menyimpan beberapa bungkus cokelat. “Untuk acara besok,” katanya terbata-bata dalam broken English. Entah besok ada acara apa, tapi yang jelas cokelat-cokelat itu untuk hadiah bagi pemenang lomba.
Sialnya, saat dua anak kelas 7—Kyryl dan Sergey—masuk ke ruangan waktu jam pelajaran saya, mereka iseng masuk ke gudang dan menemukan bungkusan-bungkusan berisi cokelat. Waktu itu saya baru kembali dari toilet dan memergoki mereka berada di gudang. Kontan mereka langsung heboh mengantungi cokelat-cokelat hasil jarahan. Ancaman saya untuk melaporkan mereka ke Oleg tak mempan. Saya langsung mengeluarkan kamera.
“Ini buat bukti,” gertak saya tak mau kalah. Sergey langsung berusaha menutupi kamera saya. Akhirnya, jam pelajaran itu hanya diisi debat kusir: mereka harus mengembalikan cokelat. Duo bandel ini juga membela diri dengan berasalan “cuma ambil sedikit”. Dua teman cewek mereka, Nastya dan Yulia, cuma ketawa-ketawa senang melihat saya kerepotan meladeni duo bandel itu.
“Nggak ada bedanya kok, kami cuma ambil sedikit, nggak bakal ketahuan deh,” Kyryl ngeyel. Selepas jam pelajaran, saya tetap melaporkan masalah sepele itu ke Oleg. Beberapa menit kemudian, dikawal Oleg di belakang mereka, dua bocah usil itu mengembalikan cokelat ke gudang. Ekspresi mereka mirip orang yang ketangkap basah mencuri celana dalam perempuan! 😀
“Untung belum dimakan!” kata saya sambil tertawa terbahak-bahak.
Tapi Kyryl—sambil berjalan keluar—berbisik kepada saya sambil tersenyum bandel, “This is not over. We’ll come back for the chocolate…or anything.”
Saya mendelik. Hah? Bocah ini ngajak perang rupanya. Ha! Bolehlah. Bakal seru juga rupanya berhadapan dengan berandal-berandal kelas 7 ini. 😛
Dan memang, di waktu-waktu berikutnya, bocah-bocah kelas 7 itu membuktikan diri pantang menyerah mengusili guru bahasa Inggris mereka.[]