Reuni

“Bukan begitu nulisnya,” tegur Daniel sambil tertawa kecil waktu melihat saya menyimpan nama dan nomor ponselnya saat kami sedang naik bis. “Tapi ya gapapa juga sih, versi bahasa Inggris namaku emang itu.”

Seharusnya saya menulis “Danylo”, tapi sejak awal Sasha, teman saya satu lagi, memperkenalkan dia dengan nama Daniel. “Biar gampang,” kata Sasha.

Saat itu akhir musim dingin di Kiev. Saya sedang libur mengajar dan memilih main ke ibukota Ukraina itu untuk main salju dan sempat menginap dua malam di apartemen Daniel.

Dua belas tahun kemudian, kami ketemu lagi di Sunda Empire…eh, Bandung, maksudnya. 😅 Daniel datang bersama istrinya, Zhenya, setelah dua hari main di Jakarta.

“Ngapain main di Jakarta? Mendingan ke Jogja,” kata saya.

“Hahaha! Waktunya terbatas bro, nyari tiket yang agak murah juga udah susah waktu itu. Mungkin menjelang Imlek tiket udah pada habis,” ujar Daniel.

Setelah memarkir motor di hotelnya yang bangunannya berupa rumah tua, saya ajak mereka jalan kaki ke Pasar Cisangkuy buat makan malam. Di sana kami banyak ngobrol sambil sesekali bernostalgia.

Buku menu di sini tebal sekali, mirip kamus. Jadi kami butuh waktu lama buat milih makanan. Dan tentu saja saya otomatis menjelaskan dan merekomendasikan beberapa menu, sesuai selera saya…hehehe!

Jadi, Rabu malam itu kami memesan mie goreng jogja, mie nyemek, ayam geprek mozarella, sate ayam, bandrek, STMJ, dan teh leci. Tidak lupa kue cubit green tea oreo buat ngemil. 😅 Mereka makan dengan lahap sambil sesekali nyicipin makanan masing².

“Tadi siang kami makan masakan Sunda di resto sana,” kata Daniel sambil nunjukin foto di ponselnya. “Aku suka ini,” lanjutnya sambil nunjuk pete dan perkedel kentang.

Daniel dan istrinya sudah beberapa tahun ini tinggal di Saigon, Vietnam. Mereka bekerja sebagai guru bahasa Inggris. “Ternyata nyeberang jalan di sana lebih berbahaya daripada di sini. Di sini pengendara motor masih mau melambatkan kendaraan lah, minimal ada kontak mata dengan penyeberang. Di sana, jangan harap,” ceritanya sambil ketawa.

Selesai makan, kami masih mau ngobrol lebih lama lagi. “Makanannya enak² ya, aku suka semua!” komentar Zhenya. Jadi mereka pesan teh sereh jahe dan es cincau buat teman ngobrol, sambil menceritakan kesan mereka nonton pertunjukan angklung di Saung Udjo beberapa jam sebelumnya.

Setelah kekenyangan makan, kami jalan² dulu, kebiasaan bagus yang sudah lama saya tinggalkan. Kami memutari Gasibu dan Gedung Sate, menikmati udara sejuk karena sorenya hujan, sebelum balik ke hotel mereka. Besoknya mereka mau main ke Lembang dan Tangkuban Perahu. Setelah bantuin cari info dan sebagainya, saya sarankan mereka untuk nyobain bubur ayam kalau mau sarapan, sebelum pulang Sabtu ini.

“Makan bubur ayam harus diaduk. Itu udah paling bener,” kata saya.

“Hahaha! Iya deh, besok nyobain bubur ayam,” kata Zhenya.

Dan kami pun berpisah. 😊

Pram, Enny, dan Fredy

Kalau tak silap, kali pertama saya baca tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer itu waktu masih SMA.

Seorang teman dari tongkrongan anak punk di belakang pertokoan di Jl. Solo, Jogja, ternyata suka membaca. Melihat saya yang kebanyakan baca komik, majalah, dan novel remaja, dia agak-agak gemesh.

Suatu malam sehabis kami nonton konser underground, dia menyodorkan Bumi Manusia yang dulu sampulnya masih putih dan full teks, terbitan Hasta Mitra.

Buku itu sudah lecek dan kusam, dan dia meminjamkannya sambil berpesan, “Hati-hati.”

Saya nggak tahu apa maksudnya, sebelum dia menjelaskan apa sebabnya. Tamat baca ini, saya dipinjamkan tiga buku sisanya. Ketiganya dalam bentuk stensilan.

Tamat baca tetralogi Pram, dia kembali meminjamkan beberapa buku.

“Biar kamu semakin tercerahkan…” ujarnya.

“Ini kudu hati-hati juga?” tanya saya.

“Woo jelas. Ini lebih berbahaya daripada Pram.”

Saya membaca nama-nama penulisnya: Enny Arrow dan Fredy S.[]

Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya

Bagi sebagian orang, karya-karya Haruki Murakami mungkin tidak menarik–tokoh-tokoh utamanya sering kali individualis, antisosial, depresif, dan menyedihkan. Tapi, saya (masih) suka. Novel yang satu ini tidak jauh beda dari gaya semacam itu.

Alkisah, waktu masih remaja SMA, Tsukuru sangat bahagia sekaligus terasing berada di tengah empat sahabatnya yang penuh warna, setidaknya dari nama belakang mereka dan sifat: Aka, “merah” yang pintar; Ao, “biru” yang penuh semangat; Shiro, “putih” yang cantik menawan; Kuro, “hitam” yang berbakat. Hanya Tsukuru yang merasa “tak berwarna”, dalam nama maupun karakternya.

Suatu hari di semester IV kuliahnya, Tsukuru mendapat kabar dari keempat temannya itu bahwa mereka tidak mau bertemu dan berbicara lagi dengannya, untuk selamanya. Tsukuru terguncang dan mengalami kesedihan mendalam. Dia bahkan sempat depresi berkepanjangan dan berniat bunuh diri.

Belasan tahun kemudian, dia didorong oleh Sara, pacarnya, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kisah novel ini utamanya berfokus pada upaya mencari tahu apa yang membuat para sahabatnya dulu mengucilkannya. Tsukuru kembali ke Nagoya dan menemui mereka, menemukan bahwa salah seorang sudah meninggal karena dibunuh, dan dia juga pergi ke Finlandia menemui orang terakhir.

Kisahnya sederhana, hampir minim konflik. Ending-nya menggantung, mengenai masa depan hubungannya dengan Sara. Semakin suram saja novel ini. Tapi, apa penyebab Tsukuru dijauhi para sahabatnya? Ya baca aja sendiri.

Tokoh utama kisah ini seorang pemuda yang (sekilas) tampak normal, sederhana, tidak punya keinginan kuat terhadap apa pun (kecuali terkait stasiun dan kereta api), medioker, tidak merasa lebih atau kurang dengan hidupnya. Mirip-mirip Toru Watanabe di Norwegian Wood atau Tengo di 1Q84.

Kekuatan Murakami adalah dia tekun menggali elemen-elemen dalam fiksinya. Kekosongan batin tokohnya, bagaimana dia terisolasi dari lingkungan, perasaan terbuang dan ingin bunuh diri, itu dia gali dalam-dalam.

Di satu sisi, akan ada pembaca yang merasa cepat bosan. Tapi di sisi lain, gaya tulisannya detail dan gamblang. Inilah yang membuat saya suka tulisannya. Sama seperti saya menyukai wingko babat. 😋

Oya, terjemahan novel ini juga bagus. Enak dan lancar dibaca.

The Seven Good Years

Subjudul buku ini sebenarnya kurang tepat, karena ternyata isinya bukan tentang “keberpihakan pada perdamaian di negara berpenduduk Muslim dan dunia”. Kalo sikap penulisnya sih iya, setidaknya itu yang ditulis di bagian profil penulis.

Etgar Keret adalah penulis Yahudi Israel dan buku ini adalah sehimpunan esai (sketsa?) memoar sebagian kehidupannya dalam rentang tujuh tahun. Dari hari anaknya lahir hingga wafatnya sang ayah.

Yang saya sukai dari tulisan² Etgar di sini adalah gaya tulisannya yang tidak terduga serta penuh ironi dan humor. Humornya pun terkadang agak gelap.

Pada tulisan “Dengan (Tidak) Hormat”, misalnya, Etgar mengungkapkan bahwa dia bosan menulis kalimat² “palsu” dan tidak tulus pada buku yang oleh pembacanya dimintakan tanda tangan penulis. Jadi, dia berimprovisasi seenaknya sendiri. Misalnya: “Avram, aku tidak peduli apa pun hasil lab. Bagiku, kamu selalu menjadi ayahku.”

Atau, di buku lain, dia menulis: “Bosmat, meski kamu sudah dengan cowok lain sekarang, kita tahu pada akhirnya nanti kamu akan kembali kepadaku.” Pria cepak yang minta tanda tangan itu pun menampar Etgar. Ternyata dia membeli buku itu untuk pacarnya… 🤣

Etgar juga menyelipkan kisah² paranoia-nya. Misalnya, saat ke Jerman, dia berada di resto dan mendengar orang mabuk mengoceh dan dia mengira orang itu sedang menghina orang Yahudi. Saat hampir berantem, Etgar diberitahu bahwa orang mabuk tadi hanya sedang mengomel karena mobilnya terhalang mobil lain di parkiran.

Terkedang pembaca buku ini juga diajak melihat secuil suasana kota di Israel, untuk sedikit merasakan bagaimana dia sebagai warga jelata tinggal di wilayah yang sarat sejarah rumit dan yang kesehariannya penuh kekerasan dan konflik berdarah.

Misalnya, saat dia dan keluarganya berkendara di jalan tol, sirene serangan udara berbunyi, yang artinya semua orang harus tiarap termasuk pengendara mobil. Di sini Etgar harus berusaha keras mengarang cerita dan permainan agar anaknya mau diajak tiarap di aspal, sebelum akhirnya terdengar suara rudal meledak di kejauhan.

Sebenarnya menarik juga mengetahui kisah² warga jelata Israel, yang tidak melulu harus berhubungan dengan konflik. Dalam buku ini Etgar lebih banyak bicara tentang keluarganya, membungkus kisahnya dengan humor melimpah dan penuh ejekan kepada diri sendiri.

Walau terjemahan buku ini sedikit kaku di beberapa bagian, secara keseluruhan cerita² di sini bisa dinikmati dan dipahami. Akan lebih joss lagi sih kalau ditemani roti panggang dan segelas teh tarik hangat… 😊[]

Pak Celana Dalam dan Sepotong Bakwan Terakhir

Setahunan lalu, ada satu keluarga yang mengontrak rumah di jalanan kuldesak di kompleks kami. Dua nomor di kanan rumah saya. Sang istri tinggal di situ bersama dua anaknya, sementara suaminya bolak-balik kerja di Jakarta. Pemilik rumah kontrakan itu sendiri tinggal di Sukabumi.

Setelah beberapa minggu, saya mulai menyadari ada yang aneh di rumah itu. Sering terdengar suara pintu dibanting dan suara perempuan menjerit². Semakin lama, suara² itu semakin sering terdengar, siang dan malam, sehingga saya curiga: jangan² ada KDRT.

Saat hitungan minggu menjadi bulan, keributan itu makin sering terjadi di malam hari. Masih saya pantau. Saya masih sabar. Suatu Sabtu malam, hampir jam 10, keributan itu sudah saya anggap keterlaluan. Suara gubrak² pintu dan jeritan² histeris makin menggila. Saya khawatir juga itu bukan cuma KDRT. Lha kalo ada yang mati gimana? Saya kan ngeri tinggal di sebelah rumah yang ada korban pembunuhan. 😅

Saya kabari warga RT via WA, bahwa saya akan gerebek rumah rusuh itu. Saya panggil satpam di posnya, 20 meter dari rumah, untuk membantu. Saat satpam menggedor rumah tadi, Pak RT dan beberapa warga mulai berdatangan.

Sang suami keluar. Bertelanjang dada dan hanya memakai celana dalam. Usianya mungkin 45 atau lebih. Saya jauuuh lebih muda dan lincah.😛 Tergagap dia menjelaskan kepada warga, “Nggak ada apa² kok, bapak². Istri saya cuma lagi kalut aja. Nggak apa², nanti juga tenang.”

Setelah Pak RT memberikan wejangan, pelan² kami bubar. Sejak malam itu, di grup WA, Pak Herlan tetangga belakang saya menyebut sang suami tadi dengan julukan “Pak Celana Dalam”. 🤣

Selesai? Ooh, tidak semudah itu, Sumarso. Persis besoknya, Minggu pagi, keributan itu terjadi lagi. Kali ini sang istri mengamuk di garasi, melemparkan jemuran, helm, bantal, guling, dsb ke jalanan di depan.

Waktu itu saya dan bapak² lagi nongkrong di depan rumah saya sambil ngemil bakwan. Melihat itu, kami samperin lagi rumahnya. Kami melihat sang istri dalam keadaan menyedihkan: mata bengkak dan merah akibat nangis terlalu lama, rambut acak²an, daster kumal. Pedih juga melihatnya.

Melihat kami datang, sang istri langsung curhat dalam volume tinggi: “Maaf ya Paak…saya udah gak tahaan! Suami saya bajingaaan! Dia selingkuuh!”

Pak Celana Dalam keluar tergopoh², lalu membujuk² istrinya untuk masuk. Tapi, sang istri berontak dan terus nyerocos, “Bajingan! Kenapa kamu masih ngontak perempuan itu, hah! Dia di Surabaya kan? Jangan bohong kamu! Aku lihat di Facebook kamu! Apa²an kamu dikirimin foto bugil dia, hah! Apa kamu mau lihat saya bugil juga? Niih! Niih!” Perempuan itu nyaris saja mencopot dasternya sebelum akhirnya dipegangi suaminya.

Saya dan para tetangga terbengong² melihat kejadian yang sangat sinetron itu. Pak Celana Dalam dengan wajah super malu berhasil membujuk istrinya masuk, dan kami kembali nongkrong di depan rumah saya.

Saat saya berhasil merebut bakwan terakhir sebelum Pak RT mencomotnya, Pak Celana Dalam berjalan menghampiri kami. Dia mohon maaf ke warga, bilang bahwa semua yang diocehkan istrinya cuma salah paham, urusan rumah tangganya pribadi. Dia bicara seolah² kami hanya mengganggunya.

Pak Uskandar dan Pak Dani angkat bicara. Intinya warga sini itu akrab, jadi kalau ada apa² ya pasti bertindak. Khawatir ada kejadian nggak enak.

Saya menambah tekanan psikologis dengan berkata, “Pak, kalo urusan rumah tangga, kami nggak bakalan ikut campur. Itu kami paham. Kami nyamperin rumah bapak, pertama, khawatir kalau ada yang terluka atau apa. Kedua, kami terganggu istirahatnya karena keributannya terlalu sering dan berlebihan, pagi-siang-malam. Gitu lho Pak cara berpikirnya. Jadi bukan kami ikut campur urusan rumah tangga sampeyan…”

Pak Celana Dalam manggut² sambil tersenyum malu dan minta maaf lagi. Dia lalu pamit. Bapak² masih meneruskan obrolan. Beberapa orang kasihan sama anak² Pak Celana Dalam, dengan kondisi perselingkuhan bapak mereka yang membuat sang ibu jadi stres dan histeris. Tak lama kemudian bapak² juga bubar. Toh bakwannya sudah tandas. Dan sejak itu pun keributan di rumah no. 23 itu perlahan menghilang.

Dua bulan kemudian, saya lihat rumah itu kosong. Saya tanya Pak Satpam, katanya keluarga itu memang sudah pindah. Menurut Ima, pengantar Aqua galon yang anak majikannya pacaran sama anak perempuan Pak Celana Dalam, keluarga itu pindah ke desa sebelah di selatan sana.

Ah, saya harap warga sana tidak terganggu juga dengan jeritan pedih di malam hari.[]

Seri “Mangan Ora Mangan Kumpul”

“Penggeng eyeeem! Penggeng eyeeem!”

Begitulah gaya Mas Joyoboyo, penjual ayam panggang keliling, menjajakan dagangannya pakai tenong. Yang dulu mengikuti kolom Mangan Ora Mangan Kumpul-nya Umar Kayam di Kedaulatan Rakyat (yang lalu dibukukan jadi 4 jilid) pasti akrab sama tokoh yang satu itu. Belum lagi dengan keluarga baturnya Pak Ageng: Mister Rigen beserta nyonya dan dua bedhesnya.

Tulisan-tulisan Umar Kayam memikat dengan caranya sendiri. Dia suka glenyengan–nyindir, protes, usul, nasihat–dengan cara tidak langsung. Temanya bergerak bebas, dari sekitar rumahnya di kompleks UGM Bulaksumur hingga ke Amerika atau Canberra, dari tingkah laku baturnya hingga para profesor koleganya. Ada juru kisah dan ada tokoh² lain yang kerap muncul. Dengan struktur macam itu, Umar Kayam lewat tokoh Pak Ageng bisa menyatakan sikap, reaksi, dan tanggapan terhadap berbagai isu sosial.

Deskripsinya asyik, termasuk saat menggambarkan penggeng eyem dalam tenong Mas Joyoboyo, beserta sate usus dan ati, dan suaranya yang “melodius” saat menjajakan dagangannya. “Penggeng eyem! Penggeng eyeeem!”

Sekarang saat membaca ulang buku Umar Kayam buat liburan, saya bertanya-tanya: ke mana ya tokoh² itu sekarang? Beni Prakosa dan Tolo-Tolo udah jadi apa sekarang? 😅

PS: gambar hanyalah penggeng eyem dan lauk pauk lain… 🍗😋

Am I There Yet?

Ini salah satu buku yang saya beli secara nggak sengaja. Maksudnya “nggak sengaja” tuh ya tanpa rencana. Saya belum pernah denger soal buku ini, belum pernah follow akun IG penulisnya, terus pas iseng ke toko buku tau² aja nemu yang plastiknya udah kebuka, baca² dikit, dan memutuskan beli. Modal naluri doang… 😅

Mari Andrew adalah seorang penulis dan ilustrator yang tinggal di New York. Am I There Yet? adalah buku semi-autobiografis Mari yang merekam perjalanan hidupnya sepanjang usia 20-an hingga 30. Perjalanan menuju dewasa.

Pada dasarnya, dalam buku ini Mari hanya menceritakan suka-duka dan jatuh-bangunnya selama periode usia tadi: ayahnya meninggal saat dia belum sempat meminta maaf, pindah tinggal ke kota lain, jatuh cinta dan patah hati, memetakan masa depannya, mengisahkan kota² yang dia kunjungi dan orang² yang dia temui, sambil tak lupa bahagia. Mari juga mengajak pembaca berandai-andai bagaimana kehidupan bisa sangat berbeda jika kita mengambil keputusan ini atau itu.

Membaca buku ini nyatanya menyenangkan dan banyak pengalaman introspektif. Walau banyak perenungan di sana-sini, menurut saya cerita dalam buku ini mengalir terlalu cepat saat berganti bab. Beberapa bab kadang terasa meninggalkan “lubang” yang sebaiknya diisi. Sebagai pembaca, saya nggak keberatan diberi informasi lebih banyak dan lebih detail, tapi untunglah soal ini nggak mengganggu banget kok.

Saya paling suka gaya menulis Mari. Puitis dan sering kali penuh metafora indah yang di banyak bagian mudah kita hubungkan dengan pengalaman hidup kita sendiri. Beberapa kali saya mencomot stabilo saat menemukan kalimat yang aduhai. Mari juga membuat sendiri ilustrasi untuk buku ini, dengan gaya gambar kekanakan tapi hangat dan menggemaskan.

Kisah yang hangat dan ilustrasi ringannya bikin pengalaman membaca buku ini jadi campur aduk. Sepanjang perjalanan kereta malam 1.500 km PP penuh kenangan saat itu, saya langsung melahap setengah isi buku. Kadang isinya bikin terkikik, terharu, dan akhirnya bikin hati jadi hangat. Iya, sehangat senyumanmu… 😊[]

Kritikus Adinan

Dibandingkan Orang-Orang Bloomington (selanjutnya sebut saja OOB), kumcer Budi Darma yang ini jadi terasa ganjil dan absurd. Tokoh² utamanya kebanyakan medioker dan hidup lempeng saja, bahkan antisosial. Mirip kayak di OOB. Bedanya, tokoh² di OOB lebih mudah kita identifikasi di kehidupan nyata.

Budi Darma juga selalu memperkenalkan tokoh ceritanya dengan mendetail dan lamban. Tokoh-tokoh ganjilnya dibungkus dalam kisah yang surealis dan seolah “semau gue” alias liar dan yaa kadang bikin lieur… 😅

Dalam cerpen agak panjang berjudul Kritikus Adinan, watak Adinan digambarkan sangat lurus dan luhur dan ini membuatnya diburu dan ingin dilenyapkan oleh masyarakat, seolah² kehidupan ini hanya berisi orang² korup, bejat, jahat, dan bobrok² lainnya, membuat kita bertanya²: benarkah moralitas masyarakat kita sudah sebegitu buruknya?

Selain Kritikus Adinan, cerpen lain yang saya suka di kumcer yang sebagian besar ceritanya ditulis pada 1973 ini adalah Dua Laki-Laki dan Bambang Subali Budiman. Yang terakhir ini buset deh…dari yang awalnya realis berbelok pelan ke absurd gitu…

Untunglah gaya menulis Budi Darma sangat lugas sehingga sebagian besar cerita yang meramu absurditas dan konflik batin para tokoh ceritanya lebih mudah dimengerti.

Kalau nggak ngerti juga, sepiring mie godog dan secangkir teh nasgitel mungkin bisa membantu. 😋[]

Origin

Seperti serial Robert Langdon sebelumnya, novel Origin sebenarnya tetap memakai formula yang mirip: Langdon, seorang profesor Harvard dan ahli simbologi, dimintai bantuan dalam kasus kematian ilmuwan yang terkait dengan simbol² historis atau datang ke suatu acara sains/seni, terjadi kekacauan, terus Langdon pun dikejar².

Adegan kejar²an ini sebenarnya cuma jadi pembungkus cerita, karena bagian paling menariknya adalah deskripsi terkait pengungkapan kasus yang kaya dengan detail sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan. Dan Brown jago meracik referensi sejarah, isu global, sastra, dan seni menjadi novel thriller yang cihuy.

Inferno, misalnya, membawa isu overpopulasi dunia dan dampaknya terhadap sumber daya bumi sebagai pemicu konflik antara protagonis dan antagonis. Intinya sih si antagonis pengen melenyapkan sekian persen populasi manusia demi menyelamatkan bumi. Jadi selain adegan kejar²an juga pembaca diajak menikmati cara² Langdon mengungkap simbol² dan teka-teki di sepanjang karya seni, bangunan bersejarah, dan karya sastra yang disinggung di novel ini.

Sementara Origin ini membawa isu agama vs sains. Baru di bagian prolog aja udah ada kalimat yang menggoda: “Secara historis, orang paling berbahaya adalah para fanatik pengikut Tuhan … terutama ketika tuhan-tuhan mereka terancam.”

Ceritanya, Langdon diundang ke acara yang diadakan Edmond Kirsch, ilmuwan komputer dan miliarder. Acara itu diklaim akan menjawab pertanyaan² mendasar eksistensi manusia. Kirsch dibunuh saat acara, sebelum sempat mengungkapkan temuannya, yang dikhawatirkan akan membuat pemeluk² agama di seluruh dunia marah besar.

Langdon harus kabur karena dituduh terlibat dalam pembunuhan itu. Kaburnya sama calon ratu Spanyol pula. Beberapa tokoh agama besar juga diketahui dibunuh sebelum acara itu. Selama pelariannya yang singkat, Langdon bertekad memecahkan teki-teki yang belum sempat diungkap Kircsh.

Teka-teki itu sebenarnya relatif gampang ditebak, tapi Dan Brown sengaja menahan pembaca untuk lebih dulu menikmati sajian deskripsi tentang bangunan² bersejarah dan beberapa karya seni dunia. Saya sih nggak keberatan saat lagi baca terus sesekali googling mencari foto bangunan semacam La Sagrada Familia, Casa Mila, atau museum Guggenheim… 😅

Seperti biasa, serial Dan Brown yang ini selalu page-turner. Sekali baca pengen bacaaa terus. Seru sih… 😄[]

Emil

Di antara banyak bacaan masa kecil saya, karya Astrid Lindgren (1907-2002) ini adalah salah satu yang paling berkesan. Judul aslinya, Emil i Lönneberga, diterbitkan kali pertama tahun 1963.

Kebetulan tempo hari saya nemu tokbuk online yang menjual tiga seri Emil ini sekaligus, dan langsung saya beli semuanya. Setelah baca tiga²nya, saya baru sadar, kayaknya dulu waktu SD cuma baca yang pertama dan kedua. Tiga seri yang saya beli ini adalah cetak/terbit ulang tahun 2003. Entah ngapain aja saya tahun segitu kok bisa-bisanya nggak tahu buku Emil diterbitkan lagi. 😅

Waktu saya masih SD, kover Emil dari Lönneberga berwarna kuning dan bergambar Emil lagi tidur di lemari makanan. Terbitan Indonesia tahun 2003 ini kalau nggak salah memakai kover asli waktu kali pertama Emil i Lönneberga diterbitkan tahun 1963. Konon ada 12 judul serial Emil, tapi kayaknya yang diterbitkan di Indonesia cuma 3… atau lebih? 😓

Kisah serial Emil ini sederhana saja, tentang seorang anak yang tinggal bersama keluarganya di rumah pertanian di desa Lönneberga, Swedia. Bocah umur 5 atau 6 tahun ini sebenarnya nggak bandel parah, cuma emang hiperaktif dan punya rasa ingin tahu dan imajinasi yang terlalu tinggi.

Watak kayak gitulah yang akhirnya bikin orang² di sekitarnya sengsara. Ayah Emil yang sering dibikin susah hingga cedera, ibunya yang selalu membela, Ida adiknya yang sering dijaili, Lina pembantu mereka yang sengit sama Emil dan kadang suka genit sama lelaki lain, dan Alfred si pengurus ternak dan pertanian mereka yang justru sangat menyukai Emil.

Sulit melupakan tokoh² cerita itu. Sampai hari ini pun saya masih ingat ceritanya sebelum akhirnya beli buku Emil lagi. Dibaca waktu kecil atau hari ini, kisah Emil buat saya selalu gila dan kocak. 😅

Selain serial Emil, dulu saya juga baca serial Pippi Longstocking alias Pippi si Kaus Kaki Panjang. Buku-buku Astrid Lindgren biasanya menonjolkan dunia anak-anak yang bebas dan lepas dari bermacam kekangan. Astrid lewat buku²nya ingin meyakinkan anak² untuk berani bertualang dan nggak usah takut sama pandangan umum tentang hal² yang nggak penting, misalnya gendut itu jelek, dll.

Sabda Astrid Lindgren: “Masa kecil tanpa buku–itu sih sama aja nggak punya masa kecil. Itu sama seperti engkau dihalangi masuk ke sebuah tempat menyenangkan, tempat engkau bisa datang dan menemukan kegembiraan yang paling jarang ditemukan sekalipun.”

Masih ada buku² masa kecil dulu yang saya harap diterbitkan lagi sekarang, terutama serial STOP. Atau boleh juga sih bukunya Enny Arrow sama Fredy S… *eh 😂[]

24 Jam Bersama Gaspar

Jangan tertipu sama subjudulnya, Sebuah Cerita Detektif, kalau yang kamu harapkan adalah cerita detektif dengan citarasa Sherlock Holmes atau Hercule Poirot.

Inti cerita novel ini sebenarnya sederhana banget, berkisah soal Gaspar yang berencana mencuri di toko emas milik Wan Ali. Tapi, ada sebuah rahasia yang diam-diam disembunyikan Gaspar, yaitu soal soal kotak hitam dan anak perempuan Wan Ali.

Latar waktu dan tempat sengaja dibikin nggak jelas, di suatu titik di masa depan dengan Bandung yang di bagian² akhir buku diceritakan sudah tenggelam. 😅 Gaspar juga punya motor Binter Merzy ’76 yang konon dirasuki roh gaib yang kekuatannya sempat membuat Jogja kena gempa. Absurd, ya? 😅

Gaspar kemudian bertemu dan membujuk lima orang lainnya, Njet, Kik, Agnes, Pongo, dan Pingi, untuk bergabung dalam rencananya. Semua nama tadi bukan nama asli alias cuma rekaan Gaspar sendiri. Entah dipaksakan atau tidak oleh Gaspar, mereka semua ada kaitannya dengan Wan Ali. Misalkan Pingi, seorang ibu tua yang ternyata kakak ipar Wan Ali. Pongo sendiri adalah anak Pingi yang bekerja di toko emas Wan Ali.

Yang menarik sebenarnya gaya penulisannya. Cerita dalam novel ini dibagi dua plot. Pertama adalah isi rekaman audio interogasi seorang polisi dengan Bu Tati (alias Pingi), yang sungguh menguji kesabaran pembaca karena Bu Tati demen bicara ngelantur ke mana² tapi sangat detail. Plot kedua dari sudut pandang Gaspar. Dari situlah masing² plot berjalin mengisi dan melengkapi cerita satu sama lain.

Hampir semua tokoh cerita di sini memang digambarkan gendeng dan ajaib, dengan gaya penceritaan yang rada absurd, tapi menghasilkan efek segar dan lumayan lucu juga sih. Bahasanya juga tergolong mudah dicerna. Cerita memang terkesan bertele-tele dan mbulet, tapi tetap ada relevansinya dengan potongan cerita yang lain. Kalau kamu nggak suka yang aneh², kayaknya novel ini bukan buatmu deh. 😉[]

Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Beli buku ini dua tahun lalu, tapi baru dibaca sekarang…duh! 😅 Tapi gapapa sih. Di rumah, saya juga masih punya banyak bacaan bagus, yang dibeli sekian tahun lalu dan belum dibaca. Lumayan buat nemenin ngabubu-read. 😊

Novel setebal 573 halaman ini bercerita tentang Frankie Presto, tokoh utama cerita yang belakangan menjadi gitaris sekaligus penyanyi hebat. Kelahiran Frankie diiringi banyak peristiwa dramatis. Dia lahir pada 1936 di sebuah gereja di Villareal, Spanyol. Carmencita, ibu kandungnya, apes sedang berada di gereja yang diserbu kaum militan. Saat itu memang sedang terjadi perang sipil di Spanyol. Seorang biarawati masih sempat membantu persalinan, namun Carmencita meninggal karena pendarahan.

Si biarawati membawa kabur Frankie bayi, merawatnya selama beberapa waktu, sebelum membuang si bayi ke sungai karena tak kuat lagi merawatnya di tengah perang sipil itu. Untunglah, Frankie ditemukan oleh Baffa Rubio, pengusaha sarden yang melajang. Baffa merawat Frankie dengan baik, dan menitipkannya belajar musik kepada El Maestro, seorang buta yang piawai bermain gitar.

El Maestro menggembleng Frankie bermain gitar sejak usia 6 tahun, hingga suatu hari ia, dengan bantuan Baffa yang ditangkap pemerintah, mengirim Frankie ke Amerika demi keamanannya sendiri. Di Amerika-lah Frankie perlahan meniti karier sebagai gitaris jagoan, yang membuatnya bertemu dan bermain bersama nama² kondang seperti Duke Ellington, Django Reinhardt, dan…Elvis Presley. Di Amerika, Frankie juga bertemu lagi dan menikah dengan Aurora, pujaan hatinya sejak mereka bertemu pada usia 8 tahun di Villareal, persisnya di atas pohon…sambil diam² menyaksikan korban² perang dikubur massal.

Sampai di sini menurut saya kisahnya ditulis dengan asyik dan nggak klise. Gaya penceritaannya khas Albom: lembut dan kalem. Di cerita ini sang narator adalah Musik, lalu cerita dan deskripsi tentang Frankie juga diperkuat oleh banyak orang nyata dalam industri musik, dari musisi hingga penyanyi dan produser musik, sehingga saya sempat mengira Frankie itu tokoh nyata di dunia blues atau jazz… 😅

Cerita bergerak lumayan memikat, walau relatif mudah ditebak, hingga akhirnya mulai halaman 540 ceritanya terasa seperti tancap gas, sehingga jadinya cenderung dipaksakan dan di beberapa bagian malah rada nggak masuk akal. Misalnya cerita tentang kemunculan Josefa, biarawati yang membantu persalinan Frankie dulu. Maksa. Padahal bangunan cerita sebelumnya udah lumayan kuat.

Novel ini mungkin terasa “Mitch Albom banget”, tapi ini bukan buku terbaik Albom. Enam novel sebelumnya masih lebih bagus. Tapi, kalau kamu mencari cerita² yang “feel-good“, rasanya buku ini cocok. Apalagi ditemani sepiring nasi bebek rica-rica… 😋[]

Dilarang Mencintai Bunga-Bunga

Dulu saya pernah punya buku Kuntowijoyo ini, tapi hilang, padahal belum sempat baca, terus beli lagi. Untunglah diterbitkan ulang, soalnya buku ini udah lama banget terbitnya. Ini buku Kuntowijoyo ketiga yang saya baca, selain Impian Amerika dan Khotbah di Atas Bukit.

Buku ini termasuk tipis, 270 halaman doang, font-nya agak gede pula. Berisi 10 cerpen yang sarat pelajaran hidup. Seperti biasa, cerpen-cerpen Kuntowijoyo selalu mengajak pembaca merenung. Dia juga nggak terlalu bergenit ria dengan bahasa dan metafora, kecuali memang memakai simbolisasi yang pas.

Saya menyukai hampir semua cerpen di buku kumcer ini. Rata² pesan dalam cerpen² di sini memang ejekan penulis terhadap stereotipe dan kesukaan manusia dalam berprasangka buruk. Saya paling suka cerita berjudul “Samurai”, yang bercerita soal seorang suami yang terbelenggu stereotipe bahwa seorang istri harus begini-begitu, yang sok tegas kepada istri hanya demi menjaga wibawa sebagai laki² dan sebagai suami. “Sepotong Kayu untuk Tuhan” dan “Burung Kecil Bersarang di Pohon” juga saya suka, isinya mengandung sindiran terhadap cara seseorang beragama dan berketuhanan. Lha kok masih relevan ya sama kondisi sekarang… 😅

Kumcer yang cocok dibaca ditemani semangkok bubur ayam. Diaduk, tentu saja. Nggak diaduk itu kan karena buat difoto dulu… 😅[]

Telembuk

“Telembuk” adalah sebutan khas di Indramayu untuk pelacur. Dari situ aja udah ketahuan isi novel ini…hoahaha! 😅 Pertama baca, saya agak “kecewa” karena baru tahu novel setebal 410 halaman ini adalah lanjutan dari judul sebelumnya, Kelir Slindet. Untunglah penulisnya berbaik hati menceritakan garis besar isi Kelir Slindet sebelum masuk ke cerita Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat. Soalnya itu lumayan penting untuk memahami konflik dalam kisah ini.

Mengambil latar tempat beberapa desa di Indramayu pada tahun ’90-an hingga 2000-an awal, novel ini berkisah tentang seorang perempuan bernama Safitri dan perjalanan hidupnya yang kompleks, dari kembang desa penyanyi kasidah yang cantik dan montok, mengalami perkosaan pada suatu malam, lalu kabur dari rumah orangtuanya, kemudian bertemu dengan Mak Dayem yang merawatnya dan belakangan mengajarinya menjadi telembuk dan biduan dangdut.

Gitu doang? Nggak lah. Kisahnya berkembang dengan banyak tokoh cerita. Novel ini jadi menarik karena sangat hidup dalam mendeskripsikan dan memotret banyak sisi kehidupan desa di wilayah Pantura: kedoyanan sebagian warganya dalam urusan per-telembuk-an, kekerasan seksual, politik perdesaan, suami yang doyan nelembuk karena istrinya jadi TKW di luar negeri, perkelahian antarpemuda cuma gara² nonton dangdut tarling, perselingkuhan, aktivitas keagamaan yang eksis di tengah semua itu namun seolah tak ada efeknya, dan ada sedikit bumbu sejarah yang sebenarnya nggak penting² amat. Sesekali cerita juga disusupi dengan adegan hot secukupnya… 😅

Kisah dalam novel ini diceritakan melalui mata narator yang dekat dengan kehidupan Safitri dan tidak terburu-buru menghakimi atau menawarkan solusi. Tapi nantinya cerita juga berkembang menjadi empat point of view dengan eksekusi lumayan berhasil, sebab ketimpangan antara pencerita satu dengan yang lain tidak terlihat.

Sayangnya, ada bagian intermeso yang buat saya pribadi malah mengganggu, walau mungkin buat pembaca lain dianggap menyegarkan, yaitu ketika para tokoh cerita di novel ini bertemu dengan narator cerita dan menggugat kenapa mereka digambarkan jelek melulu. Bagian ini dibuang pun nggak masalah. Lagian nggak banyak kok… 😅

Secara keseluruhan, ini novel apik. Bahasanya ngalir, deskripsinya detail, berangkat dari fenomena sosial di lingkungan penulisnya, dan diceritakan apa adanya. Oia, Telembuk juga masuk 5 besar nominasi penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun lalu.[]

Aroma Karsa

Waktu versi digital novel ini terbit secara bersambung, saya belum tertarik baca. Bukan nggak tertarik sama bukunya, tapi karena sampai sekarang saya masih nggak nyaman baca ebook atau buku digital. Toh versi buku kertasnya pasti diterbitkan, pikir saya waktu itu. Dee, gitu lho. Begitu beli dengan diskon setengah harga, saya langsung bersemangat baca. Tebalnya 700 halaman, ukuran font pas dan jenis font enak di mata. Ini bakalan sedap.

Aroma Karsa berkisah tentang petualangan memburu Puspa Karsa yang diyakini oleh Janirah, nenek Raras Prayagung, sebagai bunga dari dunia dewa-dewi yang aromanya mampu mengendalikan manusia dan dunia. Raras adalah satu²nya penerusnya di pabrik parfum Kemara dan perwujudan ambisi pribadinya dalam memburu Puspa Karsa. Konspirasi Raras dengan Khalil, mantan rekannya di Kemara, memaksa Jati Wesi, seorang pemuda yang punya indra penciuman di luar nalar, bekerja pada Raras dalam sebuah proyek rahasia yang mengandalkan hidung Jati.

Tanaya Suma, anak angkat Raras, belakangan bertemu dengan Jati. Keduanya digambarkan memiliki indra penciuman luar biasa. Saking tajamnya, Jati dijuluki “hidung tikus” di tempat tinggalnya di TPA Bantar Gebang. Dia bahkan sempat membantu pihak kepolisian mencari korban pembunuhan dengan penciumannya yang tajam dan sanggup memilah ribuan bau.

Kisah Jati dan Suma kemudian berkelindan menjadi kisah yang rumit, dari permusuhan, berubah menjadi rasa penasaran, ketertarikan, percintaan, dan akhirnya petualangan berbau astral dan fantasi di Gunung Lawu untuk mencari tahu siapa diri mereka dan orangtua Suma sebenarnya. Akhir cerita Aroma Karsa sepertinya menjanjikan sekuel.

Tokoh Jati di novel ini memang mengingatkan pada tokoh Jean Baptiste di novel Perfume-nya Patrick Suskind, yang sama² punya indra penciuman yang luar biasa. Bedanya, Jean Baptiste adalah seorang psikopat, sementara Jati bukan manusia.

Saya malah agak susah membayangkan Aroma Karsa kalau difilmkan. Latar cerita berbau alam astral di Gunung Lawu, ditingkahi adegan berlari setengah terbang melompati pepohonan, plus kemunculan harimau raksasa dan kiongkong (kelabang raksasa) malah mengingatkan saya pada naga Indosiar. Nah, kan, Indosiar ternyata terbukti merusak imajinasi kita… 😂

Selain gaya menulis Dee yang lugas sekaligus indah memikat, yang patut diacungi jempol adalah risetnya. Membaca halaman ucapan terima kasih, bisa dilihat di sana bahwa Dee melakukan riset di TPA Bantar Gebang, Mustika Ratu, komunitas Anak Gunung Lawu, pembalap Ananda Mikola, dll. Risetnya juga terlihat di aneka nama tanaman dan bunga serta nama² kimiawi bebauan, dan Dee juga sanggup membahasakan bau²an itu dengan cantik dan tidak sekadar menyebut nama teknisnya.

Tiba² saya pengen mampir ke toko refill parfum di seberang Hotel Horison itu. Dulu saya suka parfum racikan mereka yang dikasih nama “Antonio Banderas” dan “Batman Returns”… 😂[]

Muslihat Musang Emas

Saya termasuk jarang baca kumpulan cerpen. Kadang saya males kalo baca kumcer yang gajebo, sok berat, dengan akhir cerita menggantung.

Tapi, kumcer Yusi Avianto Pareanom yang satu ini…vangke! Ada 21 cerpen dan nyaris semuanya bagus! Plotnya, temanya, akhir yang nggak klise, cara bertutur yang lugas, penuh detail menarik, dan sesekali sisipan diksi yang nggak umum. Renyah banget dibaca, serenyah bebek goreng. Sebagian besar cerpen di sini bahkan berpotensi bisa dikembangkan jadi cerita yang lebih kompleks alias novel.

Cerita terakhir, “Pak Pendek Anggur Orang Tua Terakhir di Dunia”, adalah penutup yang sempurna. Ceritanya paling panjang dan penuh dengan adegan semburit. Kalo kamu nggak tau arti kata yang barusan itu, buka aja KBBI…hoahaha! 😂 Baca sendiri deh ya. ini kumcer keren![]

The Dry

Saya beli novel suspense ini tanpa referensi apa pun. Karya penulis baru Australia yang namanya juga belum pernah saya dengar. Kebetulan aja saya lagi main ke toko buku, baca blurb di bagian belakang, terus keluar dan belinya di toko buku diskon… 😅 Ternyata ceritanya asyik juga…

Prolognya lumayan bagus, bahkan filmis: lalat hijau yang terbang mencari sumber bau bangkai dan hinggap di tubuh dua mayat, yaitu anak berumur enam tahun dan ibunya. Di luar, agak jauh dari rumah pertanian itu, masih ada satu mayat lagi. Yang terakhir ini, Luke Hadler, diduga sebagai pelaku penembakan istri dan anaknya, dan kemudian bunuh diri.

Aaron Falk, teman masa kecil Luke, datang ke Kiewarra, kampung halaman yang dia tinggalkan 20 tahun sebelumnya, untuk melayat ke pemakaman Luke dan keluarganya. Falk dulu pindah ke Melbourne karena tertekan disangka terlibat dalam kematian Ellie, teman masa remajanya.

Ternyata, walau sudah 20 tahun berlalu, warga kota Kiewarra belum lupa dengan Falk dan dugaan dia terlibat dalam kematian Ellie itu. Oleh polisi, kasus penembakan itu dianggap dilakukan oleh Luke karena stres. Tapi, orangtua Luke tidak percaya dan akhirnya meminta bantuan Falk, yang memang seorang polisi, untuk mencari tahu kebenarannya.

Dari sini kisahnya berkembang. Pace-nya tidak cepat dan tidak terlalu lambat, teknik flashback dan bahasanya yang lugas malah bikin novel ini jadi page-turner (dalam arti harfiah dan bukan) 😂 Asyik lah pokoknya, sambil nebak² siapa pelakunya. Deskripsi kemarau panjang di kota itu yang bikin tokoh² cerita tertekan juga “dapet”.

Buat yang udah baca: kayaknya ceritanya bakal lebih cepat selesai kalau Falk merogoh lebih dalam ke celah pohon eukaliptus itu kan? 😅 []

“Balada Ukraina” Jadi Buku?

Gila. Udah setahun lebih blog keceh ini nggak di-update. Duh, maaf… maaf! 😄 Saya lagi banyak kerjaan. Serius. Dan kerjaan nerjemahin buku masih ditambah lagi dengan ngerampungin proyek lama yang nggak selesai-selesai.

Ceritanya, sekitar dua bulan lalu seorang teman sekaligus editor sebuah penerbit ngajakin ketemu di Ciwalk. Intinya dia tertarik mau menerbitkan tulisan terbengkalai saya yang berjudul Balada Ukraina itu. 

Nah, sekarang saya lagi berjuang menamatkan tulisan itu. Serial di blog yang udah mencapai seri ke-28 akan disetop sampai di situ saja. Dan ceritanya pun itu baru mencapai 30% aja. Terus, selain menamatkan cerita, tulisan di blog mau saya rombak lagi sih, biar nggak sama persis. 

Jadi, doakan saya bisa menyelesaikan Balada Ukraina secepatnya ya… 😊

Saoto Bathok Mbah Katro

IMG_20151030_085611

Dalam satu lawatan saya ke Jogja (jiaah…bahasanya!), yang salah satu tujuannya adalah wisata kuliner, warung Saoto Bathok Mbah Katro adalah satu yang saya incar. Habis, belakangan sering banget diomongin para tukang makan di blog-blog mereka. Dan saya juga demen banget makan soto.

Ngemeng-ngemeng, tulisan “saoto” ini bukan salah ketik, kok. Saoto adalah sebutan lain untuk soto di daerah Solo. Sebutan soto yang beragam di seantero Nusantara bagaimanapun adalah kekayaan lokal yang kudu diapresiasi. Saoto Mbah Katro ini memang mengusung genre soto Solo, sehingga penamaannya pun memakai istilah daerah asalnya.

Lanjut. Jadi, walau udah sarapan nasi goreng bikinan tante saya, pagi itu saya dan istri tetap memacu motor ke arah timur Jogja. Jaraknya agak jauh sih dari rumah saya yang dekat Malioboro, yaitu di kawasan Kalasan. Persisnya beberapa puluh meter di utara kompleks Candi Sambisari. Tak terlalu jauh dari pertigaan Bandara Adi Sucipto, siap-siap belok kiri, entah jalan apa. Pokoknya ada tulisan Candi Sambisari gitu deh.

IMG_20151030_080757

Jalan terus ke utara, sekitar 2-3 kilometer kemudian kita akan menemukan kompleks Candi Sambisari. Candinya kecil saja, dan letaknya agak di bawah permukaan tanah, sekitar 6 meteran. Terus saja ke arah utara, warungnya nanti ada di kanan jalan.

Kami sampai di sana sekitar jam 8. Sepagi itu kok warungnya sudah tampak lumayan ramai. Untungnya kapasitas warung ini luas. Bentuknya memanjang ke belakang, di kanan-kiri dan bagian belakang ada kebun tembakau dan persawahan.

IMG_20151030_085331

Warung buka dari jam 06.00 sampai 16.00. Dikonsep semi-outdoor, ada saung-saung berukuran kecil hingga besar sebagai tempat untuk menyantap soto bathok. Saung-saung itu ada yang berbentuk lesehan dan ada yang dengan meja-kursi. Di sini bahkan juga ada beberapa jungkat-jungkit dan ayunan. Mungkin buat pengunjung yang datang sekeluarga bersama anak-anak.

Di bagian depan, kita bisa langsung pesan makanan. Menunya memang cuma soto daging sapi, tapi masih ada beberapa “teman” seperti sate usus, sate telor puyuh, dan tempe goreng yang aduhai gurihnya. 😛

IMG_20151030_080446

Yang unik dari warung ini adalah mangkok sotonya yang terbuat dari bathok (tempurung) kelapa. Isi soto bathok ini adalah nasi, tauge, taburan daun seledri, dan taburan bawang merah goreng. Rasa dari soto daging sapi di sini juga enak. Segar dan tidak berlemak.

IMG_20151030_085143Kuah sotonya bening. Rasa gurih kuahnya berasal dari kaldu daging sapi sangat pas, dan akan semakin nikmat ketika ditambah perasan jeruk nipis, sambal, kecap, dan kerupuk. Tentunya jangan lupa sama “teman-teman” soto tadi. Ditambah lagi dengan segelas es jeruk atau es teh…wuidiiih! 🙂

Enaknya makan di sini emang pagi-pagi kayaknya. Udara masih cukup sejuk, dan makan soto di tengah persawahan dan kebun memang sensasinya aduhai. Pengen berlama-lama rasanya duduk dan tiduran di saung yang nyaman itu. 🙂

Kombinasi suasana ndeso dengan soto yang nikmat ini masih ditambah lagi dengan harganya yang murah bingits. Bayangkan, nasi soto daging sapi ini harganya cuma Rp 5 ribu per mangkok. Tempenya Rp 500 per biji, sate usus Rp 1000, dan sate telor puyuhnya Rp 2000 per tusuk. Untuk minumannya, es jeruk cuma Rp 2000 per gelas, dan teh anget cuma Rp 1000. 🙂

IMG_20151030_080533Ngemeng-ngemeng, Mbah Katro siapa sih? Ternyata si “Mbah” ini adalah mantan karyawan hotel yang tampaknya belum pantas dipanggil “Mbah”….hehehe.  Warung ini sendiri belum lama buka. Yah, sekitar awal 2015 deh…

Total yang kami bayar untuk menu seperti foto di atas cuma Rp 17.000! Edyan… 😛 Ya puas lah, makan enak, murah, dan bonus pemandangan asri di sekeliling warung. Buat kamu yang lagi ke Jogja, jangan lupa mampir ke sini deh…maknyuss! Jogja emang kota soto! 🙂 []

Barisan Para Mantan

Eiitss … tenaang. Saya nggak lagi ngomongin mantan pacar kok. Buat apa, lagian kalo itu sih … cuma dikit 😛 Saya ini lagi mau ngomongin bekas ponsel-ponsel saya dulu … hehehe!

Jadi, ceritanya, sudah bertahun-tahun saya doyan banget mantengin berita-berita soal gadget. Sekarang-sekarang, setiap hari saya selalu baca minimal Kompas Tekno atau Detik inet plus beberapa blog bertopik gadget. Belum lagi ratusan review tentang gadget di YouTube. Kebiasaan ini lama-lama berubah jadi keinginan gonta-ganti ponsel. Nah, cilaka kan?

Gara-gara itu saya jadi mengingat-ingat para mantan ponsel saya. Pertama kali pakai ponsel kalo nggak salah sekitar tahun 2002 atau 2003. Hingga hari ini, tercatat saya udah pakai 9 ponsel. Dikit ya? 🙂 Ah, zaman feature phone dulu emang bentuk ponsel jauh lebih variatif daripada sekarang. Kadang saya nyesel juga, ke mana ponsel-ponsel saya dulu, yang lucu-lucu itu … 🙂

Anehnya, hingga detik ini saya nggak pernah pakai merek-merek macam Nokia dan BlackBerry. Nggak tahu juga kenapa, pokoknya nggak tertarik. Nokia … wah, nanti ketuker sama punya temen-temen yang hampir semuanya pake Nokia. Mau beli Nokia yang bentuknya aneh-aneh, duitnya nggak ada. Mungkin tahun depan, saat Nokia kabarnya bakal merilis ponsel Android … 🙂

Soal BB … yah, saya nggak suka bentuknya, spesifikasi terbatas, jaringan sering bermasalah, sering ada broadcast yang hoax di BBM, dan minim inovasi. Plus, setelah nyobain BB temen, kok jari saya agak kegedean buat mencet-mencet tombolnya. Saya lebih suka tombol virtual malahan …. hehe! Apalagi, saat itu juga Android keluar. Ya jelas mending Android lah! Toh, akhirnya BB ngalah juga. Bentar lagi BB bakal merilis Priv, ponsel ber-OS Android … modyar kowe! Hahaha!

Inilah dia para mantan saya … termasuk yang terakhir yang saya pakai sekarang:

1. Motorola T190

T190

Ini ponsel pertama saya. Sebenarnya ini lungsuran dari ibu saya. Waktu dikasih, saya bahkan agak malas memakainya. Kartu SIM pertama saya IM3, pas beli dulu harganya muahal: Rp 150 ribu.

Awalnya saya dulu suka ngumpetin ponsel ini di tas pas masih kuliah. Nggak tau juga kenapa … hehehe! Tapi, di suatu perkuliahan umum yang sangat membosankan, akhirnya temen-temen saya pada mergokin juga pas saya lagi utak-atik ponsel ini.

Saya nggak ingat berapa lama saya megang T190. Yang jelas, suatu hari saya menjual ponsel ini ke teman om saya di Jogja seharga 300 ribu saja.

Menjelang dijual, saya baru tahu ponsel ini bisa disetel getar … hihi! 🙂

2. Sony Ericsson T310

SET310Lihat fotonya. Menggemaskan ya si T310 ini? hehehe 🙂

Dulu berasa keren banget punya ponsel ini. Compact dan tangguh.

Layarnya udah berwarna, dan saya demen banget main game golf persis seperti yang ada di foto ini.

Saya dulu punya warna biru seperti yang ada di foto ini.

3. Sony Ericsson Z600

sony_ericsson_z600_phoneInilah pertama kali saya jatuh cinta sama ponsel model clamshell alias flip (bisa dilipat) kayak gini.

Ponsel model begini memberikan rasa keren dan mewah kepada penggunanya, terutama saat membuka dan menutup cangkangnya … hahaha!

Seingat saya, Z600 ini memberika fitur suara polifonik saat membuka dan menutup ponsel. Jadi gimanaaa gitu … ihihi! 🙂 Untuk aksesoris, penutup bagian depan dan belakang ponsel ini bisa digonta-ganti dengan tutup berwarna/bermotif lain. Udah ada kamera juga, walau tentu zaman dulu masih kamera VGA.

4. Samsung C260

samsungC260

Berhubung Z600 saya mulai agak rusak, saya beli lagi ponsel baru. Masih model clamshell kesukaan saya, tapi yang ini lebih tipis dibanding Z600 yang montok.

C260 ini juga beruntung karena sempat saya bawa ke Ukraina … hahaha!

Entah kenapa ponsel jadul itu fisiknya rata-rata kuat. Jatuh puluhan kali juga nggak ngaruh sama performa. Paling-paling bodinya lecet doang.

Ponsel saya yang ini dulu jatuh di aspal terus tenggelam di salju juga nggak rusak. 🙂

5. Samsung E2510

samsung E2510

Wah wah … ternyata saya emang udah pake Samsung jauh sebelum smartphone Android lahir. 🙂 Model E2510 ini kalo nggak salah juga dijuluki “Piano”. Nggak tau juga sih apanya yang mirip piano.

Saya sempat punya ponsel model ini dua biji. Soalnya, yang pertama hilang entah ke mana, waktu saya habis ngajar bahasa Inggris. Mungkin jatuh dari kantong celana. Iya, dulu tiap habis pulang kantor saya ngajar bahasa Inggris malamnya, di satu kursus bahasa gitu deh. Beberapa hari kemudian, saya terpaksa beli lagi. Model dan warna yang sama persis. 😦

6. Samsung Galaxy Mini

galaxymini

Smartphone Android pertama saya. Ini dia versi mini pertama dari keluarga Samsung Galaxy S. Kalo nggak salah waktu beli dulu harganya Rp 1,5 juta.

Berhubung smartphone pertama, jelas ada pengalaman baru setelah sebelumnya hanya pakai feature phone. Browsing puas, main game puas, plus foto-foto. Dan … nggak perlu ikutan grup BBM kantor! 😛

7. Samsung Galaxy S III Mini

galaxySIIImini

Sepertinya saya nggak kuat beli ponsel seri Galaxy. Buktinya, lagi-lagi ini saya cuma beli versi mininya … wkwkwk! Gara-garanya, bos istri saya menang apa gitu, dapet hadiah ponsel ini. Dijual deh ke saya. Harganya lumayan, barunya 3 juta. Tapi karena boleh dicicil 6 bulan tanpa bunga ya saya ambil deh. 🙂

Baru-baru ini saya jual ke temen kantor beda kantor (he?). Lumayan deh bisa buat biaya bikin kusen jendela yang udah hampir habis dimakan rayap. 😛

8. Samsung Galaxy Grand 2 (Duos)

GalaxyGrand2

Baru juga setahun pakai S III Mini, saya naksir ponsel baru lagi deh. Samsul lagi, samsul lagi … haha! Tapi yang ini speknya naik dari sebelumnya lah.

Selain itu, saya pengen ngerasain ponsel berlayar gede juga sih. Yang ini layarnya 5,25 inci. Sisi atas-bawah memang agak lebar sih, jadi sedikit kurang nyaman digenggam kalau dibandingkan Vivo yang saya pakai sekarang. Dikit doang, sih.

Selebihnya nggak masalah. Medsos, foto-foto, lancar jaya.

9. Vivo X-Shot

xshotSetahun pakai Grand 2, lagi-lagi iman saya rontok. Inilah akibatnya kalo terlalu sering baca tabloid Pulsa dan Sinyal! Ditambah jalan-jalan ke BEC (Bandung Electronic Center), padahal niatnya cuma ke Gramedia … wkwkwk!

Sempat mengincar Asus Zenfone 2, Xiaomi Mi4, dan Lenovo P90, akhirnya saya menjatuhkan pilihan ke pocin (ponsel Cina) yang mereknya nggak terkenal di Indonesia ini. Itu mungkin juga karena merek lain yang saya cari lagi nggak ada stoknya.

Gara-gara saya oprekin nih pocin di konternya di BEC, saja jadi naksir. Speknya tinggi, bodinya putih tipis, frame metal, kameranya tajam dan kaya fitur, plus kualitas audionya oke banget. Udah gitu, belinya bisa bayar uang muka dulu, terus sisanya dicicil 12 bulan dengan bunga 0%! Walau harganya agak nganu, akhirnya April tahun ini saya boyong deh si kece satu ini. 🙂

Sebenarnya sih, saya juga udah banyak baca review dan nonton video review-nya di YouTube soal Vivo ini. Jadi saya nggak blank banget pas nyobain barangnya di konter. Sampai sekarang saya puas pakai Neng Vivi ini. 🙂

***

Nah, itulah barisan para mantan ponsel saya. Nggak ada jaminan juga sih tahun depan saya masih bertahan pakai Vivo X-Shot. Ponsel-ponsel sekarang spesifikasinya semakin tinggi, tapi harganya semakin terjangkau. Mereknya juga semakin banyak, apalagi ponsel-ponsel asal Cina yang bikin saya termehek-mehek.

Emang sih, banyak yang bilang beli ponsel sesuai kebutuhan aja. Tapi yah … mau gimana lagi … 🙂 []

Ramen Bajuri – Bandung

IMG_20150629_183030 Yang namanya kedai ramen konon meruyak sejak beberapa tahun terakhir di Bandung. Saya sih nggak tahu persis kedai mana saja yang ramennya enak. Saya juga bukan penggemar berat makanan Jepang, sebenarnya, tapi nggak masalah sih sesekali nyicip. Toh saya juga demen makan mi.

Nah, sejak beberapa bulan lalu saya sering banget makan di warung Ramen Bajuri ini. Sebulan bisa 2-3 kali. Lokasinya di sekitar Jl. Lengkong, Bandung, nyeberang sedikit dari resto Athmosphere, agak masuk beberapa meter ke jalan kecil yang namanya Jl. Sasak Gantung. Ukuran kedai ini tak terlalu besar, seukuran garasi yang muat dua mobil plus beberapa motor aja. Bagian dapurnya bergaya interior kayu dan berhiasan beberapa gantungan bertulisan Jepang. Plus TV dan kipas angin.

Suasana di kedai Ramen Bajuri.

Suasana di kedai Ramen Bajuri.

Pertama kali datang ke sini dan melihat buku menu, saya jadi rada puyeng. Bukan apa-apa, soalnya jumlahnya cukup banyak dan sebagian judul makanannya rada nggak nyambung … hehehe! Coba ya, ada menu namanya “Ramen Aku Mah Apa Atuh”, “Ramen Penghilang Stres”, “Ramen Mas Bram, “Ramen ISIS (Ini Sayur Itu Sayur), “Ramen Cabe-cabean (topping cabe)”, dan lain-lain. 🙂

Ramen Aku Mah Apa Atuh.

“Ramen Aku Mah Apa Atuh”. Porsinya ajiibb! 🙂

Kita juga bisa memilih rasa kuah dan tingkat kepedasan ramen pesanan kita. Untuk rasa kuah ada original, kare, oriental, dan tomyam. Tingkat pedasnya bisa pilih dari 1 sampai 5 (paling pedas).

Sebagian menu di Ramen Bajuri.

Sebagian menu di Ramen Bajuri.

Kata orang sih, makanan yang disajikan di sini bukan ramen betulan. Kesamaan dengan ramen hanya mi dan mungkin topping ekadonya. Sisanya macam-macam: ada topping bakso gepeng, sawi, sosis, dan bakso berbentuk Angry Bird. Di pilihan kuahnya tidak ada kaldu sapi, miso, atau shoyu, dan telurnya terlalu matang untuk ramen.

Tapi saya nggak peduli sama semua itu. Makanan enak ya enak aja, nggak perlu repot bikin definisi. Apalagi kita cuma konsumen … hehehe! Waktu pertama ke sini, saya pesan “Ramen Aku Mah Apa Atuh”—ini ramen dengan topping chicken bulgogi dan ekado. Saya kaget banget karena ukuran mangkoknya segede baskom!

Tenang … sebagai orang bertanggung jawab, saya tetap hajar ramen sebaskom gitu sendirian. Ludes juga … hahay! 🙂 Kalau mau makan porsi sebaskom ini cari aja bagian ultimate ramen di buku menu. Ramen Mas Bram juga enak untuk ukuran sebaskom ini … hehehe 🙂

Yamin Ramen.

Yamin Ramen.

Rekomendasi saya selain “Ramen Aku Mah Apa Atuh” adalah “Yamin Ramen”—yang ini ramen dengan chicken teriyaki, pangsit, dan ekado. Sebenarnya masih ada bibimbap dan chicken katsu segala, tapi saya belum pernah cicipin itu.

Untuk minumannya, saya selalu pesan es teh leci Teh lecinya ini pake gelas guede banget! Jadi kalau mau ngirit minum berdua pasangan, ya pesen ini aja. Cuma Rp 10 ribu kok. Rasanya segar dan wangi. Satu lagi minuman favorit saya di sini adalah green tea latte. Manisnya pas dan warnanya hijau pupus ngejreng dengan dua leci gemuk di dalamnya. Enak!

Pokoknya, makan ramen di sini di siang hari bolong yang panas atau sedang hujan sama asyiknya. Apalagi di sini harga ramennya ramah dompet dan menerima pembayaran dengan kartu debit dan kredit. Ramennya dimulai dari harga Rp 15 ribu dan paling mahal kalau nggak salah cuma Rp 25 ribu. Itu yang pake baskom tadi yah … 😛

Dua minuman favorit saya: green tea latte dan es teh leci.

Dua minuman favorit saya: green tea latte dan es teh leci.

Berhubung lokasinya dekat kampus, nggak heran kedai ini sering dipenuhi mahasiswa. Makanya disediakan menu bernama “Ramen Akhir Bulan”  seharga Rp 15 ribu … wkwkwk! Tapi banyak juga kok keluarga yang makan di sini.

Satu hal nggak penting tapi harus saya ceritain adalah tukang parkirnya. Seumur hidup, baru kali ini saya ketemu tukang parkir “profesional”. Selain orangnya senang menyapa ramah, dia juga “ada kerjanya”: mengambilkan motor, mengelap jok (kalau basah habis hujan), menurunkan footstep motor, dan selalu mengingatkan “Gak ada yang ketinggalan, Mas?”. Untuk servis macam itu, dua ribu rupiah tanpa cemberut dari pelanggan Ramen Bajuri pantas untuknya …. hahaha! 😀

Ayah

20150520_181708

Judul: Ayah

Penulis: Andrea Hirata

Penerbit: Bentang Pustaka

Terbit: Mei 2015

Tebal: 412 halaman + xx

Setelah lama tak kedengaran, Andrea Hirata muncul lagi dengan novel barunya, Ayah. Dua minggu sebelum buku ini resmi terbit tanggal 29 Mei, saya sudah mendapatkannya duluan (jangan tanya dapat dari mana). 🙂 Saya langsung membacanya dan tamat dalam 5 hari. Kalau saja saya lagi nggak banyak kerjaan, mungkin satu-dua hari juga beres.

Awalnya saya agak takjub melihat buku ini: kover depan dan beberapa halaman awal dipenuhi endorsement dari berbagai media dan penulis berbagai negara. Padahal novel ini bahkan belum terbit di Indonesia (waktu saya baca)! Tapi kemudian saya kecele. Semua puja-puji itu bukan untuk Ayah, melainkan untuk Laskar Pelangi … hehehe! Kesannya kok Ayah seperti kurang percaya diri, sampai-sampai harus menggunakan endorsement Laskar Pelangi yang jumlahnya berjibun itu.

20150514_132744Di kover belakang pun tidak ada sinopsis Ayah. Yang ada adalah biografi singkat penulisnya—ini pun juga ada di kover dalam bagian depan. Padahal, tanpa semua itu pun Andrea sudah punya pembacanya sendiri. Tapi ya sudahlah …

Ayah masih menggunakan Belitong sebagai latar cerita utama. Ceritanya tentang empat sahabat bernama Sabari, Ukun, Tamat, dan Toharun. Keempatnya bersekolah di sekolah yang sama. Andrea membangun kisah dengan menceritakan keseharian keempat sahabat itu dan latar belakang keluarganya masing-masing.

Mirip dengan tokoh-tokoh di Laskar Pelangi, masing-masing dari keempat sahabat tadi punya karakter yang unik. Tak jarang mereka juga begitu polos dan naif, namun kadang bisa cerdas juga. Bagian ketika Andrea menceritakan masa sekolah anak-anak ini hingga lulus mendapat porsi terbanyak dalam buku. Menurut saya bagian ini cukup asyik. Humornya sangat khas Andrea.

Sabari diceritakan jatuh cinta sejak SMP pada seorang gadis bernama Lena. Walau gadis itu tak pernah memedulikannya, Sabari tak pernah menyerah. Ia kerap memajang kertas berisi puisinya untuk Lena di majalah dinding sekolahnya. Sesekali, gadis itu membalas, juga lewat mading.

Singkat cerita, ketika sudah dewasa pun, Sabari tetap tak bisa melupakan Lena. Suatu hari, ia mendengar kabar bahwa Lena hamil di luar nikah. Saat itu Sabari bekerja di pabrik batako milik Markoni, ayah Lena. Sabari pun mau saja ketika diminta menikahi Lena, demi menyelamatkan nama baik Markoni yang kurang akur dengan Lena itu.

Anak lelaki yang kemudian lahir dari rahim Lena itu kemudian diberi nama Zorro oleh Sabari. Pasalnya, bocah itu ketika diberi boneka Zorro tak mau melepasnya. Sabari sangat menyayangi Zorro. Dia ingin memeluknya sepanjang waktu, terpesona melihat makhluk kecil yang sangat indah itu dan seluruh kebaikan yang terpancar darinya.

Tiap malam, Sabari susah susah tidur lantaran membayangkan bermacam rencana yang akan dia lakukan bersama anaknya jika besar nanti. Dia ingin mengajaknya melihat pawai 17 Agustus, mengunjungi pasar malam, membelikannya mainan, menggandengnya ke masjid, mengajarinya berpuasa dan mengaji, dan memboncengnya naik sepeda saban sore ke taman kota.

Dia juga ikhlas ketika Lena bahkan tak mau tinggal bersama mereka. Beberapa tahun kemudian Lena malah minta cerai dan menikah lagi hingga tiga kali, bahkan akhirnya mengambil Zorro dari Sabari. Pelan-pelan, Sabari mulai tampak seperti orang gila dalam penampilan dan tingkah laku. Dua sahabatnya, Ukun dan Tamat, lama-lama tak tahan melihat Sabari seperti itu, sehingga akhirnya mereka memutuskan menjelajahi Sumatra demi menemukan Lena dan Zorro dan membawa mereka kembali.

Berhubung biasanya orang tidak suka dikasih spoiler saat baca resensi buku, saya juga nggak akan memberitahu akhir kisahnya, dong. Bagi saya, ending-nya agak mudah ditebak, soalnya tokoh yang sering diceritakan di awal tidak muncul lagi di tengah cerita, hingga akhirnya nongol di akhir cerita, dengan nama yang berbeda.

Novel Ayah ini terbagi dalam bab-bab pendek, sehingga pembaca bisa dengan enak mencicil baca. 🙂 Di beberapa halaman akhir juga disertakan informasi soal buku-buku Andrea yang sudah dan akan terbit, baik di Indonesia maupun terjemahan Laskar Pelangi di negara-negara lain. Gila juga, ya … 🙂

20150529_171018

Anyway, saya suka gaya tulisan Andrea yang khas dan lugas. Novel kali ini juga tidak menggelar glorifikasi soal kesuksesan studi di luar negeri. Para tokohnya bahkan tetap kere dan tidak berpendidikan tinggi hingga akhir cerita. Tapi kisah Sabari yang sangat tulus mencintai anaknya (yang bukan kandung), kesetiakawanan para sahabatnya, dan humor rasa Melayunya menjadi magnet kuat dalam Ayah. Walau ada beberapa bagian cerita yang menurut saya nggak penting banget dan melantur ke mana-mana, misalnya bagian tentang Australia itu … hehehe! 😛

Kesimpulan saya, novel ini lumayan bagus, kok. Memang tidak istimewa sih (masih bagusan Padang Bulan, menurut saya), tapi tetap bagus. Enak dibaca sambil menyeruput segelas teh tarik hangat saat libur. []

Pelatihan Penyuntingan Buku Terjemahan

20150418_095600

Jam 9 kurang seperempat pagi itu, ketika sopir mobil travel menurunkan saya dan Mbak Dhias, rekan sekantor, sedikit di depan gerbang tol Slipi. Hari itu (Sabtu, 18/4), kami dijadwalkan ikut acara Pelatihan Penyuntingan Buku Terjemahan di Gedung Kompas-Gramedia di kawasan Palmerah Barat. Baru kali ini saya diturunkan di jalan tol…hehe! Tapi emang saya yang minta sih. Kalau tidak, turunnya bisa lebih jauh lagi di Tanjung Duren.

Saat berjalan kaki ke perempatan Slipi – Palmerah untuk nyambung naik mikrolet, tak sengaja saya menemukan penjual nasi bebek (!). Tapi karena acara yang akan dimulai jam 9, saya terpaksa jalan terus dan hanya menoleh sedih ke arah gerobak nasi bebek itu.

20150421_070604Ternyata, waktu jam 9-an saya sampai di lantai 7 di gedung KG, acara belum dimulai. Acara ini sendiri diadakan oleh HPI (Himpunan Penerjemah Indonesia) bekerja sama dengan Penerbit GPU (Gramedia Pustaka Utama). Kaget juga saya melihat ruangan yang sangat penuh. Setelah menandatangani daftar hadir, saya mendapat goodie bag yang isinya cihuy: dua buku notes, kalender meja GPU, bolpen, dan novel terbitan GPU. Saya tadinya mendapat jatah novel Hopeless-nya Colleen Hoover, tapi belakangan boleh saya tukar dengan Burial Rites-nya Hannah Kent berkat Kak Mei yang baik (ge-er nih pasti orangnya). 😛

Setelah sambutan dari panitia, yang diwakili Mbak Uci, Andi Tarigan, salah seorang editor non-fiksi GPU, melanjutkan kata sambutan. Dia bilang, panitia tadinya membatasi peserta untuk 30-40 orang saja. Namun, ternyata antusiasme peserta sangat besar sehingga yang mendaftar mencapai 90 orang (!). Bahkan ada yang datang dari Jogja dan Sumatra. Ini setidaknya saya baca sebagai: (a) stok penerjemah banyak, penerbit senang, (b) bagi penerjemah lepas, pesaing akan semakin banyak dan mereka harus menjaga kualitas terjemahan mereka. Penerbit ya senang juga…hehehe! 🙂

Sambutan berikutnya disampaikan oleh Pak Hananto (Ketua HPI). Pak Hananto mengatakan bahwa acara kali ini lebih bersifat sharing ketimbang pelatihan. Beliau juga mengisahkan sejarah singkat HPI dan pentingnya peran penerjemah. Menurut Pak Hananto, “Terjemahan tidak akan pernah bisa sempurna dilakukan oleh mesin.”

Meskipun ada Google Translate dan peranti lunak semacamnya, sebagus-bagusnya hasil terjemahan software, hasilnya tidak akan bisa sebagus terjemahan oleh manusia, karena manusia memiliki rasa dan akal budi yang memungkinkannya menerjemahkan berdasarkan konteks yang pas atau sesuai. Penerjemahan dan penyuntingan juga bisa disebut seni, karena membutuhkan keahlian memilih dan menyusun kata-kata yang tepat untuk menyampaikan maksud si penulis asli ke bahasa lain tanpa menghilangkan ciri khas atau gaya tutur si penulis.

20150418_090125

Selepas sambutan, ada sesi coffee break sejenak sebelum acara dimulai jam 10. Sambil ngofi brek, saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa wajah yang saya kenal, seperti Kak Mei, Mbak Dina, Mbak Lulu, Mbak Linda, dan Mbak Rere (ada yang kelewat? hehe!). Setelah melahap dua potong pastel sayur (satu dikasih Mbak Dina yang nggak doyan pastel) dan sambil membawa secangkir teh krim hangat, saya masuk lagi ke ruangan dan acara pun dimulai.

Pembicara pertama di acara ini adalah Nina Andiana. Menurut salah seorang editor fiksi GPU ini, menerjemahkan atau menyunting karya fiksi bertujuan menciptakan pengalaman membaca semirip mungkin dengan pengalaman saat membaca buku aslinya. Pembaca mendapat rasa buku sesuai buku aslinya, tapi pada saat yang sama editor juga harus sanggup menyampaikan ide, rasa, dan “suara” penulis asli buku itu dengan baik dan pas.

Nina mengajukan pertanyaan: lebih penting menerjemahkan kata demi kata dengan akurat atau menerjemahkan sesuai jiwa/semangat buku tersebut? Idealnya, kedua hal itu harus dilakukan secara proporsional.

Nina melanjutkan, jika ingin menjadi editor yang baik, ada beberapa syarat dasar yang mutlak harus dipenuhi: gila baca, punya kompetensi dalam bahasa target, bisa menulis, punya kompetensi dalam bahasa sumber dan bahasa target. Penguasaan bahasa target justru lebih dipentingkan. Kenapa? Jika kita tidak mengerti sepenuhnya bahasa sumber, kita masih bisa mencari artinya di kamus atau Internet. Namun, menerjemahkan naskah buku asing ke dalam bahasa Indonesia yang tepat, pas, sesuai konteks, dan enak dibaca memerlukan penguasaan bahasa Indonesia yang sangat baik. Karena itulah sebaiknya editor juga harus punya kemampuan di atas rata-rata dalam hal menulis dan menerjemahkan dalam bahasa target, sehingga hasil suntingan punya tingkat keterbacaan tinggi. Nah, makanya … harus rajin ngeblog atau nerbitin buku solo sekalian … 🙂

Ada beberapa hal yang wajib diperhatikan editor saat menyunting: tata bahasa dan ejaan, kosakata, idiom, selingkung, fakta, dan gaya bahasa. Editor tidak boleh malas memeriksa ulang kalimat-kalimat bahasa target dan sumber yang terasa ganjil, karena bisa saja itu idiom atau peribahasa khas di negara asal penulis. Editor juga harus memeriksa fakta-fakta dalam bahan terjemahan agar tidak salah memahami maksud penulis. Gaya bahasa harus diperhatikan dengan cermat sehingga bisa dipahami dengan mudah, namun tetap menjaga gaya khas si penulis. Nina juga memberi tips untuk penerjemah agar mengecek ulang setelah menerjemahkan satu kalimat atau bagian, sehingga tidak repot mengecek hal-hal di atas tadi saat merapikan hasil terjemahan.

Peserta kemudian diminta mencoba dua latihan penyuntingan. Latihan pertama menggunakan beberapa paragraf dari Tales of the Beedle Bard karya J.K. Rowling. Peserta diminta menerjemahkannya dan kemudian hasil terjemahan salah satu peserta dikoreksi bareng-bareng. Latihan kedua diambil dari novel Dark Divine karya Bree Despain. Di sini kami diminta mengoreksi naskah terjemahan mentah (belum diedit) dari penerjemah buku itu.

Rasanya banyak yang sepakat dengan Nina, bahwa seni menerjemahkan dan menyunting itu bukan melulu masalah benar atau salah. Kesimpulannya, menurut saya, mungkin seperti kata Rumi: “Beyond our ideas of right-doing and wrong-doing, there is a field. I’ll meet you there”. Untuk konteks dunia penerjemahan dan penyuntingan buku, terjemahan asal-asalan saya adalah: lebih daripada sekadar benar atau salah, terjemahan adalah juga seni menyampaikan gagasan dari bahasa lain secara tepat, pas, dan mulus dibaca. I’ll meet you there … 😛

20150418_120336

Menu maksi 🙂

Usai sesi pertama, peserta diberi waktu satu jam untuk makan siang dan sholat. Menu makan siangnya: nasi rames, lauknya ayam suwir, gepuk, telor pindang, oseng tempe, dan satu lagi oseng pedas apa gitu (lupa). Tapi, walau sederhana, kok enak ya … sayang nggak bisa nambah … hehehe! 🙂

Jam satu, acara dilanjutkan lagi. Kali ini pembicaranya adalah Andi Tarigan. Salah seorang editor non-fiksi GPU ini bilang bahwa menyunting naskah non-fiksi tentu tidak bisa disamakan begitu saja dengan menyunting naskah fiksi. Dia lalu menyampaikan beberapa prinsip dasar dalam menyunting naskah terjemahan:

– Membaca: membangun cakrawala pemahaman dan memahami argumentasi

Editor perlu memahami terlebih dahulu gagasan besar yang ingin disampaikan penulis, juga konteks dan alam pikir yang mendasari seluruh proses penulisan. Jadi, sebaiknya editor membaca dulu isi buku aslinya sebelum mengedit hasil terjemahan.

– Penyuntingan: akurasi, konsistensi, kecermatan, gramatika, ejaan, tanda baca, etika, dan kesantunan 

Ada cukup banyak item yang harus diperiksa editor dalam menyunting naskah non-fiksi. Terminologi, nama (orang, institusi, perusahaan, dan merek dagang), gelar (religius, kultural, akademik), simbol dan rumus yang dipakai disiplin ilmu, data historis (apa, kapan, dan di mana terjadinya satu peristiwa), data deskriptif (sistem pemerintahan, metode perdagangan, dll.)

Editor juga harus memeriksa printilan semacam data rujukan (judul buku, jurnal, artikel, majalah, koran, dan situs web), referensi (catatan kaki dan daftar pustaka), hak cipta (foto, ilustrasi, gambar, grafik, dan tabel), daftar isi: kesesuaian antara daftar isi dan isi buku.

Ini masih ditambah dengan tata bahasa, ejaan, kalimat efektif, dan tanda baca. Masalah penulisan kata depan “di” dan imbuhan “di-“, misalnya, tentu saja masih bikin kesal para editor hingga hari ini. Maklum, mayoritas orang Indonesia memang tidak tahu bedanya, padahal itu pelajaran SD. 😛

Kepekaan juga dituntut dalam pekerjaan penyuntingan. Editor dituntut untuk sangat peka terhadap teks-teks yang sekiranya “berbahaya” jika diloloskan, misalnya isu-isu SARA dan sejenisnya.

Tambahan saya sih … keseimbangan membaca buku fiksi dan non-fiksi juga sangat penting bagi editor. Membaca banyak jenis buku akan menumbuhkan kemampuan meluweskan dan memuluskan tulisan atau hasil terjemahan. Tentu keterampilan ini sangat diwajibkan bagi editor (dan penerjemah) ketika bertemu dengan kalimat-kalimat buku non-fiksi yang kadang kaku dan penuh anak kalimat.

Yah, itulah yang bisa saya rangkum dari acara kemarin. Semoga berguna buat pembaca blog keren ini. 🙂

***

Acara disudahi jam tiga sore. Setelah Ashar dan ngobrol lagi sana-sini, kami pun pulang segera sesudah hujan reda. Menurut petunjuk Kak Mei, ada pool DayTrans nggak jauh dari situ. Benarlah, hanya satu kilometer naik mikrolet, saya melihat pool itu.

20150418_160153Setelah membeli tiket, berhubung uang makan masih utuh, sibuklah saya menjelajahi daerah sekitar untuk mencari warung makan yang cihuy. Tak sengaja, saya menemukan warung kecil yang dari luar tampak menarik. Salah satu menunya adalah: bebek mercon! Ha … lumayan lah buat pengganti nasi bebek yang terlewatkan tadi pagi! 😛

Bagian dalam warung tampak bersih dan penataannya cukup berselera. Sambil melahap makan sore, saya merenungkan sedikit isi pelatihan tadi. Sebagai editor in house, saya menganggap hampir semua materi yang dihidangkan tadi adalah makanan saya setiap hari. Tentu saja tetap menarik melihat bagaimana beberapa peserta mencoba merapikan terjemahan saat sesi latihan tadi.

20150418_161019

Bebek mercon 🙂

Satu hal mencolok yang membedakan sebenarnya cuma soal selingkung alias kecenderungan/kebiasaan di masing-masing penerbit/media massa. Kapan ya bahasa Indonesia tak perlu berkubu-kubu lagi seperti ini? 🙂

Terus, ada bagusnya juga kalau lain kali acara semacam ini dibikin rada eksklusif, dengan jumlah peserta yang sangat terbatas dan bahasan yang jauh lebih fokus. Misalnya pelatihan khusus editor dan penerjemah buku yang jam terbangnya tinggi saja (bukan pemula), gitu. Misalnya lagi, fokus ke tema penerjemahan dan penyuntingan novel romance, thriller, atau buku bisnis. Yaa … sekadar usul aja sih 🙂

Oke, waktunya balik ke Bandung. Beberapa menit sebelum berangkat, saya menyempatkan diri mampir ke Circle K di samping pool mobil travel, membeli minuman segar dan chicken katsu untuk menyibukkan diri di perjalanan.[] 🙂

Bebek Merapi Mega Sari – Bandung

bebek merapi1

Sebenarnya sudah beberapa lama saya mengincar makan di warung ini. Habis, kelihatannya selalu ramai pengunjung. Yang kayak gitu kan harus dicurigai. Plus, kata seorang teman, bebek di sini mantap surantap rasanya.

Jadi, beberapa waktu lalu, untuk kedua kalinya saya mampir di warung kaki lima yang namanya Bebek Merapi Mega Sari ini. Lokasinya ada di Jl. PHH Mustopha, di seberang ITENAS, tak jauh dari perempatan Jl. Pahlawan, Bandung. Bukanya biasanya sore hari (Magrib).

Penampakan dari luar sih seperti umumnya warung kaki lima yang jualan nasi uduk plus menu utama ayam dan bebek. Pas saya datang ke sini, seperti biasa warungnya memang ramai pembeli. Karena ramai, saya harus menunggu beberapa pengunjung untuk bangkit sebelum saya rebut kursinya. Sialnya, saya dapat tempat di meja yang posisinya agak miring.

Goreng-gorengan lain. Pesta kolesterol deh pokoknya :)

Goreng-gorengan lain. Pesta kolesterol deh pokoknya 🙂

Karena di spanduknya mereka menamakan diri Bebek Merapi, saya memesan bebek bakar plus nasi uduk. Sebagai tambahan, saya pesan tahu dan tempe. Oya, di sini, selain bebek, juga ada ayam bakar/goreng, lele, perkedel kentang, sate telur puyuh, sate ati, ikan asin, kol goreng, dan tak lupa pete serta jengkol (!).

Sambil nunggu, saya meneguk es jeruk sedikit-sedikit. Bukan hanya karena esnya kurang dingin, tapi biar irit…hehehe! Saya perhatikan, banyak sekali orang yang membeli dibungkus. Itu sebabnya kadang-kadang orang yang makan di tempat harus menunggu agak lama.

Bebeknya empuk, sambelnya ganas!

Bebeknya empuk, sambelnya ganas!

Setelah sepuluh menit, barulah pesanan bebek bakar dan goreng saya diantar. Konon, di sini sambelnya dahsyat. Memang, aroma sambelnya saja sudah sangat meneror hidung, menjanjikan kenikmatan mandi keringat.

Daging bebeknya ternyata sangat empuk, mudah dicuil-cuil. Bakarannya juga pas. Nggak terlalu manis kecap. Bebek gorengnya juga renyah banget. Digado pun enak, rasanya gurih dan sedikit garing.

bebek merapi4Yang paling edan ya sambelnya itu. Gurih dan…..puedesss!! Yang bukan penggemar sambel mending pesan sambel yang nggak begitu pedas. Soalnya sambel yang saya pesan ini yang pedasnya maksimal. Saya sendiri nggak cukup makan sambel satu pisin di sini. Oya, kalo beli makannya dibungkus, sambelnya kudu nambah Rp 1000. Hehehe!

Seporsi bebek dengan nasi uduk dan es jeruk di sini harganya sekitar Rp 26 ribu. Kalo bebeknya doang sih Rp 19 ribu. Standar lah. Menu lain seperti ayam kayaknya enak juga, walaupun saya belum coba. Tapi kalo sambelnya gahar kayak begini sih, menu lain sepertinya enak juga. Kapan-kapan saya mesti main ke Bebek Merapi lagi! Habis, sambelnya ganas banget kayak lahar Merapi! *lebay* 😛 []

Soto Ayam Pak Gareng – Jogja

pak gareng 1

Soto adalah salah satu makanan favorit saya untuk sarapan. Kalau sedang mudik ke Jogja, setiap jam 6 pagi saya pasti bela-belain mampir ke warung Soto Ayam Pak Gareng. Sejak masih kuliah, tempat ini jadi tempat sarapan saya. Warung ini terletak di Jl. Mangkubumi, utara Jl. Malioboro, di seberang gedung BCA, tidak jauh dari pintu depan Stasiun Tugu. Dan yang tidak kalah penting: jaraknya cuma 200-an meter dari rumah saya…hehehe! 🙂

Soto Pak Gareng buka setiap pagi dari jam 6 hingga tengah hari. Sepagi itu juga biasanya warung kaki lima ini sudah penuh pengunjung, tak peduli hari kerja atau hari libur. Oh ya, yang jualan di sini bukan Pak Gareng, tapi cucunya. Entah namanya Bu siapa… 😛

Sarapan di sini benar-benar murah meriah. Semangkuk soto campur nasi harganya cuma Rp 6.000, kalau nasi dipisah Rp 7.000 (!). Sate ati cuma Rp 2.000. Minumannya juga murah, antara Rp 2.000 – 3.000. Tapi itu sebelum harga BBM naik per 18 November 2014 ya….hahaha! Pelayanannya juga cepat. Tak sampai 5 menit, soto pesanan kita sudah terhidang di bawah hidung.

Soto, sate, es jeruk. Josss!!

Soto, sate, es jeruk. Juoss gandosss!!

Yang namanya makan soto nggak lengkap tanpa “konco-konconya”. Nah, di warung Pak Gareng ini, di atas meja selalu tersedia sate ati, sate ayam, sate telor puyuh, tempe dan tahu bacem, plus lenthok. Yang terakhir ini adalah camilan yang terbuat dari singkong yang dibumbui, dihaluskan, lalu digoreng. Biasanya buat lauk teman makan soto.

Menu satu-satunya di sini adalah soto ayam. Tinggal pilih mau apakah nasinya dicampur atau dipisah. Selain nasi, dalam semangkuk soto ada soun, irisan kol, taoge, lenthok, dan suwiran daging ayam yang kemudian diguyur dengan kuah soto panas. Kuah sotonya termasuk bening dan terasa ringan bumbu-bumbunya. Gurihnya juga pas dan segar. Tambahkan sambal, kecap, atau perasan jeruk nipis jika suka.

Selalu ramai... :)

Selalu ramai… 🙂

Porsi yang disajikan sebenarnya cukupan untuk mengganjal perut yang lapar di pagi hari alias tidak membuat perut terlalu kenyang. Tapi buat saya sih sepertinya harus makan dua mangkuk…hehehe! Lagian harganya murah kok, jadi yaa…tambah aja! 😀

Biasanya juga banyak pengamen kalau kita makan di sini, tapi mereka mainnya lumayan bagus dan kadang ada sepasang pengamen tua memainkan lagu-lagu tradisional dengan siter (alat musik petik dalam gamelan Jawa). Habis makan, biasanya saya jalan-jalan ke Malioboro, beli koran dan baca sambil duduk-duduk di bangku di bawah pohon rimbun. Memerhatikan kereta mondar-mandir dan ngeceng (ngelamun sambil cengengesan).

Nah, jelas kan sekarang kenapa saya 6,5 tahun baru lulus kuliah….. *eh* 😀

Makan Siang yang Mencerahkan

Pada suatu hari yang biasa, seorang teman mengajak makan siang bersama. Sebut saja namanya Bunga (kok kayak nama korban di artikel berita perkosaan ya…haha!). Karena ge-er, saya mengiyakan. Kenapa ge-er? Karena saya kira bakalan ditraktir makan, nggak tahunya bayar sendiri-sendiri…hehehe!

Kami makan di Ampera di daerah Arcamanik. Tempatnya asyik, persis di seberang supermarket Griya. Di pelataran Griya, ada penjual kue pukis, kue kesukaan saya. Sambil menikmati menu nasi liwet lauk perkedel kentang, bakso goreng, sate usus, pepes jamur, sambal lalap, dan minuman timun serut segar, saya mendengarkan cerita Bunga.

“Aku mau kuliah lagi. Lanjut ke S-2,” mulainya.

Bunga sudah sebelas tahun bekerja di perusahaan yang sama dengan saya, walau berbeda unit dan gedung. Dulu dia menamatkan pendidikan sarjananya di Fikom UNPAD, dan sekarang ingin melanjutkan pendidikan karena dia ingin menjadi dosen di almamaternya itu. Persoalannya, biayanya mahal.

“Dua puluh juta per semester. Duit dari mana, ya?” kata Bunga sambil melahap otak sapi.

Usai membahas topik tersebut secara “teknis”, saya mengajukan pertanyaan, yang lebih tepat ditanyakan kepada diri sendiri.

“Memang betul ya…yang namanya manusia itu nggak akan pernah puas. Tapi kalau nggak puasnya dalam konteks positif, kenapa nggak?” celetuk saya sok bijak.

Bunga hanya manggut-manggut.

“Kamu masih mending. Kamu pengen kuliah lagi karena ada tujuan bagus di akhirnya. Aku juga pengen kuliah lagi, tapi di luar negeri. Dan kalau boleh jujur, aku pengen kuliah bukan karena suka belajar formal, tapi lebih karena pengen jalan-jalan….hehehe!” kata saya.

Bunga tertawa. Dia sudah lama tahu bahwa saya memang sejak kecil maunya jalan-jalan melulu. Ditambah lagi saya sudah “keracunan” baca buku-buku Agustinus Wibowo.

Saat beberapa jeda untuk mengunyah dan meneguk minuman, saya merenung dalam-dalam. Saya berpikir tentang Bunga yang sedang merancang jalan setapak baru dalam peta hidupnya.

work hardSaya sendiri sudah bekerja 6 tahun di perusahaan ini. Sistem di perusahaan dan jenis pekerjaan saya tidak membuat saya tertarik untuk menapak ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu selevel manajer. Mungkin saya sudah puas begini, walau di mata orang lain bisa jadi dianggap “begitu-begitu saja”.

Saya berada di zona aman dan nyaman. Tapi siapa tahu, kelak pada suatu titik, saya akan berpikir seperti Bunga: untuk move on dan mewarnai hidup dengan sesuatu yang baru. Bukan berarti pekerjaan saya ini buruk dan membosankan. Sebaliknya, menyenangkan bagi saya. Tapi, itulah manusia. Selalu tidak pernah puas. Selalu ingin sesuatu yang lain, yang baru.

cameraApakah saya ini gampang puas atau memang kurang ambisius, entahlah. Saya merasa sudah punya semua yang saya butuhkan: punya rumah (yang masih nyicil 10 tahun lagi), punya kendaraan bermotor roda empat (dalam bentuk dua sepeda motor), punya penghasilan tetap, bisa menabung, bisa liburan sesekali, dan kadang-kadang dapat proyek kecil yang hasilnya bisa ditabung. Alhamdulillah. Kurang apa? Mobil? Ah, saya nggak butuh mobil. Dan walau belum diberi momongan, saya merasa itu di luar kuasa manusia. Urusan kita cuma berdoa dan ikhtiar, selebihnya pasrahkan saja kepada Gusti Allah.

Kalau bicara keinginan, tentu tidak akan ada habisnya keinginan manusia. Lalu apa yang sebaiknya saya kejar dalam hidup ini? Sesuatu yang setidaknya bukan keinginan materialistis?

lifeSaya lantas merasa, apa yang membuat hidup ini layak dijalani tentu adalah kalau kita selalu memiliki cita-cita dan harapan, kemudian memperjuangkan itu. Apakah nanti cita-cita dan harapan itu tercapai atau tidak, itu bukan masalah. Bahkan terkadang hikmah dari perjuangannya terasa lebih nikmat daripada tujuan akhir itu sendiri.

Saat mencuci tangan sehabis makan, saya merenung. Rasanya tindak lanjut dari kegalauan saya pada siang yang mencerahkan itu adalah:

1. Menghasilkan karya. Yang paling realistis adalah menerbitkan buku (solo) karya sendiri. Habis bisanya cuma ini, sih. Yang ini masih dikerjakan. Malu sama Pramoedya Ananta Toer yang pernah bilang, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Atau seperti celetukan seorang sahabat, “Sibuk membidani karya-karya orang lain, tapi tak punya waktu melahirkan karya sendiri.” Jleb! Dan satu lagi: mulai cari beasiswa! Biar bisa jalan-jalan! *eh* 😀

2. Menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama manusia. Gimana, ya? Sejauh ini saya cuma bisa bayar zakat, kurban tiap tahun, sedekah juga angkanya nggak bisa dibilang fantastis. Yah, mudah-mudahan sih apa yang saya keluarkan tepat ke sasaran. Jadi anak yang berbakti kepada orangtua? Mungkin sedikit, tapi insya Allah bukan anak durhaka. Ibadah? Standar. Rasanya harus berbuat yang lebih lagi, semata demi pahala.

Saya belum berhasil mencapai kedua tujuan mulia itu, tapi jelas saya ingin melakukan keduanya. Buddha pernah bilang, “Keinginan adalah sumber segala penderitaan manusia.” Yah, bahkan punya keinginan positif pun kita harus “menderita” dulu. Bunga harus menabung lebih dan bekerja ekstra hingga tabungannya cukup untuk kuliah lagi. Tapi, itulah cita-cita Bunga. Dan ia mau berjuang meraihnya.

good deedsTak apa-apa punya keinginan. Tak apa-apa harus berjuang mati-matian untuk mencapainya. Itulah yang membuat kehidupan ini jadi bermakna. Asalkan pada akhirnya seperti yang diajarkan Rasulullah, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Saya jadi makin berpikir keras: apakah saya sudah menjadi orang yang seperti itu? Wallahualam. Tapi saya jelas ingin sekali.

***

Setelah makan, saya mampir sebentar ke teras Griya untuk beli pukis keju. Nah, betul, kan, manusia tidak pernah puas? Sudah makan siang, masih juga beli kue! Hehehe! 😀 Sambil memerhatikan si Mbak menyiapkan pukis, saya melamun lagi.

Saya tidak ingin hidup seperti jawaban Rambo. Ketika selesai menembaki markas tentara dengan senapan mesin sampai hancur dan beranjak pergi, tokoh yang diperankan Sylvester Stallone ini ditanya Trautman, mantan komandannya, “How will you live, John?”

Jawab Rambo, “Day by day…” []

Bumi Tuhan

20140923_065128

Judul: Bumi Tuhan: Orang Buangan di Pyongyang, Moskwa, dan Paris (1960-2013)

Penulis: Waloejo Sedjati

Penerbit: Penerbit Kompas

Terbit: November 2013

Tebal: 350 halaman

“Apa gerangan yang akan terjadi di bumi ini seandainya tidak lahir manusia ajaib bernama Karl Marx itu? Mungkin perjalanan sejarah umat manusia akan berbeda. Juga perjalanan hidupku.”

– Waloejo Sedjati

Sampulnya memang tidak begitu menarik: berwarna dasar putih dengan gambar yang baru jelas ketika dilihat dari dekat. Tapi setelah saya baca, kisah di dalam buku ini ternyata sangat menarik dan meninggalkan kesan mendalam.

Waloejo Sedjati adalah pemuda kelahiran Pekalongan yang bercita-cita menjadi dokter, untuk mengabdi kepada tanah airnya setelah menyelesaikan pendidikan di Pyongyang. Namun, tragedi 30 September 1965 mengubah seluruh jalan hidupnya. Ia terpaksa mengembara selama 48 tahun hingga wafat di Paris sebagai warga negara Prancis pada tahun 2013. Sebelumnya, ia tinggal di Korea Utara selama 10 tahun dan Uni Soviet selama 15 tahun.

Keakraban Indonesia dengan negara-negara sosialis membuat Waloejo pada 1960 dikirim untuk belajar di Pyongyang selama delapan tahun. Tidak banyak orang Indonesia yang belajar di sana atau mengetahui kondisi negara tersebut, sehingga pengalamannya selama di Korea Utara bagi saya sangat menarik. Kisah selama di Korut ini memakan porsi terbesar dari isi buku ini.

Pertama kali datang sebagai mahasiswa yang akan belajar di sana, Waloejo mendapat sambutan luar biasa. Selain disambut rombongan mahasiswa di stasiun, ia juga diajak mengunjungi pabrik-pabrik, menonton pertunjukan teater, dan mendapat hadiah pakaian musim dingin langsung dari pemimpin Korea Utara saat itu: Kim Il Sun. Namun, ia tidak boleh mengetahui nama dan bersahabat dengan dua pemuda yang menemaninya selama acara tersebut, karena mereka dilarang berteman dengan orang asing di luar tugas.

Selama kuliah, mahasiswa asing di Korut mendapat asrama tersendiri dan makanan yang jauh lebih baik dibandingkan mahasiswa lokal yang cuma dikasih jatah sejenis bubur dan tinggal berdesakan dalam satu kamar. Namun, mahasiswa asing harus sekamar dengan satu mahasiswa lokal, yang sebenarnya bertindak sebagai mata-mata.

Sebagai pemuda dari keluarga sederhana yang merasa bangga mendapat kesempatan belajar di luar negeri, Waloejo semula sempat shock setelah menyadari bahwa fasilitas dan mutu pendidikan di universitasnya di Korea Utara sangat sederhana. Ia juga mendapati bahwa ilmu kedokteran di negara sosialis jauh tertinggal dibandingkan negara-negara Barat.

Pada bagian ini, cerita Waloejo berhasil membuat saya mengagumi rakyat Korut yang ulet dan giat membangun negerinya yang hancur akibat perang. Saya seolah diajak langsung mengamati wajah Korea Utara tahun ’60-an. Selama kuliah, Waloejo juga sempat membantu delegasi Indonesia yang melawat ke Korut atau delegasi Korut yang berkunjung ke Indonesia.

Menurut pengalaman Waloejo di beberapa negara sosialis, Korea Utara adalah negara komunis paling ketat. Sebagai mahasiswa asing, ia tidak boleh memiliki teman penduduk lokal, asramanya diisolasi dan dijaga oleh dua petugas piket, bahkan setelah seluruh mahasiswa asing lainnya sudah pergi dan ia tinggal sendirian.

Ia juga dilarang berbelanja di mana pun kecuali di toko khusus untuk orang asing. Seorang teman kuliah Koreanya yang bersedia ia ajak makan bareng di restoran khusus orang asing harus membayar kenekatannya melanggar peraturan dengan kerja paksa dan diberhentikan dari kuliah. Sementara itu, seorang dosennya yang memainkan biola di depan Waloedjo di ruang autopsi dipindahkan dan belakangan malah hilang.

Setelah peristiwa 30 September dan pemerintahan di RI berganti, mahasiswa Indonesia di Pyongyang diminta mengikuti skrining. Mengikuti nasihat perwakilan Indonesia di sana saat itu, Waloedjo menolak dan menyatakan tetap setia kepada Presiden Sukarno, sehingga paspornya dicabut.

Setelah tidak memiliki kewarganegaraan, Waloejo mencoba bekerja sebagai dokter dan mempelajari akupuntur dari dosen pembimbingnya. Namun, sistem komunis Korut yang terlalu ketat dirasakannya terlalu kejam, sehingga ia pindah ke Uni Soviet pada 1970.

20140916_135835Dibandingkan dengan Korea Utara, kehidupan di Uni Soviet terasa bebas, karena saat itu Soviet telah melakukan revisi dalam pelaksanaan komunisme dan mengarah ke kapitalisme. Selama di Uni Soviet, Waloejo menjadi dokter bedah dan meneruskan pendidikan S-3 sehingga memperoleh gelar PhD pada 1990. Selain bekerja di rumah sakit, ia juga praktik penyembuhan akupuntur, yang belakangan membawanya ke Beograd dan membangkitkan minatnya untuk pindah ke negara Barat.

Dibantu sahabat lamanya, Waloejo pindah ke Paris. Namun, kepindahan ke negara Barat itu tidak membuat semua masalah beres. Waloejo tidak bisa berbahasa Perancis. Akibatnya, ia tidak bisa mengikuti ujian persamaan sebagai syarat untuk bisa bekerja sebagai dokter di klinik atau rumah sakit. Usianya yang sudah setengah abad membuatnya kesulitan belajar bahasa baru.

Perjuangan hidupnya dimulai dari nol lagi. Kesulitan ekonomi apabila tidak bekerja membuat sisa hidupnya di Perancis diisi dengan bekerja sebagai asisten juru rawat hingga pensiun. Setelah menjadi warga negara Prancis ia sempat mengunjungi keluarga di Indonesia.

Saat bertemu kembali dengan kedua orangtuanya, Waloejo mendapat kabar bahwa semua teman dekatnya disiksa dan dibunuh, termasuk mereka yang tidak begitu paham arti komunisme atau sekadar simpatisan tak penting. Keluarganya juga dikucilkan dari masyarakat setelah tragedi tersebut.

Di halaman-halaman terakhir, Waloejo menceritakan bagaimana ibunya “menggugat”nya: “Kau! Coba katakan! Kenapa bencana itu menimpa kami? Apa benar kau anggota PKI seperti yang dituduhkan orang-orang kampung itu? Kau pasti tahu mengapa kami harus membayar teramat mahal atas dosa yang tak kami mengerti!”

Waloejo tak sanggup menjawab semua itu. Semua pengalaman pedihnya ini menimbulkan rasa sedih luar biasa hingga akhirnya Waloejo, yang setelah tinggal di Perancis memakai nama Valery Selancy, wafat.

Beruntunglah ia masih sempat menulis memoar ini, sehingga kita bisa banyak belajar tentang Waloejo—seorang anak bangsa yang ilmunya disia-siakan, mubazir tak terpakai di negeri sendiri, dan namanya pun akan dilupakan zaman. Sayang di buku ini nggak ada foto-fotonya.

Walaupun ideologi komunis sudah tak laku lagi dunia, di Indonesia rasa takut akan gerakan tersebut masih dipelihara hingga kini. Padahal banyak ancaman lain yang jauh lebih nyata dan berbahaya, misalnya semakin maraknya korupsi atau intoleransi yang mengatasnamakan agama oleh kelompok-kelompok pemuja kekerasan dan pelestari kebodohan.

Tragis.[]