Tag Archives: stanley beach

Nongkrong di Hong Kong #4

“Nanti jam 11 balik lagi ya ke sini. Nama Anda sudah dicatat kok, mungkin Anda cuma harus pindah kamar,” kata si mbak resepsionis pagi itu. Yah…jadi kami nggak bisa jalan jauh-jauh dulu. Sambil menunggu “ketok palu”, Sabtu pagi itu kami memutuskan jalan-jalan aja di sekitar TST. Saya sendiri udah males kalau harus cari hostel lagi. Mendingan tunggu yang ini, bayar lunas sampai Kamis depan, dan bisa jalan-jalan tanpa mikir deadline” nginep lagi.

Baru jam 9 pagi, kawasan Avenue of Stars dan TST Promenade sudah cukup ramai oleh turis. Di kawasan ini, ada beberapa gedung yang menjadi atraksi bagi turis: Museum of Art, Space Museum, Hong Kong Cultural Centre, dan Clock Tower di bagian barat. Kalau melewati Salisbury Park, kita akan “disambut” patung setinggi 4,5 meter yang melambangkan penghargaan untuk para pemenang Hong Kong Film Awards.

Patung Hong Kong Film Awards di Avenue of Stars.

Patung Hong Kong Film Awards di Avenue of Stars.

Bergerak ke timur, lantai di sepanjang promenade dihiasi dengan tanda tangan dan cetakan tangan para bintang film Mandarin, misalnya Andy Lau, Jacky Chan, Bruce Lee, Samo Hung, dan banyak lagi. Mungkin konsepnya meniru Hollywood Walk of Fame. Menjelang ujung promenade, patung perunggu Bruce Lee setinggi 2,5 meter berdiri gagah.

Patung Bruce Lee.

Patung Bruce Lee.

Jalan-jalan di kawasan ini memang bikin betah. Soalnya, panorama ke arah Pulau Hong Kong selalu menakjubkan. Saya mungkin bakalan betah ngelamun di tempat ini seharian…hehehe! Saya lalu meneruskan jalan-jalan ke arah timur. Kalau kita terus naik tangga gedung stasiun MTR East Tsim Sha Tsui, akan ada taman kota kecil yang juga bagus banget buat foto-foto. Taman bernama TST East Waterfront Podium Garden ini tampak bersih, sepi, nyaman. Di bagian barat taman kecil ini ada Middle Road Children’s Playground.

Masa kecil kurang bahagia :P

Masa kecil kurang bahagia 😛

Pada sore hari atau akhir pekan, taman ini penuh dengan anak-anak dan orangtua mereka. Anak-anaknya terdiri dari bermacam etnis. Maklum, kawasan TST ini memang banyak dihuni warga asal Asia Selatan dan ada juga Afrika. Tapi pagi itu taman bermain ini tampak sepi. Hanya ada beberapa anak dan bayi ditemani orangtua mereka. Melihat ada ayunan nganggur, saya langsung aja main. Mungkin waktu kecil saya kurang puas main ayunan ya…jadi ya ayo aja deh! Udah gitu, pas lagi main, ada anak kecil yang gabung. 😛

Eh, tapi, bagi saya, traveling itu seperti menemukan kembali rasa anak kecil yang hilang, lho. Yang saya suka saat jalan-jalan adalah melihat hal-hal baru, merasakan keingintahuan akan ini-itu. Seperti anak kecil yang matanya berbinar-binar saat melihat dan merasakan sesuatu yang jarang atau baru.

Puas main ayunan, saya pengen main perosotan. Tapi saya keburu melihat papan bertulisan: “This play area is designed for children from 5-12 years old. Adult supervision is recommended.” Saya pun buru-buru kabur dari situ. Mungkin anak tadi ikutan main mau kasih kode kali yaa…pantesan itu ubinnya empuk, terbuat dari busa keras dan bukan porselen betulan.

Tiba di hostel jam 11, resepsionis memberi kami kabar baik. “Anda boleh pakai kamar yang sama sampai check out Kamis nanti.” Horeee!! Udah gitu resepsionisnya mau kasih diskon sehingga untuk empat hari ke depan harganya masih sama. “Hong Kong sedang peak season, jadi ini harga yang bagus untuk peak season,” katanya lagi. Saya langsung gesek kartu kredit. Lunas! Sekarang nggak perlu mikirin penginapan lagi!

Dari situ kami langsung kabur ke masjid Ammar lagi. Ngapain? Jadi, kemarin saya melihat poster di masjid itu. Ada Eid-ul-Adha International Halal Food Festival yang diadakan Islamic Union of Hong Kong selama dua hari, yaitu Sabtu dan Minggu ini. Harga makanannya juga terjangkau. Cara beli makanannya, pengunjung harus membeli kupon seharga HK$ 40 yang bisa ditukarkan dengan 2-3 menu makanan. Sip, kan? Lagian, kami belum makan apa-apa dari pagi.

Acara diadakan di lantai 8 gedung itu, yang ternyata adalah teras lantai 8. Halaman itu tidak terlalu besar, jadi siang itu jadi tampak penuh sesak. Judul “international” sekilas tampak mentereng. Memang sih internasional, tapi sebenarnya acara ini cuma acara kecil-kecilan. Para anggota asosiasi muslim di Hong Kong (dan anak-anak mereka) memasak masakan khas negara masing-masing. Ada menu berat, ada juga roti dan kue. Pesertanya ada yang dari Pakistan, India, Turki, Indonesia, dan lain-lain.

Suasana halal food festival. Coba liat gadis yang melihat ke arah kamera. Cantiknyaa!! :P

Suasana halal food festival. Coba liat gadis Pakistan yang melihat ke arah kamera. Cantiknyaa!! 😛

Saya yang demen masakan kari langsung aja beli roti naan dan kari sapi, ditambah nasi biryani. Uuh, maknyusss!! Apalagi yang jualan cakep banget. #idungnya #salahfokus. 😛 Karena kere, semua makanan yang kami beli dimakan berdua…hehehe! 😛

Dari masjid Ammar, kami lanjut ke Stanley Market. Yah, namanya juga market, buat apalagi kalau bukan belanja. Dari Causeway Bay, ada minibus yang langsung menuju Stanley Market. Bayarnya cuma HK$ 10 untuk perjalanan selama 35-40 menit. Saat sudah keluar dari kawasan pusat kota yang padat, kami melewati jejeran pantai yang lumayan bagus. Hampir semua wilayah Hong Kong dikelilingi perairan tenang alias nyaris nggak ada ombak sama sekali. Entah gimana kalau pas ada taifun ya, saya sih nggak pernah lihat taifun secara live. Ada beberapa pantai yang areanya kecil yang kami lewati: Deep Water Bay, Repulse Bay, dan minibus berakhir di Stanley Beach. Dari jauh terlihat jaring perimeter di semua pantai itu. Katanya sih untuk mencegah hiu masuk ke area renang para turis. Tentu saja, nggak usah membandingkan keindahan pantai-pantai di sini dengan di Indonesia. Tapi kalau bicara soal akses, transportasi, dan kebersihan, yang ada malah kebalikannya! 🙂

Kami turun di Stanley Plaza. Sebenarnya sih satu halte lagi baru sampai di Stanley Market, tapi jaraknya dekat kok. Yang namanya mal di mana-mana ya begitu. Saya cuma numpang lewat, karena setelah keluar dari mal ke arah pantai, pemandangannya bagus. Di pinggir pantai berair tenang itu ada jalur pejalan kaki yang di satu sisinya ditempati bar dan restoran. Ada seorang pengamen yang memainkan lagu-lagu berirama latin dengan gitarnya. Ada warga yang membawa anjingnya jalan-jalan. Ada juga yang nikah.:)

Suasana di jalur pedestrian Stanley Beach.

Suasana di jalur pedestrian Stanley Beach.

Di sini yang dijual terutama memang suasana. Saya lihat sih memang asyik banget nongkrong di salah satu restoran itu, sambil people-watching alias ngecengin orang-orang yang lalu-lalang. Setelah melihat-lihat menu dan harga di sebuah restoran, kami langsung sadar betapa kerenya kami saat itu. Mau gaya-gayaan makan di pinggir pantai aja mahal banget.

Suasana Stanley Market. Ada kaos Hitler McDonald's tuh. :)

Suasana Stanley Market. Ada kaos Hitler McDonald’s tuh. 🙂

Ah, pokoknya saya cuma mau menikmati suasana. Yah, ada sih belanjanya sedikit. Misalnya, kaos-kaos oblong kualitas bagus cuma HK$ 100 dapet 3-4 biji. Kalau yang ini sih harganya reasonable. Kaos itu benda wajib yang harus saya beli kalau lagi traveling. Bukan cuma untuk suvenir, tapi juga karena stok kaos saya tinggal sedikit di kamar hostel! 😛

Di ujung jalan barulah ada Stanley Market. Mungkin karena akhir pekan, kawasan ini lumayan ramai. Pasar ini berupa labirin gang yang bersih dan nggak bakalan bikin kita tersesat. Barang-barang di sini rata-rata bisa ditawar, asal siap aja dengan reaksi galak beberapa pedagang kalau kita lagi apes…hehehe! Ada seorang nenek yang mengentak dompet yang baru saya letakkan ke tempatnya. Rupanya saya salah mengembalikan ke jejeran dompet yang lain, sehingga dia menyentak tumpukan dompet itu dengan tongkatnya. Bah! Tinggal aja deh yang kayak gini!

Kayaknya di Hong Kong lagi ngetren kaos-kaos bergambar wajah Hitler dengan kostum dan tampang badut McDonald’s, dan juga tampang Obama dalam seragam pemimpin komunis Cina Mao Zedong. 🙂 Jelas saya beli dong yang lucu-lucu beginian…hehehe! Istri saya malah menemukan baju-baju seharga HK$ 10-15 saja. Kali ini tentu saja saya tidak akan membiarkannya kalap belanja. 😛

Stanley Bay. Atau Stanley Beach? :P

Stanley Beach.

Enaknya jalan di pasar ya karena ada banyak hal yang bisa dilihat. Saya menemukan satu toko yang menjual porselen yang dilukis dengan gambar episode-episode komik Tintin. Keren banget! Sayang, foto yang diam-diam saya ambil sekarang hilang. 😦 Saya juga menemukan tas selempang bagus, bergambar wajah Mao atau bintang dengan aksara Cina di bawahnya. Bahannya terlihat kasar, tapi kalau dipegang lembut. Warnanya hijau lumut ala pakaian partai komunis Cina zaman Revolusi Kebudayaan dulu. Di tangan kapitalisme, ikon-ikon komunis malah diperdagangkan begini ya…hehe 🙂 Tapi saya belum mau beli tas itu. Rencananya nanti malam saya mau ke Night Market di kawasan Mongkok juga. Siapa tahu bisa lebih murah.

Di ujung lain Stanley Market, ada area kecil dengan batu-batu besar di pinggir pantai Stanley Beach. Pemandangannya asyik juga. Nyaman dan menenangkan. Bikin saya jadi bisa tidur siang sebentar di situ. 🙂 Memandangi para turis yang asyik berfoto dan deretan bangunan di pinggir pantai dan bukit-bukit di kejauhan.

Tidur siang di Stanley Beach. :P

Tidur siang di Stanley Beach. 😛

Puas keliling Stanley Market dan tidur siang di pinggir pantai, kami balik lagi ke hostel dengan minibus yang sama. Sore itu kami ngaso sebentar di hostel. Malamnya, kami naik MTR ke Yau Ma Tei, dan dari situ menelusuri pasar malam yang buka setiap hari jam 18.00 – 23.00. Cerita soal Night Market ini lain kali aja ya. Soalnya saya sebelum pulang saya ke sini lagi, jadi kunjungan pertama cuma buat survei…hahaha! 😛

(Bersambung)

Balada Ukraina #2

Tibalah hari yang saya tunggu-tunggu itu. Pukul 4 pagi, saya diantar keluarga dan istri saya menuju Bandara Soekarno-Hatta. Setelah menguatkan diri dan pamit kepada keluarga tercinta, saya langsung check in ke konter China Airlines dan langsung menuju boarding area. Pesawat lepas landas pukul 8 pagi. Penerbangan ke Hong Kong (HK) memakan waktu 4,5 jam.

View Hong Kong yang paling terkenal. Gambar diambil dari Tsim Sha Tsui.

View Hong Kong yang paling terkenal. Gambar diambil dari Tsim Sha Tsui.

Hari menjelang petang saat saya tiba di Hong Kong. Setelah melewati bagian imigrasi, saya bergegas keluar untuk mengambil barang-barang saya di baggage claim. FYI, pemegang paspor hijau RI bakal diberi cap imigrasi HK yang berfungsi sebagai visa on arrival  dan kita diperbolehkan tinggal selama 30 hari sejak tanggal kedatangan, Saya pernah tinggal di Hong Kong beberapa tahun sebelumnya, dan ini adalah kunjungan ke-4 saya di bekas koloni Inggris ini, jadi saya cukup hafal bagaimana caranya menuju pusat kota. Setelah mengambil koper, saya berjalan kaki menuju terminal bus yang berada tak jauh dari pintu keluar. Udara dingin HK pada akhir Januari itu sungguh menyegarkan. Papan elektronik yang berada di sekitar situ menunjukkan bahwa di luar suhunya 10 derajat Celsius.

Saya tersaruk-saruk mendorong troli berisi koper besar dan ransel menuju terminal bus bandara yang menuju Hong Kong Island, sekitar 200 meter dari pintu keluar. Hong Kong adalah sebuah wilayah kepulauan. Bandara ini terletak di sebuah pulau hasil reklamasi. Sebelumnya, bandara HK (Kai Tak Airport) menempati lokasi di dalam kota. Kalau Anda masih ingat film-film Mandarin jadul, akan terlihat adegan pesawat-pesawat hendak mendarat dan jaraknya sangat dekat dengan puncak-puncak gedung pencakar langit di sini. Bayangkan kalau ada kecelakaan pesawat… bisa-bisa ada Boeing nabrak mal. Itulah sebabnya bandara kemudian dipindah ke lokasi yang jauh dari keramaian kota. Bandara ini bernama Chek Lap Kok—diambil dari nama pulau reklamasi tersebut—alias Hong Kong International Airport.

Kunjungan ke HK selalu membuat saya bersemangat. Saya sangat menyukai suasana dan lanskap kota modern dan bersih, gedung-gedung pencakar langit, jalanan yang sibuk, dan udara yang dingin. Di negara ini, tak seorang pun yang akan memandang Anda hanya karena warna kulit yang berbeda. Hampir semua orang dari semua benua di planet ini bisa ditemukan di HK. Perjalanan ke pusat kota akan memakan waktu 1 jam kalau menggunakan bus. Sebenarnya saya bisa saja naik kereta ekspres, tapi tarifnya jauh lebih mahal. Jadi, sambil duduk santai di dek atas double decker dan menikmati pemandangan sepanjang jalan, mari saya ceritakan sedikit tentang HK.

Sejak kembali ke pangkuan Republik Rakyat Cina (RRC) pada 1 Juli 1997, Hong Kong menyandang status SAR (Special Administrative Region) di mana otonomi penuh dipegang oleh Pemerintah Hong Kong sendiri, kecuali urusan luar negeri dan militer yang berada di bawah Pemerintah RRC. Dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, sekitar 4-5 % per tahun, taraf hidup di Hong Kong relatif tinggi. Di kawasan Asia Timur, taraf hidup negara empat musim ini hanya berada di bawah Jepang dan Brunei, tapi masih di atas Singapura. Kepadatan penduduknya termasuk yang terpadat di dunia, mencapai 6.300 orang tiap kilometer perseginya. Mengingat keterbatasan wilayahnya (hanya 1.102 kilometer persegi), sebagian besar penduduknya tinggal di flat-flat (apartemen) sewaan.

Wilayah Hong Kong termasuk wilayah kepulauan dan dibagi menjadi tiga wilayah (subdivision) yaitu Pulau Hong Kong, Kowloon, dan New Territories. Kekayaan dan keindahan alam negara ini mungkin tak terlampau menonjol, apalagi dibandingkan dengan Indonesia. Namun semuanya dikelola dengan maksimal dan profesional, sehingga mampu memesona jutaan wisatawan internasional tiap tahunnya. Pemandangan kota metropolitan yang bersih dengan ratusan gedung jangkungnya, ditambah bukit-bukit hijau yang melatarbelakanginya, menjadi ikon khas Hong Kong yang kondang di seluruh dunia. Semarak lampu-lampu neon bertulisan huruf Cina yang menjorok ke jalanan dari toko-toko di sepanjang jalan menjadi pemandangan menarik tersendiri, terutama ketika malam tiba.

Hong Kong juga menawarkan banyak daerah wisata yang jauh dari hiruk pikuk kota metropolitan, seperti pantai dan pulau yang indah. Pulau Lamma, Sai Kung, atau Lantau dapat dicapai hanya dengan 40 menit naik kapal feri cepat (jetfoil) dari pusat kota. Di sana ada Kuil Po Lin dan patung Buddha raksasa, plus pemandangan pantai bersih berlatar bukit-bukit menghijau nan cantik.

Daerah wisata pantai lainnya tak kalah indah, seperti pantai Stanley yang juga punya pasar tradisional yang harga-harga cinderamata dan handycraft-nya bisa ditawar, atau pantai keren Repulse Bay. Bisa juga menyusuri kawasan nelayan di Sungai Aberdeen dengan perahu tradisional.

Mejeng di Aberdeen River.

Stanley Beach, salah satu kawasan wisata di HK.

Pemandangan khas lain adalah jalanan kota Hong Kong yang tergolong kecil-kecil, tapi bersih. Meski demikian, bus-bus double decker (bus tingkat) ala Inggris yang berbodi panjang di sini bisa dengan enak membelok, tanpa harus membuat jalan macet. Sebagian besar bus kota di sini memang berupa bus tingkat. Jangan harap bus kota di Hong Kong mau berhenti seenaknya seperti di Indonesia. Mereka hanya berhenti di halte yang telah ditentukan. Di semua halte bus terpampang jelas bagan yang berisi informasi nomor jalur bus, rute yang dilalui, serta daftar tarif. Alat transportasi lainnya adalah taksi, trem, minibus, dan MTR (Mass Transit Railway) alias kereta bawah tanah. Ada juga kapal feri bermodel semi-tradisional yang melayani penyeberangan selat kecil antara Pulau Hong Kong dan Kowloon. Semuanya dikelola pemerintah Hong Kong secara efisien sehingga memudahkan warga menggunakannya.

Double decker yang keren itu…

Di sini, mereka yang punya mobil pribadi biasanya memang warga yang betul-betul kaya. Sebab, wilayah yang padat menyebabkan mereka harus menyewa tempat parkir sendiri. Plus, mobil yang boleh berseliweran di kota adalah mobil keluaran 10 tahun terakhir. Tapi, menurut saya, naik kendaraan umum di HK jauh lebih nikmat ketimbang naik mobil. MTR dan bus-bus kota di sini sangat mewah, sehingga warga negara dunia ketiga seperti saya doyan bolak-balik naik bus atau MTR hanya untuk merasakan kenyamanannya. Lagipula tarifnya tidak mahal. Untuk jarak sedang, paling-paling kita hanya butuh biaya HK$3-5 (HK$ 1 = Rp1.100 – 1.200).

  Begini cara pakai Octopus di stasiun MTR. Tinggal tempel 🙂

Cara pembayaran pun tidak harus pakai uang tunai. Di sini ada kartu elektronik (semacam kartu Flazz BCA) bernama Octopus yang bisa digunakan untuk membayar biaya transportasi. Cukup tempelkan di sebuah display elektronik dan “pulsa” kita di kartu itu akan terpotong sesuai tarif yang berlaku. “Pulsa” juga bisa diisi ulang di banyak tempat umum, seperti di terminal bus, stasiun MTR, dll. Di beberapa toko, Octopus juga diterima sebagai alat pembayaran. Praktis!

Di kawasan ramai dan sibuk, misalnya di Causeway Bay, amat mudah menemukan polisi yang sedang patroli berpasangan, itu pun hanya berjalan kaki. Terletak di jantung Pulau Hong Kong, Causeway Bay merupakan salah satu pusat bisnis dan perbelanjaan paling kondang, terutama bagi para turis asing. Kawasan ini sangat ramai dengan lalu-lalang orang-orang yang sedang berbelanja, ber-window shopping, dan para businessman yang sibuk dengan telepon selulernya. Di beberapa titik zebra cross, ratusan orang bisa sekaligus menyeberang ketika lampu merah bagi kendaraan menyala.

Kawasan sibuk Causeway Bay.

Toko-toko di sepanjang jalan merayu pejalan kaki yang lewat dengan tawaran discount-nya. Puluhan restoran, warung makan dan kafé padat dikunjungi mereka yang ingin bersantap. Warung-warung makan di Hong Kong terbilang punya konsep menarik. Dapurnya terletak di bagian depan, sehingga pejalan kaki yang lewat bisa melihat langsung “aksi” para kokinya dan mencium aroma makanan yang sedang dimasak. Ada juga satu-dua kios makanan ringan yang menawarkan sate dan bakso dengan saus, mulai dari daging sapi, ayam, udang, sampai babi. Bagi pendatang Muslim, lebih baik bertanya dulu daging apa yang dijual, karena seringkali tak ada tulisan keterangan. Sekalipun ada, kadang-kadang bertulisan huruf Cina. Namun tak usah kuatir, karena seluruh fasilitas umum dan petunjuk jalan di Hong Kong juga menggunakan bahasa Inggris, di samping Kanton (Cantonese: bahasa Cina berdialek Kanton), yang juga merupakan bahasa resmi di sini.

Pemandangan khas jalanan di HK.

Sejam kemudian, bus memasuki pusat kota. Hari sudah gelap waktu itu. Saya turun di halte Causeway Bay. Sambil menyeret koper besar, saya berjalan menuju gedung Konsulat Jenderal RI (KJRI). Di sini ada banyak kamar yang berfungsi sebagai guest house yang bisa disewa WNI. Biayanya standar lah, kalau dirupiahkan jadi sekitar Rp350 ribu per malam. Saya toh hanya akan menginap satu malam ketika itu. Besoknya, pesawat saya akan take off sekitar tengah malam.

Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar, saya langsung mandi air panas, dilanjutkan dengan jalan-jalan. Pertama, tentunya saya harus makan dulu. Di Hong Kong, tak terlalu sulit menemukan restoran Indonesia, apalagi di kawasan sibuk Causeway Bay. Tapi, masa saya makan masakan Indonesia di HK? Makan mie instan Indomie dengan telur saja bisa habis Rp20 ribu di sini. Maka saya mencoba mencari lokasi resto chinese food  Cafe de Coral, favorit saya di HK. Cafe de Coral adalah sebuah jaringan resto terkenal di sini yang menawarkan menu-menu tradisional Cina. Sebelumnya, saya sempat mencari warung kaki lima yang menjual waffle enak di dekat KJRI, tapi ternyata warungnya sudah pindah. Lalu saya sempat mampir ke warungnya Tante Yohana, teman ibu saya, untuk membeli kartu SIM dan buka-buka e-mail sebentar di warnetnya. Saat akan pergi, saya dilarang membayar semua itu. Wah, alhamdulillah… 🙂

Restoran Indonesia mudah ditemukan di Causeway Bay.

Malam itu, di Cafe de Coral, saya memesan menu Curry Beef Brisket alias kari sapi dengan nasi. Sederhana memang, tapi cukup lezat buat saya. Secara porsi sebenarnya tidak cukup. Tapi saya tak mau foya-foya berpesta kolesterol sebelum sampai ke tujuan. Setelah makan, saya memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati malam di Hong Kong.Supaya lebih afdol, saya membeli beberapa potong roti di bakery dan sebotol jus. Lalu menikmati semua itu sambil berjalan-jalan menikmati malam yang dingin. Inilah yang saya sukai ketika berada di negara ini. Jalan kaki (dengan aman dan nyaman) adalah sebentuk kemewahan yang sulit saya dapatkan di Indonesia. Jadi saya tak akan melewatkan malam ini dengan tidur lebih awal. Saya sempat membeli topi kupluk murah meriah di pasar tradisional untuk persiapan menghadapi suhu yang lebih gila di tujuan nanti. Sebentar-sebentar, saya terpaksa berhenti karena para pedagang makanan kaki lima tampak senang menggoda saya dengan jajanan-jajanan yang bikin lidah bergoyang dan air liur menetes. Tengah malam, barulah saya kembali ke gedung KJRI. Saya terpaksa lewat gang senggol di samping gedung karena pintu depan sudah dikunci.

Siang hari esoknya, saya menemui teman saya di sebuah kafe untuk mengambil tiket pesawat saya. Sejam sebelumnya, saya sudah menukar uang ke HK dolar (karena dia membeli tiket dengan HK dolar). Setelah ngobrol sejenak, ia pamit untuk pergi bekerja. Teman saya itu punya bisnis di HK. Beberapa tahun sebelumnya, saya pernah datang kemari untuk menulis laporan khusus tentang tenaga kerja wanita (di sini biasa disebut nakerwan, bukan TKW). Beberapa nakerwan yang saya kenal sudah pulang ke Indonesia. Dan karena hari itu hari kerja, saya tak bisa menemui mereka. Nakerwan di sini biasanya mendapat libur pada hari Minggu.

Teman-teman HK saya juga kebetulan sedang ke luar negeri. Mereka anak-anak HK Hardcore dan sedang konser di Taiwan. Yah, berhubung ini hanya kunjungan singkat untuk transit satu malam, agak susah kalau mau ketemu dengan teman-teman lama. Mungkin nanti, 6 bulan lagi, saya bisa ketemu mereka lagi setelah pulang dari Ukraina melalui rute yang sama. Jadi sisa hari itu saya habiskan dengan jalan-jalan lagi, sedikit wisata kuliner, keluar masuk toko melihat-lihat jaket keren atau gadget terbaru, foto-foto ke sana kemari, main ke toko buku, makan di taman sambil baca majalah/koran, dan petang harinya saya kembali ke gedung KJRI. Memeriksa kembali barang-barang saya, paspor, tiket, dan berkas-berkas untuk masuk ke Ukraina. Jam 8 malam, saya sudah berada di halte bus menuju bandara.

Sejam kemudian, setiba di bandara, saya langsung mencari konter pesawat Turkish Airlines yang menuju Kiev, Ukraina. Sambil menyeret koper dan memanggul ransel di punggung, saya mendapati pemandangan mencolok di depan saya. Lima petugas keamanan berseragam, kekar dan berkacamata hitam, mondar-mandir di sekitar sebuah loket check in. Senapan otomatis tergenggam erat di tangan. Mereka mengawasi antrean panjang orang-orang berpakaian jubah hitam, berjanggut panjang, dan bertopi tinggi. Orang-orang Yahudi Ortodoks. Saya melirik nama loket itu. El Al, maskapai penerbangan Israel, salah satu negara paling paranoid di dunia karena mempunyai musuh di mana-mana. Dugaan saya, otoritas keamanan bandara internasional Hong Kong tak mau ambil risiko terjadi kekacauan di sini karena ada pihak yang mau menyerang mereka.

Di loket Turkish Airlines, saya menyelesaikan proses check in setelah diminta menunjukkan berkas-berkas dan uang dolar tunai saya yang sebanyak beberapa lembar Benjamin kepada si petugas. Si petugas beralasan, saya harus menunjukkan uang tunai saya sebagai bukti bahwa saya punya uang untuk tinggal selama beberapa waktu di negara tujuan–atau di negara transit. Huh, memangnya tampang saya kayak imigran gelap, ya? Kurang ajar. Tapi memang hanya itulah uang tunai yang saya bawa sebagai uang saku pegangan. Toh, di sana saya akan menerima gaji. Sambil menggerutu, saya keluar dari loket dan mencari tempat duduk. Antrean di depan loket El Al sudah menghilang. Begitu pula para petugas bersenjata tadi.

Setelah mendapat tempat duduk, saya mencoba menelepon Nastya (kontak saya di Ukraina) dengan sisa pulsa terakhir untuk memberitahukan perkembangan terbaru. Untung saja saya menelepon dia. Kalau tidak, saya tidak akan tahu bahwa Nastya baru saja mengirimkan e-mail  penting. Segera saya mencari internet café terdekat (waktu itu saya belum punya laptop). Ternyata Nastya memberitahu bahwa tak ada orang yang akan menjemput saya di Bandara Borispol di Kiev. Tapi ia memberi petunjuk bagaimana cara menuju stasiun kereta api dengan bus dari bandara. Di stasiun, akan ada orang yang akan menjemput dan membantu saya mendapatkan kereta api ke Dnipropetrovsk, kota tempat saya akan tinggal, 450 kilometer dari Kiev. Saya mencatat semua petunjuk Nastya secepat kilat (tarif Internetnya per 15 menit, itu pun wajib beli minuman dulu), lalu kembali duduk.

Setengah jam kemudian, pesawat boarding dan semua penumpang masuk ke kabin. Beberapa saat setelah pesawat mengudara, saya bersiap tidur. Sekitar 11-12 jam lagi saya akan tiba di Istanbul untuk transit. Oh, tunggu dulu. Para pramugari sedang membagikan makan malam kepada penumpang. Ah, rasanya saya bisa menunda tidur saya barang sejenak. Tadinya saya mengharapkan menu kebab, tapi ternyata mereka hanya memberi menu makan standar di pesawat. Mungkin karena saat itu jam menunjukkan pukul 12 malam (atau pukul 11 malam WIB). Apa pun, yang jelas semua makanan itu saya eksekusi dalam beberapa menit saja. Penumpang di sebelah saya, orang Turki, tak jelas bahasa Inggrisnya. Jadi saya putuskan untuk tidur saja. Mengabaikan dua pemuda Turki yang sibuk berjoged sambil mendengarkan lagu Turki di pojok depan.

Perjalanan saya masih panjang. (bersambung)

* Tulisan ini pernah saya pajang di notes Facebook pada 24 Maret 2011. Sengaja di-posting di sini, dengan diedit seperlunya, biar blog saya agak rame dikit :)