Di apartemen itu, menjelang tengah malam, Bu A datang lagi membawa dua orang tamu—pegawai Telkom yang sedang dikirim dinas ke Hong Kong. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, barulah saya masuk ke kamar dan tidur pulas sampai pagi. Tapi, sebelum tidur, Pak Soni, salah satu dari mereka memberi tips yang oke punya.
Ceritanya, travel adapter yang saya bawa ternyata tidak berfungsi. Pusing lagilah saya karena nggak bisa nge-charge ponsel dan kamera. Tapi, Pak Soni langsung memberitahu saya. “Mas, coba pakai sendok, garpu, atau apa gitu, buat dicolokkin ke lubang yang atas. Itu fungsinya cuma buat buka doang, listriknya ada di dua lubang yang bawah.” Di Hong Kong memang colokannya tiga lubang gitu.
Pak Soni lalu membawa sumpit yang dia temukan di dapur, dimasukkan ke lubang atas, dan akhirnya dua lubang bawah bisa untuk colokan yang biasa. Berhasil tuh! Hihihi….baru tau! Lumayaan dapet ilmu baru. 😀 Tenang aja, saya nge-charge ponsel sampai pagi nggak ada kebakaran, tuh! 😛 Udah gitu, wi-fi di apartemen Bu A kenceng banget jalannya, jadi narsisme bisa jalan terus. 😀 Tambahan lagi, oleh kenalan saya, malam sebelumnya saya dikasih kartu SIM lokal Hong Kong yang bisa buat telepon ke Indonesia dengan biaya murah banget, kurang dari Rp 1.000 per menit!
Setelah bangun, sholat Subuh, dan mandi, kami beres-beres tas dulu. Rencananya, begitu menemukan penginapan yang rada murah hari ini, kami akan langsung check out dan pindah. HK$ 500 per malam, apalagi bayar tunai, sungguh mengerikan, bro! Pagi itu, setelah sarapan dengan nasi dan lauk yang kemarin diberi oleh kenalan saya, kami berkeliling di kawasan Causeway Bay. Di sini memang berisiko mahal karena daerah pusat kota. Dua penginapan yang kami cari pasang harga HK$ 400 dan HK$480. Masih terlalu mahal, tapi yang terakhir bisa terima kartu kredit, sementara yang pertama nggak ada kamar kosong. Tapi atmosfernya asyik banget kayaknya, ala backpacker gitu.
Lalu, kami cari satu lagi di daerah North Point. Setelah susah payah nyarinya, penampilan hostel itu nggak meyakinkan. Akhirnya saya putuskan cari di daerah Tsim Sha Tsui, Kowloon. Saya sengaja naik bus ke terminal Wan Chai, lalu dilanjut dengan feri dari Victoria Harbour, supaya istri saya bisa melihat pemandangan Hong Kong paling menakjubkan itu saat menyeberangi teluk.
Naik feri ini tidak mahal, cuma HK$ 2,3 sekali jalan. Sesampainya di dermaga, kita bisa jalan kaki di sepanjang Tsim Sha Tsui Promenade, yang tempatnya memang didesain untuk pejalan kaki agar bisa melihat ke seberang, ke arah Pulau Hong Kong. kalau kita jalan kaki terus ke arah timur, nanti akan ketemu Avenue of Stars—semacam Walk of Fame di Hollywood. Cuma yang di Hong ini semuanya cetakan tangan para bintang film Mandarin. Sampai di ujung, kita bakal melihat patung Bruce Lee.
Butuh jalan kaki sekitar 20 menit dari dermaga feri ke Mirador Mansion. Ini nama sebuah gedung tua yang di dalamnya ada banyak hostel murah meriah. Biasanya para backpacker selalu ke sini kalau cari penginapan murah. Gedung ini terletak di daerah Tsim Sha Tsui, kawasan yang banyak dihuni warga imigran dari Bangladesh, Pakistan, India, dan bahkan Afrika.
Jangan kaget kalau turis bertampang Asia Tenggara disamperin sama orang-orang yang memberi brosur restoran halal dengan menu masakan Timur Tengah. Sebagian lagi menawarkan hostel-hostel atau guesthouse murah meriah. Sekitar 150 meter dari Mirador Mansion juga ada Kowloon Mosque—masjid terbesar di Hong Kong. Nggak usah takut kena scam di sini, yang penting selalu pakai common sense. Yang namanya waspada dan tenang itu di mana-mana juga perlu.
Gedung Mirador Mansion inilah yang dulu jadi tempat syuting film Chungking Express, bukan di gedung Chungking Mansion di sebelahnya. Lantai dasar gedung-gedung ini biasanya diisi aneka macam toko (biasanya toko elektronik dan suvenir), money changer, dan banyak lagi. Lantai-lantai di atasnya barulah dihuni hostel-hostel murah dan restoran.
Baru juga mau naik lift, ada seorang perempuan berkacamata mendekati saya. “Guesthouse, sir? Cheap, cheap,” katanya. Dia memberikan saya selembar kartu nama. Guesthouse yang dia tawarkan namanya Guangzhou Guesthouse.
“Can I see the room first?” tanya saya.
“Yes, yes. Follow me.”
Sebenarnya saya sedang mencari hostel lain, rekomendasi beberapa teman saya. Tapi, nggak ada salahnya lirik-lirik hostel lain dulu. Perempuan tadi membawa kami ke lantai 10. Lalu kami masuk ke sebuah lorong yang ada beberapa pintu kamar. Dia membuka salah satunya.
“Ini cuma HK$ 200 per malam,” katanya.
Dan…hah!! Kamarnya luar biasa kecil! Begitu buka pintu, di sebelah kanan langsung ketemu ranjang double. Tapi, di kanan-kiri ranjang itu langsung ada tembok! Saya melirik ke belakang pintu, di situ ada kamar mandi. Tapi…sempitnya sama ajaibnya dengan kamar itu. Pancuran air untuk mandi berada tepat di atas kakus. Jadi, kalau mau mandi kita harus duduk di kakus itu….hehehe! 😀
Yaah, pantesan aja murah. Tapi di ruang begini mana bisa kami bergerak? Lagipula, mereka tidak menerima kartu kredit. Terpaksa saya bilang, “Kami mau lihat yang lain dulu. Kalau oke, nanti saya balik lagi ke sini.” Perempuan itu cuma memasang tampang lemas dan sedih. Hilang sudah persenan dari hasil menggaet tamu ke hostel murmer ini.
Saya langsung menyeret istri saya keluar, sebelum si Mbak tadi nangis….hehehe! 😀 Kami lalu naik lift ke lantai 12. Di bawah tadi, saya sempat mempelajari nama-nama hostel yang ada di gedung ini. Di lantai 12, ada yang namanya Cosmic Guesthouse. Beruntung, walau saat itu baru jam 11.00, resepsionisnya mau memberi kami kamar selama dua hari.
“Saya belum bisa memastikan ada kamar kosong sampai tanggal 24 Oktober. Tapi, Anda boleh pakai kamar ini sampai dua hari ke depan. Setelah itu, kalau ada kamar, Anda mungkin harus pindah kamar,” kata si resepsionis.
“Boleh deh kalau begitu,” saya langsung setuju. Apalagi sebelumnya saya berhasil nawar dari harga HK$400 menjadi HK$300 untuk double room. Dan itu harga per kamar lho, bukan per orang. Soalnya banyak juga hostel di Hong Kong yang pasang tarif per orang. Dan bulan Oktober terhitung peak season di Hong Kong, soalnya cuaca lagi enak banget. Suhu udara antara 23-28° Celcius. Musim typhoon juga udah lewat. Mungkin kalau lagi low season harganya bisa lebih murah lagi. Tapi sebelum bayar saya mau lihat kamarnya dulu, yang kebetulan bersebelahan dengan ruangan resepsionis.
Ternyata kamarnya lumayan kok, lebih luas dibandingkan dengan kamarnya si Mbak cengeng tadi. Kamar ini juga bersih, ber-AC dan kipas angin, ada TV, dan kamar mandinya juga bersih dan air panasnya lancar. Lagian, 300 dolar itu angka yang lumayan murah untuk ukuran Asia’s World City yang mahal ini. Lagian, ini penginapan keempat (atau kelima) yang saya cari. Capek juga kalau tiap hari urusannya cari penginapan melulu.
Setelah deal, saya membayar dengan kartu kredit. Fiuhhh, akhirnya uang tunai saya selamat! Walau ada charge sebesar 3,5%, tapi bayarnya kan bisa belakangan dan bisa dicicil. Dan setidaknya untuk dua hari ke depan kami aman. Setelah itu, kalaupun terpaksa cari hostel lagi, setidaknya di gedung Mirador Mansion ini saja ada belasan hostel yang bisa dilihat-lihat dulu.
“Oke, terima kasih ya,” kata si resepsionis dalam bahasa Indonesia.
“Eh? You speak Indonesian?” tanya saya heran.
“Sedikit. My boss’ wife is an Indonesian-Chinese. Oh ya, walaupun check in sebenarnya jam 13.00, tapi kalian boleh masuk sekarang kalau mau.”
Wah, baik juga orang ini. So, untuk urusan penginapan, kami aman sampai Sabtu. Saya langsung menelepon Bu A untuk memberitahu bahwa saya akan check out hari itu, tapi baru akan mengambil tas sore harinya. Siang sampai sore itu kami blusukan di sekitar Causeway Bay, Times Square, dan sekitarnya. Sambil lihat-lihat ini-itu, siapa tahu ada warung makan yang sukur-sukur halal. Tapi kok jalan-jalannya nyasar jauh banget sampai ke Happy Valley (!). Setahu saya di dekat situ ada arena pacuan kuda, yang biasa disambangi warga Hong Kong buat taruhan. Tapi karena pacuan kuda biasanya dimulai malam hari, saya nggak jadi ke situ. Emang kita cowok apaan, cyin! *aslinya sih takut kalah* 😀
Jam 4 sore, saya sudah balik ke apartemen Bu A, leyeh-leyeh sambil nunggu empunya apartemen buat bayar. Tentunya sambil nge-charge ponsel dan kamera, dan pastinya online dong, mumpung lagi ada wi-fi gratis yang aksesnya kenceng. 🙂 Sejam kemudian, ternyata suaminya Bu A yang nongol duluan. Kalau saya kasih tahu pembaca JOS suaminya ini kerja di mana, bisa heboh nanti. Pasalnya, Bu A ini memang menyewakan apartemennya tanpa izin resmi, jadi yang nyewa kamar-kamarnya hanya orang Indonesia dan itu pun tahunya dari mulut ke mulut aja…hehehe! 🙂
Ya sudahlah. Yang penting, saya sudah selamat dari kemungkinan bangkrut. Sore itu, kami menggendong backpack ke Mirador Mansion. Tapi sebelumnya, kami mampir dulu ke warung kenalan saya itu, ceritanya sekadar mau memberitahu bahwa kami pindah penginapan ke Tsim Sha Tsui, dengan harapan dikasih makan lagi. Dan benar! 🙂 Walaupun masakannya biasa saja, yang penting bisa makan gratisan dulu. Habis itu barulah kami berangkat ke penginapan baru.
Keluar dari gedung tempat warung kenalan saya itu, ada toko plus warung makan bernama Warung Chandra. Iseng-iseng saya masuk, ternyata mereka jual nasi lauk seharga HK$ 15-18 saja! “Kalau siang, makannya masih anget, Mas,” kata si Mbak penjaga warung memberitahu. Selain itu, mereka juga menjual berbagai kebutuhan sehari-hari di situ. Sambal terasi ABC juga ada di sini. Ah, pokoknya akhirnya saya seneng banget bisa nemu makanan murah! Ada sih makanan yang bisa dipanaskan lagi di situ, tapi harganya kisaran HK$ 25-35. Lha, mendingan yang HK$ 15-18 tadi dong! 😛 So, sore itu kami menuju TST dengan sekotak nasi rames.
Malamnya, setelah makan nasi seporsi berdua, kami nonton Symphony of Lights—pertunjukan laser, multimedia, dan permainan cahaya yang melibatkan puluhan gedung, baik di sisi Kowloon maupun Pulau Hong Kong.
Saya datang ngepas hampir jam 8 malam waktu itu, padahal jarak lokasinya hanya 15 menit jalan kaki dari hostel saya. Kalau melihat kerumunan sepanjang TST Promenade hingga Avenue of Stars malam itu, pasti ada ribuan orang yang menanti pertunjukan gratis yang diadakan tiap jam 8 malam oleh Hong Kong Tourism Board ini. Tanpa pertunjukan ini pun, pemandangan Pulau Hong Kong dari sisi Kowloon sudah sangat keren.
Pertunjukan dimulai pas jam 8. Beberapa gedung tampak menembakkan cahaya laser ke langit dan ke arah Kowloon. Sebaliknya, gedung-gedung di sisi Kowloon juga memainkan cahaya lampu dan laser mereka yang bisa dilihat dari sisi Pulau Hong Kong. Permainan cahaya ini hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit setiap malamnya. Pada hari-hari raya, misalnya Tahun Baru atau Tahun Baru Cina, katanya pertunjukannya jauh lebih heboh, dengan pesta kembang api segala. Jadi, karena malam itu hanya malam “biasa”, pertunjukannya tergolong biasa saja. Tapi, walaupun “biasa”, sedikit permainan laser sudah membuat para penonton berdecak kagum. Memang keren kok. Rugi kalau ke Hong Kong nggak nonton pertunjukan gratis ini.
Seusai acara, kami jalan-jalan di sepanjang Promenade. Banyak lapak yang menawarkan jasa foto langsung jadi, dengan latar pemandangan Pulau Hong Kong pada waktu malam. Harganya bo…mahal! Paling murah HK$ 20 untuk foto ukuran 2R, paling mahal HK$ 100 untuk yang 12R. Tapi saya cuma lihat-lihat aja sih. Sayang duitnya. Mendingan juga foto sendiri, walaupun andalan saya cuma satu kamera saku digital biasa yang kurang bagus untuk foto malam hari, plus kamera ponsel Samsung S III mini yang belum lunas. 😀 Di lapak-lapak itu, penjualnya juga memajang foto-foto yang pernah dibuat. Banyak juga yang lucu-lucu. Ada pasangan yang lagi ciuman, ada yang lagi pose kungfu, ada juga cewek bule yang *****nya gede banget…hahaha!! 😀
Pas balik ke hostel, si Mbak Cengeng yang tadi siang nawarin penginapan mendekati saya lagi. Masih menawarkan penginapan murah untuk saya. Tampaknya dia sudah lupa bahwa beberapa jam sebelumnya saya pernah mengecewakan dia. 😀 Malam itu, setelah merencanakan acara jalan-jalan esok harinya, kami tidur dengan tenang.[]
(Bersambung)