Tag Archives: Hong Kong

Nongkrong di Hong Kong #8

Kolam di Kowloon Park. Beberapa orang tua sedang berlatih kungfu dengan pedang.

Kolam di Kowloon Park. Beberapa orang tua sedang berlatih kungfu dengan pedang.

Hari terakhir di Hong Kong. Rencananya, hari ini temanya taman. Taman kota adalah salah satu tempat yang wajib saya kunjungi saat sedang jalan-jalan ke mana pun. Bukan cuma karena saya suka taman kota, tapi juga karena…gratis! Hahaha! Yah, sejak awal udah bisa diprediksikan sih bakalan bokek pada hari-hari terakhir. 🙂

Dekat hostel tempat saya menginap, sebenarnya ada taman kota yang cukup bagus. Namanya Kowloon Park. Lokasinya persis di belakang Masjid Kowloon, hanya beberapa puluh meter dari gedung Mirador Mansion. Pagi itu, masih sekitar jam 8, saya sudah jalan ke taman. Sepagi itu, Kowloon Park tidak bisa dibilang sepi. Pemandangan yang agak mencolok adalah kebanyakan pengunjung taman pagi itu adalah orang-orang tua.

"Buang sampah di sini ya, cu!"

“Buang sampah di sini ya, cu!”

Macam-macam kegiatan mereka. Ada yang sekadar jogging, senam, jalan kaki, tai chi, bahkan ada yang sedang latihan kungfu menggunakan pedang (!). Ada juga seorang nenek yang sedang bermain dengan cucunya, mengajarkan cara buang sampah di tempat sampah, walau dia gagal mengajari cucunya cara memakai celana dalam dengan benar…hehehe! 😀

Di Hong Kong, pemandangan orang-orang tua atau manula yang asyik berolahraga di taman-taman kota atau di area publik lainnya adalah pemandangan biasa. Mereka masih tampak sehat dan bugar. Menurut saya, salah satu faktornya ada hubungannya dengan transportasi publik yang bagus dan terintegrasi.

Transportasi publik di sini “memaksa” warga untuk banyak berjalan kaki. Stasiun MTR di bawah tanah memadukan tangga dan elevator. Bus kota dan minibus juga hanya berhenti di halte yang ditentukan. Jadi belum tentu kita bisa berhenti persis di depan tujuan kayak naik angkot sehingga harus berjalan lagi. Dalam sehari, dijamin kita akan berjalan kaki ribuan langkah. Lebih banyak daripada yang disarankan oleh ahli kesehatan. Bisa jadi karena itulah para manula di sini banyak yang masih tampak bugar walau rambut sudah memutih dan kulit makin peyot.

Puas muter-muter di Kowloon Park, kami turun ke stasiun MTR yang letaknya di bawah taman itu. Saya pernah baca tentang sebuah taman yang konon cakep banget. Namanya Nan Lian Garden. Taman ini paling gampang dicapai menggunakan MTR. Turun di stasiun Diamond Hill, dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar 150 meter, kita akan dengan mudah melihat petunjuk jalan menuju Nan Lian.

Nan Lian Garden.

Nan Lian Garden.

Taman kota ini didesain dengan gaya arsitektur Dinasti Tang (Cina). Ada kolam besar dan air terjun buatan, dengan ikan koi besar-besar di kolamnya. Taman ini juga mempunyai koleksi tanaman bonsai dan batu-batu alam berbentuk aneh-aneh yang konon dikumpulkan dari seluruh penjuru daratan Cina.

Kolam berhiasan bunga teratai di halaman biara.

Kolam berhiasan bunga teratai di halaman biara.

Itu saja? Tunggu dulu. Nan Lian Garden ternyata bersambung dengan Biara Chi Lin (Chi Lin Nunnery). Kita cukup melintasi jembatan penyeberangan yang khusus menyatukan taman ini dengan area biara.

Kompleks biara khusus biksuni tersebut dibangun tahun 1930-an. Konon konstruksinya didesain sedemikian rupa agar bangunan kayunya bertahan ribuan tahun.

Selain itu, bangunan kayunya disambung-sambung tanpa menggunakan paku satu pun (!). Di halaman biara, terdapat beberapa kolam dengan bunga-bunga teratai (lotus) mengambang di permukaan air.

Di kanan-kiri, terdapat beberapa ruangan berisi patung beberapa dewa. Sayang, dilarang memotret di area ini.

Chi Lin Nunnery di tengah kepungan hutan beton.

Chi Lin Nunnery di tengah kepungan hutan beton.

Saat itu, tampaknya hanya kami yang tidak bermata sipit di kompleks Buddhis itu. Turis bule pun tidak ada. Apakah tempat ini tak begitu dikenal turis yang datang ke Hong Kong? Selain turis Cina, ada beberapa warga lokal yang sedang bersembahyang.

Beberapa biarawati berjalan mondar-mandir dengan tenang sambil merapalkan doa atau membawa buah dan beras sebagai persembahan kepada dewa-dewi. Suasana kompleks Buddha ini terasa menenangkan dan menyejukkan hati. Sesejuk suhu Hong Kong di pagi yang cerah itu—sekitar 25° Celcius.

Golden Pagoda di Nan Lian Garden, Hong Kong.

Golden Pagoda di Nan Lian Garden.

Sungguh menakjubkan melihat atmosfer modern dan tradisional berpadu dalam harmoni. Seperti terlihat dalam foto di atas—pagoda berselimut warna emas dan merah, ditemani gedung-gedung pencakar langit dan perbukitan hijau nun di belakang sana.

Saat itu sudah lewat tengah hari. Buat makan siang, kami langsung melompat lagi ke MTR dan menuju Central. Dari situ kami memilih naik trem ke Wan Chai. Soalnya saya suka duduk di dek atas, people-watching sepanjang jalan, dibelai angin sepoi-sepoi, terus siapa tahu ketiduran kan….hehe!

Nasi goreng dan dimsum di kantin Masjid Ammar.

Nasi goreng dan dimsum di kantin Masjid Ammar.

Turun di halte, kami berjalan kaki sedikit ke Masjid Ammar. Sholat dzuhur dan makan siang di kantinnya di lantai 5. Menunya jelas: dimsum. Habis, dimsum di sini uenak banget, halal, dan harganya cukup murah.

Kenyang makan dimsum sekian porsi dan nasi goreng, kami pulang dulu sebentar ke hostel. Ngepak backpack, suvenir kecil-kecil, baju kotor. Biar nanti malam kami nggak perlu repot lagi.

Suasana sore di Avenu of Stars, TST.

Suasana sore di Avenue of Stars, TST.

Menjelang sore, kami jalan-jalan lagi. Tapi kali ini nggak jauh-jauh. Soalnya, saya ada janji sama seorang warga Hong Kong kenalan saya. Sore itu, selain menikmati suasana di sepanjang, saya sebenarnya mengincar foto sunset di Hong Kong.

Sunset di HK. Foto diambil dari area Avenue of the Stars, TST.

Sunset di HK. Foto diambil dari area Avenue of Stars, TST.

Kawasan TST Promenade dan Avenue of Stars sore itu agak ramai. Para turis sibuk berfoto-foto dengan latar belakang Pulau Hong Kong di seberang dan patung-patung serta cetakan tangan para bintang film Mandarin di sepanjang area itu. Bahkan hanya duduk-duduk atau jalan santai di area ini saja sebenarnya sudah sangat menyenangkan. Apalagi sambil memandangi matahari terbenam.

Beberapa saat kemudian, ada SMS dari kenalan saya tadi. Meminta saya menunggu sebentar karena dia baru balik dari tempat kerjanya. Saya ceritain dulu sedikit soal ini.

Bareng Riz Farooqi.

Bareng Riz Farooqi.

Saya pertama kali main ke Hong Kong tahun 2002. Waktu itu, sebelum berangkat, saya iseng mencari komunitas hardcore di Hong Kong. Awalnya sih cuma iseng aja cari kenalan, tapi kok yang ketemu di Google malah situs-situs porno hardcore….hahaha! 😀

Maksud saya tuh cari band atau komunitas penggemar musik hardcore. Akhirnya nemu band yang namanya King Ly Chee. Lagunya keras, liriknya sangar, penuh kritik sosial dan pesan-pesan positif. Tak berapa lama, seorang personelnya yang bernama Riz Farooqi membalas e-mail saya. Dia bilang oke-oke aja kalau mau ketemu pas saya di Hong Kong.

Singkat cerita, waktu berada di Hong Kong saat itu, beberapa personel King Ly Chee menelepon saya. Bahkan Kevin, drummer-nya, cuma menelepon saya sekadar bilang welcome dan see you tonight. Malam itu saya bertemu dengan Riz, vokalis dan gitaris King Ly Chee, di sebuah stasiun MTR. Seorang pria botak berbadan gempal dan tingginya sepantaran saya mendekat. Mengamati saya dari kepala sampai kaki.

“Glasses, brown skin, black daypack, red shoes. Ah, you must be Indra!” katanya sambil menyorongkan tangannya, bersalaman. Riz lalu mengajak saya berjalan beberapa blok, tempat tiga personel lainnya sudah menunggu kami. Andy, Alex, dan Kevin. Semuanya orang Hong Kong dan bicara dua bahasa, Inggris dan Kanton. Badan mereka jangkung, lengan dan betis penuh tato. Tapi saya tak bisa menafikan kehangatan dan keramahan mereka. Di mobil Andy, dalam perjalanan ke studio mereka, Alex—pemain bas King Ly Chee yang rambutnya rada nge-punk dan dicat pirang—menawarkan makanannya. Saya menolak dengan sopan.

Why, Indra? Kau tak suka makanannya? Aku tidak heran. Sayur doang begitu mana enak,” Riz nyeletuk. Kami semobil ketawa terbahak-bahak. Belakangan saya baru tahu bahwa Alex—dan Kevin—adalah vegetarian. Wow, sangar begini tapi vegetarian. Keempat personel band ini pun ternyata tak ada yang merokok atau minum alkohol. Mereka menganut paham straight edge—sebuah subkultur dalam komunitas musik punk dan hardcore yang pengikutnya menolak menggunakan narkoba, merokok, dan kalau perlu menolak makan daging.

KLC dalam sebuah konser. Tentu ini formasi terbaru.

KLC dalam sebuah konser. Tentu ini formasi terbaru.

Pada malam di bulan Januari 2002 itu, saya diajak menonton mereka nge-jam di studio yang lumayan luas. Instrumennya tampak lumayan berkelas. Sound-nya juga bagus.

Sesekali saya juga dibolehkan ikut main drum walau permainan saya agak payah…hehe! Mereka juga menanyakan saya mau lagu apa. Saya pun merekam aksi mereka dengan handycam. Di akhir lagu, Riz berteriak, “Thank you, Jakartaaa!!” Hahaha! Macam lagi konser aja! 😀

Selesai latihan, lebih dari tiga jam kemudian, Riz menggoda saya. “Kau pulang naik apa?”

“MTR, mungkin,” jawab saya.

“MTR cuma beroperasi sampai jam satu, dude! Jalan lagi nanti jam 6.”

Saya langsung pucat. Padahal saya juga nggak tahu saat itu sedang berada di daerah mana. Saya melirik jam tangan. Sudah jam setengah satu! Andy langsung menepuk-nepuk pundak saya.

“Tenaaang! Kami akan mengantarmu kok!” Semuanya langsung ketawa melihat saya bernapas lega.

Walau cuma satu kali itu bertemu anggota band formasi lengkap, sesekali saya masih saling sapa dengan mereka di media sosial, terutama dengan Riz. Begitulah.

Petang itu, saat saya dan istri lagi asyik nongkrong di Avenue of Stars, Riz mengirim SMS lagi, meminta saya menunggu di sebuah halte bus tak jauh dari gedung hostel saya. Saya pun segera cabut dan berjalan menuju tempat janjian. Beberapa menit kemudian, Riz tiba dengan sedan birunya. Pria satu ini memang sangat ramah dan murah senyum. Sebelas tahun tak bertemu dan dia masih seperti teman lama.

Yo, Indra! Long time, long time!” katanya sambil tersenyum lebar dan memeluk saya. Saat bicara bahasa Inggris, logat Riz sangat Amerika. Dia memang pernah kuliah di Massachusetts. Riz adalah generasi kedua dari sebuah keluarga Pakistan. Orangtuanya pindah ke Hong Kong untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Riz lahir di Hong Kong dan hanya beberapa kali sempat pulang ke Pakistan, sehingga justru lebih merasa sebagai orang Hong Kong ketimbang Pakistan. Dia pernah bilang ke saya, dia malah tak bisa bahasa Urdu. Lebih fasih bicara bahasa Kanton dan Inggris.

Riz dan Sofia, putrinya, dalam sebuah konser di Cina.

Riz dan Sofia, putrinya, dalam sebuah konser di Cina.

Dia tertawa ketika saya mengomentari penampilannya yang rapi jali, berkemeja lengan panjang. “Aku baru pulang dari sekolah, dude! Ada rapat tadi. Itu makanya aku tampil rapi begini,” katanya sambil cengengesan. Tentu saya tahu kenapa dia memakai kemeja lengan panjang. Lengan dan betis Riz penuh dengan tato sangar. Dia sendiri bekerja sebagai guru TK di sebuah sekolah swasta. Tentu saja tato bukan pemandangan yang sesuai bagi profesi dan lingkungan kerjanya. Riz kini sudah menikah dengan perempuan Hong Kong dan punya balita perempuan bernama Sofia yang cantik dan montok.

Dia permisi sebentar, beranjak ke bagian belakang mobilnya, mengambil sehelai kaos hitam dan sebuah CD. Ya, sebelumnya saya sudah bilang mau beli kaos King Ly Chee dan CD terbarunya yang berjudul Time Will Prove.

Kami lalu meneruskan ngobrol di pinggir jalan sambil berfoto ria. Tentu saya juga tak lupa membayar kaos dan CD tadi seharga HK$ 180. Walau teman, tentu hasil kerja keras seseorang tak layak digratiskan begitu saja. Kecuali atas kemauan orang itu sendiri, pasti.

Kaos dan CD KLC yang saya beli. Lagunya enak-enak! :P

Kaos dan CD KLC yang saya beli. Lagunya enak-enak! 😛

King Ly Chee bukanlah band tenar di Hong Kong. Sebagai band underground, dengan komunitas hardcore yang jumlahnya sedikit di Hong Kong, mereka tak mengandalkan main band sebagai tempat cari duit. Semua personelnya punya kesibukan sendiri-sendiri. Tapi, King Ly Chee yang sekarang sudah ganti personel, kecuali Riz sebagai pentolan dan pendiri.

They always come and go, man. Doesn’t matter. Band ini adalah tempat untuk berekspresi dan menyebarkan pesan-pesan positif, juga mencari teman sebanyak mungkin,” komentar Riz waktu saya tanya. King Ly Chee sering juga tampil dalam konser-konser di negara lain di Asia Timur dan Tenggara, termasuk di Indonesia. Tahun 2007 mereka manggung di Jakarta, menjadi band pembuka NOFX, sebuah band punk legendaris asal AS. Tahun 2012 mereka manggung lagi di Ancol. Sayangnya, saya tidak sempat datang di kedua konser itu. Damn.

Riz tak bisa berlama-lama. Kami mungkin cuma ngobrol 15 menit di trotoar. “Sorry, bro. I have to pick up my wife and daughter. Sayang sekali kau besok pulang. Kalau masih lama, mungkin kita bisa nongkrong atau makan malam di mana, gitu,” katanya.

Tak apalah. Dia kembali menyalami dan memeluk saya. “See you around, dude!” Dan kami berpisah di situ.

Setelah ketemuan sama Riz, malam itu kami masih sempat ngeloyor ke Ladies Market. Tempat ini berada di daerah Mong Kok, tak jauh dari hostel saya. Bisa juga dicapai via Yau Ma Tei. Lagi-lagi, paling gampang ya naik MTR kalau mau ke sana. Di kawasan ini, ada beberapa ruas jalan yang setiap malam ditutup bagi kendaraan, dan kemudian diisi oleh para pedagang kaki lima. Dari penjual makanan, suvenir, guci, pedang, lukisan, kaos, tas, flashdisk, sex toy, hingga peramal tumblek blek di sini. Yang doyan belanja dan jago menawar pasti seneng banget keluyuran di sini.

Saya sendiri beli tas selempang berwarna hijau lumut. Mungkin mirip warna seragam tentara Mao. Dengan bintang merah dan aksara Cina di bawahnya. Entah apa artinya. Yang jelas harganya cuma HK$ 50. Benda lain yang saya beli adalah gantungan kunci (pasti!), flashdisk berbentuk kamera, dan piring hiasan. Saran saya, beli flashdisk di sini buat hiasan aja deh, karena nggak berfungsi sama sekali. Sial! 😩 Bentuknya memang menarik: kamera, boneka Android, tokoh kartun, dan banyak lagi. Sayang saya nggak bisa pasang fotonya di sini, karena file-nya hilang semua di flashdisk abal-abal tadi.

Malam itu kami kembali ke kamar hostel dalam keadaan lelah. Setelah mandi, kami tidur pulas. Jam 4 subuh kami sudah bangun dan bersiap-siap. Jam setengah enam keluar dari hostel. Terpaksa lewat tangga, karena lift belum dinyalakan jam segitu. Di dekat pintu masuk stasiun MTR, saya sempat deg-degan karena banyak orang Afrika yang masih nongkrong di situ. Sebagian tampak mabuk. Untunglah mereka tidak mengganggu.

Kami sempat menunggu beberapa menit karena stasiun MTR masih tutup. Saya sengaja berangkat sepagi mungkin walau pesawat kami terbang jam 10. Supaya ngirit, saya pilih naik bus ke bandara yang durasinya satu jam. Naik kereta bisa saja sih, tapi ongkosnya jauh lebih mahal. Dari Causeway Bay, kami hanya menunggu bus tak sampai 15 menit. Begitu naik, legalah sudah. Genap 9 hari kami main di Hong Kong. Tetap puas walau ada beberapa tempat yang tidak bisa kami kunjungi karena nggak punya duit….hehehe!

Sepanjang jalan menuju bandara. Ini di Tsing Ma Bridge.

Sepanjang jalan menuju bandara. Ini di Tsing Ma Bridge.

Akhirnya tamat juga nulis ini…hahayy! Tetap sehat, tetap semangat, tetap makan banyak, supaya bisa jalan-jalan lagi! [] 🙂

TAMAT

Nongkrong di Hong Kong #7 (+Makau)

Feri ke Makau.

Feri ke Makau.

Haduuh….gara-gara sibuk banget di kantor, lanjutan cerita jalan-jalan akhir tahun lalu ini baru bisa ditulis sekarang. Habis ini satu postingan lagi baru selesai. Sorii!! 🙂

Gara-gara berangkat kesiangan dari hostel, kami baru dapat tiket feri menuju Macau jam 10.45. Ada beberapa layanan feri menuju Makau. Saya pilih yang jamnya paling dekat, TurboJet, dengan harga tiket kelas ekonomi HK$ 159 sekali jalan. Interior feri ini lumayan mewah buat saya. Laju feri juga sangat stabil dan halus, mungkin karena perairan di sekitar Hong Kong dan Macau tergolong tenang dan nyaris tidak berombak.

Perjalanan dengan feri ini memakan waktu satu jam. Singkat, memang, dan ini membuat banyak turis hanya butuh seharian di Makau untuk kemudian kembali ke Hong Kong. Tapi karena harga tiketnya juga lumayan mahal buat saya dan ferinya mewah, satu jam jadi terasa kurang lama
hehehe!

20131022_165617Terletak 65 kilometer di sebelah barat Hong Kong, Makau adalah kota berwajah dua. Kota bekas koloni Portugal ini menyajikan bangunan-bangunan kolonial seperti gereja, benteng, dan gedung administratif.

Di sisi lain, Makau adalah Las Vegas-nya Asia Timur. Berstatus SAR (Special Administrative Region), sama dengan Hong Kong, Makau adalah adalah satu-satunya wilayah di Cina yang melegalkan perjudian.

Tiba di pelabuhan feri, kami langsung naik bus no. 3 yang katanya melewati Largo de Senado. Oya, di luar dermaga feri Makau ini biasanya ada banyak orang yang menawarkan jasa taksi keliling Makau. Mau yang resmi juga ada loketnya. Kalau mau ngirit ya naik bus aja.

Nyaris semua tulisan dan nama jalan di Makau ini berbau Portugis. Bahkan suara pengumuman di dalam bus pun menggunakan tiga bahasa: Inggris, Portugis, dan Cina. Tapi saya tidak menemukan satu pun orang Makau yang bicara dalam bahasa Portugis. Inggris pun patah-patah.

Bus kota di Makau.

Bus kota di Makau.

Sopir bus yang saya tanya-tanya pun tidak mengerti bahasa Inggris, sehingga dia mengambil beberapa koin dari tumpukan di genggaman saya sejumlah tarif bus untuk dua orang. Oh ya, dolar Hong Kong diterima luas di sini, dan cenderung dinilai setara. Artinya: 1 HKD sama dengan 1 MOP (Macau Pataca).

Kami sempat kebablasan turun di terminal terakhir. Akhirnya saya tanya seorang gadis yang tampangnya agak meyakinkan. Bahasa Inggrisnya terbata-bata, tapi dia mengerti apa yang saya katakan. Dia bicara sebentar dengan sopir bus sambil menunjuk-nunjuk saya. “Nanti sopir busnya akan memberitahumu di mana harus turun,” kata gadis muda itu terbata-bata. Dan benar…di satu halte, sopir bus memandang saya lewat kaca spion besar dan memberi isyarat kepada saya untuk turun.

Gang kecil menuju Santo Paulo.

Gang kecil menuju Santo Paulo.

Kami lalu berjalan ke sebuah gang agak sempit yang tampak bagai labirin. Untungnya, papan penunjuk jalan ada di mana-mana, dalam tiga bahasa, jadi dengan mudah kami menemukan tujuan kami: Ruinas de Santo Paulo alias reruntuhan gereja St. Paul. Di sepanjang jalan menuju reruntuhan gereja itu, ada banyak sekali toko suvenir dan restoran. Gang sempitnya mengingatkan saya pada Diagon Alley di film Harry Potter. Sampai akhirnya saya jalanan gang agak melebar dan saya melihat reruntuhan gereja itu.

Gereja ini dulu dirancang oleh seorang jesuit Italia dan dibangun pada 1602 oleh para pemahat Cina dan orang-orang Kristen Jepang yang diasingkan dari negaranya. Setelah para jesuit diusir, sebuah batalion militer ditempatkan di sini. Pada 1835, terjadi kebakaran di dapur barak militer, membakar dan menghancurkan semuanya, kecuali sisi depan gereja yang saya lihat sekarang.

CIMG7282

Ruinas de Santo Paulo.

Saya sering melihat foto reruntuhan ini di Internet dan majalah, dan ada satu yang bikin saya penasaran: seperti apa sih bagian belakangnya? Setelah foto-foto narsis di tangga gereja yang lebar dan bertingkat lima, saya naik dan melihat reruntuhan dari dekat. Bagian depan reruntuhan gereja ini dihiasi pahatan ornamen-ornamen.

20131022_135034Ada apa di belakangnya? Ternyata, tidak ada apa-apa
hehe! Cuma ada empat tiang penahan. Satu hal yang pasti, reruntuhan bersejarah ini sanggup mendatangkan ribuan turis setiap harinya. That’s a fact.

Selain itu, pemandangan dari sini ke bawah boleh juga. Sebagian lanskap kota Macau kelihatan dari sini. Tampak bangunan jangkung berwarna emas dengan bentuk yang futuristis nun di sana.

Berjalan lagi ke belakang reruntuhan, ada tangga menuju ke bawah. Di balik pintu tertutup, ada beberapa display kaca yang memamerkan benda-benda dan miniatur benda-benda gereja. Di area ini, pengunjung dilarang memotret.

CIMG7323Di sebelah timur reruntuhan gereja, ada taman yang jalan setapaknya mengarah ke atas bukit. Ternyata di atas bukit ada sisa peninggalan sebuah benteng Portugis: Monte Fort. Di beberapa sisi sisa benteng itu, diletakkan beberapa meriam.

Monte Fort dibangun oleh para jesuit antara tahun 1617 – 1626 sebagai bagian dari College of the Mother of God. Barak dan gudang di sini didesain agar orang-orang yang tinggal di benteng ini mampu bertahan hidup hingga dua tahun saat ada pengepungan oleh musuh. Konon, meriam-meriamnya hanya pernah ditembakkan satu kali, yaitu saat tentara Belanda mencoba menyerbu Makau pada 1622.

Pemandangan dari atas benteng dan taman di sekitarnya cukup indah. Tak seperti Hong Kong, gedung-gedung di Makau tak terlalu tinggi menjulang dan tidak sepadat yang saya lihat di Hong Kong Island. Ruas-ruas jalan di bawah reruntuhan berupa jalan berbatu (c0bblestones) yang tampak keren, kayak di luar negeri (!). Hahaha!

Paling mengesankan tentu saja melihat gedung The Grand Lisboa dari sini. Macau Museum terletak di area benteng itu juga. Tapi karena masuknya harus bayar MOP 25 per orang (= HK$ 25), saya jadi malas masuk
hehehe!

Lanskap sebagian kota Makau dilihat dari benteng Monte Fort.

Lanskap sebagian kota Makau dilihat dari benteng Monte Fort.

Di area ini ada banyak spot untuk melihat lanskap kota Makau dari ketinggian. Dari salah satu sisi reruntuhan benteng ini, yang saya lihat adalah gedung-gedung apartemen yang sebagian tampak kumuh. Di kejauhan sana saya melihat sungai yang cukup besar tampaknya. Entah sungai apa.

Setelah puas mengelilingi area Monte Fort, kami menuruni bukit dan iseng-iseng mengamati satu kios suvenir. Penjualnya mendekati saya dan awalnya menanyakan apakah kami dari Malaysia. Begitu tahu kami dari Indonesia, dia langsung ngajak ngobrol dengan bahasa Indonesia yang lumayan fasih.

Dapat diskon besar :)

Dapat diskon besar 🙂

“Bapak ini jangan-jangan orang Indonesia, ya?” tuduh saya. Habis emang beneran bahasa Indonesianya bagus, bahkan termasuk logatnya.

“Bukan. Saya orang Makau. Tapi banyak turis Indonesia ke sini, lama-lama saya jadi bisa bahasa Indonesia. Hampir sama dengan Malaysia, ya? Hehehe
” kata si bapak. Dan karena faktor itulah saya jadi bisa maksa supaya dapat diskon dari si bapak. Dengan HK$ 100, saya bisa borong banyak suvenir: piring hiasan, gantungan kunci, kartu pos, dan magnet kulkas. Masing-masing nggak cuma satu lho
 😛

Setelah itu kami kembali ke depan reruntuhan gereja lagi. Tak jauh dari situ, saya membeli minuman dan egg tart (pastĂ©is de nata) yang katanya camilan khas sini. Rasanya? Ya lumayan deh
hehe.

Gang sempit di antara Largo de Senado dan area Ruinas de Santo Paulo.

Gang sempit diapit toko-toko, di antara Largo do Senado dan area Ruinas de Santo Paulo.

Habis ngemil, kami pun muter-muter jalan di sekitar situ. Di gang di bawah gereja, kanan-kirinya dipenuhi berbagai macam toko. Toko suvenir, toko baju, restoran, dan macam-macam lagi.

Di bagian belakang gereja, ada jalanan-jalanan berbatu yang tak terlalu lebar dengan banyak labirin gang-gang kecil diapit rumah-rumah warga Makau atau toko-toko.

Tadinya saya udah hopeless mau lihat apa lagi di Makau. Sementara saya tidak berencana menginap di Makau karena sudah bayar penginapan full di Hong Kong. Tapi lama-lama saya malah jadi penasaran. Soalnya, melihat-lihat bangunan peninggalan kolonial Portugal dan perpaduannya dengan bangunan dan budaya Cina sepertinya menarik.

Saya memutuskan mengikuti arus turis-turis lain saja. Mereka berjalan ke mana, saya ikut. Lepas dari gang sempit berisi toko-toko souvenir dan restoran tadi, kami tiba di sebuah tempat terbuka yang didominasi warna terang seperti kuning dan emas. Alun-alun Largo do Senado. Area ini dijejali gedung-gedung berarsitektur kolonial. Sebagian masih dipakai sebagai gedung pemerintahan, sebagian lagi
tentu saja toko-toko. Hehehe!

Largo do Senado.

Largo do Senado.

Suasana di Largo do Senado ternyata sangat mengasyikkan. Banyak warga Makau dan turis duduk-duduk di sekitar situ. Saya berjalan masuk-keluar beberapa toko dan bangunan yang ada di sekitar situ. Soal toko, buat saya sih nggak ada yang menarik. Saya memang nggak begitu suka belanja, kecuali beli suvenir-suvenir kecil yang murah. Paling cuma istri saya yang keluar-masuk toko, sementara saya lebih memilih people-watching….alias ngeceng! 😛

Air mancur di alun-alun.

Air mancur di alun-alun.

Di dekat jalan raya, ada area kolam air mancur berukuran sedang. Kami duduk-duduk mengaso di sana sambil melihat-lihat pemandangan di sekitar. Di area ini turisnya tampak banyak sekali. Area terbuka alun-alun menyajikan pemandangan gedung-gedung tua yang cantik peninggalan Portugal. Mestinya sih ada tukang jajanan apa gitu di sini. Es krim kek, bakso kek. Duduk-duduk sambil ngeliatin orang lewat kurang enak kalo nggak ngemil. Apa suasana di Portugal begini juga, ya? Saya belum pernah ke sana sih… 🙂

Gedung Correios e Telegrafos, difoto dari depan gedung Institutos para os Assuntos Civicos e Municipais.

Gedung Correios e Telegrafos, difoto dari depan gedung Institutos para os Assuntos Civicos e Municipais.

Dua gedung yang menarik perhatian saya berada hampir saling berseberangan. Yang satu tampaknya seperti kantor pos besar, Correios e Telegrafos, satu lagi gedung Institutos para os Assuntos Civicos e Municipais (kantor administrasi urusan sipil dan pemerintahan).

Ruang rapat di dalam gedung Institutos para os Assuntos Civicos e Municipais.

Karena banyak yang masuk ke sana, saya pun ikut-ikutan. Rupanya gedung ini bangunan bersejarah. Dulunya bekas kantor Loyal Senate pada abad ke-18.

Puas menjelajahi area sekitar situ, kami kembali naik bus no. 3 untuk kembali ke dermaga feri. Seingat saya, bus tadi melewati area yang ada gedung keren yang saya lihat tadi waktu lagi cari-cari Santo Paulo.

Saking mencoloknya, nggak susah nemu bangunan cakep itu.  Berwarna kuning emas dan bentuknya futuristis, gedung The Grand Lisboa didesain mengikuti bentuk gambar bunga di bendera Makau.

Kasino di gedung itu dibuka untuk umum tahun 2007, sementara hotelnya tahun 2008. Di kasinonya ada 800 meja judi dan 1000 mesin slot. Hotelnya mempunyai 430 kamar dan The Grand Lisboa adalah gedung tertinggi di Makau dan ke-118 di dunia. Makau memang serius ingin jadi kota judi kelas dunia.

The Grand Lisboa, difoto dari halaman hotel Wynn.

The Grand Lisboa, difoto dari halaman hotel Wynn.

Pas saya lagi jalan di dekat pintu masuk kasino itu, petugasnya tampak heran memandangi istri saya yang berjilbab. Ya iyalah….hehehe! Saya cuma masuk sebentar sambil lihat-lihat. Termasuk lihat dompet…hehehe! Untunglah isinya menyedihkan. Kalo iya, bisa jadi saya udah main mahjong atau mesin slot dan pulang jadi miliuner….hahaha! *ngayal banget* 😀

Taman-taman kota yang indah.

Taman-taman kota yang indah dan rimbun.

Di sekitar area itu pemandangannya keren. Apalagi saya demen banget memandangi lanskap perkotaan. Terminal bus di depan gedung Lisboa tampak bersih dan rapi. Ada papan tempat kita bisa mempelajari rute bus. Jelas dibaca karena ditulis dalam tiga bahasa. Walau di Makau nggak ada MTR dan bus double decker, bus-bus di sini bagus-bagus. Di sekitar area itu juga ada banyak hotel dan taman. Lokasi yang bagus buat berburu foto.

Menjelang matahari terbenam, kami memutuskan balik ke Hong Kong. Sebenarnya saya belum puas juga sih jalan di Makau. Lama-lama saya jadi suka juga sekadar jalan-jalan sambil melihat-lihat bangunan-bangunan kolonial yang masih terawat baik. Perpaduan budaya Cina dan Portugal yang sekilas tampak aneh namun juga eksotis.

Saat di feri, saya baru ingat belum main ke kasino yang namanya The Venetian Macao, kasino terbesar di dunia, yang interiornya didesain seperti kota Venesia dengan kanal-kanal dan dan gondolanya.  *tepok jidat*

Menunya kari sapi lagi :P

Menunya kari sapi lagi 😛

Ah ya…sudahlah. Kapan-kapan main ke sini lagi kan bisa. Tiba di Hong Kong, kami baru ingat belum makan apa-apa kecuali egg tart. Jadilah kami makan malam di Cafe de Coral (lagi). []

(Bersambung)

Nongkrong di Hong Kong #6

Pagi-pagi, setelah subuhan, saya menghitung uang yang tersisa, sambil corat-coret di notebook kecil. Tampaknya ada beberapa tempat yang harus kami lewatkan. Apalagi gara-garanya kalau bukan karena duit cekak. 🙂

Disneyland. Ini terpaksa saya coret, walaupun Disneyland adalah impian saya waktu masih kecil. Tapi setelah browsing sana-sini, melihat-lihat Disneyland Hong Kong di YouTube, saya merasa tempat ini rada kekanakan buat saya. *sok dewasa* *padahal gak punya duit* 😛

Ocean Park. Theme park yang satu ini sebenarnya malah lebih seru daripada Disneyland. Tapi rasanya duit juga mepet, walaupun tiket masuk ke OP lebih murah daripada tiket Disneyland. Nggak apa-apa deh. Toh dulu juga udah pernah. 😛

Shenzhen, Cina. Selain butuh biaya buat visa on arrival di perbatasan Hong Kong – Cina di Lo Wu, butuh duit juga buat tiket ke objek wisata Windows of the World di Shenzhen. Nggak mahal-mahal banget sih, tapi setelah dihitung-hitung, rasanya duit juga nggak cukup kalau buat dua orang. Coret dulu deh.

Makau masih masuk di kantong. Dan saya belum pernah ke sana. So, Makau nggak jadi dicoret, dan kami akan ke sana besok (hari Selasa). Jadilah, saya pilih tempat-tempat yang gratisan aja…hehe! Hari ini, rencananya kami mau ke Victoria Peak—atau biasa disebut The Peak. Ini satu destinasi keren kalau lagi mengunjungi Hong Kong.

Beli makan murah di sini. :)

Beli makan murah di Warung Chandra. 🙂

Setelah beli nasi rames buat sarapan di Warung Chandra, kami beli roti dan buah di supermarket Wellcome buat makan siang, kami naik MTR menuju Central. Keluar dari stasiun, kami makan dulu di sebuah taman kota. Habis itu jalan kaki lagi menanjak sekitar 300-an meter, mencari Peak Tram Lower Terminus. Ongkos naik trem ke atas bukit waktu itu HK$ 28 (single trip) dan HK$ 40 (return). Di puncak bukit juga sebenarnya ada terminal bus kalau kita mau pulang lewat rute lain. Di Lower Terminus ini ada galeri yang tempat kita bisa melihat-lihat memorabilia,  foto-foto, dan replika trem versi kuno.

The Peak adalah titik tertinggi di Hong Kong (552 meter) sekaligus tempat paling keren untuk melihat kota metropolitan ini dari ketinggian. Dari ketinggian itu, kita bisa melihat sebagian besar wilayah Hong Kong dan Kowloon. Perjalanan naik trem ke atas juga sebentar, paling lama cuma 10 menit. Trem akan bergerak naik hingga mencapai kemiringan 45 derajat, dan sepanjang perjalanan ke atas kita bisa melihat pemandangan breathtaking seperti ini:

Pemandangan Hong Kong dari puncak Victoria Peak.

Pemandangan Hong Kong dari puncak Victoria Peak.

Di Peak Tram Upper Terminus, semua penumpang turun. Stasiunnya menyatu dengan mal Peak Tower yang gedungnya berbentuk bulan sabit. Turis bisa naik ke atap gedung (Sky Terrace) dan bisa mendapatkan posisi terbaik untuk melihat Hong Kong dari atas. Juga ada beberapa teropong di Sky Terrace itu.

Untuk naik ke sini, kita harus bayar. Tapi jangan takut. Buat yang kere, yang gratisan tetap ada. Keluar dari Peak Tower, kita tinggal belok kiri mengikuti jalur pedestrian di situ. Ada satu spot yang bagus buat memotret kota. Atau, cukup jalan ke mal Peak Galleria tepat di depan Peak Tower. Ada dek gratisan di atap gedungnya. Sayang, cuaca saat itu sedang berkabut. Kalau cuaca cerah, kita bisa melihat jelas hingga ke kawasan Kowloon di seberang sana, lokasi hostel tempat kami menginap. Siang atau malam, pemandangan kota dari atas sini keren banget.

Gedung Peak Tower.

Gedung Peak Tower.

Di Peak Tower ini juga ada museum patung lilin Madame Tussauds, lho. Tapi saya nggak masuk. Sebabnya jelas: tiketnya terlalu mahal. Dua kali saya nemu Madame Tussauds, di Bangkok dan Hong Kong, tetap saja nggak bisa masuk karena nggak punya duit. Nggak apa-apa, deh. Toh isinya cuma kumpulan patung lilin buat foto narsis *menghibur diri*. Dan konon kabarnya akan ada Madame Tussauds di Ancol, Jakarta. Tapi nggak tahu kapan bukanya. Akhirnya saya cuma foto-foto di depannya aja. Ada patung lilin Bruce Lee yang gratisan buat foto-foto…hehehe! 🙂

Jalurnya nyaman gini. Asyik, kan? :)

Jalurnya nyaman gini buat trekking. Asyik, kan? 🙂

Tapi, ngapain juga jauh-jauh ke sini cuma ke mal? The Peak dikelilingi perbukitan hijau dan taman nasional. Setelah sedikit blusukan, saya menemukan papan petunjuk beberapa jalur trekking. Ada jalur menuju Mt. Austin Road, Victoria Peak Garden, Pok Fu Lam Country Park, dan Hong Kong Trail. Yang terakhir ini punya jalur paling panjang, yaitu 50 kilometer (!) mengelilingi sebagian Pulau Hong Kong. Tapi setelah beberapa kilometer bisa juga pilih jalan lain untuk balik lagi ke Peak Tower.

Pok Fu Lam Country Park.

Pok Fu Lam Country Park.

Suhu siang itu sejuk, sekitar 23° Celcius. Acara jalan-jalan di sepanjang masing-masing trek itu jadi makin asyik. Apalagi jalurnya mulus beraspal dan berbeton. Saya cuma jalan di setiap jalur sejauh 3-5 kilometer saja, habis itu balik lagi…hehehe!

Di jalur Hong Kong Trail, melalui Lugard Road, setelah tiga kilometer berjalan kaki, pemandangan hutan beton berganti menjadi hutan betulan. Nun jauh di sana, saya bisa melihat sebuah waduk, dan di sananya lagi tampak garis pantai.

Waduk Pok Fu Lam nun di sana.

Waduk Pok Fu Lam nun di sana.

Semua pemandangan itu membuat saya lupa bahwa wilayah Hong Kong sebenarnya hanya 40% yang dihuni dan dipenuhi bangunan beton. Sisanya adalah hutan, perairan, dan pulau-pulau kecil. Di beberapa titik jalur trekking, ada taman dan area piknik. Beberapa orang terlihat bersantai di taman. Beberapa lagi sedang asyik jogging. Sambil ngaso sebentar, istri saya milih beryoga, sementara saya…tidur siang (!). 😛

Sebenarnya saya masih pengen jalan sampai ke pantai sana, tapi istri saya udah ngos-ngosan. Dan kami masih pengen main ke taman kota habis dari The Peak ini.

Sorenya, setelah kaki pegal-pegal, kami kembali ke Lower Terminus. Tak jauh dari situ, ada dua taman kota yang katanya sangat indah: Hong Kong Park dan Zoological & Botanical Garden. Saya memilih yang pertama dulu. Jaraknya tak sampai 200 meter dari Lower Terminus. Hong Kong Park adalah salah satu taman kota terbesar di sini. Dibuka untuk umum sejak 1991 dan luasnya mencapai 80.000 mÂČ. 

Hong Kong Park.

Hong Kong Park.

Ada beberapa bagian taman yang menarik di sini. Salah satunya adalah Edward Youde Aviary. Sangkar raksasa ini berisi 600 ekor burung dari 90 spesies. Bahkan jalak Bali juga ada di sini. Selain sangkar burung, taman ini juga punya air terjun buatan, kolam besar berisi beragam ikan dan kura-kura, restoran, museum bertema perlengkapan minum teh Cina, dan Visual Art Center.

Yang jelas, taman ini sangat indah. Bagaikan hutan tropis ditaruh di tengah kepungan gedung-gedung pencakar langit, sementara di sisi lainnya, taman ini dipagari oleh bebukitan hijau.

Suasana di Edward Youde Aviary, Hong Kong Park.

Suasana di Edward Youde Aviary, Hong Kong Park.

Sayang, selepas jalan-jalan di Hong Kong Park, kami jadi capek luar biasa. Seharian itu entah sudah berapa kilometer kami jalan kaki. Terpaksa Zoological & Botanical Garden kami lewatkan. Malam itu kami mampir dulu ke tempat kenalan saya, numpang pake komputer di warnetnya. Sayang, cuma ada karyawannya, jadi kami nggak dikasih makan…hehe! 🙂

Sebelum kembali ke hostel, kami menutup hari itu dengan makan malam di Café de Coral. Menunya tetap all beef trio curry with rice. Seporsi berdua.[]

(Bersambung)

Nan Lian Garden

Golden Pagoda di Nan Lian Garden, Hong Kong.

Golden Pagoda di Nan Lian Garden, Hong Kong.

Taman kota adalah salah satu tempat yang wajib saya kunjungi saat sedang jalan-jalan ke mana pun. Saat backpacking ke Hong Kong Oktober 2013 lalu, di hari terakhir sebelum pulang, saya menyempatkan diri main ke sebuah taman yang katanya cakep banget. Namanya Nan Lian Garden. Taman ini paling gampang dicapai menggunakan MTR. Turun di stasiun Diamond Hill, dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar 200-an meter, kita akan dengan mudah melihat petunjuk jalan menuju Nan Lian.

Taman kota ini didesain dengan gaya arsitektur Dinasti Tang (Cina). Ada kolam besar dan air terjun buatan, dengan ikan koi besar-besar di kolamnya. Taman ini juga mempunyai koleksi tanaman bonsai dan batu-batu alam berbentuk aneh-aneh yang konon dikumpulkan dari seluruh penjuru daratan Cina.

Kolam besar dengan ikan koi gendut-gendut.

Kolam besar dengan ikan koi gendut-gendut.

Itu saja? Tunggu dulu. Nan Lian Garden ternyata bersambung dengan Biara Chi Lin (Chi Lin Nunnery). Kita cukup melintasi jembatan penyeberangan yang khusus menyatukan taman ini dengan area biara. Kompleks biara khusus biksuni tersebut dibangun tahun 1930-an. Konon konstruksinya didesain sedemikian rupa agar bangunan kayunya bertahan ribuan tahun. Selain itu, bangunan kayunya disambung-sambung tanpa menggunakan paku satu pun (!). Di halaman biara, terdapat beberapa kolam dengan bunga-bunga teratai (lotus) mengambang di permukaan air. Di kanan-kiri, terdapat beberapa ruangan berisi patung beberapa dewa. Sayang, dilarang memotret di area ini.

Tampak depan Chi Lin Nunnery.

Tampak depan Chi Lin Nunnery.

Saat itu, tampaknya hanya saya yang tidak bermata sipit di kompleks Buddhis itu. Turis bule pun tidak ada. Apakah tempat ini tak begitu dikenal turis yang datang ke Hong Kong? Selain turis Cina, ada beberapa warga lokal yang sedang bersembahyang. Beberapa biarawati berjalan mondar-mandir dengan tenang sambil merapalkan doa atau membawa buah dan beras sebagai persembahan kepada dewa-dewi. Suasana kompleks Buddha ini terasa menenangkan dan menyejukkan hati. Sesejuk suhu Hong Kong di pagi yang cerah itu—sekitar 25° Celcius.

Sungguh menakjubkan melihat atmosfer modern dan tradisional berpadu dalam harmoni. Seperti terlihat dalam foto di atas—pagoda berselimut warna emas dan merah, ditemani gedung-gedung pencakar langit dan perbukitan hijau nun di belakang sana.[]

Catatan: Postingan ini diikutsertakan dalam Turnamen Foto Perjalanan periode 36 bertema “Taman” dengan tuan rumah Buzzerbeezz. Berhubung saya udah dinyatakan kalah, foto di postingan ini saya tambahin untuk memuaskan pembaca JOS. 🙂

Nongkrong di Hong Kong #5

Nasi rames @HKD 15. :)

Nasi rames @HKD 15. 🙂

Minggu Pagi di Victoria Park. Ini bukan cuma judul film Indonesia yang dibintangi Titi Sjuman dan Lola Amaria, tapi di situlah kami berada Minggu pagi itu. Setelah membeli dua bungkus nasi rames lauk telur dan ayam goreng di Warung Chandra, kami memutuskan sarapan di Victoria Park yang jaraknya hanya sekitar 50 meter dari warung Chandra.  Setiap Minggu, taman kota terbesar di Hong Kong ini disesaki TKW asal Indonesia.

Di Hong Kong berlaku peraturan libur sehari dalam seminggu bagi para domestic helper (sebutan bagi PRT asing di sini). Kebanyakan memilih hari Minggu sebagai hari liburnya, sehingga atmosfer Indonesia akan sangat terasa di hari itu. Dengan mudah kita akan menemukan ribuan TKW berkumpul di Victoria Park atau ber-window shopping di Causeway Bay.

Pernah ada joke yang bilang, artis Indonesia pun bakalan minder bila bertemu dengan para TKW di Hong Kong. Pakaian dan cara mereka berdandan tak beda dengan penduduk Hong Kong umumnya: modis dan keren. Tak ketinggalan, ponsel model terkini dalam genggaman mereka. Logat Jawa yang kental kerap terdengar ketika sedang berjalan di kawasan tersebut.

Kebanyakan TKW di Hong Kong berasal dari Jawa Timur dan Tengah. Dulu, sekitar 10 tahun lalu, para TKW di Victoria Park ini banyak yang gelar lapak, berjualan makanan, piknik, sementara yang lain duduk-duduk beralas koran. Pemandangannya jadi mirip pasar tumpah di Boulevard UGM ataupun Unpad Jatinangor di hari Minggu. Pemerintah Hong Kong memang pernah mengeluhkan taman kotanya yang kotor penuh sampah setiap Minggu. Sekarang pemerintah  melarang siapa pun berdagang tanpa izin di taman kota itu. Tentu saja, kegiatan lain seperti arisan, pengajian, kongkow-kongkow, dan banyak lagi tetap dibolehkan. Yang jelas, dilarang nyampah seenak udel. Di Hong Kong, buang sampah sembarangan, meludah, dan merokok di ruang publik dendanya mencapai HK$ 1.500 alias lebih dari Rp 2 juta.

Victoria Park. Gak berani motret yang gothic. :P

Victoria Park. 10 tahun yang lalu tempat ini mirip pasar kaget saat hari Minggu. 😛

Komposisi warga negara asing di Hong Kong yang penduduknya lebih dari 7 juta jiwa ini sangat beragam. Warga Indonesia kini tercatat sebagai warga negara asing terbanyak, yaitu lebih dari 150 ribu orang, yang sebagian besarnya adalah para TKW (nyaris semua TKI di sini wanita).

Di Hong Kong, hukum yang mengatur kesejahteraan para tenaga kerja asing (termasuk Indonesia) tampaknya relatif kuat dibandingkan negara-negara Asia lain. Jarang sekali terdengar kasus penganiayaan terhadap PRT oleh majikannya, seperti yang sering terjadi di Timur Tengah. Konon, gaji para TKI di Hong Kong menempati peringkat keempat gaji tertinggi di Asia, setelah Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Tahun 2013 saya dengar gaji TKW di sini mencapai Rp 6 juta.

Di pintu masuk taman, ada beberapa kelompok TKW yang asyik nongkrong dengan kelompoknya masing-masing. Ada yang berpakaian menor tapi masih normal, ada kelompok yang berpakaian serba hitam ala gothic yang seram dengan celak hitam di mata dan rambut jabrik, ada juga yang bergaya K-Pop gagal. 😀

Habis sarapan sekaligus makan siang itu, kami memutuskan jalan ke Ngong Ping. Menuju ke sana sangat mudah. Kami tinggal naik MTR ke stasiun Tung Chung di Pulau Lantau. Saat kereta sudah keluar dari Pulau Hong Kong, posisinya tidak lagi berada di bawah tanah, sehingga kami bisa melihat pemandangan: bukit-bukit dan perairan yang hampir tak berombak.

Tiba di Tung Chung, ada dua pilihan menuju Ngong Ping: naik cable car alias kereta gantung atau naik bus. Naik kereta gantung lebih mahal, dan antreannya gila, bisa mencapai satu jam kalau lagi apes. Saya sendiri harus mengantre sekitar 40 menit. Tapi memang pengalamannya breathtaking karena kita diajak melayang di ketinggian sambil melihat pemandangan teluk dan pulau-pulau kecil, dan bukit-bukit di bawahnya.

Pemandangan dari kereta gantung.

Pemandangan dari kereta gantung.

Setelah beli tiket seharga HK$ 135/orang (harga termurah saat weekend) untuk naik kereta gantung bolak-balik, kami masih harus mengantri lagi selama sekitar 15 menit. Entah ada berapa ratus orang mengantri dari terminal bus sampai ke konter loket penjualan tiket. Perjalanan dengan kereta gantung ini memakan waktu 25 menit dengan jarak tempuh 5,7 kilometer. Dari atas, saya juga bisa melihat jalur trekking yang panjang di bawah, naik-turun perbukitan. Asyik sekali! Apalagi kereta gantungnya bergerak stabil, tidak bergoncang, padahal angin cukup kencang saat itu.

Sekitar satu kilometer sebelum masuk ke stasiun kereta gantung, tampak siluet patung Buddha raksasa di kejauhan. Patung itulah yang menjadi daya tarik utama Ngong Ping. Keluar dari stasiun, kami langsung memasuki kawasan Ngong Ping Village. Yah, bukan benar-benar desa, sih. Untuk menuju desa betulan kita masih harus jalan kaki lebih jauh lagi. Namanya juga area buatan, di “desa” ini ada banyak restoran dan toko suvenir…hehehe. 🙂

CIMG7083

Ngong Ping. Siluet Big Buddha di latar belakang.

Pemandangan di sekitar Ngong Ping Village ini keren. Bukit-bukit hijau selalu tampak sejauh mata memandang. Bangunan-bangunan di area seluas 1,5 hektar ini juga dibangun dengan gaya arsitektur Cina. Atraksinya macam-macam, terutama yang berbau Buddha.

Selain restoran bermenu masakan Barat dan Cina, atraksi multimedia Walking with Buddha bagi yang tertarik mempelajari sedikit tentang Siddharta Gautama, ada Bodhi Wishing Shrine tempat dengan replika pohon Bodhi tempat sang Buddha mendapat pencerahan, juga ada Cable Car Gallery tempat kita bisa melihat-lihat model kereta gantung dari berbagai negara, dari masa ke masa.

CIMG7066

Patung dewa dengan Buddha di latar belakang.

Selepas itu, kita akan melihat gapura besar dan deretan selusin patung di sepanjang jalan menuju patung Big Buddha dan Po Lin Monastery. Dalam beberapa aliran di agama Buddha, dipercaya ada 12 dewa pelindung Buddha/Twelve Divine Generals (yaksha). Salah satunya bernama General Indra. Namun, dalam ajaran Hindu, Indra juga dikenal sebagai dewa cuaca dan raja kahyangan. Oleh orang-orang bijaksana, ia diberi gelar dewa petir, dewa hujan, dewa perang, raja surga, pemimpin para dewa, dan banyak lagi sebutan untuknya sesuai dengan karakter yang dimilikinya. Dewa, ya, bukan dewi. Makanya, kalau punya anak perempuan jangan dikasih nama “Indra”, soalnya itu nama laki-laki…hehehe. 🙂

Sayang sekali sedang tidak ada event khusus hari itu. Kalau tidak salah, setiap bulan Mei ada perayaan hari lahir Buddha, dan banyak pertunjukan jalanan di area ini, seperti pertunjukan kungfu, juggling, musik, dan banyak lagi. 

Objek wisata utama di Ngong Ping tentu saja adalah patung Tian Tan atau lebih dikenal dengan sebutan Big Buddha. Patung setinggi 26 meter ini adalah patung perunggu Buddha (duduk) tertinggi di dunia. Beratnya sekitar 202 ton, dengan 268 anak tangga untuk mencapainya dari bawah.

Seorang pengunjung sedang sembahyang.

Seorang pengunjung sedang sembahyang.

Lumayan ngos-ngosan juga saat naik tangga ke atas. Persis di bawah patung Buddha, ada bangunan yang ceritanya sebagai podium tempat sang Buddha duduk. Bangunan itu sekaligus berfungsi sebagai museum. Di dalamnya ada lukisan-lukisan cat minyak, piagam, benda-benda keramik, dan banyak lagi. Sayang, keterangan yang ada semuanya berhuruf Cina. Di tengah ruangan, ada sebuah lonceng raksasa. Pada hari raya nasional bulan April atau Mei, saat perayaan hari lahir Buddha, lonceng itu akan berdentang 108 kali, yang pemukulnya digerakkan oleh komputer.

Pemandangan dari podium Big Buddha.

Pemandangan dari podium Big Buddha.

Selain Big Buddha, ada Po Lin Monastery di sisi lain area ini. Sayang, biara itu sedang direnovasi. Tampak beberapa pengunjung membakar dupa dan bersembahyang di depan biara. Di samping bangunan biara, ada resto Po Lin Vegetarian Restaurant yang katanya sih terkenal dengan masakan-masakan vegetarian yang harganya terjangkau dan lumayan mengenyangkan. Tapi saya sih punya rencana lain…hehe! 🙂 Kami juga terpaksa sholat di bangku taman di belakang resto itu. Tidak ada mushola di area ini.

CIMG7067

Pemandangan Ngong Ping di sore hari.

Idealnya memang datang ke Ngong Ping atau Lantau ini di pagi hari. Beberapa spot, seperti desa nelayan di Tai O dan jalur trekking yang sepertinya menarik untuk dijelajahi, harus saya lewatkan karena sudah hampir gelap waktu itu. Menjelang maghrib, kami pun pulang. Sial, antrean pulang juga luar biasa. Kami baru mendapat giliran naik kereta gantung, kembali ke Tung Chung, setelah 40 menit. Tahu begini saya tadi mending beli tiket one way aja, balik ke Tung Chung bisa naik bus yang terminalnya tak jauh dari situ. Tapi, saat mengantre di depan restoran-restoran, cobalah nyalakan wi-fi di ponsel, karena hampir semua resto di situ memberi akses wi-fi gratis dan sinyalnya bocor ke sekitar situ. 🙂

Beef curry super lezat! :)

Beef curry super lezat! 🙂

Setiba di Tsim Sha Tsui, kami sowan ke resto favorit saya, Cafe de Coral, di sebuah mal di dekat terminal bus TST. Ini adalah jaringan resto lokal di Hong Kong yang menyajikan banyak menu. Pembelinya juga selalu membludak, terutama ketika jam makan siang dan malam. Menu favorit saya dari dulu adalah beef brisket/curry with rice. Biasanya menu ini hanya disediakan malam hari. Menunya ada di dinding di samping konter pesan/kasir, dengan bahasa Inggris dan Kanton. Pesan, bayar, lalu ambil pesanan kita di konter dapur.

Sesuai namanya, ini memang kari sapi biasa. Tapi buat saya rasa karinya gurih banget. Potongan daging sapinya juga banyak dan besar. Disajikan dengan sepotong kentang rebus di dalam kuah kari, plus sepiring nasi dengan potongan kacang panjang dan nanas. Porsi menu ini cukup banyak, sehingga kami hanya memesan seporsi untuk dimakan berdua. Lima tahun lalu, waktu transit di Hong Kong dari Kiev, harganya sekitar HK$ 30, sekarang naik jadi HK$ 43. 😩 Tapi udah termasuk segelas teh susu panas sih. Pulang dari resto tinggal jalan kaki 15 menitan ke hostel. Capek, kenyang, dan senang.[]

(Bersambung)

Nongkrong di Hong Kong #4

“Nanti jam 11 balik lagi ya ke sini. Nama Anda sudah dicatat kok, mungkin Anda cuma harus pindah kamar,” kata si mbak resepsionis pagi itu. Yah…jadi kami nggak bisa jalan jauh-jauh dulu. Sambil menunggu “ketok palu”, Sabtu pagi itu kami memutuskan jalan-jalan aja di sekitar TST. Saya sendiri udah males kalau harus cari hostel lagi. Mendingan tunggu yang ini, bayar lunas sampai Kamis depan, dan bisa jalan-jalan tanpa mikir deadline” nginep lagi.

Baru jam 9 pagi, kawasan Avenue of Stars dan TST Promenade sudah cukup ramai oleh turis. Di kawasan ini, ada beberapa gedung yang menjadi atraksi bagi turis: Museum of Art, Space Museum, Hong Kong Cultural Centre, dan Clock Tower di bagian barat. Kalau melewati Salisbury Park, kita akan “disambut” patung setinggi 4,5 meter yang melambangkan penghargaan untuk para pemenang Hong Kong Film Awards.

Patung Hong Kong Film Awards di Avenue of Stars.

Patung Hong Kong Film Awards di Avenue of Stars.

Bergerak ke timur, lantai di sepanjang promenade dihiasi dengan tanda tangan dan cetakan tangan para bintang film Mandarin, misalnya Andy Lau, Jacky Chan, Bruce Lee, Samo Hung, dan banyak lagi. Mungkin konsepnya meniru Hollywood Walk of Fame. Menjelang ujung promenade, patung perunggu Bruce Lee setinggi 2,5 meter berdiri gagah.

Patung Bruce Lee.

Patung Bruce Lee.

Jalan-jalan di kawasan ini memang bikin betah. Soalnya, panorama ke arah Pulau Hong Kong selalu menakjubkan. Saya mungkin bakalan betah ngelamun di tempat ini seharian…hehehe! Saya lalu meneruskan jalan-jalan ke arah timur. Kalau kita terus naik tangga gedung stasiun MTR East Tsim Sha Tsui, akan ada taman kota kecil yang juga bagus banget buat foto-foto. Taman bernama TST East Waterfront Podium Garden ini tampak bersih, sepi, nyaman. Di bagian barat taman kecil ini ada Middle Road Children’s Playground.

Masa kecil kurang bahagia :P

Masa kecil kurang bahagia 😛

Pada sore hari atau akhir pekan, taman ini penuh dengan anak-anak dan orangtua mereka. Anak-anaknya terdiri dari bermacam etnis. Maklum, kawasan TST ini memang banyak dihuni warga asal Asia Selatan dan ada juga Afrika. Tapi pagi itu taman bermain ini tampak sepi. Hanya ada beberapa anak dan bayi ditemani orangtua mereka. Melihat ada ayunan nganggur, saya langsung aja main. Mungkin waktu kecil saya kurang puas main ayunan ya…jadi ya ayo aja deh! Udah gitu, pas lagi main, ada anak kecil yang gabung. 😛

Eh, tapi, bagi saya, traveling itu seperti menemukan kembali rasa anak kecil yang hilang, lho. Yang saya suka saat jalan-jalan adalah melihat hal-hal baru, merasakan keingintahuan akan ini-itu. Seperti anak kecil yang matanya berbinar-binar saat melihat dan merasakan sesuatu yang jarang atau baru.

Puas main ayunan, saya pengen main perosotan. Tapi saya keburu melihat papan bertulisan: “This play area is designed for children from 5-12 years old. Adult supervision is recommended.” Saya pun buru-buru kabur dari situ. Mungkin anak tadi ikutan main mau kasih kode kali yaa…pantesan itu ubinnya empuk, terbuat dari busa keras dan bukan porselen betulan.

Tiba di hostel jam 11, resepsionis memberi kami kabar baik. “Anda boleh pakai kamar yang sama sampai check out Kamis nanti.” Horeee!! Udah gitu resepsionisnya mau kasih diskon sehingga untuk empat hari ke depan harganya masih sama. “Hong Kong sedang peak season, jadi ini harga yang bagus untuk peak season,” katanya lagi. Saya langsung gesek kartu kredit. Lunas! Sekarang nggak perlu mikirin penginapan lagi!

Dari situ kami langsung kabur ke masjid Ammar lagi. Ngapain? Jadi, kemarin saya melihat poster di masjid itu. Ada Eid-ul-Adha International Halal Food Festival yang diadakan Islamic Union of Hong Kong selama dua hari, yaitu Sabtu dan Minggu ini. Harga makanannya juga terjangkau. Cara beli makanannya, pengunjung harus membeli kupon seharga HK$ 40 yang bisa ditukarkan dengan 2-3 menu makanan. Sip, kan? Lagian, kami belum makan apa-apa dari pagi.

Acara diadakan di lantai 8 gedung itu, yang ternyata adalah teras lantai 8. Halaman itu tidak terlalu besar, jadi siang itu jadi tampak penuh sesak. Judul “international” sekilas tampak mentereng. Memang sih internasional, tapi sebenarnya acara ini cuma acara kecil-kecilan. Para anggota asosiasi muslim di Hong Kong (dan anak-anak mereka) memasak masakan khas negara masing-masing. Ada menu berat, ada juga roti dan kue. Pesertanya ada yang dari Pakistan, India, Turki, Indonesia, dan lain-lain.

Suasana halal food festival. Coba liat gadis yang melihat ke arah kamera. Cantiknyaa!! :P

Suasana halal food festival. Coba liat gadis Pakistan yang melihat ke arah kamera. Cantiknyaa!! 😛

Saya yang demen masakan kari langsung aja beli roti naan dan kari sapi, ditambah nasi biryani. Uuh, maknyusss!! Apalagi yang jualan cakep banget. #idungnya #salahfokus. 😛 Karena kere, semua makanan yang kami beli dimakan berdua…hehehe! 😛

Dari masjid Ammar, kami lanjut ke Stanley Market. Yah, namanya juga market, buat apalagi kalau bukan belanja. Dari Causeway Bay, ada minibus yang langsung menuju Stanley Market. Bayarnya cuma HK$ 10 untuk perjalanan selama 35-40 menit. Saat sudah keluar dari kawasan pusat kota yang padat, kami melewati jejeran pantai yang lumayan bagus. Hampir semua wilayah Hong Kong dikelilingi perairan tenang alias nyaris nggak ada ombak sama sekali. Entah gimana kalau pas ada taifun ya, saya sih nggak pernah lihat taifun secara live. Ada beberapa pantai yang areanya kecil yang kami lewati: Deep Water Bay, Repulse Bay, dan minibus berakhir di Stanley Beach. Dari jauh terlihat jaring perimeter di semua pantai itu. Katanya sih untuk mencegah hiu masuk ke area renang para turis. Tentu saja, nggak usah membandingkan keindahan pantai-pantai di sini dengan di Indonesia. Tapi kalau bicara soal akses, transportasi, dan kebersihan, yang ada malah kebalikannya! 🙂

Kami turun di Stanley Plaza. Sebenarnya sih satu halte lagi baru sampai di Stanley Market, tapi jaraknya dekat kok. Yang namanya mal di mana-mana ya begitu. Saya cuma numpang lewat, karena setelah keluar dari mal ke arah pantai, pemandangannya bagus. Di pinggir pantai berair tenang itu ada jalur pejalan kaki yang di satu sisinya ditempati bar dan restoran. Ada seorang pengamen yang memainkan lagu-lagu berirama latin dengan gitarnya. Ada warga yang membawa anjingnya jalan-jalan. Ada juga yang nikah.:)

Suasana di jalur pedestrian Stanley Beach.

Suasana di jalur pedestrian Stanley Beach.

Di sini yang dijual terutama memang suasana. Saya lihat sih memang asyik banget nongkrong di salah satu restoran itu, sambil people-watching alias ngecengin orang-orang yang lalu-lalang. Setelah melihat-lihat menu dan harga di sebuah restoran, kami langsung sadar betapa kerenya kami saat itu. Mau gaya-gayaan makan di pinggir pantai aja mahal banget.

Suasana Stanley Market. Ada kaos Hitler McDonald's tuh. :)

Suasana Stanley Market. Ada kaos Hitler McDonald’s tuh. 🙂

Ah, pokoknya saya cuma mau menikmati suasana. Yah, ada sih belanjanya sedikit. Misalnya, kaos-kaos oblong kualitas bagus cuma HK$ 100 dapet 3-4 biji. Kalau yang ini sih harganya reasonable. Kaos itu benda wajib yang harus saya beli kalau lagi traveling. Bukan cuma untuk suvenir, tapi juga karena stok kaos saya tinggal sedikit di kamar hostel! 😛

Di ujung jalan barulah ada Stanley Market. Mungkin karena akhir pekan, kawasan ini lumayan ramai. Pasar ini berupa labirin gang yang bersih dan nggak bakalan bikin kita tersesat. Barang-barang di sini rata-rata bisa ditawar, asal siap aja dengan reaksi galak beberapa pedagang kalau kita lagi apes…hehehe! Ada seorang nenek yang mengentak dompet yang baru saya letakkan ke tempatnya. Rupanya saya salah mengembalikan ke jejeran dompet yang lain, sehingga dia menyentak tumpukan dompet itu dengan tongkatnya. Bah! Tinggal aja deh yang kayak gini!

Kayaknya di Hong Kong lagi ngetren kaos-kaos bergambar wajah Hitler dengan kostum dan tampang badut McDonald’s, dan juga tampang Obama dalam seragam pemimpin komunis Cina Mao Zedong. 🙂 Jelas saya beli dong yang lucu-lucu beginian…hehehe! Istri saya malah menemukan baju-baju seharga HK$ 10-15 saja. Kali ini tentu saja saya tidak akan membiarkannya kalap belanja. 😛

Stanley Bay. Atau Stanley Beach? :P

Stanley Beach.

Enaknya jalan di pasar ya karena ada banyak hal yang bisa dilihat. Saya menemukan satu toko yang menjual porselen yang dilukis dengan gambar episode-episode komik Tintin. Keren banget! Sayang, foto yang diam-diam saya ambil sekarang hilang. 😩 Saya juga menemukan tas selempang bagus, bergambar wajah Mao atau bintang dengan aksara Cina di bawahnya. Bahannya terlihat kasar, tapi kalau dipegang lembut. Warnanya hijau lumut ala pakaian partai komunis Cina zaman Revolusi Kebudayaan dulu. Di tangan kapitalisme, ikon-ikon komunis malah diperdagangkan begini ya…hehe 🙂 Tapi saya belum mau beli tas itu. Rencananya nanti malam saya mau ke Night Market di kawasan Mongkok juga. Siapa tahu bisa lebih murah.

Di ujung lain Stanley Market, ada area kecil dengan batu-batu besar di pinggir pantai Stanley Beach. Pemandangannya asyik juga. Nyaman dan menenangkan. Bikin saya jadi bisa tidur siang sebentar di situ. 🙂 Memandangi para turis yang asyik berfoto dan deretan bangunan di pinggir pantai dan bukit-bukit di kejauhan.

Tidur siang di Stanley Beach. :P

Tidur siang di Stanley Beach. 😛

Puas keliling Stanley Market dan tidur siang di pinggir pantai, kami balik lagi ke hostel dengan minibus yang sama. Sore itu kami ngaso sebentar di hostel. Malamnya, kami naik MTR ke Yau Ma Tei, dan dari situ menelusuri pasar malam yang buka setiap hari jam 18.00 – 23.00. Cerita soal Night Market ini lain kali aja ya. Soalnya saya sebelum pulang saya ke sini lagi, jadi kunjungan pertama cuma buat survei…hahaha! 😛

(Bersambung)

Nongkrong di Hong Kong #3

Dimsum adalah target hari ini!

Jumat ini, selain cari masjid buat Jumatan nanti siang, saya juga harus cari setidaknya satu lagi alternatif makanan murah. Kalau bisa sih halal. Yah…yang penting bukan baboy, deh. Dari bisik-bisik seorang teman, pagi menjelang siang itu saya mencari masjid Ammar di kawasan Wan Chai, Pulau Hong Kong. Saya cuma tahu ancer-ancernya doang sih.

Gedung Masjid Ammar

Gedung Masjid Ammar

Pokoknya, di seberang Tonnochy Road. Bus 2A dari Wan Chai Ferry Bus Terminus ternyata berhenti dua blok dari jalan itu. Dari Tonnochy Road, kami menyeberangi jalan persis di dekat halte trem Tonnochy Road. Ada taman kecil dan lapangan basket di situ. Kami menyusuri gang kecil di samping lapangan basket, naik ke atas, dan tiba di sebuah pertigaan bernama Wan Chai Road.

Jalanan di situ sempit, tapi hebatnya bus-bus double decker bisa luwes meliuk di situ. Kami menyeberang jalan dan menyusuri trotoar di samping toko 7 Eleven dan akhirnya menemukan Oi Kwan Road. Belok kiri dan terlihatlah gedung 8 lantai berwarna hijau bertulisan Masjid Ammar and Osman Ramju Sadick Islamic Centre.

Konon, di lantai 5 gedung ini ada dimsum yang joss. Berhubung saat itu baru jam 10 dan waktu sholat Jumat masih lama, saya berniat menggabungkan sarapan dan makan siang sekaligus…hehehe. 🙂

Baru juga duduk dan membaca daftar menunya, saya langsung memekik kegirangan. Soalnya, harga makanan di sini tergolong murah (untuk ukuran Hong Kong lho). Dimsum bisa dipesan langsung di konternya, sementara untuk memesan menu lain, tinggal panggil pelayan.

Rata-rata pelayannya nggak bisa bahasa Inggris, tapi karena di menunya ada  foto makanannya, beserta keterangan dalam bahasa Inggris, saya tinggal tunjuk saja. Toh, semua menu di sini dijamin halal, karena dalam pengawasan dewan masjid Ammar ini. Selain pesan dimsum (entah apa namanya) yang satu porsinya biasanya isi tiga, saya juga memesan nasi goreng. Seporsi dimsun harganya HK$ 9 – 13, sementara menu lain yang berbasis nasi dan mie rata-rata HK$ 25-28. Ada sih masakan seharga 40 dolar ke atas, tapi kan misi kami di sini untuk cari makanan murah, alternatif lain selain Warung Chandra di Causeway Bay.

Dimsumnya joss!

Dimsumnya joss!

Dimsum pun diantar ke meja (walau bisa juga ambil sendiri di konternya). Hmm..penampakannya menarik. Lagi pula, dimsumnya masih hangat. Ditambah sambel yang bau pedasnya cukup menyengat, saya jadi makin penasaran. Sekali gigit….WUAA!! JOSSS bangeeet dimsumnya! Bagian rotinya masih hangat, begitu daging di dalamnya tergigit, kelezatannya langsung meresap ke mulut. Gigitan berikutnya malah bikin saya tambah semangat! Sambelnya memang pedas gila, beraroma chinese food, tapi enaaakkk!

Nasi goreng yang kami pesan rasanya juga lumayan. Dan porsinya juga besar, bisa untuk dua orang. Setelah dimsum dan nasi goreng tuntas disantap, saya berpikir-pikir untuk memesan seporsi lagi. Dan…jadilah! Hehehe 🙂

Berhubung waktu sholat Jumat masih lama, saya dan istri blusukan dulu di sekitar area masjid. Biasanya sih ada warung-warung halal kalau di sekitar masjid. Benar saja, saya menemukan satu kedai kebab, kedai pizza (dua-duanya halal…dan mahal!), dan satu toko grosir yang jual cokelat lumayan murah. Plus, satu supermarket lokal tempat kami bisa beli buah-buahan dan air mineral murah. Eits, air mineral penting banget lho kalo pas lagi jalan-jalan begini.

Suasana di masjid Ammar.

Suasana di masjid Ammar.

Menjelang waktu sholat Jumat, kami kembali ke masjid. Ruang wudhu dan ruang sholat masjid ini sangat bersih. AC pun disetel pada suhu sekitar 15° Celcius. Dingiin! Di pinggir dinding, dipasang banyak bangku yang didesain untuk para orang tua yang sudah tidak bisa melakukan posisi sujud. Khotbahnya disampaikan dalam bahasa Urdu dan Inggris. Lucunya, istri saya bilang di lantai atas jamaah perempuan juga ikut sholat Jumat. Tapi ada warga Indonesia yang membisiki dia, “Diniatin sholat sunnah aja, Mbak.” 😛

Habis Jumatan, kami cuma jalan-jalan ngalor-ngidul. Soalnya, besok paginya penentuan apakah kami bisa menginap terus di Cosmic Guesthouse, pindah kamar, atau malah pindah penginapan. Saya pengen mewujudkan satu cita-cita saya di Hong Kong: mondar-mandir naik trem.

Walaupun mempunyai sistem transportasi publik yang sangat memadai dan menyeluruh, Hong Kong masih cukup bergantung pada moda feri untuk layanan penyeberangan dari Pulau Hong Kong ke wilayah daratan seperti Kowloon atau ke pulau-pulau lain (outlying islands). Moda yang satu ini tarifnya juga jauh lebih murah daripada MTR atau bus double decker. Lagipula, jauh lebih menyenangkan naik feri sambil melihat pemandangan kota yang cantik ketimbang berada di MTR di bawah tanah dan memandangi penumpang lain. 😛

Dermaga feri di Tsim Sha Tsui.

Dermaga feri di Tsim Sha Tsui.

Ekonomi di Hong Kong ini sepertinya lumayan stabil. Buktinya, sejak pertama kali saya main ke Hong Kong tahun 2002, sampai 2013 ini  tarif trem kayaknya nggak berubah: HK$ 2,3 jauh-dekat. Tarif bus double decker (setidaknya di Pulau Hong Kong) juga masih sekitaran HK$ 4. Tarif feri dari Wan Chai menyeberang ke Tsim Sha Tsui juga masih sekitar HK$ 2.3 (upper deck) dan HK$ 1,8 (lower deck). Soal harga makanan di resto tentu lain lagi…hehehe!

Mencicipi naik moda transportasi di Hong Kong buat saya itu pengalaman yang asyik banget. Semua moda (trem, MTR, double decker, dan feri) adalah favorit saya. Tapi MTR dan double decker hanya saya pakai kalau jaraknya jauh, saya nggak terlalu hafal tujuannya, dan kalau lagi buru-buru. MTR di Hong Kong terdiri dari 7 jalur, termasuk jalur Airport Express dan Disneyland Resort. Memiliki 53 stasiun dan digunakan oleh lebih dari 2 juta penumpang dalam sehari. Jam layanan MRT ini dimulai jam 06.05 hingga jam 1 dini hari. Oh ya, di semua moda transportasi ini, bahkan di jalanan, tidak ada orang yang merokok! Kalau mau cari orang merokok, cobalah cari di sekitar tong sampah di pinggir jalan. Biasanya, di situlah para perokok menghirup asap rokok puas-puas, karena di dalam semua bangunan umum di Hong Kong memang dilarang keras merokok! Yayy!! 😛

Trem di Hong Kong adalah moda transportasi paling murah, namun rutenya juga terbatas. Hanya melayani bagian utara Pulau Hong Kong. Tapi bagi saya, naik trem adalah satu pengalaman yang wajib dicoba. Maklum, moda yang satu ini kan nggak ada di Indonesia. Mungkin karena tarifnya yang murah itulah saya lihat banyak manula yang menggunakan trem. Kalau kita lagi buru-buru, lebih baik memang nggak usah naik trem, soalnya jalannya lambat. Dan: nggak usahlah pengen ber-high five dengan penumpang trem dari arah berlawanan…hehehe! 😛 Bagusnya lagi, hampir tidak ada kendaraan lain yang mengganggu jalur trem yang sudah fixed itu. Lihat aja nih fotonya:

Pemandangan kota dari dek atas trem.

Pemandangan kota dari dek atas trem.

Sore itu sebenarnya kami belum mau pergi jauh-jauh, cuma di muter-muter aja di Pulau Hong Kong. Kami naik trem dari satu terminal ke terminal lain. Dari ujung ke ujung. People-watching dari dek atas trem. Semilir angin sejuk dari jendela. Ketiduran. Itu asyik banget! 🙂 Lagian, bayarnya cuma HK$ 2,3. Setelah agak bosan, kami turun di Causeway Bay dan blusukan di IKEA. Ini jaringan toko furnitur dan perlengkaran rumah asal Swedia yang ngetop banget. Sayangnya di Indonesia nggak ada, baru ada Ace Hardware asal Amerika. Katanya sih IKEA di Singapura lebih bagus dan lebih besar, tapi saya nggak tahu. Lha baru pertama kali ini main ke IKEA. Memangnya ngapain main ke toko furnitur? Yaa main aja…siapa tahu ada inspirasi buat dandanin rumah saya nanti? 🙂

Malamnya, kami cuma nonton Symphony of Lights lagi sebelum balik ke hostel. Besok, setelah jelas nasib kami soal penginapan, barulah kami akan pergi ke tempat-tempat lain yang lebih asyik. Begini deh kalo persiapan kurang…udah hari ketiga masih pusing mikirin mau nginep di mana. 😛

(Bersambung)

Nongkrong di Hong Kong #2

Di apartemen itu, menjelang tengah malam, Bu A datang lagi membawa dua orang tamu—pegawai Telkom yang sedang dikirim dinas ke Hong Kong. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, barulah saya masuk ke kamar dan tidur pulas sampai pagi. Tapi, sebelum tidur, Pak Soni, salah satu dari mereka memberi tips yang oke punya.

Ceritanya, travel adapter yang saya bawa ternyata tidak berfungsi. Pusing lagilah saya karena nggak bisa nge-charge ponsel dan kamera. Tapi, Pak Soni langsung memberitahu saya. “Mas, coba pakai sendok, garpu, atau apa gitu, buat dicolokkin ke lubang yang atas. Itu fungsinya cuma buat buka doang, listriknya ada di dua lubang yang bawah.” Di Hong Kong memang colokannya tiga lubang gitu.

Pak Soni lalu membawa sumpit yang dia temukan di dapur, dimasukkan ke lubang atas, dan akhirnya dua lubang bawah bisa untuk colokan yang biasa. Berhasil tuh! Hihihi….baru tau! Lumayaan dapet ilmu baru. 😀 Tenang aja, saya nge-charge ponsel sampai pagi nggak ada kebakaran, tuh! 😛 Udah gitu, wi-fi di apartemen Bu A kenceng banget jalannya, jadi narsisme bisa jalan terus. 😀 Tambahan lagi, oleh kenalan saya, malam sebelumnya saya dikasih kartu SIM lokal Hong Kong yang bisa buat telepon ke Indonesia dengan biaya murah banget, kurang dari Rp 1.000 per menit!

Setelah bangun, sholat Subuh, dan mandi, kami beres-beres tas dulu. Rencananya, begitu menemukan penginapan yang rada murah hari ini, kami akan langsung check out dan pindah. HK$ 500 per malam, apalagi bayar tunai, sungguh mengerikan, bro! Pagi itu, setelah sarapan dengan nasi dan lauk yang kemarin diberi oleh kenalan saya, kami berkeliling di kawasan Causeway Bay. Di sini memang berisiko mahal karena daerah pusat kota. Dua penginapan yang kami cari pasang harga HK$ 400 dan HK$480. Masih terlalu mahal, tapi yang terakhir bisa terima kartu kredit, sementara yang pertama nggak ada kamar kosong. Tapi atmosfernya asyik banget kayaknya, ala backpacker gitu.

Lalu, kami cari satu lagi di daerah North Point. Setelah susah payah nyarinya, penampilan hostel itu nggak meyakinkan. Akhirnya saya putuskan cari di daerah Tsim Sha Tsui, Kowloon. Saya sengaja naik bus ke terminal Wan Chai, lalu dilanjut dengan feri dari Victoria Harbour, supaya istri saya bisa melihat pemandangan Hong Kong paling menakjubkan itu saat menyeberangi teluk.

Pemandangan Pulau Hong Kong dari feri yang menyeberang ke Tsim Sha Tsui.

Pemandangan Pulau Hong Kong dari feri yang menyeberang ke Tsim Sha Tsui. Breathtaking! 🙂

Naik feri ini tidak mahal, cuma HK$ 2,3 sekali jalan. Sesampainya di dermaga, kita bisa jalan kaki di sepanjang Tsim Sha Tsui Promenade, yang tempatnya memang didesain untuk pejalan kaki agar bisa melihat ke seberang, ke arah Pulau Hong Kong. kalau kita jalan kaki terus ke arah timur, nanti akan ketemu Avenue of Stars—semacam Walk of Fame di Hollywood. Cuma yang di Hong ini semuanya cetakan tangan para bintang film Mandarin. Sampai di ujung, kita bakal melihat patung Bruce Lee.

Butuh jalan kaki sekitar 20 menit dari dermaga feri ke Mirador Mansion. Ini nama sebuah gedung tua yang di dalamnya ada banyak hostel murah meriah. Biasanya para backpacker selalu ke sini kalau cari penginapan murah. Gedung ini terletak di daerah Tsim Sha Tsui, kawasan yang banyak dihuni warga imigran dari Bangladesh, Pakistan, India, dan bahkan Afrika.

Jangan kaget kalau turis bertampang Asia Tenggara disamperin sama orang-orang yang memberi brosur restoran halal dengan menu masakan Timur Tengah. Sebagian lagi menawarkan hostel-hostel atau guesthouse murah meriah. Sekitar 150 meter dari Mirador Mansion juga ada Kowloon Mosque—masjid terbesar di Hong Kong. Nggak usah takut kena scam di sini, yang penting selalu pakai common sense. Yang namanya waspada dan tenang itu di mana-mana juga perlu.

Gedung Mirador Mansion inilah yang dulu jadi tempat syuting film Chungking Express, bukan di gedung Chungking Mansion di sebelahnya. Lantai dasar gedung-gedung ini biasanya diisi aneka macam toko (biasanya toko elektronik dan suvenir), money changer, dan banyak lagi. Lantai-lantai di atasnya barulah dihuni hostel-hostel murah dan restoran.

Baru juga mau naik lift, ada seorang perempuan berkacamata mendekati saya. “Guesthouse, sir? Cheap, cheap,” katanya. Dia memberikan saya selembar kartu nama. Guesthouse yang dia tawarkan namanya Guangzhou Guesthouse.

Can I see the room first?” tanya saya.

Yes, yes. Follow me.”

Sebenarnya saya sedang mencari hostel lain, rekomendasi beberapa teman saya. Tapi, nggak ada salahnya lirik-lirik hostel lain dulu. Perempuan tadi membawa kami ke lantai 10. Lalu kami masuk ke sebuah lorong yang ada beberapa pintu kamar. Dia membuka salah satunya.

“Ini cuma HK$ 200 per malam,” katanya.

Dan…hah!! Kamarnya luar biasa kecil! Begitu buka pintu, di sebelah kanan langsung ketemu ranjang double. Tapi, di kanan-kiri ranjang itu langsung ada tembok! Saya melirik ke belakang pintu, di situ ada kamar mandi. Tapi…sempitnya sama ajaibnya dengan kamar itu. Pancuran air untuk mandi berada tepat di atas kakus. Jadi, kalau mau mandi kita harus duduk di kakus itu….hehehe! 😀

Yaah, pantesan aja murah. Tapi di ruang begini mana bisa kami bergerak? Lagipula, mereka tidak menerima kartu kredit. Terpaksa saya bilang, “Kami mau lihat yang lain dulu. Kalau oke, nanti saya balik lagi ke sini.” Perempuan itu cuma memasang tampang lemas dan sedih. Hilang sudah persenan dari hasil menggaet tamu ke hostel murmer ini.

Saya langsung menyeret istri saya keluar, sebelum si Mbak tadi nangis….hehehe! 😀 Kami lalu naik lift ke lantai 12. Di bawah tadi, saya sempat mempelajari nama-nama hostel yang ada di gedung ini. Di lantai 12, ada yang namanya Cosmic Guesthouse. Beruntung, walau saat itu baru jam 11.00, resepsionisnya mau memberi kami kamar selama dua hari.

“Saya belum bisa memastikan ada kamar kosong sampai tanggal 24 Oktober. Tapi, Anda boleh pakai kamar ini sampai dua hari ke depan. Setelah itu, kalau ada kamar, Anda mungkin harus pindah kamar,” kata si resepsionis.

“Boleh deh kalau begitu,” saya langsung setuju. Apalagi sebelumnya saya berhasil nawar dari harga HK$400 menjadi HK$300 untuk double room. Dan itu harga per kamar lho, bukan per orang. Soalnya banyak juga hostel di Hong Kong yang pasang tarif per orang. Dan bulan Oktober terhitung peak season di Hong Kong, soalnya cuaca lagi enak banget. Suhu udara antara 23-28° Celcius. Musim typhoon juga udah lewat. Mungkin kalau lagi low season harganya bisa lebih murah lagi. Tapi sebelum bayar saya mau lihat kamarnya dulu, yang kebetulan bersebelahan dengan ruangan resepsionis.

Kamar kami di Cosmic.

Kamar kami di Cosmic.

Ternyata kamarnya lumayan kok, lebih luas dibandingkan dengan kamarnya si Mbak cengeng tadi. Kamar ini juga bersih, ber-AC dan kipas angin, ada TV, dan kamar mandinya juga bersih dan air panasnya lancar. Lagian, 300 dolar itu angka yang lumayan murah untuk ukuran Asia’s World City yang mahal ini. Lagian, ini penginapan keempat (atau kelima) yang saya cari. Capek juga kalau tiap hari urusannya cari penginapan melulu.

Setelah deal, saya membayar dengan kartu kredit. Fiuhhh, akhirnya uang tunai saya selamat! Walau ada charge sebesar 3,5%, tapi bayarnya kan bisa belakangan dan bisa dicicil. Dan setidaknya untuk dua hari ke depan kami aman. Setelah itu, kalaupun terpaksa cari hostel lagi, setidaknya di gedung Mirador Mansion ini saja ada belasan hostel yang bisa dilihat-lihat dulu.

“Oke, terima kasih ya,” kata si resepsionis dalam bahasa Indonesia.

Eh? You speak Indonesian?” tanya saya heran.

“Sedikit. My boss’ wife is an Indonesian-Chinese. Oh ya, walaupun check in sebenarnya jam 13.00, tapi kalian boleh masuk sekarang kalau mau.”

Wah, baik juga orang ini. So, untuk urusan penginapan, kami aman sampai Sabtu. Saya langsung menelepon Bu A untuk memberitahu bahwa saya akan check out hari itu, tapi baru akan mengambil tas sore harinya. Siang sampai sore itu kami blusukan di sekitar Causeway Bay, Times Square, dan sekitarnya. Sambil lihat-lihat ini-itu, siapa tahu ada warung makan yang sukur-sukur halal. Tapi kok jalan-jalannya nyasar jauh banget sampai ke Happy Valley (!). Setahu saya di dekat situ ada arena pacuan kuda, yang biasa disambangi warga Hong Kong buat taruhan. Tapi karena pacuan kuda biasanya dimulai malam hari, saya nggak jadi ke situ. Emang kita cowok apaan, cyin! *aslinya sih takut kalah* 😀

Jam 4 sore, saya sudah balik ke apartemen Bu A, leyeh-leyeh sambil nunggu empunya apartemen buat bayar. Tentunya sambil nge-charge ponsel dan kamera, dan pastinya online dong, mumpung lagi ada wi-fi gratis yang aksesnya kenceng. 🙂 Sejam kemudian, ternyata suaminya Bu A yang nongol duluan. Kalau saya kasih tahu pembaca JOS suaminya ini kerja di mana, bisa heboh nanti. Pasalnya, Bu A ini memang menyewakan apartemennya tanpa izin resmi, jadi yang nyewa kamar-kamarnya hanya orang Indonesia dan itu pun tahunya dari mulut ke mulut aja…hehehe! 🙂

Ya sudahlah. Yang penting, saya sudah selamat dari kemungkinan bangkrut. Sore itu, kami menggendong backpack ke Mirador Mansion. Tapi sebelumnya, kami mampir dulu ke warung kenalan saya itu, ceritanya sekadar mau memberitahu bahwa kami pindah penginapan ke Tsim Sha Tsui, dengan harapan dikasih makan lagi. Dan benar! 🙂 Walaupun masakannya biasa saja, yang penting bisa makan gratisan dulu. Habis itu barulah kami berangkat ke penginapan baru.

Keluar dari gedung tempat warung kenalan saya itu, ada toko plus warung makan bernama Warung Chandra. Iseng-iseng saya masuk, ternyata mereka jual nasi lauk seharga HK$ 15-18 saja! “Kalau siang, makannya masih anget, Mas,” kata si Mbak penjaga warung memberitahu. Selain itu, mereka juga menjual berbagai kebutuhan sehari-hari di situ. Sambal terasi ABC juga ada di sini. Ah, pokoknya akhirnya saya seneng banget bisa nemu makanan murah! Ada sih makanan yang bisa dipanaskan lagi di situ, tapi harganya kisaran HK$ 25-35. Lha, mendingan yang HK$ 15-18 tadi dong! 😛 So, sore itu kami menuju TST dengan sekotak nasi rames.

Malamnya, setelah makan nasi seporsi berdua, kami nonton Symphony of Lights—pertunjukan laser, multimedia, dan permainan cahaya yang melibatkan puluhan gedung, baik di sisi Kowloon maupun Pulau Hong Kong.

Saya datang ngepas hampir jam 8 malam waktu itu, padahal jarak lokasinya hanya 15 menit jalan kaki dari hostel saya. Kalau melihat kerumunan sepanjang TST Promenade hingga Avenue of Stars malam itu, pasti ada ribuan orang yang menanti pertunjukan gratis yang diadakan tiap jam 8 malam oleh Hong Kong Tourism Board ini. Tanpa pertunjukan ini pun, pemandangan Pulau Hong Kong dari sisi Kowloon sudah sangat keren.

Menjelang tontonan Symphony of Lights di kawasan Avenue of Stars, TST, Kowloon.

Menjelang tontonan Symphony of Lights di kawasan Avenue of Stars, TST, Kowloon.

Pertunjukan dimulai pas jam 8. Beberapa gedung tampak menembakkan cahaya laser ke langit dan ke arah Kowloon. Sebaliknya, gedung-gedung di sisi Kowloon juga memainkan cahaya lampu dan laser mereka yang bisa dilihat dari sisi Pulau Hong Kong. Permainan cahaya ini hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit setiap malamnya. Pada hari-hari raya, misalnya Tahun Baru atau Tahun Baru Cina, katanya pertunjukannya jauh lebih heboh, dengan pesta kembang api segala. Jadi, karena malam itu hanya malam “biasa”, pertunjukannya tergolong biasa saja. Tapi, walaupun “biasa”, sedikit permainan laser sudah membuat para penonton berdecak kagum. Memang keren kok. Rugi kalau ke Hong Kong nggak nonton pertunjukan gratis ini.

Seusai acara, kami jalan-jalan di sepanjang Promenade. Banyak lapak yang menawarkan jasa foto langsung jadi, dengan latar pemandangan Pulau Hong Kong pada waktu malam. Harganya bo…mahal! Paling murah HK$ 20 untuk foto ukuran 2R, paling mahal HK$ 100 untuk yang 12R. Tapi saya cuma lihat-lihat aja sih. Sayang duitnya. Mendingan juga foto sendiri, walaupun andalan saya cuma satu kamera saku digital biasa yang kurang bagus untuk foto malam hari, plus kamera ponsel Samsung S III mini yang belum lunas. 😀 Di lapak-lapak itu, penjualnya juga memajang foto-foto yang pernah dibuat. Banyak juga yang lucu-lucu. Ada pasangan yang lagi ciuman, ada yang lagi pose kungfu, ada juga cewek bule yang *****nya gede banget…hahaha!! 😀

Pas balik ke hostel, si Mbak Cengeng yang tadi siang nawarin penginapan mendekati saya lagi. Masih menawarkan penginapan murah untuk saya. Tampaknya dia sudah lupa bahwa beberapa jam sebelumnya saya pernah mengecewakan dia. 😀 Malam itu, setelah merencanakan acara jalan-jalan esok harinya, kami tidur dengan tenang.[]

(Bersambung)

Nongkrong di Hong Kong #1

CIMG6695All you’ve got to do is decide to go and the hardest part is over. So go!”

~ Tony Wheeler (pendiri Lonely Planet)

Mungkin ini adalah rencana perjalanan paling berat yang saya alami. Hingga menjelang keberangkatan saya ke Hong Kong tanggal 15 Oktober malam, saya tetap harus menghadapi 50-50 chance—berangkat atau tidak. Akhirnya, menjelang sore hari Selasa itu, saya memantapkan hati untuk tetap berangkat, setelah menyelesaikan banyak urusan kantor dan pribadi. Termasuk ngibulin beberapa teman kantor bahwa saya mau jalan-jalan jualan senjata ke Suriah dan Afrika. 😛 Lagian, sholat udah, kurban udah, cuti belum. Jadi, ini waktunya saya kabur dan keluyuran.

Saya beli tiket Tiger itu sejak awal tahun ini, dengan harga Rp 1,1 juta, pergi-pulang. Murah untuk ukuran tiket ke Hong Kong. Tapi yang namanya tiket murah juga ada nggak enaknya. Jamnya nggak enak, dan harus transit dulu. Kami berangkat malam hari jam 19.40 dari Soekarno-Hatta dan tiba di Bandara Changi, Singapura, jam 22.30 waktu lokal. Jadi, sudah pasti kami harus tidur di bandara lagi. Daripada nginep di hotel, kan?…hehehe! 🙂 Penerbangan berikutnya ke Hong Kong baru hari besoknya jam 14.00 waktu Singapura.

Sesampainya di Changi, saya mengurus transfer pesawat dulu ke konter Transfer E, biar besoknya kalau mau keluar dari imigrasi bisa jalan-jalan dulu dengan tenang. Kebetulan, ada teman yang juga lagi traveling di Singapura. Dia memberitahu tempat paling asyik buat tidur di bandara. “Coba kamu cari Oasis Lounge, itu masih di Terminal 2, di deket Gate A11,” katanya via Facebook.

Jadi, saya bela-belain cari lounge itu, sementara istri saya menunggu di depan konter Transfer E, yang sebenarnya juga asyik karena ada bangku buat tiduran dan ada beberapa PC buat internetan gratis. Walau agak jauh dari Transfer E, saya akhirnya menemukan Oasis Lounge, di depan Gate E11. Tempatnya asyik banget! Ada banyak kursi yang didesain untuk tiduran, ada juga colokan listrik (lumayan buat nge-charge ponsel!), dekat toilet, dan ada area internetan gratis juga! Yahooo!! Akhirnya saya balik memanggil istri saya dan malam itu kami jadi punya tempat tidur nyaman. 🙂

Sebenarnya ada juga sih beberapa spot nyaman sepanjang “perjalanan” menuju Oasis Lounge itu, tapi saya lihat udah pada penuh. Sayang saya nggak punya fotonya, karena hilang saat mengkopi file foto di Hong Kong (ceritanya belakangan ya). Walau tidurnya nggak terlalu nyenyak, subuh hari kami bangun dan giliran mandi di toilet. Sebenarnya nggak ada kamar mandinya di situ, tapi yang jelas bilik yang ada tulisan squat pan/squat toilet bisa dipakai buat mandi. Semprotan WC-nya bisa dipakai jadi shower…hehe! 😛

Habis itu, kami jalan lagi cari mushola, dan di belakang toko buku Relay kami menemukan ruangan  yang di pintunya ada tulisan Multi-Faith Prayer Room. Eh? Ini maksudnya bisa jadi tempat sembahyang semua agama? Tapi setelah masuk ke dalam, itu memang betulan mushola. Usai sholat Subuh, nggak disangka saya malah ketemu teman yang ngasih tahu tentang Oasis Lounge itu…haha! Dia baru mau pulang (tepatnya: langsung ngantor), dan saya justru baru mau jalan-jalan. 🙂

Habis itu, setelah menitipkan tas di Left Luggage di Terminal 2, kami keluar dari airside menuju imigrasi. Tok-tok! Petugas imigrasi mengecap paspor kami tanpa tanya apa pun. Sebetulnya kami nggak punya tujuan khusus jalan-jalan di Singapura. Dibandingkan Hong Kong yang jauh lebih seru, Singapura jadi tempat buang-buang waktu aja buat saya. Yang jelas, pagi itu saya lagi kangen pengen makan nasi lemak. jadi, kami menuju stasiun MRT Lavender untuk mencari Ananas Cafe. Dan…wah! Harga paket nasi lemaknya sekarang jadi S$ 2, padahal tahun lalu saya ke sini harganya S$ 2,5! Yaa lumayan deh, mungkin mereka tahu rupiah lagi loyo, makanya pembeli dikasih diskon…hehehe.

Habis beli nasi lemak 2 porsi, plus seporsi mi goreng dan empat potong roti di bakery di depan Ananas, kami naik MRT lagi, kali ini menuju stasiun Outram Park. Di belakang stasiun itu ada taman yang namanya Pearl’s Hill City Park. Sebenarnya nggak ada yang istimewa dari taman ini. Tapi saya memang suka cari suasana tenang di sebuah kota metropolitan. Cocok buat makan dan baca buku…hehehe. Di taman seluas 9 hektar ini, pagi itu tampak beberapa orang tua yang sedang sibuk berolahraga—entah sekadar senam ringan atau jogging.

Setelah sarapan nasi lemak enak dan ngos-ngosan jalan santai di taman berbukit itu, kami iseng berpusing-pusing keliling kota naik bus. Tujuannya ke mana saja, karena kami lagi cari AC buat mendinginkan badan yang berkeringat, sambil lewat jalanan, bosen naik MRT melulu.  Tak terasa, waktu udah hampir jam 11. Sudah waktunya kami balik ke Changi.

Singkat cerita, jam 14.00 kami lepas landas menuju Hong Kong. Untunglah saya selalu bawa buku saat jalan-jalan. Durasi 3,5 jam bisa sangat membosankan di kabin pesawat. Apalagi di pesawat kami nggak dikasih apa-apa, air putih juga nggak. Mau beli, sayang duitnya. 😩 *padahal emang lagi ngirit*

Jam 18.00, kami tiba di Bandara Chek Lap Kok atau biasa disebut Hong Kong International Airport (HKIA). Setelah melewati imigrasi (nggak perlu visa!), kami menuju terminal bus di luar hall kedatangan. Dekat peron kereta menuju kota, saya membeli kartu Octopus—seperti kartu EZ Link di Singapura. Kartu elektronik ini bisa dipakai untuk membayar segala jenis transportasi di Hong Kong—MTR (Mass Transit Railway/kereta bawah tanah), bus, trem, taksi, juga untuk transaksi pembayaran di minimarket dan supermarket. Saya cuma beli satu kartu karena sudah punya satu. Harga kartu yang baru HK$ 150, termasuk isi value senilai HK$ 100. Setelah itu, barulah kami berjalan kaki menuju terminal bus. Sengaja kami naik bus karena lebih murah daripada naik kereta Airport Express yang ongkosnya HK$100 (!).

Ada display besar di depan terminal bus yang menunjukkan nomor bus, tujuan, serta ongkosnya. Kami naik bus E11 yang menuju Causeway Bay. Ongkosnya HK$21 dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Hampir semua bus di Hong Kong bertipe bus tingkat alias double decker. Setelah menaruh tas-tas kami di bawah, kami duduk di dek atas, paling depan, supaya bisa mendapat pemandangan keren. Kota Hong Kong menawarkan pemandangan menakjubkan saat malam tiba.

BTW, yang disebut Hong Kong sebenarnya lebih sering mengacu ke Pulau Hong Kong. Sejak kembali ke pangkuan Republik Rakyat Cina (RRC) pada 1 Juli 1997, Hong Kong menyandang status SAR (Special Administrative Region) di mana otonomi penuh dipegang oleh Pemerintah Hong Kong sendiri, kecuali urusan luar negeri dan militer yang berada di bawah Pemerintah RRC. Selain Hong Kong, wilayah SAR Cina yang lain adalah Makau.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, sekitar 4-5 % per tahun, taraf hidup di Hong Kong relatif tinggi. Di kawasan Asia Timur, taraf hidup negara empat musim ini hanya berada di bawah Jepang, tapi masih di atas Singapura. Kepadatan penduduknya termasuk yang tertinggi di dunia, mencapai 6.300 orang per kilometer persegi, dengan jumlah penduduk di atas 7 juta (2011). Mengingat keterbatasan wilayahnya (hanya 1.102 kilometer persegi), sebagian besar penduduknya tinggal di apartemen sewaan. Catat: wilayah Hong Kong yang berpenghuni sebenarnya hanya 40%. Sisanya terdiri dari pulau-pulau, hutan, dan perairan.

Lihat nih petanya:

Peta Hong Kong. Gambar pinjam dari sini.

Peta Hong Kong. Gambar pinjam dari sini.

Area bandara HKIA tadi sebenarnya adalah sebuah pulau kecil hasil reklamasi, yang berlokasi di dekat Pulau Lantau. Seperti terlihat di peta, Hong Kong adalah wilayah kepulauan. Yang paling padat adalah wilayah Pulau Hong Kong.

Kawasan Causeway Bay di malam hari.

Kawasan Causeway Bay di malam hari.

Sebenarnya saat itu kami belum mendapat penginapan. Saya sebenarnya ingin mencari penginapan di kawasan Tsim Sha Tsui, Kowloon, tapi saat itu karena kecapekan dan lapar berat, saya sengaja turun di kawasan Causeway Bay. Ada seorang kenalan di situ yang bisa membantu kami mencari penginapan—setidaknya untuk malam ini. Karena sudah lapar berat, dan saya agak lupa lokasi warung kenalan saya itu, kami makan di restoran Indonesia di sekitar situ. Namanya Sedap Gurih. Tak sesuai namanya, nasi goreng dan ayam penyet pesanan kami rasanya biasa banget. Yang luar biasa adalah harganya—HK$ 125 untuk makanan kami! Saya langsung kapok.

Benar juga kata seorang teman—harga makanan di Hong Kong semakin mahal saja. Konon ini ada hubungannya dengan arus mainlander (sebutan orang Hong Kong untuk penduduk Cina daratan alias mainland China) yang semakin banyak datang ke Hong Kong untuk urusan bisnis atau sekadar pelesir. Dalam hati saya langsung panik—uang tunai yang saya bawa sangat terbatas. Kalau untuk urusan makan aja segini mahalnya, bagaimana kami bakal bertahan sampai delapan hari ke depan?

Setelah makan, kami blusukan mencari warung Blitar milik kenalan saya itu. Nggak tahunya….ada di seberang restoran tadi! Memang sih, harus naik ke lantai 2 sebuah gedung dulu. Saya lupa-lupa ingat lokasinya. Tapi begitu melihat deretan toko ponsel di gedung yang dikuasai orang Indonesia itu, saya langsung ingat lagi. Akhirnya ketemu!

Setelah ngobrol-ngobrol sejenak, kenalan saya itu menelepon seseorang. Tak berapa lama, datang seorang perempuan berjilbab bernama Bu A. Kenapa namanya disamarkan? Nanti ada ceritanya. 🙂 Bu A ini punya satu apartemen tak jauh dari gedung Konsulat Jenderal RI. Apartemen itu berisi dua kamar tidur yang dia sewakan, khususnya untuk orang-orang Indonesia. Berhubung saat itu sudah hampir jam 10 malam, saya terima saja tawarannya. Begitu masuk, jadi jelas kenapa harga per malamnya HK$ 500.

Walaupun kecil, apartemen itu nyaman. Selain kamar mandi dengan air panas, juga ada dapur yang lengkap isinya—kulkas, microwave, rice cooker, sabun cuci, piring, mangkok, sendok, dll. Enak sih apartemennya, tapi MUAHAL! FYI, beli Indomie nggak susah kok di Hong Kong. Ada beberapa warung Indonesia di sekitar kawasan Causeway Bay. Bahkan persis di depan gedung KJRI juga ada namanya Warung Chandra, yang selain menjual makanan juga menjual keperluan sehari-hari.

Sebelum meninggalkan kami, Bu A berpesan, “Tolong, kalau ada yang tanya, jangan bilang kalian nyewa kamar di sini ya. Bilang aja teman lagi nginep di apartemen saya.” Ah, jadi begitu ya ceritanya! 🙂 Oh ya, ada lebih dari 100 ribu orang Indonesia yang tinggal di Hong Kong. Sebagian besarnya adalah TKW. Catat: tidak ada tenaga kerja laki-laki Indonesia, karena semuanya perempuan di sini.

Malam itu, setelah mandi, kami langsung tidur karena kaki udah gempor setelah jalan-jalan di Singapura. Tapi, saya masih gelisah malam itu. Makan dan penginapan malam ini saja sudah kebangetan mahalnya. Artinya, besok pagi kami harus cari-cari penginapan lain yang sesuai anggaran. Dan kalau bisa yang menerima kartu kredit, karena uang tunai saya ngepas banget![]

(Bersambung)

Ida Indriarti, “Mama” Para TKW di Hong Kong

Suatu malam, di sebuah apartemen kecil di Hong Kong, terdengar bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Kanton (Cina) bercampur-aduk riuh. Di dalamnya, Ida Indriarti (53) dan suami, serta beberapa orang wanita dan anak-anak tampak tengah asyik bercakap dan bercanda-ria di tengah musim panas yang gerah bulan Juli lalu. 

Para wanita di apartemen Ida malam itu adalah para TKW (Tenaga Kerja Wanita) di Hong Kong yang sedang mampir dan membawa serta anak-anak majikannya. Ida sendiri adalah mantan anggota staf non diplomatik Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) masa periode 2001-2004 di Hong Kong. Semasa berdinas di sana, ia adalah orang KJRI paling dikenal di kalangan TKW. Ke mana pun ia pergi selalu saja ada TKW yang menyapanya. Bahkan, “Hampir tiap malam, terutama hari Minggu, mereka selalu mampir ke apartemen saya,” kata Ida.

Masa-masa selama berdinas di Hong Kong itu merupakan pengalaman tak terlupakan baginya. Sebelumnya, ia berkantor di Pusat Pendidikan dan Latihan Departemen Luar Negeri (Pusdiklat Deplu). Mulai Juli 2001, ia bertugas di Bidang Penerangan KJRI sebagai Pembina Masyarakat Indonesia di sana. Pekerjaannya yang baru ini membuatnya harus sering turun ke lapangan dan bertemu dengan para TKW.

Di negara bekas koloni Kerajaan Inggris ini ada sekitar 91.000 TKW yang mencari nafkah sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah, Malaysia, dan Singapura, Hong Kong mempunyai regulasi yang relatif lebih baik dalam soal ketenagakerjaan.

Di sana juga berlaku peraturan libur sehari dalam seminggu bagi para domestic helper (sebutan bagi PRT di Hong Kong) ini. Kebanyakan mereka memilih hari Minggu sebagai hari liburnya, sehingga atmosfer Indonesia akan sangat terasa di hari itu. Kawasan Victoria Park dan Causeway Bay menjadi ramai oleh ribuan TKW Indonesia yang nongkrong di sana, meski tak semuanya demikian. “Banyak yang berbisnis kecil-kecilan di antara sesama TKW tanpa menyalahi peraturan Pemerintah Hong Kong, dan hasilnya kalau dirupiahkan lumayan banyak untuk dikirim ke keluarga mereka di Indonesia,” tutur Ida. Kegiatan lain para TKW itu adalah mengikuti kursus-kursus bahasa Inggris, komputer, menjahit, dan sebagainya.

Beberapa organisasi TKW di Hong Kong seperti Majelis Ta’lim, Yogya International Club, dan Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) bahkan sudah melangkah lebih maju dengan mendirikan berbagai macam usaha di Indonesia, seperti ternak sapi, katering, agrobisnis, jual-beli mobil second hand, dan banyak lagi. Ini belum termasuk mereka yang berwirausaha secara individu sepulangnya ke Tanah Air. “Saya sering mengingatkan mereka, lebih baik jadi bos kecil di negeri sendiri daripada jadi kuli di negeri orang,” tutur Ida. Maksudnya, agar setelah mengumpulkan cukup uang mereka cepat kembali ke Tanah Air dan membuka usaha sendiri.

Walaupun hukum ketenagakerjaan di Hong Kong termasuk kuat, bukan berarti para TKW di sana tak punya masalah sama sekali. Sejak bergaul dengan para TKW, Ida memerhatikan bahwa selama ini permasalahan mereka kurang disikapi secara lebih personal dan jauh dari jangkauan KJRI. “Masalah-masalah yang bersifat kedinasan, misalnya kontrak kerja, perlakuan majikan, dan underpaid, biasanya diselesaikan lewat LSM dengan bantuan pengacara atau diselesaikan secara formal kedinasan oleh KJRI,” terang wanita kelahiran 31 Agustus 1951 ini.

Dari sinilah Ida memutuskan terjun ke dalam keseharian para TKW, mendengarkan keluh-kesah mereka, melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan mereka di luar pekerjaan mereka sebagai PRT. Dari cerita-cerita mereka, Ida melihat banyak fenomena TKW yang suaminya berselingkuh atau berfoya-foya menghabiskan kiriman uang dari mereka, bahkan sampai kasus segelintir TKW yang keluarganya berantakan gara-gara mereka jadi lesbian. “Ini karena mereka terlalu lama jauh dari suami, tak ada bimbingan, rangkulan kasih sayang, dan tak punya pegangan hidup yang kuat,” jelas Ida. Belum lagi fenomena mereka yang berpacaran dengan pria-pria tenaga kerja Pakistan, yang terkadang berakhir dengan hamil di luar nikah. Ida dan suami terkadang harus berkorban secara finansial demi menolong mereka.

Ida merangkul kawan-kawan dari Islamic Union, Christian Assembly, dan psikolog-psikolog untuk membantunya mengatasi hal ini, baik secara personal maupun lewat media lain seperti lewat Nongkrong Bareng, sebuah acara radio yang dikhususkan bagi para TKW Indonesia. Ia juga tak segan membuka pintu rumahnya lebar-lebar bagi mereka yang ingin bertemu langsung dengannya. Telepon selulernya pun tak henti berdering hingga larut malam. “Mereka butuh tempat curhat, sementara waktu senggang mereka kalau tidak sedang libur hanya malam hari,” cerita Ida.

Hari Minggu pun tak pernah sepi di apartemen Ida. Selalu saja ada TKW yang mampir, dan mereka ini jarang datang dengan tangan kosong alias selalu membawa oleh-oleh. Apartemen Ida seakan menjadi “base camp” para TKW ini, tempat mereka bisa mengobrol, memasak bersama, dan bernyanyi karaoke. Berbagai bentuk kedekatannya dengan para TKW membuat Ida dipanggil “mama” oleh sebagian mereka yang menganggap Ida sudah seperti ibunya sendiri. Oleh Ida pun, mereka sudah dianggap sahabat dan bahkan seperti anak sendiri.

Pernah ada seorang TKW yang sering menelepon Ida tengah malam. Ternyata ia mengidap kanker dan sejak keberangkatannya ke Hong Kong sengaja menyembunyikan hal itu agar bisa mencari nafkah. Hampir setiap rasa sakit akibat kanker itu kambuh, ia selalu menelpon Ida. “Saya menemaninya berjam-jam hingga rasa sakitnya hilang,” cerita Ida. Pernah juga ia membolos dari kantor demi mencegah seorang TKW yang sudah berniat bunuh diri karena tak kuat menanggung beban masalah pribadinya.

Ida mengaku sering membandingkan para TKW itu dengan dirinya waktu masih seusia mereka. Pada umur yang masih relatif muda, dengan pendidikan yang minim, mereka sudah harus pergi jauh ke negeri lain dan berpisah dengan keluarganya demi mencari nafkah. “Kalau ingat hal itu, saya merasa termasuk beruntung walaupun saya bukan dari keluarga kaya,” kata wanita kelahiran Yogyakarta ini.

Menjelang rampungnya masa dinas tiga tahun Ida di Hong Kong pada 31 Juli lalu, para TKW itu mengadakan acara pesta perpisahan untuknya. Ratusan orang TKW hadir dan adegan tangis-tangisan pun tak terhindarkan. “Tak pernah ada sebelumnya orang pemerintah yang begitu memedulikan kami seperti anak sendiri,” kata beberapa dari mereka sambil terisak. Ketika berada di bandara, barang-barang yang dibawa Ida sampai overweight dengan oleh-oleh dari para TKW. Dari gosip yang saya dengar di antara para TKW, mereka berencana mengundang Ida ke Hong Kong lagi atas tanggungan mereka suatu hari nanti.

***

Ida melewati masa kecil dan menyelesaikan pendidikan sampai Sarjana Muda di Yogyakarta. Ia dibesarkan dalam keluarga yang majemuk. Ayahnya, pensiunan pegawai Perumka, beragama Islam dan ibunya (almarhum), seorang guru SLTP, beragama Katolik. Ida sendiri beragama Katolik sebelum masuk Islam ketika menikah pada 1978. Ia juga anak pertama dari tujuh bersaudara, sementara dua adiknya yang lain beragama Islam dan sisanya Katolik. Hal ini diakuinya berpengaruh besar terhadap caranya bergaul. “Yang saya lihat dari seseorang adalah pribadi orang itu seutuhnya, bukan yang lain,” ujarnya.

Sejak masih bersekolah di SMPN 1 Yogyakarta, Ida sangat ingin meneruskan kuliah di jurusan Hubungan Internasional (HI). “Pikir saya waktu itu, lulusan HI pasti berkesempatan dapat tugas ke luar negeri,” kenangnya. Ida mendapat gelar Sarjana Muda dari jurusan HI Universitas Gadjah Mada (UGM) dan menyelesaikan pendidikan S-1 di Universitas Nasional, Jakarta.

Bekerja di Deplu sejak 1975, Ida nyaris tidak pernah mengikuti pendidikan dinas luar negeri apa pun. “Saya bukan orang yang ngotot mengejar karir. Bagi saya, keluarga tetap nomor satu,” tutur ibu dari seorang putra dan putri ini. Namun ketika anak-anaknya sudah besar, terbersit lagi keinginannya untuk dapat ditempatkan di luar negeri. Kesempatan itu segera datang dan tak disia-siakannya. Ia mengikuti tes dan ditempatkan di Hong Kong mulai Juli 2001, dengan status Staf Teknis Non Diplomatik.

Kesukaannya menyanyi pun tetap ia lakukan selama bertugas di sana. Sejak kecil, Ida memang senang bernyanyi dan bergabung dengan paduan suara di sekolah. Di Hong Kong, kesukaannya kepada musik ia lampiaskan dengan mengorganisasi para TKW untuk berlatih angklung bersama. “Mereka pada awalnya tak banyak tahu tentang musik, bahkan buta not balok,” ujar penyuka Nat King Cole ini. Namun jerih payah Ida membangun kelompok musik angklung tak percuma.

Kelompok yang awalnya banyak diragukan orang ini sekarang bahkan sering diundang mengisi acara-acara kesenian multietnis di Hong Kong. Terakhir, bersama beberapa TKW yang berbakat menyanyi, Ida merekam lagu-lagu yang mereka nyanyikan ke dalam CD (compact disc) berjudul Ibu Ida dan Anak-anaknya, dan membagikannya ke teman-teman dan koleganya sendiri. “Semuanya hanya demi hobi menyanyi saya,” kata wanita yang kini berkantor di BPPK (Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan) Deplu ini. Sampai sekarang pun, komunikasi dengan para TKW itu masih berlanjut, baik melalui telepon, SMS maupun e-mail. Ia mengaku akan sangat sedih kalau apa yang sudah ia bentuk bersama “anak-anaknya” mengalami kemunduran atau bahkan bubar.

***

Sekembalinya ke Indonesia, Ida pernah diundang atas nama pribadi oleh Pemda Kabupaten Blitar untuk acara ramah-tamah dan bertukar pengalaman serta informasi soal TKW di Hong Kong. Seusai acara, ia mengunjungi tiga desa di sana, yaitu Desa Kesamben, Jeblog Talun, dan Gedog, yang termasuk daerah asal TKW terbesar di Jawa Timur. Ida melihat sendiri betapa makmurnya desa-desa itu. “Rumah-rumahnya mentereng, tak kalah dengan Pondok Indah. Hampir semua warganya mendirikan usaha sendiri,” ceritanya.

Ida lantas punya pemikiran, seandainya empat juta TKI di luar negeri diberi bimbingan kewirausahaan, agar sekembalinya ke Tanah Air mereka bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, maka bayangkan hasilnya jika masing-masing merekrut satu tenaga kerja saja. “Di atas kertas, empat juta tenaga kerja bisa terserap,” katanya.

Tentu saja hal itu tak segampang teorinya. Butuh dukungan banyak pihak, termasuk media massa. Ida mengaku agak sebal dengan media massa yang cenderung memberitakan penderitaan TKI saja. “Padahal banyak sisi positif yang bisa dilihat, misalnya kemampuan mereka berwirausaha,” keluhnya. Kalau begitu, ia lantas menilai, percuma saja kita menjuluki mereka pahlawan devisa kalau kita tak pernah memanusiakan orangnya. Akibatnya, mereka kurang dihargai oleh bangsanya sendiri dan bahkan makin ditambah penderitaannya. “Saya sungguh berharap kepedulian bangsa ini kepada sesamanya masih ada,” ujarnya menutup pembicaraan.[]

Catatan: Tulisan ini saya buat tahun 2004, saat sedang menulis reportase tentang TKW di Hong Kong untuk majalah saya dulu. Waktu itu saya masih kurus dan dekil. Sekarang sih langsing. 😛

Pernah mencoba mengirim tulisan ini ke Kompas, tapi ditolak. 😩 Akhirnya malah nyaris terlupakan, kalau saja saya tidak ngoprek-ngoprek komputer. Sayang juga, foto subjek tulisan belum ketemu. Saat menulis ini, saya belum punya kamera digital, yang sekarang marak dan terjangkau harganya, sehingga negatif filmnya entah di mana, belum ketemu. 😩

Ngomong-ngomong, anak-anak yang saya singgung di atas tadi adalah anak-anak majikan para TKW itu. Beberapa di antara anak-anak itu malah bisa berbahasa Indonesia, walau cuma percakapan sederhana. Juga menyanyi lagu anak-anak Indonesia. Diajari si mbak di rumah mereka, tentu saja. 🙂

Balada Ukraina #2

Tibalah hari yang saya tunggu-tunggu itu. Pukul 4 pagi, saya diantar keluarga dan istri saya menuju Bandara Soekarno-Hatta. Setelah menguatkan diri dan pamit kepada keluarga tercinta, saya langsung check in ke konter China Airlines dan langsung menuju boarding area. Pesawat lepas landas pukul 8 pagi. Penerbangan ke Hong Kong (HK) memakan waktu 4,5 jam.

View Hong Kong yang paling terkenal. Gambar diambil dari Tsim Sha Tsui.

View Hong Kong yang paling terkenal. Gambar diambil dari Tsim Sha Tsui.

Hari menjelang petang saat saya tiba di Hong Kong. Setelah melewati bagian imigrasi, saya bergegas keluar untuk mengambil barang-barang saya di baggage claim. FYI, pemegang paspor hijau RI bakal diberi cap imigrasi HK yang berfungsi sebagai visa on arrival  dan kita diperbolehkan tinggal selama 30 hari sejak tanggal kedatangan, Saya pernah tinggal di Hong Kong beberapa tahun sebelumnya, dan ini adalah kunjungan ke-4 saya di bekas koloni Inggris ini, jadi saya cukup hafal bagaimana caranya menuju pusat kota. Setelah mengambil koper, saya berjalan kaki menuju terminal bus yang berada tak jauh dari pintu keluar. Udara dingin HK pada akhir Januari itu sungguh menyegarkan. Papan elektronik yang berada di sekitar situ menunjukkan bahwa di luar suhunya 10 derajat Celsius.

Saya tersaruk-saruk mendorong troli berisi koper besar dan ransel menuju terminal bus bandara yang menuju Hong Kong Island, sekitar 200 meter dari pintu keluar. Hong Kong adalah sebuah wilayah kepulauan. Bandara ini terletak di sebuah pulau hasil reklamasi. Sebelumnya, bandara HK (Kai Tak Airport) menempati lokasi di dalam kota. Kalau Anda masih ingat film-film Mandarin jadul, akan terlihat adegan pesawat-pesawat hendak mendarat dan jaraknya sangat dekat dengan puncak-puncak gedung pencakar langit di sini. Bayangkan kalau ada kecelakaan pesawat… bisa-bisa ada Boeing nabrak mal. Itulah sebabnya bandara kemudian dipindah ke lokasi yang jauh dari keramaian kota. Bandara ini bernama Chek Lap Kok—diambil dari nama pulau reklamasi tersebut—alias Hong Kong International Airport.

Kunjungan ke HK selalu membuat saya bersemangat. Saya sangat menyukai suasana dan lanskap kota modern dan bersih, gedung-gedung pencakar langit, jalanan yang sibuk, dan udara yang dingin. Di negara ini, tak seorang pun yang akan memandang Anda hanya karena warna kulit yang berbeda. Hampir semua orang dari semua benua di planet ini bisa ditemukan di HK. Perjalanan ke pusat kota akan memakan waktu 1 jam kalau menggunakan bus. Sebenarnya saya bisa saja naik kereta ekspres, tapi tarifnya jauh lebih mahal. Jadi, sambil duduk santai di dek atas double decker dan menikmati pemandangan sepanjang jalan, mari saya ceritakan sedikit tentang HK.

Sejak kembali ke pangkuan Republik Rakyat Cina (RRC) pada 1 Juli 1997, Hong Kong menyandang status SAR (Special Administrative Region) di mana otonomi penuh dipegang oleh Pemerintah Hong Kong sendiri, kecuali urusan luar negeri dan militer yang berada di bawah Pemerintah RRC. Dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, sekitar 4-5 % per tahun, taraf hidup di Hong Kong relatif tinggi. Di kawasan Asia Timur, taraf hidup negara empat musim ini hanya berada di bawah Jepang dan Brunei, tapi masih di atas Singapura. Kepadatan penduduknya termasuk yang terpadat di dunia, mencapai 6.300 orang tiap kilometer perseginya. Mengingat keterbatasan wilayahnya (hanya 1.102 kilometer persegi), sebagian besar penduduknya tinggal di flat-flat (apartemen) sewaan.

Wilayah Hong Kong termasuk wilayah kepulauan dan dibagi menjadi tiga wilayah (subdivision) yaitu Pulau Hong Kong, Kowloon, dan New Territories. Kekayaan dan keindahan alam negara ini mungkin tak terlampau menonjol, apalagi dibandingkan dengan Indonesia. Namun semuanya dikelola dengan maksimal dan profesional, sehingga mampu memesona jutaan wisatawan internasional tiap tahunnya. Pemandangan kota metropolitan yang bersih dengan ratusan gedung jangkungnya, ditambah bukit-bukit hijau yang melatarbelakanginya, menjadi ikon khas Hong Kong yang kondang di seluruh dunia. Semarak lampu-lampu neon bertulisan huruf Cina yang menjorok ke jalanan dari toko-toko di sepanjang jalan menjadi pemandangan menarik tersendiri, terutama ketika malam tiba.

Hong Kong juga menawarkan banyak daerah wisata yang jauh dari hiruk pikuk kota metropolitan, seperti pantai dan pulau yang indah. Pulau Lamma, Sai Kung, atau Lantau dapat dicapai hanya dengan 40 menit naik kapal feri cepat (jetfoil) dari pusat kota. Di sana ada Kuil Po Lin dan patung Buddha raksasa, plus pemandangan pantai bersih berlatar bukit-bukit menghijau nan cantik.

Daerah wisata pantai lainnya tak kalah indah, seperti pantai Stanley yang juga punya pasar tradisional yang harga-harga cinderamata dan handycraft-nya bisa ditawar, atau pantai keren Repulse Bay. Bisa juga menyusuri kawasan nelayan di Sungai Aberdeen dengan perahu tradisional.

Mejeng di Aberdeen River.

Stanley Beach, salah satu kawasan wisata di HK.

Pemandangan khas lain adalah jalanan kota Hong Kong yang tergolong kecil-kecil, tapi bersih. Meski demikian, bus-bus double decker (bus tingkat) ala Inggris yang berbodi panjang di sini bisa dengan enak membelok, tanpa harus membuat jalan macet. Sebagian besar bus kota di sini memang berupa bus tingkat. Jangan harap bus kota di Hong Kong mau berhenti seenaknya seperti di Indonesia. Mereka hanya berhenti di halte yang telah ditentukan. Di semua halte bus terpampang jelas bagan yang berisi informasi nomor jalur bus, rute yang dilalui, serta daftar tarif. Alat transportasi lainnya adalah taksi, trem, minibus, dan MTR (Mass Transit Railway) alias kereta bawah tanah. Ada juga kapal feri bermodel semi-tradisional yang melayani penyeberangan selat kecil antara Pulau Hong Kong dan Kowloon. Semuanya dikelola pemerintah Hong Kong secara efisien sehingga memudahkan warga menggunakannya.

Double decker yang keren itu…

Di sini, mereka yang punya mobil pribadi biasanya memang warga yang betul-betul kaya. Sebab, wilayah yang padat menyebabkan mereka harus menyewa tempat parkir sendiri. Plus, mobil yang boleh berseliweran di kota adalah mobil keluaran 10 tahun terakhir. Tapi, menurut saya, naik kendaraan umum di HK jauh lebih nikmat ketimbang naik mobil. MTR dan bus-bus kota di sini sangat mewah, sehingga warga negara dunia ketiga seperti saya doyan bolak-balik naik bus atau MTR hanya untuk merasakan kenyamanannya. Lagipula tarifnya tidak mahal. Untuk jarak sedang, paling-paling kita hanya butuh biaya HK$3-5 (HK$ 1 = Rp1.100 – 1.200).

  Begini cara pakai Octopus di stasiun MTR. Tinggal tempel 🙂

Cara pembayaran pun tidak harus pakai uang tunai. Di sini ada kartu elektronik (semacam kartu Flazz BCA) bernama Octopus yang bisa digunakan untuk membayar biaya transportasi. Cukup tempelkan di sebuah display elektronik dan “pulsa” kita di kartu itu akan terpotong sesuai tarif yang berlaku. “Pulsa” juga bisa diisi ulang di banyak tempat umum, seperti di terminal bus, stasiun MTR, dll. Di beberapa toko, Octopus juga diterima sebagai alat pembayaran. Praktis!

Di kawasan ramai dan sibuk, misalnya di Causeway Bay, amat mudah menemukan polisi yang sedang patroli berpasangan, itu pun hanya berjalan kaki. Terletak di jantung Pulau Hong Kong, Causeway Bay merupakan salah satu pusat bisnis dan perbelanjaan paling kondang, terutama bagi para turis asing. Kawasan ini sangat ramai dengan lalu-lalang orang-orang yang sedang berbelanja, ber-window shopping, dan para businessman yang sibuk dengan telepon selulernya. Di beberapa titik zebra cross, ratusan orang bisa sekaligus menyeberang ketika lampu merah bagi kendaraan menyala.

Kawasan sibuk Causeway Bay.

Toko-toko di sepanjang jalan merayu pejalan kaki yang lewat dengan tawaran discount-nya. Puluhan restoran, warung makan dan kafĂ© padat dikunjungi mereka yang ingin bersantap. Warung-warung makan di Hong Kong terbilang punya konsep menarik. Dapurnya terletak di bagian depan, sehingga pejalan kaki yang lewat bisa melihat langsung “aksi” para kokinya dan mencium aroma makanan yang sedang dimasak. Ada juga satu-dua kios makanan ringan yang menawarkan sate dan bakso dengan saus, mulai dari daging sapi, ayam, udang, sampai babi. Bagi pendatang Muslim, lebih baik bertanya dulu daging apa yang dijual, karena seringkali tak ada tulisan keterangan. Sekalipun ada, kadang-kadang bertulisan huruf Cina. Namun tak usah kuatir, karena seluruh fasilitas umum dan petunjuk jalan di Hong Kong juga menggunakan bahasa Inggris, di samping Kanton (Cantonese: bahasa Cina berdialek Kanton), yang juga merupakan bahasa resmi di sini.

Pemandangan khas jalanan di HK.

Sejam kemudian, bus memasuki pusat kota. Hari sudah gelap waktu itu. Saya turun di halte Causeway Bay. Sambil menyeret koper besar, saya berjalan menuju gedung Konsulat Jenderal RI (KJRI). Di sini ada banyak kamar yang berfungsi sebagai guest house yang bisa disewa WNI. Biayanya standar lah, kalau dirupiahkan jadi sekitar Rp350 ribu per malam. Saya toh hanya akan menginap satu malam ketika itu. Besoknya, pesawat saya akan take off sekitar tengah malam.

Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar, saya langsung mandi air panas, dilanjutkan dengan jalan-jalan. Pertama, tentunya saya harus makan dulu. Di Hong Kong, tak terlalu sulit menemukan restoran Indonesia, apalagi di kawasan sibuk Causeway Bay. Tapi, masa saya makan masakan Indonesia di HK? Makan mie instan Indomie dengan telur saja bisa habis Rp20 ribu di sini. Maka saya mencoba mencari lokasi resto chinese food  Cafe de Coral, favorit saya di HK. Cafe de Coral adalah sebuah jaringan resto terkenal di sini yang menawarkan menu-menu tradisional Cina. Sebelumnya, saya sempat mencari warung kaki lima yang menjual waffle enak di dekat KJRI, tapi ternyata warungnya sudah pindah. Lalu saya sempat mampir ke warungnya Tante Yohana, teman ibu saya, untuk membeli kartu SIM dan buka-buka e-mail sebentar di warnetnya. Saat akan pergi, saya dilarang membayar semua itu. Wah, alhamdulillah… 🙂

Restoran Indonesia mudah ditemukan di Causeway Bay.

Malam itu, di Cafe de Coral, saya memesan menu Curry Beef Brisket alias kari sapi dengan nasi. Sederhana memang, tapi cukup lezat buat saya. Secara porsi sebenarnya tidak cukup. Tapi saya tak mau foya-foya berpesta kolesterol sebelum sampai ke tujuan. Setelah makan, saya memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati malam di Hong Kong.Supaya lebih afdol, saya membeli beberapa potong roti di bakery dan sebotol jus. Lalu menikmati semua itu sambil berjalan-jalan menikmati malam yang dingin. Inilah yang saya sukai ketika berada di negara ini. Jalan kaki (dengan aman dan nyaman) adalah sebentuk kemewahan yang sulit saya dapatkan di Indonesia. Jadi saya tak akan melewatkan malam ini dengan tidur lebih awal. Saya sempat membeli topi kupluk murah meriah di pasar tradisional untuk persiapan menghadapi suhu yang lebih gila di tujuan nanti. Sebentar-sebentar, saya terpaksa berhenti karena para pedagang makanan kaki lima tampak senang menggoda saya dengan jajanan-jajanan yang bikin lidah bergoyang dan air liur menetes. Tengah malam, barulah saya kembali ke gedung KJRI. Saya terpaksa lewat gang senggol di samping gedung karena pintu depan sudah dikunci.

Siang hari esoknya, saya menemui teman saya di sebuah kafe untuk mengambil tiket pesawat saya. Sejam sebelumnya, saya sudah menukar uang ke HK dolar (karena dia membeli tiket dengan HK dolar). Setelah ngobrol sejenak, ia pamit untuk pergi bekerja. Teman saya itu punya bisnis di HK. Beberapa tahun sebelumnya, saya pernah datang kemari untuk menulis laporan khusus tentang tenaga kerja wanita (di sini biasa disebut nakerwan, bukan TKW). Beberapa nakerwan yang saya kenal sudah pulang ke Indonesia. Dan karena hari itu hari kerja, saya tak bisa menemui mereka. Nakerwan di sini biasanya mendapat libur pada hari Minggu.

Teman-teman HK saya juga kebetulan sedang ke luar negeri. Mereka anak-anak HK Hardcore dan sedang konser di Taiwan. Yah, berhubung ini hanya kunjungan singkat untuk transit satu malam, agak susah kalau mau ketemu dengan teman-teman lama. Mungkin nanti, 6 bulan lagi, saya bisa ketemu mereka lagi setelah pulang dari Ukraina melalui rute yang sama. Jadi sisa hari itu saya habiskan dengan jalan-jalan lagi, sedikit wisata kuliner, keluar masuk toko melihat-lihat jaket keren atau gadget terbaru, foto-foto ke sana kemari, main ke toko buku, makan di taman sambil baca majalah/koran, dan petang harinya saya kembali ke gedung KJRI. Memeriksa kembali barang-barang saya, paspor, tiket, dan berkas-berkas untuk masuk ke Ukraina. Jam 8 malam, saya sudah berada di halte bus menuju bandara.

Sejam kemudian, setiba di bandara, saya langsung mencari konter pesawat Turkish Airlines yang menuju Kiev, Ukraina. Sambil menyeret koper dan memanggul ransel di punggung, saya mendapati pemandangan mencolok di depan saya. Lima petugas keamanan berseragam, kekar dan berkacamata hitam, mondar-mandir di sekitar sebuah loket check in. Senapan otomatis tergenggam erat di tangan. Mereka mengawasi antrean panjang orang-orang berpakaian jubah hitam, berjanggut panjang, dan bertopi tinggi. Orang-orang Yahudi Ortodoks. Saya melirik nama loket itu. El Al, maskapai penerbangan Israel, salah satu negara paling paranoid di dunia karena mempunyai musuh di mana-mana. Dugaan saya, otoritas keamanan bandara internasional Hong Kong tak mau ambil risiko terjadi kekacauan di sini karena ada pihak yang mau menyerang mereka.

Di loket Turkish Airlines, saya menyelesaikan proses check in setelah diminta menunjukkan berkas-berkas dan uang dolar tunai saya yang sebanyak beberapa lembar Benjamin kepada si petugas. Si petugas beralasan, saya harus menunjukkan uang tunai saya sebagai bukti bahwa saya punya uang untuk tinggal selama beberapa waktu di negara tujuan–atau di negara transit. Huh, memangnya tampang saya kayak imigran gelap, ya? Kurang ajar. Tapi memang hanya itulah uang tunai yang saya bawa sebagai uang saku pegangan. Toh, di sana saya akan menerima gaji. Sambil menggerutu, saya keluar dari loket dan mencari tempat duduk. Antrean di depan loket El Al sudah menghilang. Begitu pula para petugas bersenjata tadi.

Setelah mendapat tempat duduk, saya mencoba menelepon Nastya (kontak saya di Ukraina) dengan sisa pulsa terakhir untuk memberitahukan perkembangan terbaru. Untung saja saya menelepon dia. Kalau tidak, saya tidak akan tahu bahwa Nastya baru saja mengirimkan e-mail  penting. Segera saya mencari internet café terdekat (waktu itu saya belum punya laptop). Ternyata Nastya memberitahu bahwa tak ada orang yang akan menjemput saya di Bandara Borispol di Kiev. Tapi ia memberi petunjuk bagaimana cara menuju stasiun kereta api dengan bus dari bandara. Di stasiun, akan ada orang yang akan menjemput dan membantu saya mendapatkan kereta api ke Dnipropetrovsk, kota tempat saya akan tinggal, 450 kilometer dari Kiev. Saya mencatat semua petunjuk Nastya secepat kilat (tarif Internetnya per 15 menit, itu pun wajib beli minuman dulu), lalu kembali duduk.

Setengah jam kemudian, pesawat boarding dan semua penumpang masuk ke kabin. Beberapa saat setelah pesawat mengudara, saya bersiap tidur. Sekitar 11-12 jam lagi saya akan tiba di Istanbul untuk transit. Oh, tunggu dulu. Para pramugari sedang membagikan makan malam kepada penumpang. Ah, rasanya saya bisa menunda tidur saya barang sejenak. Tadinya saya mengharapkan menu kebab, tapi ternyata mereka hanya memberi menu makan standar di pesawat. Mungkin karena saat itu jam menunjukkan pukul 12 malam (atau pukul 11 malam WIB). Apa pun, yang jelas semua makanan itu saya eksekusi dalam beberapa menit saja. Penumpang di sebelah saya, orang Turki, tak jelas bahasa Inggrisnya. Jadi saya putuskan untuk tidur saja. Mengabaikan dua pemuda Turki yang sibuk berjoged sambil mendengarkan lagu Turki di pojok depan.

Perjalanan saya masih panjang. (bersambung)

* Tulisan ini pernah saya pajang di notes Facebook pada 24 Maret 2011. Sengaja di-posting di sini, dengan diedit seperlunya, biar blog saya agak rame dikit :)

Balada Ukraina #1

Pagi ini baru saja saya menerima e-mail dari seorang kawan asal Ukraina, tempat saya pernah tinggal empat tahun yang lalu. Bulan Maret tahun 2008 adalah bulan ketiga saya tinggal di Dnipropetrovsk, kota ketiga terbesar di negeri asal Andrey Shevchenko itu. Kawan saya itu berencana mampir ke Indonesia pertengahan tahun ini—dan akan menjadi kawan Ukraina ketiga saya yang akan berkunjung kemari. Ia bahkan mengundang saya “pulang kampung” ke Ukraina tahun 2012 untuk menonton gelaran Euro 2012 yang memang akan dilaksanakan di sana–tanpa saya perlu mengkhawatirkan akomodasi (You’ll stay at my apartment, Indra!), begitu janjinya. Semua itu membuat saya teringat kembali masa-masa indah (dan susah) selama tinggal di sana dulu.

Pertama, saya akan bercerita lebih dulu tentang bagaimana saya bisa terbang ke sana. Beberapa bulan setelah mengalami gempa Jogja pada tahun 2006 dan menjadi interpreter relawan untuk sebuah NGO kedokteran asal Perancis, suatu hari selepas pulang kuliah, saya bertemu beberapa orang yang sedang sibuk membagikan brosur kepada orang-orang yang lewat di sekitar kampus saya, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Seorang di antara mereka adalah orang Jepang. Mereka ternyata adalah anggota AIESEC (dulu ini singkatan dari Association Internationale des Étudiants en Sciences Économiques et Commerciales. Sekarang singkatan itu tidak dipakai lagi). Intinya, ini adalah sebuah organisasi mahasiswa internasional non-profit yang bertujuan meningkatkan keterampilan dalam hal kepemimpinan (leadership) melalui program-program internal dan melibatkan para mahasiswa dari berbagai negara untuk bergabung dengan program magang kerja (internship) di negara-negara lain. AIESEC adalah organisasi mahasiswa terbesar di dunia dan hadir di 110 negara.

Di Indonesia, cabang AIESEC hanya ada di enam kota, dan yang terdekat dari Jogja, kampung halaman ibu saya, adalah di Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang. Singkat cerita, saya segera mendaftar lewat e-mail. Beberapa persyaratan yang harus saya penuhi di antaranya adalah memiliki nilai TOEFL di atas 550 dan menulis esai sekian halaman dalam bahasa Inggris tentang diri saya dan apa yang membuat saya tertarik bergabung dengan program magang di luar negeri. Saya pun lolos menembus babak pertama.

Babak berikutnya berupa tes-tes lagi. Kali ini saya harus diwawancara oleh Board of Advisor di AIESEC. Anggotanya kebanyakan adalah orang-orang tua yang bersedia menjadi anggota dewan penasihat dan terdiri dari berbagai latar belakang: psikolog, pengusaha, kepala cabang BUMN, dosen, alumni AIESEC, dsb. Wawancara dilakukan sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris. Isi wawancara bermacam-macam: dari pengetahuan umum hingga kepribadian (cita-cita, keterampilan, dsb). Dengan semangat Setan Merah, saya pun berhasil lolos dari babak ini. Setelahnya, masih ada beberapa kegiatan internal yang harus saya ikuti, termasuk satu kali konferensi nasional di Jakarta.

Oh ya, semua hal di atas sebagian besar dilaksanakan di Semarang. Jadi, saya harus bolak-balik ke kota lumpia itu dari Jogja dengan motor bebek kesayangan saya: Belalang Tempur. Saya tak ingat berapa kali saya harus pergi-pulang ke Semarang. Jarak sekitar 100 kilometer sekali jalan itu biasanya saya libas dengan waktu tempuh 2-2,5 jam—satu kali ditilang polisi korup di Ambarawa gara-gara plat motor yang “nggak standar” (dugaan saya sih juga karena plat luar kota: AB); dan sekali ban bocor tak jauh dari Simpang Lima, Semarang.

Setelah selesai melalui tahapan-tahapan di atas, nama saya—berikut CV—berhak dipajang di sebuah list internal yang bisa diakses online. Di list itu, saya berhak memilih dan dipilih oleh perusahaan/lembaga (istilahnya: TN Taker) di berbagai negara anggota untuk kerja magang di tempat mereka. Kita berhak memilih TN Taker di seluruh dunia dan begitu juga sebaliknya. Kalau ternyata banyak tawaran datang ke seorang calon magang alias trainee atau EP (Exchange Participant), artinya CV orang itu memang lumayan atau malah keren punya. Kalau banyak tawaran datang, EP jadi leluasa memilih. Selebihnya, semua adalah masalah manajemen (pengelolaan), entah itu manajemen waktu, dana, persiapan kerja, dan sebagainya.

Sebagai calon trainee/EP (sebutan untuk orang yang mengikuti program internship ini), saya bisa melihat-lihat data-data perusahaan/lembaga di list itu: deskripsi pekerjaan, akomodasi, gaji, fasilitas, dsb. Sebaliknya, mereka juga bisa mempelajari data saya: pendidikan, kemampuan berbahasa, pengalaman kerja, dsb. Saya juga bisa berkomunikasi dengan penanggung jawab program itu di negara tujuan untuk menanyakan banyak hal lebih detail lagi: budaya, biaya hidup, kurs mata uang, cuaca, dan hal-hal lain mengenai negara tujuan. Proses ini bisa memakan waktu cukup lama. Dalam kasus saya, butuh waktu hampir setahun sebelum akhirnya benar-benar terbang ke Ukraina.

Oh ya, sebagai calon trainee, ada empat bidang yang bisa dipilih untuk magang nantinya: Management, Technical, Education, dan Development. Berhubung latar pendidikan saya Sastra Perancis, awalnya saya hanya bisa memilih Development. Tapi begitu mengetahui bahwa di bidang Development para trainee  biasanya bekerja sebagai relawan di NGO, tidak digaji, serta kadang hanya diberi akomodasi seadanya, saya segara banting setir ke bidang Education—mencari lowongan mengajar bahasa Inggris atau Perancis. Kabar baik, nyaris semua TN Taker di bidang ini menyediakan gaji dan akomodasi. Jadi, hanya keputusan logislah yang saya buat.

Harap diingat, uang bukanlah tujuan utama mengikuti program ini. Saya membicarakan uang dan gaji di sini dengan maksud untuk meminimalkan pengeluaran saya untuk pulang-pergi ke negara tujuan, itu saja. Soalnya, saya harus membayar tiket pesawat saya sendiri. Anggap saja uang yang dikeluarkan itu adalah biaya yang harus dibayar untuk “belajar tentang kehidupan”. Lebih baik saya memimpikan pengalaman tak ternilai tentang bekerja dan hidup di luar negeri, berinteraksi dan beradaptasi dengan budaya dan masyarakat yang belum pernah kita kenal sebelumnya.

Selama proses itu, Elvina—gadis agak sipit mahasiswi Fak. Hukum UNDIP—bertindak sebagai manajer saya. Artinya, dialah yang mendampingi saya sampai mendapatkan internship yang cocok. Keberhasilan suatu LC (Local Committee) di AIESEC untuk memberangkatkan anggotanya untuk magang di negara lain akan menambah poin bagi LC itu, yang akan dicatat oleh AIESEC internasional sebagai prestasi. Beberapa trainee ada juga yang tidak jadi berangkat. Bisa karena terlalu pemilih (picky), bisa juga karena hal-hal lain. Di “angkatan” saya, kalau tidak salah hanya 2 orang yang berangkat termasuk saya—dia berhasil mendapat kerja magang di sebuah hotel di India.

Selama hampir setahun menanti “dipanggil” dan juga sibuk melamar ke negara ini-itu, saya mengisi waktu dengan merampungkan skripsi (yang sering saya abaikan karena waktu itu bersama beberapa teman kadang mendapat order dari kampus untuk bikin film pendek, dokumenter, atau videomantenan). Lulus pada Januari 2007, tanpa mau repot-repot menghadiri acara wisuda, saya segera menuju Jakarta. Konsekuensinya, saya tak pernah punya foto diri sedang memakai toga. Waktu itu saya diterima bekerja sebagai instruktur bahasa Indonesia untuk ekspatriat di Berlitz Language Center.

Waktu masih kerja di Berlitz.

Jadinya, selama satu tahun, saya sempat merasakan bekerja di kawasan elit ibukota, Jl. Sudirman, di salah satu gedung bertingkat di sana (kenyataannya, kantor saya berada di lantai UG: Under Ground). Setiap hari saya juga tampil berdasi ala eksekutif muda (ini bukan gaya-gayaan, tapi diwajibkan oleh kantor, mengingat klien kami adalah para eksekutif perusahaan-perusahaan asing besar… dan para istri mereka). Jenis pekerjaan mengajar ini memang saya incar karena untuk bisa mendapat kesempatan traineeship bidang education di luar negeri, pengalaman mengajar di suatu lembaga akan lebih menarik di mata calon employer saya. Dan saya juga beruntung karena language center tempat saya bekerja itu cukup menginternasional karena punya cabang di 60 negara.

Waktu masih kerja di Jakarta–bareng Belalang Tempur 🙂

Selama kurun waktu 2007, saya sempat beberapa kali ditaksir oleh beberapa sekolah atau lembaga kursus bahasa di beberapa negara: Turki, Venezuela, India, Kolombia, dll. Awalnya saya memimpikan bisa kerja di UK, tapi apa daya tak ada yang merespons lamaran saya di sana. Suatu hari, sebuah sekolah dari Turki menelepon langsung ke ponsel saya untuk menanyakan beberapa hal tentang saya, sekaligus mengetes bahasa Inggris saya (saya langsung kepikiran soal pulsa yang mereka habiskan untuk menelepon ke Indonesia…. hehehe). Beberapa hari sebelumnya, orang Turki itu sudah mengirim e-mail  kepada saya. Berikut kutipan e-mail  itu apa adanya:

Dear Indradya Suzanto,

We are working for a language school in Sakarya near Istanbul in Turkey. We have got 15

classes and about twenty teachers. We need foreign teachers for our school.

Members of AIESEC sent me your cv. If everything is all right, what is the soonest time for u to

start work? How long could you work? We want to learn your expectations.

We are looking forward to hearing from you.

Mr. Nihat SERT

Coordinator

Sayang seribu sayang, koordinasi dengan AIESEC lokal sana tidak berlangsung lancar. LC AIESEC di kota tujuan entah kenapa tidak pernah membalas e-mail dari kami (saya dan Elvina), seolah tak becus mengurusi hal begini. Saya mengajukan protes dan keluhan yang belakangan diteruskan ke mabes AIESEC pusat di Rotterdam, Belanda, agar mereka bisa melakukan tindakan/teguran. Saya juga mengirim e-mail secara pribadi ke Mr. Sert tadi dan menjelaskan duduk persoalannya. Dan dengan demikian lenyap sudah kesempatan saya untuk tinggal dan bekerja di Turki. Saya juga pernah mendapat tawaran sejenis dari kota lain di Turki, tapi berhubung waktunya mepet—harus berangkat dalam waktu 3 minggu—dengan berurai air mata saya menghubungi gadis Turki cantik yang menawarkan lowongan itu dan terpaksa menolaknya (lebay!). Sebab, setelah saya hitung-hitung, tak mungkin menyiapkan tiket pesawat, visa, dan tetek bengek lain dalam waktu sesingkat itu untuk pergi dan tinggal selama 6 bulan di Turki.

Beberapa minggu kemudian kembali ada tawaran untuk bidang Education ini, untuk mengajar bahasa Inggris. Kali ini datang dari Kolombia: gaji US$ 500, apartemen, kursus bahasa Spanyol gratis (yang pernah saya pelajari selama dua semester di kampus), kota pantai yang indah (cek “Cartagena” di Wikipedia!), gadis-gadis Latina (wew!), sepak bola Amerika Latin… made me drooling! hahaha….

Hi Indra!

Centro Cultural Colombo Americano is a great TN (TN-Et-CO-CG-2006-1241), and Cartagena, Colombia, is a beautiful city, give yourself the chance to know it.

Please answer even if your are not interested.

Karina HernĂĄndez

AIESEC Cartagena

Setelah googling ke sana kemari, saya harus menolak tawaran itu: tiket pesawatnya seharga lebih dari $4.000! Bukan angka yang bisa saya toleransi, orangtua saya juga tak punya simpanan sebanyak itu hanya untuk tiket pesawat saya. Lagi pula, saya takut diculik kartel narkoba di sana dan disuruh jadi pengedar keliling…hehehe! Yah, nasib. Saya hanya bisa terus mencari-cari lowongan yang oke sambil tetap bekerja. Lagi pula, pekerjaan mengajar orang asing bagi saya cukup menyenangkan. Rasa bahasa (Indonesia dan Inggris) saya makin terasah karena “dipaksa” berpikir ganda dalam dengan dua bahasa pada waktu yang sama. Walaupun metode mengajar di sana menekankan penggunaan bahasa target secara ekstensif, bahasa Inggris tak bisa dihindari guna menjelaskan beberapa hal kepada murid-murid—yang kebanyakan orang Amerika dan Jepang. Kadang-kadang instruktur juga harus mengajar di apartemen atau kantor murid. Jadilah saya sempat mampir ke banyak apartemen mewah dan kantor-kantor perusahaan asing di sepanjang Thamrin-Sudirman hingga ke kawasan-kawasan industri di Tangerang. Saya juga beruntung karena kolega saya di kantor banyak yang orang asing, sehingga saya bisa sering-sering melatih percakapan dengan mereka. Bahkan saya kadang mendapat kesempatan melatih obrolan bahasa Perancis dan Spanyol saya dengan para instruktur native bahasa itu.

Pada Agustus 2007, saya menikahi pacar jarak jauh saya (Jogja – Bandung, UGM – UNPAD), yang tentunya sudah saya wanti-wanti sejak jauh-jauh hari bahwa saya kemungkinan besar akan berangkat ke luar negeri demi memuaskan nafsu jalan-jalan di negeri orang—melebihi nafsu makan saya. Setelah menikah, istri saya masih bekerja di Bandung sementara saya bekerja di Jakarta–pulang ke kontrakan di Bandung setiap Sabtu dan kembali ke Jakarta hari Selasa, naik Baraya yang murah meriah dan kadang agak gerah.

Pada suatu hari di bulan Oktober 2007, datanglah e-mail yang ditunggu itu. Beberapa waktu sebelumnya saya melamar ke sebuah sekolah di Ukraina, dan datanglah e-mail  balasan dari manajer AIESEC lokal sana yang mengurusi program itu:

hello!

my name is Anastasiia Belous.

I am the OCP of the project “English Marathon”.

My X manager (Vova) has just informed me that you are interested in our TN. Is it so?if yes, maybe you have some questions to me?I’d like to speak with you a little bit.

We are interested in cooperation with you!

wait for your answer!

have a nice day!!!

Bahasa Inggrisnya agak kacau, ya? hehehe… Itu tadi lowongan jadi guru bahasa Inggris di sekolah swasta di Dnipropetrovsk, Ukraina. Yang jelas, saya hanya membutuhkan beberapa menit untuk mengiyakan tawaran itu. Pergi ke sebuah negara pecahan Uni Soviet di Eropa Timur terdengar cukup seksi bagi saya. Mengajar bahasa Inggris di sekolah swasta selama setengah tahun, merasakan bekunya musim salju, indahnya musim semi, terima gaji dan apartemen gratis, menikmati wajah-wajah gadis Slavik nan elok, backpacking keliling negara itu, a whole new experience…. oke, saya terima!

Minggu-minggu berikutnya saya isi dengan berkomunikasi dengan Nastya (panggilan akrab Anastasiya yang mengirim e-mail di atas) dan browsing segala macam hal tentang Ukraina: visa, kurs, budaya, bahasa, akomodasi, biaya hidup, aktivitas selama saya di sana, dan tentunya makanan. Saya juga mulai mengurusi pengunduran diri saya sebagai instruktur bahasa Indonesia dan bolak-balik ke Kedubes Ukraina (yang untungnya masih terletak di Jl. Sudirman, dekat kantor saya) untuk mengurus visa. Butuh 10 hari dan $60 untuk mendapatkan visa kerja Ukraina. Tapi butuh agak lama lagi untuk menunggu surat undangan asli yang dicap AIESEC lokal sana dan pejabat imigrasi Ukraina untuk ditunjukkan kepada Kedubes (“Yang asli ya, bukan print out atau fax,” kata petugas Kedubes).

Untuk tiket, berhubung pesawat ke Ukraina dari Indonesia waktu itu susah dicari, akhirnya saya meminta tolong seorang kenalan di Hong Kong untuk membelikan tiket dari sana sebelum nanti saya ganti. Dan akhirnya semua beres. Oh, agak sial juga sih sebenarnya. Teman saya itu membelikan tiket Turkish Airlines ke Kiev, plus transit di Istanbul, padahal saya minta dibelikan tiket ke Dnipropetrovsk. “Saya cuma tau Kiev kalo denger nama Ukraina,” katanya di YM sambil meminta maaf. Ya sudahlah, yang jelas saya sudah mengantongi tiket PP. Itu yang penting, walau perjalanan jadi tambah jauh. Saya mengabarkan hal ini kepada Nastya, yang dalam waktu singkat berkoordinasi dengan AIESEC Kiev untuk mengurus kedatangan saya.

Saya mengabarkan keberangkatan saya kepada seorang kawan di AIESEC UNDIP dan, herannya, belasan SMS masuk ke ponsel Samsung butut saya beberapa menit kemudian. Usut punya usut, mereka sedang berkonferensi nasional di Batu, Malang, dan sedang di ujung tanduk karena belum berhasil memberangkatkan satu trainee pun. LC yang tidak memberangkatkan trainee dalam suatu kurun waktu kepengurusan akan mendapat penalti dari pusat. Sayalah penyelamat mereka…. di detik-detik terakhir! 🙂

Beberapa hari menjelang keberangkatan, saya mulai mempersiapkan barang bawaan saya. Koper besar, tas ransel, tiket pesawat Jakarta – Hong Kong, baju-baju, jaket musim dingin (dapet murah di Kiara Condong!), Lonely Planet Ukraine, beberapa kamus dan buku (salah satunya buku Harry Potter terbaru), serta angklung (!). Saya juga menitipkan Belalang Tempur saya ke Tante Ike, mantan kakak angkatan saya yang bekerja di Serpong. Ya, saya suka jahil memanggilnya “tante”. 😀

Saya akan pergi ke sebuah negara asing, 9.000 kilometer dari Indonesia, yang bahasanya tak saya mengerti, yang budaya dan orang-orangnya tak pernah saya kenal, yang suhu udaranya ekstrem, yang tak punya warga Indonesia di kota yang akan saya tinggali…

Akhir Januari 2008. Empat jam terbang ke Hong Kong, dua hari transit di sana, 11 jam terbang ke Istanbul, 2 jam transit di Bandara Ataturk, dilanjutkan 2 jam terbang ke Kiev, ibukota Ukraina. Dan jarak Kiev – Dnipropetrovsk sekitar 450 kilometer. Sungguh perjalanan yang panjang. Bismillahi rahmanir rahim(bersambung)

* Tulisan ini pernah saya pajang di notes Facebook pada 18 Maret 2011. Sengaja di-posting di sini, dengan diedit seperlunya, biar blog saya agak rame dikit 🙂