Mudik ke Jogja: Dari Kingkong Sampai Oseng-Oseng Mercon

Ini pertama kalinya saya mudik ke Jogja lagi setelah tiga tahun. Ada acara pengajian memperingati 1000 hari meninggalnya kakek saya (yang  meninggal tiga tahun lalu). Seminggu sebelum berangkat saya sudah memesan tiket kereta PP seharga Rp 260 ribu. Jumat malam (11/5) saya berangkat naik Lodaya. Ah, kelas bisnis ini kok sekarang makin kusam dan butut. Kalah jauh dibanding MRT Singapura…hehe! Dulu waktu saya masih pacaran dan bolak-balik Jogja-Bandung 4 kali setahun gerbongnya masih bagusan. Tapi untunglah saya selalu bawa buku untuk teman perjalanan sehingga bisa melupakan kebututan gerbong malam itu. Saya pun tenggelam menikmati buku Perjalanan ke Atap Dunia tentang perjalanan penulisnya ke Nepal dan Tibet.

Tiba Sabtu subuh di Jogja (12/5), saya langsung jalan kaki ke rumah, soalnya rumah saya cuma 5 menit jalan kaki dari pintu belakang stasiun. Dulu, ada tiga keluarga adik ibu saya yang tinggal di rumah di kompleks PJKA ini. Sekarang tinggal satu keluarga plus adik nenek saya. Kakek saya dulunya memang bekerja di PJKA (sekarang Perumka), makanya keluarga besar kami tinggal di kompleks ini. Ibu saya belum kuat melakukan perjalanan ke Jogja setelah pasang ring jantung bulan lalu, dan ayah saya pun di rumah menemani ibu.

Hari itu acara pertama saya adalah mengurus proses mutasi motor saya. Sudah tiga tahun saya tidak bayar pajak karena sejak 2007 saya sudah meninggalkan Jogja, sementara STNK motor saya akan habis Agustus 2012 ini. Jadi sekalian saya saya mutasikan ke Bandung karena sekarang saya sudah punya KTP (Kabupaten) Bandung. Proses yang memakan waktu sekitar dua jam lebih itu akhirnya ditutup dengan “vonis” bahwa saya harus bayar Rp 780 ribu dengan rincian pajak 3 tahun plus denda-dendanya. Saya sendiri sudah memprediksi bakal sebesar itu, jadi nggak terlalu kaget.

Dari Samsat Jogja, saya jalan kaki pulang ke rumah (cuma 10 menit), istirahat sebentar, lalu meminjam motor om saya untuk keliling kota. Ah, betapa fisik kota Jogja sebagian sudah berubah. Kota ini di mata saya jadi lebih hijau dan rimbun. Hotel-hotel juga semakin banyak. Bahkan gedung kursus bahasa Inggris LIA dekat rumah saya kini sudah jadi hotel.

Sekarang, di banyak ruas jalan sudah ada beton divider (pembatas jalan) yang sekaligus ditanami pepohonan. Divider ini terutama berguna sekali untuk mencegah pengendara ugal-ugalan yang suka mengambil jalur yang berlawanan arah. Dulu saya pernah terjebak dalam keributan antara sopir bus dan pengemudi mobil pribadi. Si sopir mobil ini tidak mau memberi jalan untuk bus yang jelas-jelas salah mengambil jalur yang berlawanan.

Selain divider, saya melihat di beberapa ruas trotoar juga dibangun kanopi yang atapnya dirimbuni oleh tanaman rambat. Saat melewati Jl. Malioboro, banyak juga area depan toko dan area parkir yang dihiasi kanopi hijau seperti ini. Bikin Jogja makin hijau dan rimbun! 😛 Saya acung jempol buat tata kota seperti ini. Dan Jogja juga bersih. Beda banget dengan Bandung yang kotor dan berdebu. Di Jogja juga agak susah cari jalanan yang banyak lubangnya, tidak seperti di Bandung yang warganya harus hafal posisi lubang di jalanan agar tidak tersungkur. 🙂 Program bus TransJogja saya lihat juga lancar. Punya beberapa jalur dan setidaknya nggak bikin macet karena selalu berhenti di halte dan nggak ada angkot brengsek di kota.

Saya menyusuri Jl. Kaliurang, ring road, Jl. Gejayan, kawasan UGM…wow, pilihan wisata kulinernya makin edyan! Nyaris semua kawasan ini dipadati dengan warung makan, resto, dan kafe yang mengundang selera. Para pedagang kaki lima yang dulu ditempatkan di belakang gedung BNI sekarang sudah dipindah ke area lembah UGM. Dulu saya sering makan ketoprak dan sop buah saat para pedagang itu masih jualan di sekitar Bundaran dan Gelanggang UGM.

Sorenya, setelah tidur siang barang satu jam, saya bantu-bantu sedikit untuk persiapan acara pengajian malam harinya. Malamnya selepas acara, teman saya Adi dan Dinar, istrinya, tiba di rumah sekitar jam 9 malam. Kami mengobrol sampai tengah malam di kebun rumah yang luas, bergosip soal teman-teman di pers mahasiswa dulu, tentang Jogja, tentang MU (!), sambil ditemani sepiring kari yang rasanya nggak jelas dan segelas secang hangat….hehe! Sayangnya saya malah nggak jadi ketemu Imam, teman saya yang lain yang lagi kuliah S-2 di UGM dan doyan ngobrol hal-hal yang “dalem”. Padahal kalau saya tinggal agak lama lagi mungkin akan ditraktir makan di warung SS (Spesial Sambal) sama teman saya ini karena dia juga bekerja di sana. 🙂

Soto Pak Gareng…masih gayeng! 🙂

Hari Minggu (13/5), sekitar jam 6 pagi saya sudah keluar rumah, jalan kaki menuju Jl. Mangkubumi. Buat apa lagi kalau bukan untuk sarapan 🙂 Dulu, paling tidak seminggu sekali saya biasa makan soto di warung Pak Gareng. Ternyata rasanya masih maknyus seperti dulu, harganya juga nggak mahal, cuma Rp 5.000 semangkok. Yang saya suka, “teman” untuk makan soto di sini banyak: ada sate ayam, sate telor puyuh, sate ati, dll. Pulangnya saya bawa lagi tiga bungkus buat orang rumah.

Semakin siang, makin tak jelas apakah saya bisa pinjam motor seharian atau ada teman yang bisa pinjemin motor atau nganterin saya ke mana-mana sekalian.

Lagi pula, susah juga bikin janji dengan teman-teman yang sekarang punya kesibukan masing-masing. Mau ketemu Tante Tya, teman curhat saya dulu sekaligus partner main badminton dan wisata kuliner, juga agak susah karena dia punya acara dengan keluarganya.

Seporsi gudeg dengan ayam dan telor…. 😛

Siangnya, saya sempat pinjam motor tante saya sebentar, dan saya gunakan untuk beli oleh-oleh bakpia dan keripik jamur, lalu saya main ke Jl. Wijilan untuk makan gudeg. Hmmm….gudeg paling enak memang di tempat asalnya. 🙂

Saya juga akhirnya bisa beli gudeg kalengan yang artikelnya pernah dimuat di Kompas tempo hari. Harganya Rp 25 ribu dan tahan hingga setahun! Tanpa bahan pengawet pula….

Ini dia gudeg kalengan itu…

Sorenya, rombongan keluarga saya sudah pergi duluan untuk nyekar ke pemakaman keluarga besar kami di kawasan Krapyak. Saya bilang saya akan menyusul karena sebelumnya saya harus ketemu dulu dengan Saptuari, entrepreneur Jogja yang bukunya saya edit dan akan diterbitkan oleh penerbit Mizan.

Akhirnya, teman SMA saya, Ferry, memastikan bisa menjemput saya. Kami langsung menuju kawasan Wonocatur, Bantul, persisnya ke warung Mas Kingkong, warung makan milik Saptuari.

Sepanjang jalan menuju ke sana Ferry banyak bercerita soal teman-teman SMA kami: ada yang jadi pengusaha mebel, ada yang kerja di Australia, ada yang jadi mualaf (!), ada yang hilang nggak jelas, dan ada juga yang entah kena penyakit apa sehingga jadi kurus kering kayak tengkorak. Termasuk tentang si Ferry sendiri yang setelah 12 tahun kuliah S-1 akhirnya lulus juga….hahaha! 😛

Di warungnya, sekitar 300 meter arah timur dari Pasar Wonocatur, Maguwo, Saptuari menyambut kami dengan hangat dan senyum lebar. Baru duduk beberapa detik dia sudah mempersilakan kami memilih mau makan apa. “Aku yang traktir!” begitu katanya. Di warung ini ada beberapa menu yang namanya lucu-lucu: Ayam Kriuk-kriuk, Bubur Ayam Siang Malam, Rawon Monggo Mawon. Saya pilih rawon karena siangnya saya sudah makan ayam campur gudeg.

Makan sore bareng Saptuari 🙂

Sambil makan sore, kami mengobrol banyak hal. Dari topik seputar penerbitan bukunya sampai tentang bisnis-bisnis yang dia miliki.

Beberapa tahun lalu saya pernah ketemu dengan alumnus UGM ini, tepatnya waktu saya mau wawancara tentang Kedai Digital untuk artikel di majalah Entrepreneur Indonesia tempat saya jadi wartawan, sekaligus bikin mug dengan foto saya dan mantan pacar saya (yang sekarang sudah jadi istri).

Beberapa tahun kemudian saat membaca buku Wirausaha Mandiri tulisan Rhenald Kasali, saya kaget karena menemukan nama Saptuari di situ sebagai juara dua tingkat nasional Penghargaan Wirausaha Muda Mandiri 2007 kategori alumni dan pascasarjana. Mantep tenan bos yang satu ini. 🙂 Teman saya Ferry malah nggak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena ketemu orang top dan minta difoto bareng…hahaha! 😀

Awas daging kingkong! 😀

Warung Mas Kingkong ini baru berdiri sekitar tiga minggu, dan ini hanya salah satu bisnis Saptuari. Bisnis awalnya adalah Kedai Digital, perusahaan yang memproduksi aneka barang cinderamata seperti mug, t-shirt, pin, gantungan kunci, mouse pad, foto dan poster keramik, serta banner) dengan hiasan hasil print digital.

Selain itu ia juga punya warung bakso dan perusahaan t-shirt bernama Jogist, yang desainnya berisi permainan kata-kata lucu khas Jogja.

Belakangan nama Saptuari juga selalu dikaitkan sebagai dedengkot Sedekah Rombongan, komunitas dunia maya yang sering mengumpulkan uang sedekah dan terjun langsung untuk memberikan sedekah tersebut kepada kaum miskin papa yang membutuhkan.

Puas makan dan ngobrol, saya diantar Ferry ke Krapyak untuk nyekar. Saat mengantar saya pulang selepas maghrib, kebetulan kami melewati Jl. KH. Ahmad Dahlan. Saya langsung ingat bahwa saya dulu sering makan oseng-oseng mercon di sekitar sini. Langsunglah saya minta diantar ke warung tersebut.

Warung Bu Narti ini memang warung oseng-oseng mercon pertama di Jogja. Berhubung masih kenyang, saya beli aja seporsi oseng-oseng mercon dan iso goreng buat dibungkus dan dibawa ke Bandung. Cukup bayar Rp 20 ribu untuk dua masakan itu. Rasanya harganya tidak terlalu banyak berubah sejak zaman saya kuliah dulu.

Buat yang nggak tahu, oseng-oseng mercon adalah masakan sandung lamur dan otot sapi yang diracik dengan menggunakan resep pedas dari cabai rawit dengan perbandingan untuk setiap daging 5 kg cabainya 1 kg, sehingga pedasnya sangat mantap bagi penyuka pedas seperti saya. Di Jl. KH. Ahmad Dahlan ini juga saya lihat sudah ada 4-5 warung oseng-oseng mercon lain selain milik Bu Narti, padahal dulu belum ada. Akankah oseng-oseng mercon menjadi kuliner khas Jogja selain gudeg? 😛

Konon ceritanya warung oseng-oseng mercon Bu Narti ini dirintis oleh ibunya yang mulai berjualan tahun 1960-an. Waktu itu, ibunya  memperoleh pemberian daging yang dicoba dimasak menjadi oseng-oseng yang pedas dan dijual, dan ternyata laku. Bu Narti lalu meneruskan berjualan di jalan KH Ahmad Dahlan, dari jam 5 sore sampai dengan jam 10 malam. Beberapa hari sebelum berangkat ke Jogja malah saya melihat liputan soal oseng-oseng mercon ini di RCTI.

Sarapan oseng mercon…hebatnya nggak mules meski makannya pagi-pagi 😀

Malamnya, sekitar jam 22.00, kereta Lodaya bergerak menuju Bandung. Tengah malam saya terbangun dan mengecek berita di Internet, lalu merasa sedih saat mengetahui MU gagal jadi juara Liga Inggris. 😦 Sedih juga karena sebenarnya saya lebih suka tinggal di kota asal ibu saya ini, tempat saya belajar, punya teman-teman yang baik dan hebat-hebat, dan menikmati masa-masa indah dan seru di kota gudeg ini.

Sedih juga karena saya belum puas menikmati kuliner Jogja. Sampai ketemu lagi nasgor Pak Edi, sambal bawang Bu Santi, angkringan Lik Man, dll. Untunglah saya bawa oseng-oseng mercon. Sampai di rumah, setelah bongkar-bongkar bawaan, saya memanaskan oseng mercon dan iso goreng yang saya bawa. Wah, masih enak rasanya. Isonya sangat gurih dan oseng merconnya masih pedas menggigit! Saya harus balik ke Jogja lagi! []

16 thoughts on “Mudik ke Jogja: Dari Kingkong Sampai Oseng-Oseng Mercon

    1. Indradya SP Post author

      hehe…ke Bandung aja, ada 1-2 warung yg jualan oseng2 mercon. Tapi saya blm nyobain, kyknya long weekend ini kudu nyicip *nyandu* 😛

      Reply
  1. Rini Nurul Badariah

    Sebagai orang Bandung (coret), malu dan mengakui akan kebersihan Yogya dan jalannya yang mulus-mulus. Tapi belum bisa betah lama di sana, karena makanannya manis-manis buat lidahku:)

    Reply
            1. Indradya SP Post author

              Wah, kenapa dilarang mbak? jangan biarkan dokter merusak kenikmatan yg satu ini…hihihi 😛

              Reply
              1. Rini Nurul Badariah

                Panjang deh ceritanya, melibatkan tagihan rumah sakit yang bisa bikin makan apa pun jadi gak enak:D
                Masih banyak kok Mas, makanan lain yang gak kalah nikmat, hehehe…

                Reply

Leave a comment