Tag Archives: tsim sha tsui

Nongkrong di Hong Kong #2

Di apartemen itu, menjelang tengah malam, Bu A datang lagi membawa dua orang tamupegawai Telkom yang sedang dikirim dinas ke Hong Kong. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, barulah saya masuk ke kamar dan tidur pulas sampai pagi. Tapi, sebelum tidur, Pak Soni, salah satu dari mereka memberi tips yang oke punya.

Ceritanya, travel adapter yang saya bawa ternyata tidak berfungsi. Pusing lagilah saya karena nggak bisa nge-charge ponsel dan kamera. Tapi, Pak Soni langsung memberitahu saya. “Mas, coba pakai sendok, garpu, atau apa gitu, buat dicolokkin ke lubang yang atas. Itu fungsinya cuma buat buka doang, listriknya ada di dua lubang yang bawah.” Di Hong Kong memang colokannya tiga lubang gitu.

Pak Soni lalu membawa sumpit yang dia temukan di dapur, dimasukkan ke lubang atas, dan akhirnya dua lubang bawah bisa untuk colokan yang biasa. Berhasil tuh! Hihihi….baru tau! Lumayaan dapet ilmu baru. 😀 Tenang aja, saya nge-charge ponsel sampai pagi nggak ada kebakaran, tuh! 😛 Udah gitu, wi-fi di apartemen Bu A kenceng banget jalannya, jadi narsisme bisa jalan terus. 😀 Tambahan lagi, oleh kenalan saya, malam sebelumnya saya dikasih kartu SIM lokal Hong Kong yang bisa buat telepon ke Indonesia dengan biaya murah banget, kurang dari Rp 1.000 per menit!

Setelah bangun, sholat Subuh, dan mandi, kami beres-beres tas dulu. Rencananya, begitu menemukan penginapan yang rada murah hari ini, kami akan langsung check out dan pindah. HK$ 500 per malam, apalagi bayar tunai, sungguh mengerikan, bro! Pagi itu, setelah sarapan dengan nasi dan lauk yang kemarin diberi oleh kenalan saya, kami berkeliling di kawasan Causeway Bay. Di sini memang berisiko mahal karena daerah pusat kota. Dua penginapan yang kami cari pasang harga HK$ 400 dan HK$480. Masih terlalu mahal, tapi yang terakhir bisa terima kartu kredit, sementara yang pertama nggak ada kamar kosong. Tapi atmosfernya asyik banget kayaknya, ala backpacker gitu.

Lalu, kami cari satu lagi di daerah North Point. Setelah susah payah nyarinya, penampilan hostel itu nggak meyakinkan. Akhirnya saya putuskan cari di daerah Tsim Sha Tsui, Kowloon. Saya sengaja naik bus ke terminal Wan Chai, lalu dilanjut dengan feri dari Victoria Harbour, supaya istri saya bisa melihat pemandangan Hong Kong paling menakjubkan itu saat menyeberangi teluk.

Pemandangan Pulau Hong Kong dari feri yang menyeberang ke Tsim Sha Tsui.

Pemandangan Pulau Hong Kong dari feri yang menyeberang ke Tsim Sha Tsui. Breathtaking! 🙂

Naik feri ini tidak mahal, cuma HK$ 2,3 sekali jalan. Sesampainya di dermaga, kita bisa jalan kaki di sepanjang Tsim Sha Tsui Promenade, yang tempatnya memang didesain untuk pejalan kaki agar bisa melihat ke seberang, ke arah Pulau Hong Kong. kalau kita jalan kaki terus ke arah timur, nanti akan ketemu Avenue of Stars—semacam Walk of Fame di Hollywood. Cuma yang di Hong ini semuanya cetakan tangan para bintang film Mandarin. Sampai di ujung, kita bakal melihat patung Bruce Lee.

Butuh jalan kaki sekitar 20 menit dari dermaga feri ke Mirador Mansion. Ini nama sebuah gedung tua yang di dalamnya ada banyak hostel murah meriah. Biasanya para backpacker selalu ke sini kalau cari penginapan murah. Gedung ini terletak di daerah Tsim Sha Tsui, kawasan yang banyak dihuni warga imigran dari Bangladesh, Pakistan, India, dan bahkan Afrika.

Jangan kaget kalau turis bertampang Asia Tenggara disamperin sama orang-orang yang memberi brosur restoran halal dengan menu masakan Timur Tengah. Sebagian lagi menawarkan hostel-hostel atau guesthouse murah meriah. Sekitar 150 meter dari Mirador Mansion juga ada Kowloon Mosque—masjid terbesar di Hong Kong. Nggak usah takut kena scam di sini, yang penting selalu pakai common sense. Yang namanya waspada dan tenang itu di mana-mana juga perlu.

Gedung Mirador Mansion inilah yang dulu jadi tempat syuting film Chungking Express, bukan di gedung Chungking Mansion di sebelahnya. Lantai dasar gedung-gedung ini biasanya diisi aneka macam toko (biasanya toko elektronik dan suvenir), money changer, dan banyak lagi. Lantai-lantai di atasnya barulah dihuni hostel-hostel murah dan restoran.

Baru juga mau naik lift, ada seorang perempuan berkacamata mendekati saya. “Guesthouse, sir? Cheap, cheap,” katanya. Dia memberikan saya selembar kartu nama. Guesthouse yang dia tawarkan namanya Guangzhou Guesthouse.

Can I see the room first?” tanya saya.

Yes, yes. Follow me.”

Sebenarnya saya sedang mencari hostel lain, rekomendasi beberapa teman saya. Tapi, nggak ada salahnya lirik-lirik hostel lain dulu. Perempuan tadi membawa kami ke lantai 10. Lalu kami masuk ke sebuah lorong yang ada beberapa pintu kamar. Dia membuka salah satunya.

“Ini cuma HK$ 200 per malam,” katanya.

Dan…hah!! Kamarnya luar biasa kecil! Begitu buka pintu, di sebelah kanan langsung ketemu ranjang double. Tapi, di kanan-kiri ranjang itu langsung ada tembok! Saya melirik ke belakang pintu, di situ ada kamar mandi. Tapi…sempitnya sama ajaibnya dengan kamar itu. Pancuran air untuk mandi berada tepat di atas kakus. Jadi, kalau mau mandi kita harus duduk di kakus itu….hehehe! 😀

Yaah, pantesan aja murah. Tapi di ruang begini mana bisa kami bergerak? Lagipula, mereka tidak menerima kartu kredit. Terpaksa saya bilang, “Kami mau lihat yang lain dulu. Kalau oke, nanti saya balik lagi ke sini.” Perempuan itu cuma memasang tampang lemas dan sedih. Hilang sudah persenan dari hasil menggaet tamu ke hostel murmer ini.

Saya langsung menyeret istri saya keluar, sebelum si Mbak tadi nangis….hehehe! 😀 Kami lalu naik lift ke lantai 12. Di bawah tadi, saya sempat mempelajari nama-nama hostel yang ada di gedung ini. Di lantai 12, ada yang namanya Cosmic Guesthouse. Beruntung, walau saat itu baru jam 11.00, resepsionisnya mau memberi kami kamar selama dua hari.

“Saya belum bisa memastikan ada kamar kosong sampai tanggal 24 Oktober. Tapi, Anda boleh pakai kamar ini sampai dua hari ke depan. Setelah itu, kalau ada kamar, Anda mungkin harus pindah kamar,” kata si resepsionis.

“Boleh deh kalau begitu,” saya langsung setuju. Apalagi sebelumnya saya berhasil nawar dari harga HK$400 menjadi HK$300 untuk double room. Dan itu harga per kamar lho, bukan per orang. Soalnya banyak juga hostel di Hong Kong yang pasang tarif per orang. Dan bulan Oktober terhitung peak season di Hong Kong, soalnya cuaca lagi enak banget. Suhu udara antara 23-28° Celcius. Musim typhoon juga udah lewat. Mungkin kalau lagi low season harganya bisa lebih murah lagi. Tapi sebelum bayar saya mau lihat kamarnya dulu, yang kebetulan bersebelahan dengan ruangan resepsionis.

Kamar kami di Cosmic.

Kamar kami di Cosmic.

Ternyata kamarnya lumayan kok, lebih luas dibandingkan dengan kamarnya si Mbak cengeng tadi. Kamar ini juga bersih, ber-AC dan kipas angin, ada TV, dan kamar mandinya juga bersih dan air panasnya lancar. Lagian, 300 dolar itu angka yang lumayan murah untuk ukuran Asia’s World City yang mahal ini. Lagian, ini penginapan keempat (atau kelima) yang saya cari. Capek juga kalau tiap hari urusannya cari penginapan melulu.

Setelah deal, saya membayar dengan kartu kredit. Fiuhhh, akhirnya uang tunai saya selamat! Walau ada charge sebesar 3,5%, tapi bayarnya kan bisa belakangan dan bisa dicicil. Dan setidaknya untuk dua hari ke depan kami aman. Setelah itu, kalaupun terpaksa cari hostel lagi, setidaknya di gedung Mirador Mansion ini saja ada belasan hostel yang bisa dilihat-lihat dulu.

“Oke, terima kasih ya,” kata si resepsionis dalam bahasa Indonesia.

Eh? You speak Indonesian?” tanya saya heran.

“Sedikit. My boss’ wife is an Indonesian-Chinese. Oh ya, walaupun check in sebenarnya jam 13.00, tapi kalian boleh masuk sekarang kalau mau.”

Wah, baik juga orang ini. So, untuk urusan penginapan, kami aman sampai Sabtu. Saya langsung menelepon Bu A untuk memberitahu bahwa saya akan check out hari itu, tapi baru akan mengambil tas sore harinya. Siang sampai sore itu kami blusukan di sekitar Causeway Bay, Times Square, dan sekitarnya. Sambil lihat-lihat ini-itu, siapa tahu ada warung makan yang sukur-sukur halal. Tapi kok jalan-jalannya nyasar jauh banget sampai ke Happy Valley (!). Setahu saya di dekat situ ada arena pacuan kuda, yang biasa disambangi warga Hong Kong buat taruhan. Tapi karena pacuan kuda biasanya dimulai malam hari, saya nggak jadi ke situ. Emang kita cowok apaan, cyin! *aslinya sih takut kalah* 😀

Jam 4 sore, saya sudah balik ke apartemen Bu A, leyeh-leyeh sambil nunggu empunya apartemen buat bayar. Tentunya sambil nge-charge ponsel dan kamera, dan pastinya online dong, mumpung lagi ada wi-fi gratis yang aksesnya kenceng. 🙂 Sejam kemudian, ternyata suaminya Bu A yang nongol duluan. Kalau saya kasih tahu pembaca JOS suaminya ini kerja di mana, bisa heboh nanti. Pasalnya, Bu A ini memang menyewakan apartemennya tanpa izin resmi, jadi yang nyewa kamar-kamarnya hanya orang Indonesia dan itu pun tahunya dari mulut ke mulut aja…hehehe! 🙂

Ya sudahlah. Yang penting, saya sudah selamat dari kemungkinan bangkrut. Sore itu, kami menggendong backpack ke Mirador Mansion. Tapi sebelumnya, kami mampir dulu ke warung kenalan saya itu, ceritanya sekadar mau memberitahu bahwa kami pindah penginapan ke Tsim Sha Tsui, dengan harapan dikasih makan lagi. Dan benar! 🙂 Walaupun masakannya biasa saja, yang penting bisa makan gratisan dulu. Habis itu barulah kami berangkat ke penginapan baru.

Keluar dari gedung tempat warung kenalan saya itu, ada toko plus warung makan bernama Warung Chandra. Iseng-iseng saya masuk, ternyata mereka jual nasi lauk seharga HK$ 15-18 saja! “Kalau siang, makannya masih anget, Mas,” kata si Mbak penjaga warung memberitahu. Selain itu, mereka juga menjual berbagai kebutuhan sehari-hari di situ. Sambal terasi ABC juga ada di sini. Ah, pokoknya akhirnya saya seneng banget bisa nemu makanan murah! Ada sih makanan yang bisa dipanaskan lagi di situ, tapi harganya kisaran HK$ 25-35. Lha, mendingan yang HK$ 15-18 tadi dong! 😛 So, sore itu kami menuju TST dengan sekotak nasi rames.

Malamnya, setelah makan nasi seporsi berdua, kami nonton Symphony of Lights—pertunjukan laser, multimedia, dan permainan cahaya yang melibatkan puluhan gedung, baik di sisi Kowloon maupun Pulau Hong Kong.

Saya datang ngepas hampir jam 8 malam waktu itu, padahal jarak lokasinya hanya 15 menit jalan kaki dari hostel saya. Kalau melihat kerumunan sepanjang TST Promenade hingga Avenue of Stars malam itu, pasti ada ribuan orang yang menanti pertunjukan gratis yang diadakan tiap jam 8 malam oleh Hong Kong Tourism Board ini. Tanpa pertunjukan ini pun, pemandangan Pulau Hong Kong dari sisi Kowloon sudah sangat keren.

Menjelang tontonan Symphony of Lights di kawasan Avenue of Stars, TST, Kowloon.

Menjelang tontonan Symphony of Lights di kawasan Avenue of Stars, TST, Kowloon.

Pertunjukan dimulai pas jam 8. Beberapa gedung tampak menembakkan cahaya laser ke langit dan ke arah Kowloon. Sebaliknya, gedung-gedung di sisi Kowloon juga memainkan cahaya lampu dan laser mereka yang bisa dilihat dari sisi Pulau Hong Kong. Permainan cahaya ini hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit setiap malamnya. Pada hari-hari raya, misalnya Tahun Baru atau Tahun Baru Cina, katanya pertunjukannya jauh lebih heboh, dengan pesta kembang api segala. Jadi, karena malam itu hanya malam “biasa”, pertunjukannya tergolong biasa saja. Tapi, walaupun “biasa”, sedikit permainan laser sudah membuat para penonton berdecak kagum. Memang keren kok. Rugi kalau ke Hong Kong nggak nonton pertunjukan gratis ini.

Seusai acara, kami jalan-jalan di sepanjang Promenade. Banyak lapak yang menawarkan jasa foto langsung jadi, dengan latar pemandangan Pulau Hong Kong pada waktu malam. Harganya bo…mahal! Paling murah HK$ 20 untuk foto ukuran 2R, paling mahal HK$ 100 untuk yang 12R. Tapi saya cuma lihat-lihat aja sih. Sayang duitnya. Mendingan juga foto sendiri, walaupun andalan saya cuma satu kamera saku digital biasa yang kurang bagus untuk foto malam hari, plus kamera ponsel Samsung S III mini yang belum lunas. 😀 Di lapak-lapak itu, penjualnya juga memajang foto-foto yang pernah dibuat. Banyak juga yang lucu-lucu. Ada pasangan yang lagi ciuman, ada yang lagi pose kungfu, ada juga cewek bule yang *****nya gede banget…hahaha!! 😀

Pas balik ke hostel, si Mbak Cengeng yang tadi siang nawarin penginapan mendekati saya lagi. Masih menawarkan penginapan murah untuk saya. Tampaknya dia sudah lupa bahwa beberapa jam sebelumnya saya pernah mengecewakan dia. 😀 Malam itu, setelah merencanakan acara jalan-jalan esok harinya, kami tidur dengan tenang.[]

(Bersambung)

Balada Ukraina #2

Tibalah hari yang saya tunggu-tunggu itu. Pukul 4 pagi, saya diantar keluarga dan istri saya menuju Bandara Soekarno-Hatta. Setelah menguatkan diri dan pamit kepada keluarga tercinta, saya langsung check in ke konter China Airlines dan langsung menuju boarding area. Pesawat lepas landas pukul 8 pagi. Penerbangan ke Hong Kong (HK) memakan waktu 4,5 jam.

View Hong Kong yang paling terkenal. Gambar diambil dari Tsim Sha Tsui.

View Hong Kong yang paling terkenal. Gambar diambil dari Tsim Sha Tsui.

Hari menjelang petang saat saya tiba di Hong Kong. Setelah melewati bagian imigrasi, saya bergegas keluar untuk mengambil barang-barang saya di baggage claim. FYI, pemegang paspor hijau RI bakal diberi cap imigrasi HK yang berfungsi sebagai visa on arrival  dan kita diperbolehkan tinggal selama 30 hari sejak tanggal kedatangan, Saya pernah tinggal di Hong Kong beberapa tahun sebelumnya, dan ini adalah kunjungan ke-4 saya di bekas koloni Inggris ini, jadi saya cukup hafal bagaimana caranya menuju pusat kota. Setelah mengambil koper, saya berjalan kaki menuju terminal bus yang berada tak jauh dari pintu keluar. Udara dingin HK pada akhir Januari itu sungguh menyegarkan. Papan elektronik yang berada di sekitar situ menunjukkan bahwa di luar suhunya 10 derajat Celsius.

Saya tersaruk-saruk mendorong troli berisi koper besar dan ransel menuju terminal bus bandara yang menuju Hong Kong Island, sekitar 200 meter dari pintu keluar. Hong Kong adalah sebuah wilayah kepulauan. Bandara ini terletak di sebuah pulau hasil reklamasi. Sebelumnya, bandara HK (Kai Tak Airport) menempati lokasi di dalam kota. Kalau Anda masih ingat film-film Mandarin jadul, akan terlihat adegan pesawat-pesawat hendak mendarat dan jaraknya sangat dekat dengan puncak-puncak gedung pencakar langit di sini. Bayangkan kalau ada kecelakaan pesawat… bisa-bisa ada Boeing nabrak mal. Itulah sebabnya bandara kemudian dipindah ke lokasi yang jauh dari keramaian kota. Bandara ini bernama Chek Lap Kok—diambil dari nama pulau reklamasi tersebut—alias Hong Kong International Airport.

Kunjungan ke HK selalu membuat saya bersemangat. Saya sangat menyukai suasana dan lanskap kota modern dan bersih, gedung-gedung pencakar langit, jalanan yang sibuk, dan udara yang dingin. Di negara ini, tak seorang pun yang akan memandang Anda hanya karena warna kulit yang berbeda. Hampir semua orang dari semua benua di planet ini bisa ditemukan di HK. Perjalanan ke pusat kota akan memakan waktu 1 jam kalau menggunakan bus. Sebenarnya saya bisa saja naik kereta ekspres, tapi tarifnya jauh lebih mahal. Jadi, sambil duduk santai di dek atas double decker dan menikmati pemandangan sepanjang jalan, mari saya ceritakan sedikit tentang HK.

Sejak kembali ke pangkuan Republik Rakyat Cina (RRC) pada 1 Juli 1997, Hong Kong menyandang status SAR (Special Administrative Region) di mana otonomi penuh dipegang oleh Pemerintah Hong Kong sendiri, kecuali urusan luar negeri dan militer yang berada di bawah Pemerintah RRC. Dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, sekitar 4-5 % per tahun, taraf hidup di Hong Kong relatif tinggi. Di kawasan Asia Timur, taraf hidup negara empat musim ini hanya berada di bawah Jepang dan Brunei, tapi masih di atas Singapura. Kepadatan penduduknya termasuk yang terpadat di dunia, mencapai 6.300 orang tiap kilometer perseginya. Mengingat keterbatasan wilayahnya (hanya 1.102 kilometer persegi), sebagian besar penduduknya tinggal di flat-flat (apartemen) sewaan.

Wilayah Hong Kong termasuk wilayah kepulauan dan dibagi menjadi tiga wilayah (subdivision) yaitu Pulau Hong Kong, Kowloon, dan New Territories. Kekayaan dan keindahan alam negara ini mungkin tak terlampau menonjol, apalagi dibandingkan dengan Indonesia. Namun semuanya dikelola dengan maksimal dan profesional, sehingga mampu memesona jutaan wisatawan internasional tiap tahunnya. Pemandangan kota metropolitan yang bersih dengan ratusan gedung jangkungnya, ditambah bukit-bukit hijau yang melatarbelakanginya, menjadi ikon khas Hong Kong yang kondang di seluruh dunia. Semarak lampu-lampu neon bertulisan huruf Cina yang menjorok ke jalanan dari toko-toko di sepanjang jalan menjadi pemandangan menarik tersendiri, terutama ketika malam tiba.

Hong Kong juga menawarkan banyak daerah wisata yang jauh dari hiruk pikuk kota metropolitan, seperti pantai dan pulau yang indah. Pulau Lamma, Sai Kung, atau Lantau dapat dicapai hanya dengan 40 menit naik kapal feri cepat (jetfoil) dari pusat kota. Di sana ada Kuil Po Lin dan patung Buddha raksasa, plus pemandangan pantai bersih berlatar bukit-bukit menghijau nan cantik.

Daerah wisata pantai lainnya tak kalah indah, seperti pantai Stanley yang juga punya pasar tradisional yang harga-harga cinderamata dan handycraft-nya bisa ditawar, atau pantai keren Repulse Bay. Bisa juga menyusuri kawasan nelayan di Sungai Aberdeen dengan perahu tradisional.

Mejeng di Aberdeen River.

Stanley Beach, salah satu kawasan wisata di HK.

Pemandangan khas lain adalah jalanan kota Hong Kong yang tergolong kecil-kecil, tapi bersih. Meski demikian, bus-bus double decker (bus tingkat) ala Inggris yang berbodi panjang di sini bisa dengan enak membelok, tanpa harus membuat jalan macet. Sebagian besar bus kota di sini memang berupa bus tingkat. Jangan harap bus kota di Hong Kong mau berhenti seenaknya seperti di Indonesia. Mereka hanya berhenti di halte yang telah ditentukan. Di semua halte bus terpampang jelas bagan yang berisi informasi nomor jalur bus, rute yang dilalui, serta daftar tarif. Alat transportasi lainnya adalah taksi, trem, minibus, dan MTR (Mass Transit Railway) alias kereta bawah tanah. Ada juga kapal feri bermodel semi-tradisional yang melayani penyeberangan selat kecil antara Pulau Hong Kong dan Kowloon. Semuanya dikelola pemerintah Hong Kong secara efisien sehingga memudahkan warga menggunakannya.

Double decker yang keren itu…

Di sini, mereka yang punya mobil pribadi biasanya memang warga yang betul-betul kaya. Sebab, wilayah yang padat menyebabkan mereka harus menyewa tempat parkir sendiri. Plus, mobil yang boleh berseliweran di kota adalah mobil keluaran 10 tahun terakhir. Tapi, menurut saya, naik kendaraan umum di HK jauh lebih nikmat ketimbang naik mobil. MTR dan bus-bus kota di sini sangat mewah, sehingga warga negara dunia ketiga seperti saya doyan bolak-balik naik bus atau MTR hanya untuk merasakan kenyamanannya. Lagipula tarifnya tidak mahal. Untuk jarak sedang, paling-paling kita hanya butuh biaya HK$3-5 (HK$ 1 = Rp1.100 – 1.200).

  Begini cara pakai Octopus di stasiun MTR. Tinggal tempel 🙂

Cara pembayaran pun tidak harus pakai uang tunai. Di sini ada kartu elektronik (semacam kartu Flazz BCA) bernama Octopus yang bisa digunakan untuk membayar biaya transportasi. Cukup tempelkan di sebuah display elektronik dan “pulsa” kita di kartu itu akan terpotong sesuai tarif yang berlaku. “Pulsa” juga bisa diisi ulang di banyak tempat umum, seperti di terminal bus, stasiun MTR, dll. Di beberapa toko, Octopus juga diterima sebagai alat pembayaran. Praktis!

Di kawasan ramai dan sibuk, misalnya di Causeway Bay, amat mudah menemukan polisi yang sedang patroli berpasangan, itu pun hanya berjalan kaki. Terletak di jantung Pulau Hong Kong, Causeway Bay merupakan salah satu pusat bisnis dan perbelanjaan paling kondang, terutama bagi para turis asing. Kawasan ini sangat ramai dengan lalu-lalang orang-orang yang sedang berbelanja, ber-window shopping, dan para businessman yang sibuk dengan telepon selulernya. Di beberapa titik zebra cross, ratusan orang bisa sekaligus menyeberang ketika lampu merah bagi kendaraan menyala.

Kawasan sibuk Causeway Bay.

Toko-toko di sepanjang jalan merayu pejalan kaki yang lewat dengan tawaran discount-nya. Puluhan restoran, warung makan dan kafé padat dikunjungi mereka yang ingin bersantap. Warung-warung makan di Hong Kong terbilang punya konsep menarik. Dapurnya terletak di bagian depan, sehingga pejalan kaki yang lewat bisa melihat langsung “aksi” para kokinya dan mencium aroma makanan yang sedang dimasak. Ada juga satu-dua kios makanan ringan yang menawarkan sate dan bakso dengan saus, mulai dari daging sapi, ayam, udang, sampai babi. Bagi pendatang Muslim, lebih baik bertanya dulu daging apa yang dijual, karena seringkali tak ada tulisan keterangan. Sekalipun ada, kadang-kadang bertulisan huruf Cina. Namun tak usah kuatir, karena seluruh fasilitas umum dan petunjuk jalan di Hong Kong juga menggunakan bahasa Inggris, di samping Kanton (Cantonese: bahasa Cina berdialek Kanton), yang juga merupakan bahasa resmi di sini.

Pemandangan khas jalanan di HK.

Sejam kemudian, bus memasuki pusat kota. Hari sudah gelap waktu itu. Saya turun di halte Causeway Bay. Sambil menyeret koper besar, saya berjalan menuju gedung Konsulat Jenderal RI (KJRI). Di sini ada banyak kamar yang berfungsi sebagai guest house yang bisa disewa WNI. Biayanya standar lah, kalau dirupiahkan jadi sekitar Rp350 ribu per malam. Saya toh hanya akan menginap satu malam ketika itu. Besoknya, pesawat saya akan take off sekitar tengah malam.

Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar, saya langsung mandi air panas, dilanjutkan dengan jalan-jalan. Pertama, tentunya saya harus makan dulu. Di Hong Kong, tak terlalu sulit menemukan restoran Indonesia, apalagi di kawasan sibuk Causeway Bay. Tapi, masa saya makan masakan Indonesia di HK? Makan mie instan Indomie dengan telur saja bisa habis Rp20 ribu di sini. Maka saya mencoba mencari lokasi resto chinese food  Cafe de Coral, favorit saya di HK. Cafe de Coral adalah sebuah jaringan resto terkenal di sini yang menawarkan menu-menu tradisional Cina. Sebelumnya, saya sempat mencari warung kaki lima yang menjual waffle enak di dekat KJRI, tapi ternyata warungnya sudah pindah. Lalu saya sempat mampir ke warungnya Tante Yohana, teman ibu saya, untuk membeli kartu SIM dan buka-buka e-mail sebentar di warnetnya. Saat akan pergi, saya dilarang membayar semua itu. Wah, alhamdulillah… 🙂

Restoran Indonesia mudah ditemukan di Causeway Bay.

Malam itu, di Cafe de Coral, saya memesan menu Curry Beef Brisket alias kari sapi dengan nasi. Sederhana memang, tapi cukup lezat buat saya. Secara porsi sebenarnya tidak cukup. Tapi saya tak mau foya-foya berpesta kolesterol sebelum sampai ke tujuan. Setelah makan, saya memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati malam di Hong Kong.Supaya lebih afdol, saya membeli beberapa potong roti di bakery dan sebotol jus. Lalu menikmati semua itu sambil berjalan-jalan menikmati malam yang dingin. Inilah yang saya sukai ketika berada di negara ini. Jalan kaki (dengan aman dan nyaman) adalah sebentuk kemewahan yang sulit saya dapatkan di Indonesia. Jadi saya tak akan melewatkan malam ini dengan tidur lebih awal. Saya sempat membeli topi kupluk murah meriah di pasar tradisional untuk persiapan menghadapi suhu yang lebih gila di tujuan nanti. Sebentar-sebentar, saya terpaksa berhenti karena para pedagang makanan kaki lima tampak senang menggoda saya dengan jajanan-jajanan yang bikin lidah bergoyang dan air liur menetes. Tengah malam, barulah saya kembali ke gedung KJRI. Saya terpaksa lewat gang senggol di samping gedung karena pintu depan sudah dikunci.

Siang hari esoknya, saya menemui teman saya di sebuah kafe untuk mengambil tiket pesawat saya. Sejam sebelumnya, saya sudah menukar uang ke HK dolar (karena dia membeli tiket dengan HK dolar). Setelah ngobrol sejenak, ia pamit untuk pergi bekerja. Teman saya itu punya bisnis di HK. Beberapa tahun sebelumnya, saya pernah datang kemari untuk menulis laporan khusus tentang tenaga kerja wanita (di sini biasa disebut nakerwan, bukan TKW). Beberapa nakerwan yang saya kenal sudah pulang ke Indonesia. Dan karena hari itu hari kerja, saya tak bisa menemui mereka. Nakerwan di sini biasanya mendapat libur pada hari Minggu.

Teman-teman HK saya juga kebetulan sedang ke luar negeri. Mereka anak-anak HK Hardcore dan sedang konser di Taiwan. Yah, berhubung ini hanya kunjungan singkat untuk transit satu malam, agak susah kalau mau ketemu dengan teman-teman lama. Mungkin nanti, 6 bulan lagi, saya bisa ketemu mereka lagi setelah pulang dari Ukraina melalui rute yang sama. Jadi sisa hari itu saya habiskan dengan jalan-jalan lagi, sedikit wisata kuliner, keluar masuk toko melihat-lihat jaket keren atau gadget terbaru, foto-foto ke sana kemari, main ke toko buku, makan di taman sambil baca majalah/koran, dan petang harinya saya kembali ke gedung KJRI. Memeriksa kembali barang-barang saya, paspor, tiket, dan berkas-berkas untuk masuk ke Ukraina. Jam 8 malam, saya sudah berada di halte bus menuju bandara.

Sejam kemudian, setiba di bandara, saya langsung mencari konter pesawat Turkish Airlines yang menuju Kiev, Ukraina. Sambil menyeret koper dan memanggul ransel di punggung, saya mendapati pemandangan mencolok di depan saya. Lima petugas keamanan berseragam, kekar dan berkacamata hitam, mondar-mandir di sekitar sebuah loket check in. Senapan otomatis tergenggam erat di tangan. Mereka mengawasi antrean panjang orang-orang berpakaian jubah hitam, berjanggut panjang, dan bertopi tinggi. Orang-orang Yahudi Ortodoks. Saya melirik nama loket itu. El Al, maskapai penerbangan Israel, salah satu negara paling paranoid di dunia karena mempunyai musuh di mana-mana. Dugaan saya, otoritas keamanan bandara internasional Hong Kong tak mau ambil risiko terjadi kekacauan di sini karena ada pihak yang mau menyerang mereka.

Di loket Turkish Airlines, saya menyelesaikan proses check in setelah diminta menunjukkan berkas-berkas dan uang dolar tunai saya yang sebanyak beberapa lembar Benjamin kepada si petugas. Si petugas beralasan, saya harus menunjukkan uang tunai saya sebagai bukti bahwa saya punya uang untuk tinggal selama beberapa waktu di negara tujuan–atau di negara transit. Huh, memangnya tampang saya kayak imigran gelap, ya? Kurang ajar. Tapi memang hanya itulah uang tunai yang saya bawa sebagai uang saku pegangan. Toh, di sana saya akan menerima gaji. Sambil menggerutu, saya keluar dari loket dan mencari tempat duduk. Antrean di depan loket El Al sudah menghilang. Begitu pula para petugas bersenjata tadi.

Setelah mendapat tempat duduk, saya mencoba menelepon Nastya (kontak saya di Ukraina) dengan sisa pulsa terakhir untuk memberitahukan perkembangan terbaru. Untung saja saya menelepon dia. Kalau tidak, saya tidak akan tahu bahwa Nastya baru saja mengirimkan e-mail  penting. Segera saya mencari internet café terdekat (waktu itu saya belum punya laptop). Ternyata Nastya memberitahu bahwa tak ada orang yang akan menjemput saya di Bandara Borispol di Kiev. Tapi ia memberi petunjuk bagaimana cara menuju stasiun kereta api dengan bus dari bandara. Di stasiun, akan ada orang yang akan menjemput dan membantu saya mendapatkan kereta api ke Dnipropetrovsk, kota tempat saya akan tinggal, 450 kilometer dari Kiev. Saya mencatat semua petunjuk Nastya secepat kilat (tarif Internetnya per 15 menit, itu pun wajib beli minuman dulu), lalu kembali duduk.

Setengah jam kemudian, pesawat boarding dan semua penumpang masuk ke kabin. Beberapa saat setelah pesawat mengudara, saya bersiap tidur. Sekitar 11-12 jam lagi saya akan tiba di Istanbul untuk transit. Oh, tunggu dulu. Para pramugari sedang membagikan makan malam kepada penumpang. Ah, rasanya saya bisa menunda tidur saya barang sejenak. Tadinya saya mengharapkan menu kebab, tapi ternyata mereka hanya memberi menu makan standar di pesawat. Mungkin karena saat itu jam menunjukkan pukul 12 malam (atau pukul 11 malam WIB). Apa pun, yang jelas semua makanan itu saya eksekusi dalam beberapa menit saja. Penumpang di sebelah saya, orang Turki, tak jelas bahasa Inggrisnya. Jadi saya putuskan untuk tidur saja. Mengabaikan dua pemuda Turki yang sibuk berjoged sambil mendengarkan lagu Turki di pojok depan.

Perjalanan saya masih panjang. (bersambung)

* Tulisan ini pernah saya pajang di notes Facebook pada 24 Maret 2011. Sengaja di-posting di sini, dengan diedit seperlunya, biar blog saya agak rame dikit :)