Tag Archives: penerbit

Balada Pak Editor

Meja kerja saya--dengan segala

Meja kerja saya…dengan segala “perlengkapan”nya.

Editor buku barangkali bukanlah profesi populer di masyarakat kita. Disangka kerja di percetakan—atau parahnya disangka kerja di kios fotokopi di sekitar kampus—mungkin pernah dialami teman-teman saya yang seprofesi. Biasanya sih yang menyangka begitu memang bukan pembaca buku.

Keluarga besar saya aja juga nggak tahu persis editor buku itu kayak apa kerjaannya. Yang mereka tahu mungkin editor tuh banyak duit. Mungkin karena saya sering ngelayap ke luar negeri. Mereka nggak tahu aja saya nginepnya di bandara atau hostel murah, tiketnya promo, nabungnya berbulan-bulan atau bertahun-tahun, pulangnya puasa…hehehe! 😀

Tadinya saya pikir cerita tentang kerjaan saya sehari-hari ini tidak menarik bagi rekan-rekan seprofesi. Tapi kata seorang teman, justru sebaliknya. Karena jarang ada editor in-house yang rajin ngeblog. Haha! Padahal blog JOS ini juga jarang di-update walau follower-nya udah lebih dari 200 orang dan dilihat lebih dari 250 ribu kali. *not bad lah* *kibas poni* 😛

Dragon Blade. Teman cari nafkah dan jalan-jalan.

Dragon Blade. Teman cari nafkah dan jalan-jalan.

Saya biasa tiba di kantor sebelum jam 8 pagi—alias sebelum jam kantor dimulai. Jarak dari rumah ke kantor saya sekitar 15 kilometer. Biasanya saya tempuh dalam waktu 40 menit. Itu udah termasuk macet dan jalanan bolong-bolong. Kadang malah 30 menit kalau saya lagi pengen balapan di jalanan bypass pake Honda Blade saya. Kalau jalanan kosong melompong, 15 menit juga udah nyampe. *Berangkatnya jam 3 pagi* 😀 Kalau pakai angkutan umum, waktu dan uang bisa habis semua. Butuh dua kali ojek dan tiga kali angkot untuk bisa sampai ke kantor. Ongkosnya bisa 40 ribu sehari pergi-pulang. Belum ngitung durasinya. Umur habis di jalanan. Boros!

Ritual pagi saya di kantor biasanya ya langsung nyalain komputer. Habis itu buka bungkusan sarapan. Menu setiap pagi bervariasi: soto ayam, bubur ayam, nasi kuning, nasi gudeg, kupat tahu, nasi uduk, atau lontong kari. Kadang saya makan di kaki lima, kadang juga saya bawa ke kantor buat dimakan di meja. Beberapa teman kantor juga sudah hafal ritual pagi saya itu, apalagi kalau harum makanannya udah menyebar ke mana-mana, sehingga kadang mereka nanya apa menu sarapan pagi ini atau bahkan nitip beliin.

Eh, kenapa ini jadi ngomongin makanan, ya? Hahaha! 😀

Nah, sambil sarapan itu, biasanya sejam pertama di pagi hari saya habiskan dengan mengecek dan membalas e-mail, baca-baca berita online (saya suka baca topik apa pun, termasuk gadget, karena bisa sambil ngiler punya gadget keren), baca-baca postingan terbaru di beberapa blog favorit saya (topiknya sering kali tentang buku, wisata kuliner, dan traveling), sambil sesekali chatting via WhatsApp dengan beberapa teman. Seringnya sih ngegosip atau cela-celaan….hahaha! 😛 Frekuensi saya main Facebook udah jauh menurun, jadi cuma dicek sekali-sekali. Twitter? Cuma saya tengok kalau ada yang mention. Kalau nggak ada, paling cuma sebulan sekali dua kali buka Twitter. Instagram dan blogwalking lebih asyik buat saya…hehe! 😀 Selain yang udah saya sebutkan, saya nggak punya akun di medsos lain. Buang-buang waktu aja sih buat saya.

Nah, setelah semua ritual itu selesai, baru deh saya mulai kerja…hahaha! Apa sih kerjaan editor?

Yang diketahui sebagian orang, editor buku itu kerjanya cuma baca hasil terjemahan atau mengoreksi naskah. Hohooo…tidak bisaa! *ngutip Sule* 😀

Kerjaan seorang editor yang sudah pasti adalah mengoreksi naskah. Dulu saya memang menggarap buku-buku terjemahan, baik fiksi maupun nonfiksi. Dua tahun belakangan saya pindah tim , tapi tetap garap fiksi dan nonfiksi. Fiksi yang saya garap sekarang hampir semuanya karya penulis lokal. Sementara nonfiksinya biasanya buku memoar perjalanan, motivasi, bisnis/entrepreneurship, dan tema-tema populer—banyak yang terjemahan. Nah, kan, makanya saya wajib banyak baca berbagai genre dan tema. Sesekali, kalau kebutuhan mendesak, saya juga menerjemahkan buku. Tapi ini jarang sekali. Buku terakhir yang saya terjemahkan adalah tentang Greyson Chance dari bahasa Perancis.

“Pantry” dan tumpukan buku & naskah di meja editor.

Di luar kerjaan mengedit, seorang editor juga membuat konsep cover buku. Biasanya saya membuat cover check list. Di dalamnya ada semua detail menyangkut cover: endorsement, sinopsis/blurb, judul, subjudul, hingga ke gambaran cover yang akan digunakan sebagai panduan oleh desainer cover. Untuk bisa mendapatkan konsep cover, biasanya saya googling dulu.

Untuk buku terjemahan lebih mudah. Sinopsis dan cover kan sudah ada, jadi bisa saya pakai untuk panduan sementara. Finalnya nanti kalau perlu sinopsisnya diubah lagi. Terkadang kalau cover buku aslinya saya anggap bagus, bisa saja penerbit tinggal beli rights-nya, terus tinggal dipasang di buku, deh. Beberapa buku terjemahan kadang mengalami penundaan terbit, sehingga editor harus teliti memeriksa surat kontraknya, sampai tanggal dan tahun berapa penerbit kami memiliki hak terbitnya.

Untuk buku lokal, mau tak mau memang harus dibaca dulu supaya saya bisa dapat gambaran untuk cover. Yang mengeksekusi tentu saja desainer, karena saya nggak bisa mainan desain grafis. Sering juga saya mengajak diskusi penulisnya tentang cover dan sinopsisnya. Yang bikin senang tentu kalau penulisnya kooperatif dan tak banyak menuntut. Yang repot, kalau penulisnya rewel dan banyak maunya, yang kadang tidak bisa dikabulkan penerbit. Kalau menggarap buku terjemahan tentu nggak perlu banyak debat dulu dengan penulisnya.

Editor juga sesekali harus membuat perhitungan harga jual, khususnya untuk buku yang agak “rumit”, misalnya halaman berwarna, foto, jenis kertas khusus, bonus pembatas buku, CD, dan sebagainya. Beberapa jenis pekerjaan seperti menerjemahkan dan mengedit tidak semuanya dikerjakan oleh editor in-house. Terkadang saya juga mencari editor dan penerjemah lepas. Mereka yang hasil kerjanya bagus biasanya sering saya kontak dan jadi langganan. Tapi tidak jarang juga ada banyak surat lamaran yang masuk yang mesti dipelajari sebentar oleh editor. Tentu saja para pelamar baru akan dihubungi dan dites sesuai keperluan penerbit.

Kalau lagi ngedit, saya biasanya pasang headset gede, sambil putar lagu-lagu cadas. Biar mood tetap terjaga. Di kompi saya entah ada berapa juta lagu. Tapi yang paling sering saya putar biasanya itu-itu aja: Sick of It All, System of a Down, NOFX, Soulfy, Ill Nino, King Ly Chee, Story of the Year, Limp Bizkit, Linkin Park, Muse, DragonForce, Hatebreed, Lamb of God, Nightwish, Bullet for My Valentine, dan yang berisik-berisik lainnya. Biar nggak ngantuk juga, sih.

Dengan headset dan speaker yang menyajikan dentuman bas dahsyat di kuping, wajarlah kalau ada teman manggil saya atau ada telepon, saya nggak bakalan denger kecuali ada yang melambai-lambai (ke kamera). Apalagi kalau udah goyang-goyang badan dan kepala….waah, nggak kerja deh! 😛 Eh, tapi…saya juga kadang dengerin dangdut, lho. Apalagi dangdut koplo…wah, makin asoy aja deh…hehehe! 😀

Kantor penerbit saya. :)

Kantor penerbit saya. 🙂

Di tengah kesibukan tadi, kadang ada tamu yang datang. Biasanya menawarkan naskah, atau teman yang kebetulan penulis dan minta beberapa “nasihat” seputar penerbitan buku (siapa saya sih?? Hehe!). Pernah, ada juga wanita galau dan disorientasi yang datang cuma ngobrol nggak jelas dan buang-buang waktu saya. Tapi yang terakhir ini untungnya sangat jarang…hehe!

Selain itu, editor juga harus menyempatkan diri untuk berburu naskah. Entah itu dengan cara blogwalking, ngintipin media sosial, cari buku luar di Amazon, Goodreads, New York Times, atau blog-blog tentang buku; ngobrol dengan rekan editor entah di kantor saya atau dengan kenalan; ngubek-ngubek toko buku bahkan ketika sedang di luar negeri, dan banyak lagi. Mencari contoh cover-cover ciamik juga kerjaan editor, sehingga editor punya referensi untuk membuat konsep cover dan nantinya tinggal dieksekusi oleh desainer.

Ini masih ditambah dengan kerjaan me-review buku. Penerbit tidak hanya menerima naskah yang datang, tapi juga mencari sendiri. Nah, editor mempelajari naskah yang masuk. Jelek? Tolak. Bagus? Potensial? Bikin review dan ajukan ke manajer redaksi dan CEO. Kalau diterima, tinggal tes medis hubungi penulisnya dan bikin surat kontrak. Editor juga me-review buku yang diburunya sendiri.

Editor nggak melulu nongkrong di depan komputer. Kadang saya juga harus keluar kantor untuk menemui relasi. Dari penulis buku, calon penulis, seleb, dan banyak lagi. Sesekali, kalau lagi apes, saya juga disuruh jadi pembicara di acara ini-itu yang terkait dengan dunia buku. Kadang malah di luar kota. Kalau soal ngomong di depan publik gini saya rada malas juga, sih. Bukan apa-apa, soalnya saya bukan tipe orang yang bisa nyaman dan lancar bicara di depan orang banyak…hehe! 😀 Tapi saya pernah beberapa kali didaulat jadi host untuk acara sharing di kantor, khususnya kalau pembicaranya orang yang bukunya saya garap atau topiknya nyambung sama saya. Misalnya, saya pernah nge-host untuk Alvin Adam dan Agustinus Wibowo. 😛

Sesekali kali kami juga jalan-jalan ke toko buku atau pameran buku. Melihat buku-buku baru, mana cover yang keren, mana yang laku. Tentu saja kami juga sebenarnya sudah punya data soal buku bestseller ini yang diperlihatkan di setiap rapat redaksi. Atau kalau ada acara-acara terkait buku, kadang saya juga terlibat. Misalnya menggarap proyek penulisan novel bekerja sama dengan satu komunitas penulis. Kalau perlu saya turun langsung untuk urusan cari penginapan dan konsumsi untuk peserta.

Dalam konteks menggarap buku lokal, yang menyenangkan adalah saat harus banyak berhubungan dengan seleb. Contohnya, waktu saya menggarap buku Alvin Adam. Dari ngobrol-ngobrol dengan Alvin di rumahnya di kawasan Serpong, mengurusi sesi foto, hingga membuat konsep isi buku yang penuh foto, ilustrasi, dan full colour, semuanya saya terlibat. Di tahun pertama saya bekerja di sini pun saya sudah disuruh menemani dua penulis novel dari Denmark dan Inggris, termasuk mendampingi mereka ke Ubud Writers & Readers Festival (2009) di Bali.

Bareng Alvin Adam dan timnya seusai acara launching buku.

Bareng Alvin Adam dan timnya seusai acara launching buku.

Di jam istirahat (12.00-13.00), kadang saya malas makan kalau sarapannya terlalu banyak (konsekuensinya: harus makan malam). Nah, biasanya saya isi dengan nulis postingan buat blog atau nyicil nulis naskah buku (yang entah kapan selesainya). Begitu juga saat jam kantor usai (jam 17.00), saya nulis-nulis lagi atau ngerjain proyek lain yang menyenangkan dan menghasilkan. 😛 Menjelang Magrib baru saya pulang.

Mungkin ada yang bertanya: apakah saya pernah bikin kesalahan saat mengedit/mengemas buku?

Ya pernah, dong. Tidak ada editor yang tak retak. Dari salah edit, konsep cover yang jelek, dan sebagainya. Bisa karena lalai atau lelah. Yah, namanya juga kehidupan! Maaf yaa….hahaha! 🙂 Pekerjaan editor di sini juga dibantu asisten editor (astor). Kerjaan seorang astor sangat teknis. Mereka mengurusi buku yang kontennya sudah jadi hingga sampai di meja PPIC (Product Planning and Inventory Control). Astor menghubungi beberapa pekerja lepas seperti proofreader, layouter/setter, dan desainer, menyampaikan dan memeriksa detail-detail pekerjaan yang daftarnya sudah dibuat oleh editor via check list yang saya sebut di atas tadi. Desain isi, tata letak, dan cover harus disetujui oleh editor, manajer redaksi, dan CEO, tapi penanggung jawabnya tetaplah editor. Astor jugalah yang menyiapkan dokumen-dokumen terkait detail buku untuk bisa dieksekusi oleh percetakan nantinya. PPIC adalah “penyambung lidah” tim redaksi/penerbit dengan percetakan dan distributor.

Yah, begitulah.

Ada beberapa jenis pekerjaan yang menurut saya menuntut dedikasi. Beberapa di antaranya: wartawan dan editor buku. Soal pendapatan itu relatif banget. Jangan dibandingkan dengan kerja di perusahaan minyak asing. Dalam kasus saya, pekerjaan sebagai editor buku itu secara penghasilan dan kepuasan batin baik-baik saja. Dalam pekerjaan ini, setiap buku yang digarap selalu punya cerita yang berbeda. Tantangannya juga selalu berbeda. Ketika melihat buku keluar dari percetakan dengan tampilan keren, saat mengetahui buku yang saya garap jadi bestseller, atau berhasil membimbing seorang potensial yang belum menulis hingga dia selesai menulis, kepuasan semacam ini sulit dilukiskan.

Di luar pekerjaan, alhamdulillah saya masih kuat membaca buku. Namanya juga editor, sudah pasti diawali dengan kecintaan terhadap buku. Rata-rata saya membaca 20-40 buku per tahun. Itu belum buku yang saya garap di kantor, ya…hehe! Sesekali juga saya dan istri wisata kuliner keliling Bandung, atau backpacking murah-meriah. 🙂

Nah, apa yang belum saya ceritain, ya? Udah dulu, ah. Silakan tanya aja di bagian komen. Kalau bukan rahasia perusahaan insya Allah saya jawab.[] 🙂

“Diwawancara”

meja

Meja kerja editor yang selalu berantakan.

Berawal dari obrolan-obrolan random yang kadang nggak jelas dengan Rini Nurul Badariah—seorang penerjemah/editor lepas, akhirnya “wawancara” tentang pekerjaan kami berdua itu dimuat di blognya. Silakan menikmati. 🙂

Indradya SP: Penerjemah dan Editor Lepas Sebaiknya Punya Blog

Apr 1, 2013 by Rini Nurul

Kendati paham menyungainya tugas editor in house, tak ayal saya bertanya-tanya mengapa mereka yang punya blog sangat jarang menulis tentang hal-hal berbau pekerjaan. Indradya, editor Mizan Pustaka yang kini identik dengan buku traveling karena blognya dan beberapa buku yang ia sunting (Geography of Bliss dan Bikepacker Nekat di antaranya) sama saja. Ketika saya minta menulis barang sedikit tentang penerjemahan dan penyuntingan, katanya seperti disuruh lari 10 kali keliling Bangkok. Untunglah Indra bisa saya “ganggu” dengan tanya ini-itu alias wawancara santai, dengan banyak ngalor-ngidul di awalnya.

Berikut obrolan tempo hari:

R: Sebelum jadi editor in house, gimana bayangan Indra mengenai tugasnya? Apakah kenyataannya sekarang mirip, atau jauh berbeda?

I: Sebelum jadi editor in house, saya malah jadi guru bahasa inggris. tapi saya sudah cukup banyak tahu seperti apa detail pekerjaan seorang editor. Modal untuk tahu soal itu cuma dengan browsing dan blogwalking. Ditambah minat, tentu saja. Setelah jadi editor di sini selama 4 tahun, tugas editor tak jauh berbeda dengan bayangan saya. Aslinya sih saya memang ingin jadi editor.

R: Kabarnya penerjemah bisa ketahuan lebih bagus di nonfiksi atau fiksi. Adakah kriterianya?

I: Ciri paling gampang bisa dilihat dari apa minat bacanya. Kalau bacanya hampir selalu buku fiksi, ya kemungkinan besar di situ kemampuan dan pengetahuannya. Saya sendiri membaca banyak tema, baik fiksi maupun nonfiksi. Imbasnya, buku yang saya edit juga beragam temanya. Sejauh ini saya sangat menikmati kok.

R: Jadi Indra sekarang menangani nonfiksi saja atau fiksi juga?

I: Saya sekarang lebih banyak diberi jatah buku nonfiksi. Persentasenya kira2 65% nonfiksi dan 35% fiksi.

R: Apakah pernah menangani buku yang dirasa kurang cocok?

I: Editor in chief kan udah tau genre ini cocoknya buat editor A atau B, sudah terpetakan di sini. Kalaupun saya ngerasa nggak sanggup, boleh nolak kok… atau cari editor freelance yang pas untuk naskah tersebut.

R: Bagaimana cara Indra sendiri menentukan penerjemah yang cocok untuk naskah tertentu?

I: Diliat track record juga, plus ngobrol-ngobrol dulu. Buku ini temanya begini-begitu, sanggup/mau nggak?

Kalau dari pengalaman, penerjemah yang merasa tidak sanggup atau tidak berminat pasti menolak. “Wah, saya mendingan buku bisnis/manajemen aja Mas.”

Untuk penerjemah/editor freelance baru, dalam artian yang belum pernah bekerja sama dengan penerbit saya, ya tentunya dilihat CV-nya, dites dulu, plus ngobrol dan dilacak hal-hal lainnya, misalnya blog atau buku-buku yang pernah dia terjemahkan di penerbit lain. Makanya, penerjemah/editor freelance perlu banget punya blog. Apalagi kalau si editor/penerjemah lepas ini juga bisa nulis bagus, makin tinggilah skornya. Makin besar kesempatan buat dicolek sama penerbit.

R: kalau memang biasa garap berbeda-beda genre/tema, gimana cara beralih dengan mulus waktu nerjemahin/ngedit?

I: Awalnya baca bismillah dulu, abis itu skimming dan scanning. Dengan beban pekerjaan seperti ini, begitu satu naskah sudah masuk percetakan, lupakan yang sudah lewat dan langsung hajar yang berikutnya.

R: Bisa otomatis melupakan gitu aja?

I: Lama-lama ya biasa. Kalo buku yg sudah dicetak ada masalah, memori itu akan kembali, karena jeda waktunya juga tidak lama.

R: Apa asyiknya industri perbukuan buat Indra?

I: bisa terus belajar skill editing dan penerjemahan, sama nulis. Ini masih ditambah kesempatan belajar memburu penulis potensial yang belum “digosok”. Kalo ada kesempatan mungkin saya mau aja belajar cara mencetak buku di percetakan.

R: Banyak yang bilang editor buku kerjanya berat, tapi pendapatannya tidak besar. Menurut Indra gimana?

I: Ada beberapa pekerjaan yg menurut saya menuntut dedikasi. Beberapa di antaranya: wartawan dan editor buku. Soal pendapatan itu kan relatif banget. Tentu jangan dibandingkan dengan kerja di perusahaan minyak global. Dalam kasus saya, pekerjaan sebagai editor buku itu secara penghasilan dan kepuasan batin baik2 aja tuh. Dalam pekerjaan ini, setiap buku yang digarap selalu punya cerita yang berbeda. Tantangannya juga selalu berbeda. Ketika melihat buku keluar dari percetakan dengan tampilan keren, saat mengetahui buku yang saya garap jadi bestseller, atau berhasil membimbing seseorang yang berpotensi yang belum menulis hingga dia selesai menulis, kepuasan semacam ini sulit dilukiskan.

Khusus editor buku, ini jenis profesi yang menuntut kecintaan. Anda bisa jadi staf keuangan atau administrasi di semua perusahaan. Tapi editor buku hanya bisa bekerja di penerbit buku, termasuk editor freelance yang bersimbiosis mutualisme dengan penerbit. Yaa paling banter masih bisa kerja di surat kabar atau ngajar bahasa deh. Kecuali orang tersebut memang punya keahlian lain di luar yang saya sebutkan itu.

Kalau saya, sejak dari mahasiswa sudah mencoba menjelajahi berbagai profesi yang berhubungan dengan bahasa. Wartawan, guru bahasa Indonesia untuk orang asing, guru bahasa Inggris, dan sekarang editor buku. Saya lebih menikmati yang terakhir ini.

Catatan: Indra menempuh studinya di jurusan Sastra Prancis UGM.

R: Editor in house kadang mendapat tugas menerjemahkan untuk kantornya, adakalanya bersama editor lain. Adakah kiat menerjemahkan atau mengedit keroyokan?

I: Memang agak merepotkan ya. Menerjemahkan keroyokan itu biasanya kan karena penerbit ingin buru-buru menerbitkan sebuah buku terjemahan demi mengejar momentum. Yang pasti, sering-sering komunikasi sama rekan lain. Dari awal pastikan aja beberapa hal yang perlu. Misal lagi mo ngerjain novel, pastikan mau pake kata ganti apa, mau kalimatnya seluwes apa, berapa halaman yang dikerjakan masing-masing, dsb.

Soalnya nanti di tengah-tengah, kalau kita kebagian nerjemahin yang bukan dari awal, mungkin sekali kita rada ahistoris. Si A ini siapa sih? Hubungannya apa sama si B? Wataknya gimana? dll

Kalo udah selesai nerjemahin, enaknya dibaca lagi, baik terjemahan sendiri atau terjemahan rekan. Idealnya barengan.

Terima kasih, Indra. Hidup Pesta Kolesterol! 😛

Tulisan asli bisa dibaca di sini.