Tag Archives: guru bahasa inggris

Balada Ukraina #20

Ketahanan mental saya mulai diuji di bulan ketiga saya di Dnipro. Sejauh ini kegiatan mengajar saya baik-baik saja. Sejak awal, saya melakukan pendekatan bersahabat kepada semua murid. Lagipula, saya memang dibebaskan untuk mengajar dengan gaya saya sendiri. Dibandingkan dengan guru-guru lokal yang gaya mengajarnya konvensional, saat saya mengajar justru murid-murid bisa bersikap lebih santai.

Berhubung saya cuma mengajar kelas percakapan, tentu kurang sip kalau gaya mengajarnya standar dengan cara berdiri di depan kelas dan meminta semua murid menyimak. Saya biasanya mengajak murid-murid duduk beramai-ramai di sofa atau karpet sampet main games ini-itu.

Cara mengajar seperti ini memang tidak bisa diterapkan di semua kelas. Kelas 1-3, guru/wali kelas masih mendampingi sementara saya mengajar. Kadang saya miris melihat Tanya, wali kelas mereka, masih main tangan saat ada anak yang rewel atau membandel.

Kelas 4 tergila-gila main angklung dan sering berebutan minta jatah mainin lagu Jingle Bells. Kelas 5 senang main bola di kelas, tapi walau bandel mereka masih bisa dikendalikan. Kelas 6 adalah favorit saya. Anak-anaknya begitu sopan dan manis. Dan inilah satu-satunya kelas yang memanggil saya “Mr. Indra”…hehehe! Mereka selalu antusias saat jam mengajar saya tiba, langsung duduk ketika saya muncul di pintu kelas. Dan saya pun sering menggiring mereka untuk duduk di sofa dan karpet, lalu bermain games.

Suatu hari, saya dan anak-anak kelas 6 bermain permainan meneruskan kalimat. Saya ingin mengajari mereka menulis cerita sederhana dalam bahasa Inggris. Permainan itu saya lakukan di awal-awal jam pelajaran supaya belakangan mereka mengerti cara menulis yang enak dengan logika yang benar. Saat wali kelasnya masuk untuk menengok, wajahnya tampak agak heran karena kami semua sedang duduk-duduk di sofa dan karpet. Namun Anton berteriak, “Kami sedang belajar!” dan wanita itu pun menyelinap pergi.

Kelas 7, seperti saya ceritakan sebelumnya, adalah salah satu dari trio kelas war zone. Bandelnya bukan main. Bahkan Oleg, guru bahasa Inggris utama, kewalahan mengatur mereka. Hingga suatu hari, Oleg terpaksa membagi dua kelas itu saat jam pelajaran saya. Masing-masing berisi 4 anak. Tapi, walau sudah dipisah pun, keganasan mereka cuma berkurang sedikit. Kelas 8 juga hampir sama dengan kelas 7. Sulit sekali mengumpulkan kelima anak kelas 8 untuk berkumpul dan melakukan kegiatan bersama. Sepuluh menit pertama mereka mau bekerja sama, tapi selepas itu semuanya asyik sendiri-sendiri. Yang namanya Yuri bahkan tak bisa lepas dari PSP (PlayStation Portable) yang dia bawa setiap hari. Kalau sudah menyerah, biasanya saya ikutan main PSP juga….hahaha! 😀

Kelas 9? Kalem, walau anak-anaknya sok pintar semua. Kelas 10 cukup bersahabat, tapi semuanya lebih suka ngobrol berkelompok. Kadang-kadang ceweknya hobi memakai make-up di dalam kelas. Hanya satu murid yang tampak masih menghormati saya, yaitu Amina. Pernah, suatu hari, hanya dia yang berada di dalam kelas.

“Ke mana yang lain?” tanya saya.

“Nggak tahu. Aku sendiri nggak ikutan, dari tadi menunggumu,” kata Amina. Dan akhirnya kami berdua cuma ngobrol ngalor-ngidul. Macam kelas privat aja ini! 🙂 Tapi dari hasil ngobrol-ngobrol beginilah saya jadi banyak tahu tentang Dnipro dan Ukraina.

Kyryl dan Sergey tertangkap basah mencuri cokelat. Fotonya kabur karena mereka berusaha menyembunyikan hasil rampokan. :P

Kyryl dan Sergey tertangkap basah mencuri cokelat. Fotonya kabur karena mereka berusaha menyembunyikan hasil rampokan. 😛

Pendekatan bersahabat saya tak selalu berhasil menjinakkan murid-murid. Yang aslinya bandel bakal menemukan “kebebasan” saat saya mengisi jam pelajaran percakapan bahasa Inggris. Juara untuk hal yang satu ini sudah pasti kelas 7. Saya biasa mengajar mereka di ruangan saya, departemen bahasa Inggris. Di dalam ruang itu ada ruang kecil untuk menyimpan buku-buku dan barang-barang keperluan mengajar.

Suatu hari, Maria, guru olahraga, masuk ke ruangan untuk menyimpan beberapa bungkus cokelat. “Untuk acara besok,” katanya terbata-bata dalam broken English. Entah besok ada acara apa, tapi yang jelas cokelat-cokelat itu untuk hadiah bagi pemenang lomba.

Sialnya, saat dua anak kelas 7—Kyryl dan Sergey—masuk ke ruangan waktu jam pelajaran saya, mereka iseng masuk ke gudang dan menemukan bungkusan-bungkusan berisi cokelat. Waktu itu saya baru kembali dari toilet dan memergoki mereka berada di gudang. Kontan mereka langsung heboh mengantungi cokelat-cokelat hasil jarahan. Ancaman saya untuk melaporkan mereka ke Oleg tak mempan. Saya langsung mengeluarkan kamera.

“Ini buat bukti,” gertak saya tak mau kalah. Sergey langsung berusaha menutupi kamera saya. Akhirnya, jam pelajaran itu hanya diisi debat kusir: mereka harus mengembalikan cokelat. Duo bandel ini juga membela diri dengan berasalan “cuma ambil sedikit”. Dua teman cewek mereka, Nastya dan Yulia, cuma ketawa-ketawa senang melihat saya kerepotan meladeni duo bandel itu.

“Nggak ada bedanya kok, kami cuma ambil sedikit, nggak bakal ketahuan deh,” Kyryl ngeyel. Selepas jam pelajaran, saya tetap melaporkan masalah sepele itu ke Oleg. Beberapa menit kemudian, dikawal Oleg di belakang mereka, dua bocah usil itu mengembalikan cokelat ke gudang. Ekspresi mereka mirip orang yang ketangkap basah mencuri celana dalam perempuan! 😀

“Untung belum dimakan!” kata saya sambil tertawa terbahak-bahak.

Tapi Kyryl—sambil berjalan keluar—berbisik kepada saya sambil tersenyum bandel, “This is not over. We’ll come back for the chocolate…or anything.

Saya mendelik. Hah? Bocah ini ngajak perang rupanya. Ha! Bolehlah. Bakal seru juga rupanya berhadapan dengan berandal-berandal kelas 7 ini. 😛

Dan memang, di waktu-waktu berikutnya, bocah-bocah kelas 7 itu membuktikan diri pantang menyerah mengusili guru bahasa Inggris mereka.[]

Balada Ukraina #10

Sama anak-anak kelas 1 yang imut. Di sebelah saya itu Oleg, guru bahasa Inggris lokal.

Sama anak-anak kelas 1 yang imut. Di sebelah saya itu Oleg, guru bahasa Inggris lokal.

“Mr. Indraaaaa!”

Ah, saya selalu suka anak-anak kelas 6 ini. Sejauh ini mereka anak-anak paling sopan di EG. Kalau cuma pintar, hampir semua murid saya di sini pintar. Satu lagi: hanya anak-anak kelas 6 yang memanggil saya dengan kata “Mister”. 🙂 Yang lain cukup memanggil saya dengan nama.

Pagi itu kebetulan kelas 6 menjadi kelas giliran pertama saya. Punya murid seperti mereka asyik juga. Begitu saya masuk, anak-anak yang masih bermain atau berlarian langsung duduk. Ada 9 anak di kelas 6; empat perempuan dan sisanya laki-laki. Anak-anak ini sangat patuh dan hampir selalu antusias terhadap apa pun yang saya minta kerjakan.

Hampir setiap hari saya selalu mengajak mereka bermain game. Saya juga tidak pernah bergaya kaku. Pernah saya minta mereka semua duduk santai di sofa dan di karpet, sambil main game tentang meneruskan kalimat dari satu teman ke teman yang lain. Satu anak hanya boleh mengucapkan satu kata dalam bahasa Inggris. Anak yang mendapatkan giliran harus meneruskan kata itu dengan pilihan kata apa pun, asalkan logis dan nggak saru. 🙂 Saya bertugas menulis kata-kata mereka di papan tulis supaya mereka tidak lupa. Saya jugalah yang berhak mengatakan “period!” kalau kalimatnya sudah terlalu panjang.

Dengan main-main seperti itu, tak terasa 40 menit (satu jam pelajaran) cepat selesai. Sehabis mengajar, kalau jam pelajaran berikutnya masih lama, saya biasanya menyepi di ruang guru bahasa Inggris atau melipir ke kantin untuk sarapan. Biasanya saya sarapan justru menjelang siang, sekitar jam 10 atau 11.

Menu di kantin memang jauh dari konsep “pesta kolesterol”. Hampir semuanya makanan serba rebus dan kukus, hanya kadang-kadang saja ada yang digoreng. Coba lihat: kentang lumat (mashed potato), salad, bubur, makaroni (besar), ayam rebus, daging sapi rebus, sayur, sup, telur rebus, roti, sosis (rebus), atau kadang nugget dan nasi warna cokelat yang rasanya agak aneh.

Masih untung ada saos tomat untuk sedikit menambah rasa. Orang Ukraina jarang menaburi masakan mereka dengan garam dan merica. Kalaupun iya, biasanya sedikiit sekali. Minumnya: teh, jus buah, dan air.  Saya selalu mengusahakan makan lagi sorenya, supaya malam tak perlu jajan atau tinggal makan buah saja. Ini bukan sok hidup sehat. Lebih tepatnya: terpaksa. 🙂 Jajajan kaki lima di sini paling cuma shaurma. Makan di resto mahal. Lagi pula, kalau ke resto agak repot kalau nggak bareng teman. Saya kan nggak tahu itu makanan apa. 🙂 Tambahan lagi, semua tulisan di negara ini 90% lebih pakai huruf Cyrillic. Saya bisa bacanya, tapi belum tentu ngerti…hehehe!

Kelas lain yang juga imut adalah anak-anak kelas 1. Oke, sebenarnya anak-anak di sini hampir semuanya imut. Tapi anak-anak kecil ini sungguh menggemaskan. Saat belum akrab, mereka tampak malu-malu kucing. Ketika sudah semakin sering bertemu saya, mereka  mulai berani menegur. “Hello, Indra! How are you?” begitu mereka biasanya menyapa saya. Anak yang pemalu biasanya cuma bisik-bisik sambil melirik-lirik. Tentu saja, kosakata mereka masih sangat terbatas untuk sebuah percakapan sederhana yang lancar. Anak-anak kelas 1-4 masih didampingi guru bahasa Inggris mereka, Tanya. Perempuan jutek itu bertugas menerjemahkan omongan saya dan membantu “permainan” di kelas.

Anak-anak kelas 1 yang jumlahnya 16 orang itu dibagi jadi dua kelompok. Bergantung pada hari mengajar, satu kelompok berisi delapan anak digiring ke ruangan saya, dan kelompok satunya lagi main di kelas. Kadang keenam belas anak itu juga disatukan di kelas mereka yang luas dan tugas saya hanya mengajak mereka bermain. Walau sejujurnya, saya paling kagok saat harus mengajar kelas 1. Saya tidak berpengalaman mengajar anak-anak sekecil ini…..hehehe! 😛

Ah, lain kali akan saya ceritakan lebih banyak soal anak-anak ini. 🙂

***

DSCN2983

Onggokan salju. Seperti tumpahan es serut.

Sore itu, sepulang mengajar, saya berjalan sendirian ke halte trem. Seperti biasa, suhu udara sangat dingin. Walaupun belakangan suhu “menghangat”, dari minus naik ke 0-5 derajat, saya tetap memakai jaket tebal sambil menunduk dan tangan masuk ke saku. Maklum, kadang embusan angin bikin badan menggigil. Sesekali saya menepuk-nepuk lengan jaket yang dijatuhi debu mirip kapas atau apa pun itu yang jatuh mengotori jaket biru tua saya. Tapi kotoran itu datang lagi dan lagi. Eh, ini bukan debu! Bukan kapas! Ini … Saya mendongak. Ini salju!

Saya sering melihat onggokan salju di jalanan-jalanan kota ini. Tapi baru sekarang saya melihat hujan salju secara langsung. Saya berhenti berjalan, tengok kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah. Tidak ada orang! Horeeee! Sambil menengadah, saya mengangkat kedua tangan. Mirip pose orang berdoa, padahal saya sedang girang bukan main karena dihujani salju.

Awalnya, benda putih itu turun seperti sedikit-sedikit, seperti kapas yang dirobek-robek dan ditumpahkan dari langit. Begitu jatuh menimpai jaket, “kapas” itu langsung membasah. Seperti mencair. Betul-betul seperti es serut! Makin lama, salju semakin lebat.  Hujan salju makin sempurna. Duh, indah sekali! Saya sampai terbengong-bengong.

Salju turun hanya sekitar setengah jam waktu itu. Tapi saya cukup puas menikmatinya. Begitu trem no. 1 tiba, saya langsung melompat naik. Sore itu saya harus pulang sebentar ke apartemen untuk sholat dan ngaso barang sejenak. Malamnya saya harus mengajar di Big Ben.

Begitulah. Karena mata duitan, saya harus bekerja dari jam 9 pagi sampai 9 malam. Nine to nine. Tapi, saya tahu saya akan mendapatkan pengalaman berbeda karena mengajar di dua tempat yang berbeda tipe: sekolah swasta dan tempat kursus. It’s not all about the money.[]