Category Archives: Wisata Kuliner

Saoto Bathok Mbah Katro

IMG_20151030_085611

Dalam satu lawatan saya ke Jogja (jiaah…bahasanya!), yang salah satu tujuannya adalah wisata kuliner, warung Saoto Bathok Mbah Katro adalah satu yang saya incar. Habis, belakangan sering banget diomongin para tukang makan di blog-blog mereka. Dan saya juga demen banget makan soto.

Ngemeng-ngemeng, tulisan “saoto” ini bukan salah ketik, kok. Saoto adalah sebutan lain untuk soto di daerah Solo. Sebutan soto yang beragam di seantero Nusantara bagaimanapun adalah kekayaan lokal yang kudu diapresiasi. Saoto Mbah Katro ini memang mengusung genre soto Solo, sehingga penamaannya pun memakai istilah daerah asalnya.

Lanjut. Jadi, walau udah sarapan nasi goreng bikinan tante saya, pagi itu saya dan istri tetap memacu motor ke arah timur Jogja. Jaraknya agak jauh sih dari rumah saya yang dekat Malioboro, yaitu di kawasan Kalasan. Persisnya beberapa puluh meter di utara kompleks Candi Sambisari. Tak terlalu jauh dari pertigaan Bandara Adi Sucipto, siap-siap belok kiri, entah jalan apa. Pokoknya ada tulisan Candi Sambisari gitu deh.

IMG_20151030_080757

Jalan terus ke utara, sekitar 2-3 kilometer kemudian kita akan menemukan kompleks Candi Sambisari. Candinya kecil saja, dan letaknya agak di bawah permukaan tanah, sekitar 6 meteran. Terus saja ke arah utara, warungnya nanti ada di kanan jalan.

Kami sampai di sana sekitar jam 8. Sepagi itu kok warungnya sudah tampak lumayan ramai. Untungnya kapasitas warung ini luas. Bentuknya memanjang ke belakang, di kanan-kiri dan bagian belakang ada kebun tembakau dan persawahan.

IMG_20151030_085331

Warung buka dari jam 06.00 sampai 16.00. Dikonsep semi-outdoor, ada saung-saung berukuran kecil hingga besar sebagai tempat untuk menyantap soto bathok. Saung-saung itu ada yang berbentuk lesehan dan ada yang dengan meja-kursi. Di sini bahkan juga ada beberapa jungkat-jungkit dan ayunan. Mungkin buat pengunjung yang datang sekeluarga bersama anak-anak.

Di bagian depan, kita bisa langsung pesan makanan. Menunya memang cuma soto daging sapi, tapi masih ada beberapa “teman” seperti sate usus, sate telor puyuh, dan tempe goreng yang aduhai gurihnya. 😛

IMG_20151030_080446

Yang unik dari warung ini adalah mangkok sotonya yang terbuat dari bathok (tempurung) kelapa. Isi soto bathok ini adalah nasi, tauge, taburan daun seledri, dan taburan bawang merah goreng. Rasa dari soto daging sapi di sini juga enak. Segar dan tidak berlemak.

IMG_20151030_085143Kuah sotonya bening. Rasa gurih kuahnya berasal dari kaldu daging sapi sangat pas, dan akan semakin nikmat ketika ditambah perasan jeruk nipis, sambal, kecap, dan kerupuk. Tentunya jangan lupa sama “teman-teman” soto tadi. Ditambah lagi dengan segelas es jeruk atau es teh…wuidiiih! 🙂

Enaknya makan di sini emang pagi-pagi kayaknya. Udara masih cukup sejuk, dan makan soto di tengah persawahan dan kebun memang sensasinya aduhai. Pengen berlama-lama rasanya duduk dan tiduran di saung yang nyaman itu. 🙂

Kombinasi suasana ndeso dengan soto yang nikmat ini masih ditambah lagi dengan harganya yang murah bingits. Bayangkan, nasi soto daging sapi ini harganya cuma Rp 5 ribu per mangkok. Tempenya Rp 500 per biji, sate usus Rp 1000, dan sate telor puyuhnya Rp 2000 per tusuk. Untuk minumannya, es jeruk cuma Rp 2000 per gelas, dan teh anget cuma Rp 1000. 🙂

IMG_20151030_080533Ngemeng-ngemeng, Mbah Katro siapa sih? Ternyata si “Mbah” ini adalah mantan karyawan hotel yang tampaknya belum pantas dipanggil “Mbah”….hehehe.  Warung ini sendiri belum lama buka. Yah, sekitar awal 2015 deh…

Total yang kami bayar untuk menu seperti foto di atas cuma Rp 17.000! Edyan… 😛 Ya puas lah, makan enak, murah, dan bonus pemandangan asri di sekeliling warung. Buat kamu yang lagi ke Jogja, jangan lupa mampir ke sini deh…maknyuss! Jogja emang kota soto! 🙂 []

Ramen Bajuri – Bandung

IMG_20150629_183030 Yang namanya kedai ramen konon meruyak sejak beberapa tahun terakhir di Bandung. Saya sih nggak tahu persis kedai mana saja yang ramennya enak. Saya juga bukan penggemar berat makanan Jepang, sebenarnya, tapi nggak masalah sih sesekali nyicip. Toh saya juga demen makan mi.

Nah, sejak beberapa bulan lalu saya sering banget makan di warung Ramen Bajuri ini. Sebulan bisa 2-3 kali. Lokasinya di sekitar Jl. Lengkong, Bandung, nyeberang sedikit dari resto Athmosphere, agak masuk beberapa meter ke jalan kecil yang namanya Jl. Sasak Gantung. Ukuran kedai ini tak terlalu besar, seukuran garasi yang muat dua mobil plus beberapa motor aja. Bagian dapurnya bergaya interior kayu dan berhiasan beberapa gantungan bertulisan Jepang. Plus TV dan kipas angin.

Suasana di kedai Ramen Bajuri.

Suasana di kedai Ramen Bajuri.

Pertama kali datang ke sini dan melihat buku menu, saya jadi rada puyeng. Bukan apa-apa, soalnya jumlahnya cukup banyak dan sebagian judul makanannya rada nggak nyambung … hehehe! Coba ya, ada menu namanya “Ramen Aku Mah Apa Atuh”, “Ramen Penghilang Stres”, “Ramen Mas Bram, “Ramen ISIS (Ini Sayur Itu Sayur), “Ramen Cabe-cabean (topping cabe)”, dan lain-lain. 🙂

Ramen Aku Mah Apa Atuh.

“Ramen Aku Mah Apa Atuh”. Porsinya ajiibb! 🙂

Kita juga bisa memilih rasa kuah dan tingkat kepedasan ramen pesanan kita. Untuk rasa kuah ada original, kare, oriental, dan tomyam. Tingkat pedasnya bisa pilih dari 1 sampai 5 (paling pedas).

Sebagian menu di Ramen Bajuri.

Sebagian menu di Ramen Bajuri.

Kata orang sih, makanan yang disajikan di sini bukan ramen betulan. Kesamaan dengan ramen hanya mi dan mungkin topping ekadonya. Sisanya macam-macam: ada topping bakso gepeng, sawi, sosis, dan bakso berbentuk Angry Bird. Di pilihan kuahnya tidak ada kaldu sapi, miso, atau shoyu, dan telurnya terlalu matang untuk ramen.

Tapi saya nggak peduli sama semua itu. Makanan enak ya enak aja, nggak perlu repot bikin definisi. Apalagi kita cuma konsumen … hehehe! Waktu pertama ke sini, saya pesan “Ramen Aku Mah Apa Atuh”—ini ramen dengan topping chicken bulgogi dan ekado. Saya kaget banget karena ukuran mangkoknya segede baskom!

Tenang … sebagai orang bertanggung jawab, saya tetap hajar ramen sebaskom gitu sendirian. Ludes juga … hahay! 🙂 Kalau mau makan porsi sebaskom ini cari aja bagian ultimate ramen di buku menu. Ramen Mas Bram juga enak untuk ukuran sebaskom ini … hehehe 🙂

Yamin Ramen.

Yamin Ramen.

Rekomendasi saya selain “Ramen Aku Mah Apa Atuh” adalah “Yamin Ramen”—yang ini ramen dengan chicken teriyaki, pangsit, dan ekado. Sebenarnya masih ada bibimbap dan chicken katsu segala, tapi saya belum pernah cicipin itu.

Untuk minumannya, saya selalu pesan es teh leci Teh lecinya ini pake gelas guede banget! Jadi kalau mau ngirit minum berdua pasangan, ya pesen ini aja. Cuma Rp 10 ribu kok. Rasanya segar dan wangi. Satu lagi minuman favorit saya di sini adalah green tea latte. Manisnya pas dan warnanya hijau pupus ngejreng dengan dua leci gemuk di dalamnya. Enak!

Pokoknya, makan ramen di sini di siang hari bolong yang panas atau sedang hujan sama asyiknya. Apalagi di sini harga ramennya ramah dompet dan menerima pembayaran dengan kartu debit dan kredit. Ramennya dimulai dari harga Rp 15 ribu dan paling mahal kalau nggak salah cuma Rp 25 ribu. Itu yang pake baskom tadi yah … 😛

Dua minuman favorit saya: green tea latte dan es teh leci.

Dua minuman favorit saya: green tea latte dan es teh leci.

Berhubung lokasinya dekat kampus, nggak heran kedai ini sering dipenuhi mahasiswa. Makanya disediakan menu bernama “Ramen Akhir Bulan”  seharga Rp 15 ribu … wkwkwk! Tapi banyak juga kok keluarga yang makan di sini.

Satu hal nggak penting tapi harus saya ceritain adalah tukang parkirnya. Seumur hidup, baru kali ini saya ketemu tukang parkir “profesional”. Selain orangnya senang menyapa ramah, dia juga “ada kerjanya”: mengambilkan motor, mengelap jok (kalau basah habis hujan), menurunkan footstep motor, dan selalu mengingatkan “Gak ada yang ketinggalan, Mas?”. Untuk servis macam itu, dua ribu rupiah tanpa cemberut dari pelanggan Ramen Bajuri pantas untuknya …. hahaha! 😀

Bebek Merapi Mega Sari – Bandung

bebek merapi1

Sebenarnya sudah beberapa lama saya mengincar makan di warung ini. Habis, kelihatannya selalu ramai pengunjung. Yang kayak gitu kan harus dicurigai. Plus, kata seorang teman, bebek di sini mantap surantap rasanya.

Jadi, beberapa waktu lalu, untuk kedua kalinya saya mampir di warung kaki lima yang namanya Bebek Merapi Mega Sari ini. Lokasinya ada di Jl. PHH Mustopha, di seberang ITENAS, tak jauh dari perempatan Jl. Pahlawan, Bandung. Bukanya biasanya sore hari (Magrib).

Penampakan dari luar sih seperti umumnya warung kaki lima yang jualan nasi uduk plus menu utama ayam dan bebek. Pas saya datang ke sini, seperti biasa warungnya memang ramai pembeli. Karena ramai, saya harus menunggu beberapa pengunjung untuk bangkit sebelum saya rebut kursinya. Sialnya, saya dapat tempat di meja yang posisinya agak miring.

Goreng-gorengan lain. Pesta kolesterol deh pokoknya :)

Goreng-gorengan lain. Pesta kolesterol deh pokoknya 🙂

Karena di spanduknya mereka menamakan diri Bebek Merapi, saya memesan bebek bakar plus nasi uduk. Sebagai tambahan, saya pesan tahu dan tempe. Oya, di sini, selain bebek, juga ada ayam bakar/goreng, lele, perkedel kentang, sate telur puyuh, sate ati, ikan asin, kol goreng, dan tak lupa pete serta jengkol (!).

Sambil nunggu, saya meneguk es jeruk sedikit-sedikit. Bukan hanya karena esnya kurang dingin, tapi biar irit…hehehe! Saya perhatikan, banyak sekali orang yang membeli dibungkus. Itu sebabnya kadang-kadang orang yang makan di tempat harus menunggu agak lama.

Bebeknya empuk, sambelnya ganas!

Bebeknya empuk, sambelnya ganas!

Setelah sepuluh menit, barulah pesanan bebek bakar dan goreng saya diantar. Konon, di sini sambelnya dahsyat. Memang, aroma sambelnya saja sudah sangat meneror hidung, menjanjikan kenikmatan mandi keringat.

Daging bebeknya ternyata sangat empuk, mudah dicuil-cuil. Bakarannya juga pas. Nggak terlalu manis kecap. Bebek gorengnya juga renyah banget. Digado pun enak, rasanya gurih dan sedikit garing.

bebek merapi4Yang paling edan ya sambelnya itu. Gurih dan…..puedesss!! Yang bukan penggemar sambel mending pesan sambel yang nggak begitu pedas. Soalnya sambel yang saya pesan ini yang pedasnya maksimal. Saya sendiri nggak cukup makan sambel satu pisin di sini. Oya, kalo beli makannya dibungkus, sambelnya kudu nambah Rp 1000. Hehehe!

Seporsi bebek dengan nasi uduk dan es jeruk di sini harganya sekitar Rp 26 ribu. Kalo bebeknya doang sih Rp 19 ribu. Standar lah. Menu lain seperti ayam kayaknya enak juga, walaupun saya belum coba. Tapi kalo sambelnya gahar kayak begini sih, menu lain sepertinya enak juga. Kapan-kapan saya mesti main ke Bebek Merapi lagi! Habis, sambelnya ganas banget kayak lahar Merapi! *lebay* 😛 []

Soto Ayam Pak Gareng – Jogja

pak gareng 1

Soto adalah salah satu makanan favorit saya untuk sarapan. Kalau sedang mudik ke Jogja, setiap jam 6 pagi saya pasti bela-belain mampir ke warung Soto Ayam Pak Gareng. Sejak masih kuliah, tempat ini jadi tempat sarapan saya. Warung ini terletak di Jl. Mangkubumi, utara Jl. Malioboro, di seberang gedung BCA, tidak jauh dari pintu depan Stasiun Tugu. Dan yang tidak kalah penting: jaraknya cuma 200-an meter dari rumah saya…hehehe! 🙂

Soto Pak Gareng buka setiap pagi dari jam 6 hingga tengah hari. Sepagi itu juga biasanya warung kaki lima ini sudah penuh pengunjung, tak peduli hari kerja atau hari libur. Oh ya, yang jualan di sini bukan Pak Gareng, tapi cucunya. Entah namanya Bu siapa… 😛

Sarapan di sini benar-benar murah meriah. Semangkuk soto campur nasi harganya cuma Rp 6.000, kalau nasi dipisah Rp 7.000 (!). Sate ati cuma Rp 2.000. Minumannya juga murah, antara Rp 2.000 – 3.000. Tapi itu sebelum harga BBM naik per 18 November 2014 ya….hahaha! Pelayanannya juga cepat. Tak sampai 5 menit, soto pesanan kita sudah terhidang di bawah hidung.

Soto, sate, es jeruk. Josss!!

Soto, sate, es jeruk. Juoss gandosss!!

Yang namanya makan soto nggak lengkap tanpa “konco-konconya”. Nah, di warung Pak Gareng ini, di atas meja selalu tersedia sate ati, sate ayam, sate telor puyuh, tempe dan tahu bacem, plus lenthok. Yang terakhir ini adalah camilan yang terbuat dari singkong yang dibumbui, dihaluskan, lalu digoreng. Biasanya buat lauk teman makan soto.

Menu satu-satunya di sini adalah soto ayam. Tinggal pilih mau apakah nasinya dicampur atau dipisah. Selain nasi, dalam semangkuk soto ada soun, irisan kol, taoge, lenthok, dan suwiran daging ayam yang kemudian diguyur dengan kuah soto panas. Kuah sotonya termasuk bening dan terasa ringan bumbu-bumbunya. Gurihnya juga pas dan segar. Tambahkan sambal, kecap, atau perasan jeruk nipis jika suka.

Selalu ramai... :)

Selalu ramai… 🙂

Porsi yang disajikan sebenarnya cukupan untuk mengganjal perut yang lapar di pagi hari alias tidak membuat perut terlalu kenyang. Tapi buat saya sih sepertinya harus makan dua mangkuk…hehehe! Lagian harganya murah kok, jadi yaa…tambah aja! 😀

Biasanya juga banyak pengamen kalau kita makan di sini, tapi mereka mainnya lumayan bagus dan kadang ada sepasang pengamen tua memainkan lagu-lagu tradisional dengan siter (alat musik petik dalam gamelan Jawa). Habis makan, biasanya saya jalan-jalan ke Malioboro, beli koran dan baca sambil duduk-duduk di bangku di bawah pohon rimbun. Memerhatikan kereta mondar-mandir dan ngeceng (ngelamun sambil cengengesan).

Nah, jelas kan sekarang kenapa saya 6,5 tahun baru lulus kuliah….. *eh* 😀

Bebek Kaleyo – Bintaro

20140510_174726

Gara-gara dikasih tahu adik saya beberapa bulan lalu, setiap kali nengok orangtua, saya pasti naik travel dan turun di kawasan Bintaro sektor 7, Tangerang. Nah, di area gedung CIMB Niaga dan Lottemart, persisnya di belakang Taman Menteng, ada resto bebek favorit saya. Namanya Bebek Kaleyo. Kebetulan lokasinya cuma tinggal menyeberang jalan dari pool Baraya Travel.

Sesuai nama, menu andalan di sini jelas bebek. Ada beberapa menu yang pernah saya coba: bebek goreng kremes, bebek goreng cabe ijo, dan bebek rica-rica. Yang bakar juga ada, tapi saya belum pernah cicipin. Next time, pasti! 😛

Atas: bebek kremes. Bawah: bebek cabe ijo.

Atas: bebek kremes. Bawah: bebek cabe ijo.

Sepertinya bebeknya diungkep dalam bumbu dulu, habis itu baru digoreng. Maka itu daging bebeknya gurih dan empuk banget, bahkan makan bebek digado aja udah enak banget. Menu bebek goreng cabe ijo adalah favorit saya. Penyajiannya juga asyik, pake daun pisang.

Di sini, menurut buku primbon menu, bebek mudanya ukuran 1/2 ekor. Jadi gedenya cukupan bikin kenyang. Sambel cabe ijonya itu lho…aromanya bener-bener meneror hidung. Pedasnya mantap, porsinya banyak sampe nutupin bebeknya, dan selalu sukses bikin keringetan…hehe! Pencinta pedas pasti puas makan di sini. Kalau mau agak irit, pilih yang bebek muda ya. Yang bebek kampung ukuran 1/4 harganya 19.500, yang 1 ekor Rp 78.000.

Untuk ukuran resto, harga menu bebek di sini menurut saya tergolong murah banget. Untuk jenis bebek muda, porsi 1/2 ekor harganya Rp 19.500. Nasinya Rp 4.500. Kalau mau nasi uduk cukup bayar Rp 5.000. Yah, 25 ribu untuk makan bebek sih murah. Apalagi rasanya joss banget. Gurih dan sensasi pedasnya bikin merem-melek! 😛

20140118_124628

Dari kiri searah jarum jam: bebek rica-rica, bebek kremes, bebek cabe ijo.

Menu lain:

– Bebek rica-rica (Rp 21.000)

– Bebek cetar ala Madura (Rp 21.000)

– Sate bebek 4 tusuk (Rp 20.000)

Buat yang nggak suka bebek, masih ada menu ayam. Kalau sambelnya udah enak, kayaknya sih ayamnya enak juga. Menu sampingan lain ada tempe, tahu, sate ati, leher bebek, dimsum/siomay, dan sayur asem. Minumannya juga variatif, di antaranya ada es kelapa, es teler, es campur, es cincau, dan banyak lagi.

Bebek Kaleyo buka jam 11.00 – 23.00. Sayangnya, resto ini tutup di hari Minggu. Sayangnya lagi, resto ini belum ada di Bandung. Baru ada 12 cabang yang semuanya berlokasi di Jakarta dan sekitarnya. Saya lihat di Internet sih rata-rata restonya luas dan hampir selalu rame. Cobain aja deh. Lokasinya lihat di sini. Sayangnya, cabang Bintaro ini belum bisa menerima pembayaran dengan kartu debit. Jadi jangan lupa bawa uang tunai yang banyak. Kali aja mau nambah. 😛

Nah, habis makan bebek, kalau mau bakar kalori, jalan-jalan aja di Taman Menteng di seberang resto ini. Ada jembatan di atas sungai kecil yang warnanya rada butek. Ada apa di taman itu? Yah, cuma taman biasa. Paling-paling banyak abegeh pacaran, foto selfie, atau anak-anak kecil kejar-kejaran…hehehe![]

Taman di seberang resto Bebek Kaleyo.

Taman Menteng di seberang resto Bebek Kaleyo.

Nasi Bebek Pedas Khas Madura: Gurihnya Bikin Nagih!

warung

Memang benar ya, untuk mencari makanan-makanan enak mesti rajin inspeksi. Beberapa bulan lalu, saya nggak sengaja melihat warung tenda ini saat lewat di jalan masuk menuju Telkom University, Jl. Bojongsoang, Bandung. Waktu itu saya nggak tahu apa itu nasi bebek pedas khas madura. Tapi kok tampak menarik. Naluri saya mengatakan: COBAIN!

Belilah saya satu porsi buat dimakan di rumah. Soalnya, saya lihat warung ini sering ramai. Pembelinya kebanyakan adalah mahasiswa Telkom yang kos di sekitar situ. Bahkan saya pun disangka masih mahasiswa sama si penjual (!). 🙂 Yang makan di tempat dan yang minta dibungkus hampir sama banyaknya.

Nasbek1Setelah saya memesan, si penjual langsung sigap meracik seporsi nasi bebek. Gerakannya tampak telaten dan hati-hati: menyendok nasi, serundeng, dan dua sendok sambal. Daging bebeknya ada dua macam: yang basah berkuah dan yang kering. Untuk setiap porsi, si penjual memberi masing-masing sepotong daging bebek yang basah dan kering. Sentuhan terakhir, nasi bebeknya diguyur beberapa sendok kuah semur yang kental dan gurih. Kalau sambal, serundeng, dan kuahnya kurang banyak, minta tambah saja. 🙂

Awalnya, saya sempat ketawa karena dua potong daging bebeknya kecil-kecil. Tapi mengingat harganya cuma Rp 13 ribu per porsi, belum lagi target pembelinya yang mahasiswa, saya cuma bisa maklum. Bisa saja sih kalau mau nambah daging bebeknya, tapi ya harus bayar lebih. 🙂 Tapi kita boleh pilih bagian bebek yang mana saja: dada, paha, kaki, atau ati ampela.

Ini makan di warungnya. Kalo dibungkus, kayaknya nasinya lebih banyak deh :)

Ini makan di warungnya. Kalo dibungkus, kayaknya nasinya lebih banyak deh 🙂

Saya benar-benar nggak salah pilih. Gurihnya bikin nagih! Daging bebeknya terasa cukup lembut, dengan rasa yang gurih meresap hingga ke dalam. Cukup empuk dan mudah lepas dari tulang. Agaknya memang diungkep lama hingga teksturnya lebih lunak dan bumbunya meresap.

Rasa pedas sambal yang nendang berpadu dengan serundeng yang terasa meleleh di lidah. Dilahap bersama sepiring nasi yang porsinya banyak dan masih hangat mengepul. Rasanya pedas menggigit dengan rasa yang gurih nikmat. Huahh, puedess! Keringat bercucuran, mulut mendesis, tapi nggak bisa berhenti! 🙂

Mungkin lebih mantap lagi kalau si penjual menambahkan potongan timun dan taburan bawang goreng. Saya sendiri belakangan lebih suka beli dibungkus, dan di rumah saya tambahkan telur dadar atau tahu dan tempe.

Nasbek4

Kalau makan di rumah, nasi bebeknya ditambahin telor. 😛

Besok-besoknya, saya jadi makin sering beli, terutama di akhir pekan. Si penjual buka dari jam 08.30 pagi, dan biasanya jam 14.00 sudah habis. Beli 1-2 bungkus, lalu ditambah lauk lain di rumah, terus makan sambil baca koran. Joss gandosss![]

Pesta Kolesterol di Festival Jajanan Bango Bandung

Pintu masuk area FJB.

Pintu masuk area FJB.

Terakhir kali saya datang ke Festival Jajanan Bango (FJB) di Bandung rasanya sudah lama, tahun 2009 atau 2010. FJB memang tak selalu diadakan di Bandung setiap tahun. Jadi, Sabtu siang (9/2) lalu saya bela-belain datang, sekalian sarapan dan makan siang digabung jadi satu (!). Apalagi acara ini cuma berlangsung satu hari di masing-masing kota yang disambangi FJB (Bandung, Semarang, Malang, Surabaya, dan Jakarta).

2013-02-09 13.09.10Bandung menjadi kota pertama yang disambangi rangkaian acara pesta kolesterol ini. Tahun ini FJB digelar di area Monumen Perjuangan Rakyat, tak jauh dari kampus Unpad di Jl. Dipati Ukur. Puluhan stan makanan dan minuman digelar di dua area yang disebut Bango A dan Bango B. Panggung untuk musik disiapkan di bagian ujung tengah. Ada juga sekitar lima area makan dengan meja dan kursi.

Di antara 50 stan yang ada, sebanyak 10 di antaranya disebut oleh Bango sebagai Legenda Kuliner Nusantara. Sebut saja: Sate Klatak Mak Adi Yogyakarta, Tengkleng Klewer Bu Edi Solo, Sate Jamur Cak Oney, Tahu Tek Telor Cak Kahar Surabaya, Nasi Pindang Pak Ndut Semarang, Mie Aceh Sabang, Mie Koclok Mas Edy Cirebon, Oseng-oseng Mercon Bu Narti Yogyakarta, Lontong Balap Pak Gendut Surabaya, dan Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih. Pengennya sih hajar semua makanan itu, tapi nggak mungkin juga lah….dompet bisa jebol dan kolesterol bisa naik macam orang gila yang manjat sutet. 😛

Seperti biasa, masuk ke area FJB gratis, tapi makannya tetap bayar, dong. Kali ini panitia menerapkan sistem kupon untuk pembelian makanan, sementara di tahun-tahun yang lalu kita bisa bayar langsung ke penjualnya. Satu kupon harganya Rp 15 ribu, termasuk bonus satu kemasan kecap Bango ukuran 55 ml.

Sate jamurnya maknyus juga nih...

Sate jamurnya maknyus juga nih…

Sebenarnya saya nggak suka sama sistem ini, selain kurang praktis, pukul rata Rp 15 ribu per porsi makanan rasanya agak mahal. Jadinya ya harus ngirit. Prinsip saya, di acara seperti ini nggak perlu mendatangi stan-stan makanan yang warungnya berbasis di Bandung. Kalau ada di Bandung sih kapan-kapan juga bisa. Jadi saya beli oseng-oseng mercon Bu Narti dari Yogyakarta, Sate Jamur Tiram Cak Oney dari Yogyakarta, dan Nasi Pindang Pak Ndut Semarang.

Seporsi oseng-oseng mercon yang joss gandoss!

Seporsi oseng-oseng mercon yang joss gandoss!

Baru sekarang saya bisa makan oseng-oseng mercon siang-siang. Biasanya Bu Narti ini mulai jualan pas udah magrib kalau di Jogja. Seperti biasa, rasanya maknyuss! Tumpukan lemak yang lezat itu beberapa kali dipanaskan di wajan di stannya. Lalu, saya mengunjungi stan Nasi Pindang Pak Ndut Semarang.

Stan Nasi Pindang Pak Ndut.

Stan Nasi Pindang Pak Ndut.

Nasi pindang adalah nasi dan daging yang disajikan dengan kuah pindang dan daun so/melinjo. Pembeli bisa memilih lauk utama untuk nasi pindangnya, di antaranya ada jeroan sapi dan telor pindang. Saya memilih koyor—sebutan lain kikil yang merupakan bagian dalam atau urat kaki sapi, dan dimasak dengan kuah kental.

Baru satu jam di sini, hujan badai pun datang. Untunglah saya sedang menikmati makanan porsi ketiga: sate jamur Cak Oney. “Daging” satenya sendiri terbuat dari jamur tiram, tapi teksturnya mirip dengan daging ayam. Mengingatkan saya pada menu-menu di resto Jejamuran, Jogja. Maknyuss….makan sate jamur saat hujan badai sambil lirik sana-sini. Bahkan bule-bule yang tampangnya masih kayak anak kuliahan pun berseliweran jalan-jalan sambil makan.

Suasana FJB.

Suasana FJB.

Setelah hujan reda, saya pun pulang…sambil bawa sebungkus oseng-oseng mercon buat makan malam di rumah. Kalau acara beginian ada setiap hari atau setiap minggu, sekalipun dengan alasan melestarikan pusaka kuliner nusantara, bahaya banget buat kesehatan dompet dan kolesterol bisa melonjak. 😀

Jejamuran

Akhirnya nulis soal kuliner lagi, setelah kemarin soal backpacking melulu. 🙂 Ceritanya, dua tahun lalu, saya pertama tahu resto Jejamuran di Festival Jajanan Bango, ajang kuliner nasional yang waktu itu kebetulan diadakan di Bandung. Sejak itu saya jadi terobsesi (halah!) dan akhirnya pas long weekend kemarin berhasil sampai ke sini.

Resto ini nggak buka cabang di kota lain. Jadi, mumpung mudik ke Jogja barusan, saya sempatkan sowan ke Jejamuran. Peduli amat semua orang pada pesta kolesterol makan kambing dan sapi, saya udah mantap pengen makan makanan serba jamur! 🙂 Jumat sore, setelah pinjam motor om saya, saya dan istri berboncengan menuju resto tersebut.

Lokasinya, kalau dari Terminal Jombor Jl. Magelang, sekitar 4 kilometer ke arah utara. Nyetir aja teruuussss mengikuti jalan utama, sampai Anda frustrasi. 🙂 Tiba di perempatan Beran Lor, di Niro, Pendowoharjo, Kab. Sleman, ada papan merah yang menunjukkan lokasi resto. Belok kanan, sekitar 800 meter kemudian ketemu deh resto itu. Kalau sampai nggak ketemu….aduh, makanya pas kecil ikutan Pramuka dong. 😛 Jangan tertipu dengan satu restoran yang menjual jamur juga, di pinggir jalan tak jauh sebelum tiba di perempatan tadi.

Interior resto.

Resto Jejamuran ini gede banget luasnya. Sekitar setengah lapangan bola, mungkin. Kami memesan sate jamur, tongseng jamur, sop jamur, jamur bakar pedas, dan tumis jamur lombok ijo. Sebenarnya menu lain masih banyak, tapi nggak mungkin saya pesan semuanya, dong. Sebut saja: rendang jamur, pepes jamur shitake, jamur crispy asam manis, tom yam jamur, gudeg jamur, dadar jamur shitake, lumpia jamur, semur edan jamur, karedok jamur, dan banyak lagi.

Yang kuning itu carica squash 🙂

Untuk minumannya, kami memesan carica squash dan jus jambu. Carica (baca: karika) alias pepaya gunung adalah buah yang dibudidayakan di kawasan Dieng, Wonosobo. Berhubung baru tahu buah ini, iseng-iseng saya tanya si pelayan. Lumayan jadi tambah pengetahuan. 🙂

Pepaya gunung diperkenalkan ke Indonesia saat menjelang Perang Dunia II oleh pemerintah kolonial Belanda, dan berhasil dikembangkan di Dataran Tinggi Dieng. Sekarang carica menjadi salah satu oleh-oleh khas dari daerah itu. Buah berwarna kuning ini bisa diolah jadi sirup, jus, manisan, dan selai. Rasa buahnya top banget. Manis, segar, dan entah bagaimana berasa-rasa “asing”. Minuman yang sangat direkomendasikan kalau mampir ke Jejamuran!

Hajar bleeeh! 😛

Harga menu di sini menurut saya sangat baik bagi kesehatan dompet. Rata-rata di kisaran Rp 8.000 – 15.000. Mantap kan? Rasanya juga nyamleng tenan! Apalagi saya suka banget masakan-masakan yang ditumis-tumis, bakar-bakar, goreng-goreng, santan-santan…hahaha! Dan memang rasa masakan di sini mantap, setidaknya menu yang saya pesan.

Kalau makannya sambil merem mungkin saya akan mengira ini rasa daging betulan (misalnya sate). Teksturnya mirip, tapi rasa dan bumbunya sama, walau bahan utamanya tetap jamur. Enaknya sih makan di sini beramai-ramai, bisa pesan mungkin 10 masakan dan tinggal dicicipi satu per satu. Namanya juga masakan lauk, nggak perlu dimakan sampai habis. Cukup beberapa sendok ini, beberapa sendok itu, kalau lauknya masih banyak ya tambah aja nasinya. Lazis! 😛

Bermacam jamur hasil budidaya.

Di sini juga ada tempat budidaya bermacam jenis jamur, sehingga pengunjung yang ingin mencoba budidaya jamur bisa langsung bertanya-tanya. Satu lagi, kita juga bisa membeli jamur segar atau olahan buat oleh-oleh camilan berbahan jamur untuk keluarga atau teman. Pokoknya, kalau ke Jogja, harus mampir ke sini! 🙂

Bubur Ayam Pak Ukar

Minggu pagi, kemarin, saya dan istri menuju kawasan Buah Batu. Saat itu kami sedang sibuk keluar-masuk gang, mencari tukang bubur ayam favorit kami. Terakhir kali kami ketemu si tukang bubur itu setahun yang lalu. Kok segitunya? Begini ceritanya.

Agustus 2007 sampai Juli 2010, saya masih tinggal di loteng sebuah rumah kontrakan di Jl. Kecubung, di kawasan Buah Batu. Kawasan ini tenang walaupun hanya berjarak 100 meter dari jalan besar (Jl. Buah Batu). Seperti umumnya perumahan, banyak pedagang makanan yang lewat setiap hari di sini. Dan setiap hari akhir pekan, favorit saya adalah bubur ayam Pak Ukar.

Apa istimewanya bubur ayam Pak Ukar? Makanan yang satu ini sepertinya sudah jamak jadi menu sarapan atau jajanan favorit banyak orang. Di Bandung juga banyak sekali warung bubur ayam yang top. Tapi, bagi saya, sejauh ini bubur ayam Pak Ukar belum tertandingi kelezatannya. Untuk mengetahui apakah bubur ayam enak atau tidak, cicipi dulu buburnya saja, tanpa campuran lain-lain, karena bahan-bahan lain sama saja di mana-mana. Kalau dengan mencicipi buburnya saja terasa lezat dan gurih, maka itulah bubur ayam yang lezat.

Bubur ayam Pak Ukar.

Anda tak akan menemukan warung bubur Pak Ukar di mana pun, karena si penjual memang tidak membuka warung. Ia hanya beroperasi dengan gerobaknya di daerah Jl. Mutumanikam hingga Perum Polri di dekat Pizza Hut Buah Batu. Pak Ukar punya empat buah gerobak, yang salah satunya ia bawa sendiri. Usaha ini ia kerjakan sejak tahun 1979, dan sejak beberapa tahun lalu menjadi binaan PT Telkom guna membiayai usahanya ini. Bubur ayam hanya ia sendiri yang memasaknya. “Kira-kira setiap hari jam 12 malam saya masak bubur sendiri. Para pembantu saya tidak ada yang tahu, karena ini adalah resep istimewa yang membuat bubur saya digemari pelanggan,” jelasnya.

Empat orang pembantunya hanya bertugas menyiapkan, memasak, dan memotong bahan-bahan lain seperti ayam, seledri, bawang, ati-rempela, telur, cakwe, dsb. Sekitar pukul 05.30 pagi, beredarlah empat buah gerobak miliknya.

Saat masih tinggal di Jl. Kecubung itulah saya biasanya mengirim SMS ke ponsel Pak Ukar hampir setiap akhir pekan. Kira-kira setengah jam kemudian, bapak asal Garut ini mendentingkan sendok ke mangkuk tanda ia sudah siap di depan rumah saya.

Dengan mengeluarkan Rp 9.000, seporsi bubur ayam lezat komplit dengan telur dan ati-ampela siap disantap. Rasanya memang lezat. Apalagi, khusus untuk saya, ia tak segan menambah porsi bubur, ayam, dan krupuk. Tak tertarik membuka warung sendiri, Pak? “Tidak, lagi pula saya lebih percaya kalau saya sendiri yang mengerjakan. Dan saya juga punya banyak pelanggan setia, seperti Aden ini,” katanya kepada saya.

Selalu dipanggil pelanggan, meski sedang sibuk melayani yang lain.

Memang tak salah ia berkata demikian. Sering kali, ketika sedang meracik bubur pesanan saya, dering telepon dan SMS bertubi-tubi menyelanya. “Maaf ya Den, banyak yang nelepon…” katanya kerap kali. Pak Ukar tak pernah tahu nama saya, sehingga dia selalu memanggil saya “aden” (bahasa Sunda, panggilan sangat sopan yang kira-kira artinya: tuan, juragan).

Suatu kali bahkan ada pelanggan yang tinggal di Jl. Dago meneleponnya untuk janjian bertemu di suatu tempat, sebelum si pelanggan berangkat ke kantor dengan mobilnya. Bahkan kini, setelah saya pindah rumah sekitar 5 kilometer dari bekas kontrakan dulu, beberapa kali saya masih mencari Pak Ukar di sekitar bekas kontrakan saya, kalau tak malas keluar rumah pada Minggu pagi. Dan itulah yang saya lakukan kemarin.

“Yuk, sarapan bubur dulu.” 🙂

“Masih ingat saya, Pak?” tegur saya saat menemukan bapak ini di depan sebuah rumah tak jauh dari bekas kontrakan saya.

“Masih, Den,” jawab Pak Ukar sambil tersenyum. Tangan kanannya terangkat ingin menyalami saya.[]

 

 

Catatan: foto-foto di atas adalah gabungan foto beberapa tahun lalu plus Minggu pagi kemarin. 🙂

Ayam Lepaas!

Tenang, itu bukan seruan tetangga yang ayam peliharaannya lepas, tapi nama sebuah warung makan. Awalnya saya melihat plang nama warung makan ini di kawasan Bintaro Jaya, Tangerang. Beberapa bulan kemudian, persisnya sebulan yang lalu, saya melihat plang namanya di Jl. Soekarno-Hatta, Bandung. Dekat dengan perempatan Jl. Buah Batu. Langsung deh saya cicipin…. 😛

Menu yang ditawarkan sebenarnya sangat sederhana: ayam goreng, burung dara, dan lele. Dilengkapi dengan sambal yang pedas dan lalapan. Masakan lain yang bisa dipilih juga umum banget: tumis kangkung, tumis bunga kol, tumis tauge, tahu, dan tempe. Nah, sederhana banget, kan?

Ayamnya guede, ngenyangin 😛

Tapi menurut saya rasa ayam gorengnya enak. Dibalut tipis dengan tepung berbumbu yang gurih, daging ayamnya juga tebal dan berukuran cukup besar. Sambalnya pun pedas! Itu sebabnya disebut “ayam lepas” alias “ayam lezat pedas”. Dengan harga paket Rp 16 ribu saja kita sudah mendapat seporsi nasi plus ayam goreng beserta lalapan. Harga tumis-tumisnya pun cuma Rp 10 ribu per porsi dan rasanya pun cukup oke. Selain ayam lepas, ada pula paket “ayam lemas” alias “lezat manis”, tapi yang rada nggak enak didengar sih menu “burung lepaas” alias “burung lezat manis”…hehehe! 🙂

Ini dia paket ayam lepas plus tumis kangkungnya 🙂

Rumah makan ini juga luas. Tempat makannya bisa dipilih, mau di meja atau di area lesehan. Tempat parkir luas dan ada mushola yang bersih juga. Saya sendiri sudah dua kali makan di sini. Pertama datang memang masih agak sepi, karena baru beberapa hari buka. Tapi saat datang untuk kedua kali, tempat ini sudah mulai ramai karena mungkin orang-orang sudah mulai kenal dengan tempat ini, walau andalannya cuma ayam goreng gurih dan sambal yang pedas.

Kalau tak salah, restoran asal Aceh ini sudah punya puluhan gerai yang tersebar di beberapa kota seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bogor, Malang, Surabaya, Medan, Palembang, dan Banda Aceh. Konon, Ayam Lepas tahun ini juga akan membuka 50 gerai lagi di Jabodetabek, Bandung, dan Yogyakarta.

Area lesehan.

Sebenarnya kalau rumah makan ini punya andalan lain, bebek atau iga bakar misalnya, mungkin akan lebih asyik lagi. Tapi tak ada salahnya mencoba makan di tempat ini. Cocok kok buat makan beramai-ramai dengan teman-teman atau keluarga. Di Bandung, selain punya cabang di Jl. Soekarno Hatta ini, ada satu cabang lagi di Jl. Moh. Toha.

Menunya.

Mudik ke Jogja: Dari Kingkong Sampai Oseng-Oseng Mercon

Ini pertama kalinya saya mudik ke Jogja lagi setelah tiga tahun. Ada acara pengajian memperingati 1000 hari meninggalnya kakek saya (yang  meninggal tiga tahun lalu). Seminggu sebelum berangkat saya sudah memesan tiket kereta PP seharga Rp 260 ribu. Jumat malam (11/5) saya berangkat naik Lodaya. Ah, kelas bisnis ini kok sekarang makin kusam dan butut. Kalah jauh dibanding MRT Singapura…hehe! Dulu waktu saya masih pacaran dan bolak-balik Jogja-Bandung 4 kali setahun gerbongnya masih bagusan. Tapi untunglah saya selalu bawa buku untuk teman perjalanan sehingga bisa melupakan kebututan gerbong malam itu. Saya pun tenggelam menikmati buku Perjalanan ke Atap Dunia tentang perjalanan penulisnya ke Nepal dan Tibet.

Tiba Sabtu subuh di Jogja (12/5), saya langsung jalan kaki ke rumah, soalnya rumah saya cuma 5 menit jalan kaki dari pintu belakang stasiun. Dulu, ada tiga keluarga adik ibu saya yang tinggal di rumah di kompleks PJKA ini. Sekarang tinggal satu keluarga plus adik nenek saya. Kakek saya dulunya memang bekerja di PJKA (sekarang Perumka), makanya keluarga besar kami tinggal di kompleks ini. Ibu saya belum kuat melakukan perjalanan ke Jogja setelah pasang ring jantung bulan lalu, dan ayah saya pun di rumah menemani ibu.

Hari itu acara pertama saya adalah mengurus proses mutasi motor saya. Sudah tiga tahun saya tidak bayar pajak karena sejak 2007 saya sudah meninggalkan Jogja, sementara STNK motor saya akan habis Agustus 2012 ini. Jadi sekalian saya saya mutasikan ke Bandung karena sekarang saya sudah punya KTP (Kabupaten) Bandung. Proses yang memakan waktu sekitar dua jam lebih itu akhirnya ditutup dengan “vonis” bahwa saya harus bayar Rp 780 ribu dengan rincian pajak 3 tahun plus denda-dendanya. Saya sendiri sudah memprediksi bakal sebesar itu, jadi nggak terlalu kaget.

Dari Samsat Jogja, saya jalan kaki pulang ke rumah (cuma 10 menit), istirahat sebentar, lalu meminjam motor om saya untuk keliling kota. Ah, betapa fisik kota Jogja sebagian sudah berubah. Kota ini di mata saya jadi lebih hijau dan rimbun. Hotel-hotel juga semakin banyak. Bahkan gedung kursus bahasa Inggris LIA dekat rumah saya kini sudah jadi hotel.

Sekarang, di banyak ruas jalan sudah ada beton divider (pembatas jalan) yang sekaligus ditanami pepohonan. Divider ini terutama berguna sekali untuk mencegah pengendara ugal-ugalan yang suka mengambil jalur yang berlawanan arah. Dulu saya pernah terjebak dalam keributan antara sopir bus dan pengemudi mobil pribadi. Si sopir mobil ini tidak mau memberi jalan untuk bus yang jelas-jelas salah mengambil jalur yang berlawanan.

Selain divider, saya melihat di beberapa ruas trotoar juga dibangun kanopi yang atapnya dirimbuni oleh tanaman rambat. Saat melewati Jl. Malioboro, banyak juga area depan toko dan area parkir yang dihiasi kanopi hijau seperti ini. Bikin Jogja makin hijau dan rimbun! 😛 Saya acung jempol buat tata kota seperti ini. Dan Jogja juga bersih. Beda banget dengan Bandung yang kotor dan berdebu. Di Jogja juga agak susah cari jalanan yang banyak lubangnya, tidak seperti di Bandung yang warganya harus hafal posisi lubang di jalanan agar tidak tersungkur. 🙂 Program bus TransJogja saya lihat juga lancar. Punya beberapa jalur dan setidaknya nggak bikin macet karena selalu berhenti di halte dan nggak ada angkot brengsek di kota.

Saya menyusuri Jl. Kaliurang, ring road, Jl. Gejayan, kawasan UGM…wow, pilihan wisata kulinernya makin edyan! Nyaris semua kawasan ini dipadati dengan warung makan, resto, dan kafe yang mengundang selera. Para pedagang kaki lima yang dulu ditempatkan di belakang gedung BNI sekarang sudah dipindah ke area lembah UGM. Dulu saya sering makan ketoprak dan sop buah saat para pedagang itu masih jualan di sekitar Bundaran dan Gelanggang UGM.

Sorenya, setelah tidur siang barang satu jam, saya bantu-bantu sedikit untuk persiapan acara pengajian malam harinya. Malamnya selepas acara, teman saya Adi dan Dinar, istrinya, tiba di rumah sekitar jam 9 malam. Kami mengobrol sampai tengah malam di kebun rumah yang luas, bergosip soal teman-teman di pers mahasiswa dulu, tentang Jogja, tentang MU (!), sambil ditemani sepiring kari yang rasanya nggak jelas dan segelas secang hangat….hehe! Sayangnya saya malah nggak jadi ketemu Imam, teman saya yang lain yang lagi kuliah S-2 di UGM dan doyan ngobrol hal-hal yang “dalem”. Padahal kalau saya tinggal agak lama lagi mungkin akan ditraktir makan di warung SS (Spesial Sambal) sama teman saya ini karena dia juga bekerja di sana. 🙂

Soto Pak Gareng…masih gayeng! 🙂

Hari Minggu (13/5), sekitar jam 6 pagi saya sudah keluar rumah, jalan kaki menuju Jl. Mangkubumi. Buat apa lagi kalau bukan untuk sarapan 🙂 Dulu, paling tidak seminggu sekali saya biasa makan soto di warung Pak Gareng. Ternyata rasanya masih maknyus seperti dulu, harganya juga nggak mahal, cuma Rp 5.000 semangkok. Yang saya suka, “teman” untuk makan soto di sini banyak: ada sate ayam, sate telor puyuh, sate ati, dll. Pulangnya saya bawa lagi tiga bungkus buat orang rumah.

Semakin siang, makin tak jelas apakah saya bisa pinjam motor seharian atau ada teman yang bisa pinjemin motor atau nganterin saya ke mana-mana sekalian.

Lagi pula, susah juga bikin janji dengan teman-teman yang sekarang punya kesibukan masing-masing. Mau ketemu Tante Tya, teman curhat saya dulu sekaligus partner main badminton dan wisata kuliner, juga agak susah karena dia punya acara dengan keluarganya.

Seporsi gudeg dengan ayam dan telor…. 😛

Siangnya, saya sempat pinjam motor tante saya sebentar, dan saya gunakan untuk beli oleh-oleh bakpia dan keripik jamur, lalu saya main ke Jl. Wijilan untuk makan gudeg. Hmmm….gudeg paling enak memang di tempat asalnya. 🙂

Saya juga akhirnya bisa beli gudeg kalengan yang artikelnya pernah dimuat di Kompas tempo hari. Harganya Rp 25 ribu dan tahan hingga setahun! Tanpa bahan pengawet pula….

Ini dia gudeg kalengan itu…

Sorenya, rombongan keluarga saya sudah pergi duluan untuk nyekar ke pemakaman keluarga besar kami di kawasan Krapyak. Saya bilang saya akan menyusul karena sebelumnya saya harus ketemu dulu dengan Saptuari, entrepreneur Jogja yang bukunya saya edit dan akan diterbitkan oleh penerbit Mizan.

Akhirnya, teman SMA saya, Ferry, memastikan bisa menjemput saya. Kami langsung menuju kawasan Wonocatur, Bantul, persisnya ke warung Mas Kingkong, warung makan milik Saptuari.

Sepanjang jalan menuju ke sana Ferry banyak bercerita soal teman-teman SMA kami: ada yang jadi pengusaha mebel, ada yang kerja di Australia, ada yang jadi mualaf (!), ada yang hilang nggak jelas, dan ada juga yang entah kena penyakit apa sehingga jadi kurus kering kayak tengkorak. Termasuk tentang si Ferry sendiri yang setelah 12 tahun kuliah S-1 akhirnya lulus juga….hahaha! 😛

Di warungnya, sekitar 300 meter arah timur dari Pasar Wonocatur, Maguwo, Saptuari menyambut kami dengan hangat dan senyum lebar. Baru duduk beberapa detik dia sudah mempersilakan kami memilih mau makan apa. “Aku yang traktir!” begitu katanya. Di warung ini ada beberapa menu yang namanya lucu-lucu: Ayam Kriuk-kriuk, Bubur Ayam Siang Malam, Rawon Monggo Mawon. Saya pilih rawon karena siangnya saya sudah makan ayam campur gudeg.

Makan sore bareng Saptuari 🙂

Sambil makan sore, kami mengobrol banyak hal. Dari topik seputar penerbitan bukunya sampai tentang bisnis-bisnis yang dia miliki.

Beberapa tahun lalu saya pernah ketemu dengan alumnus UGM ini, tepatnya waktu saya mau wawancara tentang Kedai Digital untuk artikel di majalah Entrepreneur Indonesia tempat saya jadi wartawan, sekaligus bikin mug dengan foto saya dan mantan pacar saya (yang sekarang sudah jadi istri).

Beberapa tahun kemudian saat membaca buku Wirausaha Mandiri tulisan Rhenald Kasali, saya kaget karena menemukan nama Saptuari di situ sebagai juara dua tingkat nasional Penghargaan Wirausaha Muda Mandiri 2007 kategori alumni dan pascasarjana. Mantep tenan bos yang satu ini. 🙂 Teman saya Ferry malah nggak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena ketemu orang top dan minta difoto bareng…hahaha! 😀

Awas daging kingkong! 😀

Warung Mas Kingkong ini baru berdiri sekitar tiga minggu, dan ini hanya salah satu bisnis Saptuari. Bisnis awalnya adalah Kedai Digital, perusahaan yang memproduksi aneka barang cinderamata seperti mug, t-shirt, pin, gantungan kunci, mouse pad, foto dan poster keramik, serta banner) dengan hiasan hasil print digital.

Selain itu ia juga punya warung bakso dan perusahaan t-shirt bernama Jogist, yang desainnya berisi permainan kata-kata lucu khas Jogja.

Belakangan nama Saptuari juga selalu dikaitkan sebagai dedengkot Sedekah Rombongan, komunitas dunia maya yang sering mengumpulkan uang sedekah dan terjun langsung untuk memberikan sedekah tersebut kepada kaum miskin papa yang membutuhkan.

Puas makan dan ngobrol, saya diantar Ferry ke Krapyak untuk nyekar. Saat mengantar saya pulang selepas maghrib, kebetulan kami melewati Jl. KH. Ahmad Dahlan. Saya langsung ingat bahwa saya dulu sering makan oseng-oseng mercon di sekitar sini. Langsunglah saya minta diantar ke warung tersebut.

Warung Bu Narti ini memang warung oseng-oseng mercon pertama di Jogja. Berhubung masih kenyang, saya beli aja seporsi oseng-oseng mercon dan iso goreng buat dibungkus dan dibawa ke Bandung. Cukup bayar Rp 20 ribu untuk dua masakan itu. Rasanya harganya tidak terlalu banyak berubah sejak zaman saya kuliah dulu.

Buat yang nggak tahu, oseng-oseng mercon adalah masakan sandung lamur dan otot sapi yang diracik dengan menggunakan resep pedas dari cabai rawit dengan perbandingan untuk setiap daging 5 kg cabainya 1 kg, sehingga pedasnya sangat mantap bagi penyuka pedas seperti saya. Di Jl. KH. Ahmad Dahlan ini juga saya lihat sudah ada 4-5 warung oseng-oseng mercon lain selain milik Bu Narti, padahal dulu belum ada. Akankah oseng-oseng mercon menjadi kuliner khas Jogja selain gudeg? 😛

Konon ceritanya warung oseng-oseng mercon Bu Narti ini dirintis oleh ibunya yang mulai berjualan tahun 1960-an. Waktu itu, ibunya  memperoleh pemberian daging yang dicoba dimasak menjadi oseng-oseng yang pedas dan dijual, dan ternyata laku. Bu Narti lalu meneruskan berjualan di jalan KH Ahmad Dahlan, dari jam 5 sore sampai dengan jam 10 malam. Beberapa hari sebelum berangkat ke Jogja malah saya melihat liputan soal oseng-oseng mercon ini di RCTI.

Sarapan oseng mercon…hebatnya nggak mules meski makannya pagi-pagi 😀

Malamnya, sekitar jam 22.00, kereta Lodaya bergerak menuju Bandung. Tengah malam saya terbangun dan mengecek berita di Internet, lalu merasa sedih saat mengetahui MU gagal jadi juara Liga Inggris. 😦 Sedih juga karena sebenarnya saya lebih suka tinggal di kota asal ibu saya ini, tempat saya belajar, punya teman-teman yang baik dan hebat-hebat, dan menikmati masa-masa indah dan seru di kota gudeg ini.

Sedih juga karena saya belum puas menikmati kuliner Jogja. Sampai ketemu lagi nasgor Pak Edi, sambal bawang Bu Santi, angkringan Lik Man, dll. Untunglah saya bawa oseng-oseng mercon. Sampai di rumah, setelah bongkar-bongkar bawaan, saya memanaskan oseng mercon dan iso goreng yang saya bawa. Wah, masih enak rasanya. Isonya sangat gurih dan oseng merconnya masih pedas menggigit! Saya harus balik ke Jogja lagi! []

Pasar Tong Tong

Lama nggak main ke Cihampelas Walk (Ciwalk),Bandung, Jumat lalu (6/4) pas liburan saya main ke sana. Wah, di Ciwalk sekarang tempat makannya makin banyak dan penataan tempatnya makin oke. Terakhir kali main ke sana tahun lalu, foodcourt di bagian depannya belum jadi. Ciwalk sendiri memang ditata dengan konsep pedestrian dengan toko, resto, dan kafe di kanan-kirinya.

Habis Jumatan di masjid Cipaganti, saya dan istri berniat mencari tempat untuk makan siang. Pilihan kami jatuh pada resto bernama Pasar Tong Tong. Saya sih belum pernah dengar nama ini, tapi tampilan resto itu memang tergolong berbeda dibandingkan beberapa resto lain: suasana “jalanan” dan pasar tradisional.

Suasana pasar tradisional yang berdiri sejak September 2010 ini terlihat dari tata letak ruangan, dekorasi, dan tentu saja menu-menu yang ditawarkan. Menu yang ditawarkan adalah masakan-masakan Indonesia, seperti aneka nasi goreng, mie, nasi liwet, nasi uduk, sate ayam & kambing, iga bakar, bebek, ayam, cumi, lotek, karedok, nasi kuning, dan banyak lagi. Saya sampai puyeng mau pilih makan apa. 🙂 Menu makanan berat itu masih dilengkapi juga dengan aneka jajanan pasar, seperti kue ape, serabi, roti bakar, cendol, cingcau, dan banyak lagi.

Akhirnya kami memesan nasi uduk, nasi liwet, dan mie goreng. Minumannya kami pilih es cendol nangka dan es cingcau. Sambil menunggu pesanan datang, saya sibuk menikmati interior resto ini. Saya suka penataan tempat ini. Selain mengangkat konsep tempat makan kaki lima atau pinggir jalan, konsep Pasar Tong-Tong ini juga terinspirasi dari festival kuliner Indonesia terbesar di Belanda. Itulah sebabnya kita bisa melihat beberapa helai bendera Belanda digantung di sini.

Meja dan kursinya dibuat dari kayu dengan pernis warna cokelat kayu yang rapi. Di satu sisi ada papan tulis besar bertulisan menu di Pasar Tong Tong. Di satu sudut di samping kasir ada fasilitas Internet gratis berupa tiga unit komputer yang bebas dipakai pengunjung asalkan sedang tidak dipakai. Di sebelahnya, mereka juga menjual magnet kulkas dengan berbagai desain ala bungkus makanan, misalnya magnet mie instan, cokelat, dan banyak lagi.

Hebatnya lagi, di area kasir, mereka menyediakan charger ponsel berbagai merek bagi pengunjung yang baterai ponselnya hampir habis. Saya lihat ada charger untuk Nokia, BlackBerry, Samsung, dan iPhone. Dengan kapasitas ruangan dua lantai yang saya taksir mampu menampung lebih dari 100 orang, Pasar Tong Tong juga menyediakan free wi-fi dan PlayStation (PS). Yang terakhir ini saya cuma lihat tulisannya, nggak tahu juga di mana main PS-nya. 🙂

Pojok buat internetan gratis.

Sepuluh menit kemudian, pesanan kami diantar. Nasi uduk komplit pesanan istri saya enak juga. Sementara itu nasi liwetnya disajikan dengan panci kastrol, masih panas. Rasanya sih oke, tapi agak berbeda dengan nasi liwet yang pernah saya coba. Di sini nasinya disajikan agak lengket, dengan campuran suwir ayam, ikan teri, dan sayur labu di dalamnya. Nasi liwet yang pernah saya coba sih biasanya pakai putih telur atau telur rebus sekalian, dan lauknya itu disiram di atas nasinya. Kalau di Pasar Tong Tong ini semuanya sudah dicampur-aduk. Bakmi gorengnya? Mantap! Sudah begitu porsi bakminya banyak. Cukup deh buat 2 orang, apalagi makannya ditambah nasi putih. Pokoknya, semua makanan di sini menurut saya berasa enak ala kaki lima, bukan resto. Lha, apa bedanya? Ya beda lah, susah jelasinnya. Makanan kaki lima kan sering kali lebih enak. 😛

Nasi liwet.

Nasi uduk komplit.

Bakmie goreng.

Oke, suasana pasar tradisional dan warung kaki lima sudah didapat pengunjung. Lalu bagaimana dengan harganya? Menu yang saya pesan harganya masih wajar, apalagi ini kan tempatnya di mal. Bakmie goreng harganya Rp 19 ribu, nasi liwet Rp 16.500, nasi uduk komplit 14.500, es cendol nangka 10 ribu, dan es cingcau 11.500. Masuk akal, menurut saya. Lagian enak kok makanannya. Cocok buat kongkow bareng teman-teman atau keluarga. 🙂

Es cendol nangka dan es cingcau. Segar!

Sebenarnya saya masih pengen makan makanan ringan macam serabi, misalnya, yang cuma Rp 7.500 dapet 4 buah. Tapi saya udah telanjur kenyang. Jadi kapan-kapan saya harus makan di sini lagi. Habis kayaknya enak semua sih. 😛

Kambing Bakar Cairo

Sebenarnya saya jarang makan kambing, takut kolesterol melonjak bak kurs valuta asing yang nggak bisa ditebak. Tapi berhubung saya sering melewati resto Kambing Bakar Cairo, di seberang Hotel Horison, lama-lama iman saya pun luntur. Lagi pula, katanya resto ini menjanjikan daging kambing non kolesterol. Jadi, suatu hari sepulang kantor, saya pun menyambangi tempat ini.

Di daftar menu ada cukup banyak pilihan yang tersaji, tapi saya tetap memilih kambing bakar sebagai pilihan saya sore itu. Ada tiga ukuran kambing bakar yang bisa kita pilih dengan harga yang sesuai ukuran dagingnya: 250 gram (Rp 32 ribu), 350 gram (Rp 45 ribu) dan 500 gram (Rp 61 ribu). Saya pilih yang  paling kecil, soalnya duit saya nggak cukup. Tapi ternyata ukuran segitu itu cukupan kok buat saya. Tapi kalau mau puas, mungkin yang porsi  jumbo 500 gram tampaknya lebih mantap. Buat teman si kambing, saya juga memesan seporsi soto Mesir.

Sekitar 20 menit kemudian, si mas pelayan membawakan saya satu hot plate penuh kepulan asap daging kambing bakar yang masih panas dan menguarkan aroma lezat. Pas ditusuk dengan garpu dan pisau, wuih, dagingnya ternyata lembut banget. Sederhana banget sih tampilannya: daging kambing dengan sambal kecap. Tapi tanpa tambahan apa pun, daging kambing bakarnya sudah sangat enak dan empuk. Tinggal dicocol sedikit ke sambal kecapnya, dan…wuah, nikmat! Hebatnya, selain empuk, bau prengus yang biasanya muncul dari daging kambing tidak tercium sama sekali. Soto Mesirnya juga ajib, rempah-rempahnya sangat terasa. Rasanya mirip-mirip tongseng lah.

Kambing Bakar Cairo ini menyatakan bahwa menu kambing bakarnya non kolesterol, karena daging kambing yang digunakan diambil dari kambing berusia tiga bulan, sehingga kandungan kolesterolnya masih rendah serta dinetralisir dengan rempah-rempah dan dibakar kering, sehingga aman bagi penderita darah tinggi. Hmmmm!

Seporsi kambing bakar dan semangkuk soto Mesir.

Area makan di teras atas. Ada lagi sih di dalam, tapi enakan di sini 🙂

Makanan dan minuman yang ada di sini cukup bervariasi. Ada nasi goreng kambing, roti mariam (kayak roti cane itu, lho), soto mesir, tongseng kambing, gule kambing, dan bahkan ada Indomie (yang bisa dimakan dengan nasi plus tambahan kuah gule). Selain di sini, Kambing Bakar Cairo juga buka cabang di Jl. Gegerkalong Hilir No 25-27, Bandung. Hebatnya lagi, karena kelezatan olahan kambing bakarnya, mereka berani sesumbar menjual kambing bakar “terlezat ke-2 se-Timur Tengah”. Nggak tau deh siapa yang pertama :). Dan, ada tambahan tulisan di menunya: “Anda tidak ketagihan, jangan bayar, kami yang bayar Anda.”

Poster besar gambar makanan begini malah bikin tambah nafsu 😛

Daftar menu

Pokoknya, kambing bakar di sini wajib dicobain, deh! 🙂

Kuma Ramen

Jumat (27/1) lalu, geng KPK (Komunitas Pencinta Kuliner) di kantor saya kasak-kusuk pengen wisata kuliner lagi. Setelah absen 2 bulan, wajarlah kalau kami pengen makan-makan lagi. Kali ini, atas usul Dini, kami makan di Kuma Ramen, sebuah tempat yang menyediakan ramen maupun udon Jepang. Tongkrongan yang disediakan bagi penggemar kuliner Jepang ini berlokasi di Jl. Cimanuk 11 H, Bandung, persis di sebelah Hotel Vio, dan buka setiap pukul 17.00 – 23.00 WIB.

Katanya, sih, jam buka Kuma Ramen disesuaikan dengan warung-warung Ramen dari negara asalnya, yang memang hanya bisa ditemukan pada malam hari. Ramen adalah makanan panas berkuah dan pedas yang memang cocok disantap pada malam hari. Ada tiga menu utama yang ditawarkan Kuma Ramen, yakni ramen, udon, dan donburi.

Ngintip dapur Kuma Ramen 😛

Mang Ramen sedang beraksi...

Ramen disajikan dalam mangkuk putih dengan kuah miso yang gurih dan ramai dengan aneka topping, seperti tamago, irisan wortel, dan daun bawang. Ramennya yang kecil panjang bertekstur lentur dan kenyal. Menu lainnya di sini adalah niku udon. Semangkuk udon yang mengepul panas disajikan dengan kuah kecokelatan dan taburan topping berupa irisan daging sapi lembut, daun bawang, dan irisan wortel segar. Perbedaan ramen dan udon terletak pada jenis mie dan kaldunya. Bentuk mie ramen lebih tipis, berbeda dengan udon yang lebih tebal. Sementara kuah ramen rasanya lebih gurih dibandingkan udon yang memiliki cita rasa asin.

Bagi penggemar kuliner Jepang rasa pedas, Kuma Ramen menyediakan tingkat kepedasan sesuai selera. Jadi, jangan tanggung-tanggung untuk menambahkan sensasi sambal pedasnya dalam menu ramen. Mulai level 1 dengan pedasnya yang cukup, level 2-5 kadar pedas biasa, dan 6 ke atas untuk penggila pedas.

Saya sendiri pesan level 5, Mb. Windu level 10, dan Mb. Dhias o (!), sementara yang lain bervariasi dari 1-5. Kata pelayannya, pernah ada anak SMA yang tembus level 170 (!). Ah, masa sih? Asal jangan salah pilih level pedasnya, seperti cewek yang satu ini:

"Markimak! Mari kita makan, masbro!"

"Hwaaaah!! Puedeeezz! Bibirku jontor nih!!!"

Soal harga, makanan di sini tidak terlalu menguras kantong. Cukup mengeluarkan Rp 20 ribu – 25 ribu, Anda sudah bisa dapat makan dan minuman. Pilihan minumannnya sendiri tidak terlalu istimewa. Selain soft drink botolan, ada cangjo (kacang ijo) dalam kemasan dan ocha (teh hijau) yang menurut Prisca, “Kayak teh tawar biasa.”

Ini udon, mienya tebal.

Ini ramen, mienya tipis.

Buku menu Kuma Ramen.

Inilah komentar sebagian anggota KPK, skala 1-10, soal ramen di tempat ini:

Eka: saya kasi bintang 7 deh..enak tp asa blm terlalu maknyuss gitu xD

Prisca: Saya kasih 7,5 deh buat ramennya.

Dyah: ***** (bintang 5) karena pedasnya cuma di awalnya doang, ke sananya biasa aja. mienya jg biasa aja.

Mb. Windu: bintang 7 dah, memang rasanya biasa-biasa ya, maksudnya dikit bumbu, padahal aku dah kasih sambal level 10 tapi kyknya masih ada yang kurang gereget gituh…

Ari: saya kasih 6,5. kuahnya lumayan enak. tp ramen nya asa kurang nonjoks. pedesnya jg agak sdikit labil :))

Pupu: bintang 7, pedesnya ga bikin perut panas *ya iyalah cuman level 1 doang,,,:D

Dini: aku bintang 8 suka udon sama beef nya enyak…ps bgt hot dikasih ocha anget..

Mb. Dhias: bintang 5…yg kusuka malah Cangjonya….

Saya: kasih skor 6 deh. Pedasnya sih bolehlah, tapi bumbu2nya kok kurang nendang ya? Rasanya agak nanggung, gitu. Mungkin kalo ditambah bakso atau ayam kyk mie ayam gitu asik kali 😛

Ayam Betutu Khas Gilimanuk Bali

Hari Rabu lalu (25/1), saat menuju rumah Remy Sylado dan melewati kawasan Setiabudhi, Bandung, tanpa sengaja saya melihat plang nama dengan logo yang tak mudah dilupakan—seperti di atas. Pasalnya, saya pernah makan di resto tersebut akhir tahun 2009 lalu, saat saya pergi ke Bali untuk urusan kantor di Ubud Writers and Readers Festival. Atas rekomendasi seorang sopir taksi, saya mencicipi salah satu masakan khas Bali, ayam betutu, di restoran Ayam Betutu Khas Gilimanuk di Denpasar. Padahal saat itu saya dan Mbak Tutuk (mantan mbak bos saya) baru saja mendarat di Denpasar. Pulangnya, saya sempat beli lagi buat oleh-oleh.

Hari Sabtunya (28/1), saya melihat iklan satu halaman grand opening resto ini di koran Pikiran Rakyat. Saya langsung menyadari sesuatu: alam semesta sedang bersatu memberi tanda kepada saya untuk segera menyambangi tempat makan ini. Maka jadilah Sabtu sore itu saya dan istri menuju TKP.

Tempatnya ternyata cukup luas. Ditata dengan gaya campuran antara resto indoor dengan beberapa saung di halamannya yang rindang dan asri. Ditambah dengan alunan gamelan Bali, menambah nyaman suasana sore yang sejuk itu. Kami memilih duduk di meja di sebuah saung yang kosong. Saung lain yang ada lesehannya sudah penuh semua.

“Ini cabang dari Denpasar itu ya, Mas?” tanya saya kepada pelayan.

“Iya, betul, Pak. Ini baru buka kemarin.”

Suasana di resto ini.

Wow, jadi kami termasuk pembeli pertama! 🙂 Kami memesan setengah ekor ayam betutu (termasuk plecing kangkung, kacang goreng, dan sambal matah), nasi putih, lawar ayam, dan lima tusuk sate lilit ayam. Tak sampai 10 menit kemudian, pesanan kami sudah diantarkan ke meja. Tampilan semua menu pesanan kami sungguh menggoda. Saya cocol sedikit bumbu ayam betutunya dengan sate lilit ayam dan….lezatnya luar biasa! Persis sama dengan yang saya makan di Denpasar beberapa tahun lalu. Bumbu-bumbunya begitu meresap masuk sampai ke tulang-tulang ayamnya.

Total menu pesanan saya hari itu: ayam betutu, lawar ayam, sate lilit ayam. 😛

Betutu adalah masakan kebanggaan masyarakat Bali.  Biasanya dibuat dari daging bebek atau ayam yang dibungkus daun pisang, lalu dibungkus lagi dengan pelepah pinang sehingga rapat.  Bebek ditanam dalam lubang di tanah dan ditutup dengan bara api selama 6-7 jam sampai matang. Itu yang tradisional. Kalau yang di resto-resto biasanya dipanggang hingga ayam merona dan warnanya lebih segar, setelah dilumuri/diungkep dengan bumbu-bumbu seperti sereh, cabe, bawang putih, bawang merah, jahe, laos, kunyit, ketumbar, terasi, gula, dan garam yang diblender dan ditumis sebentar.

Plecing kangkung, lawar ayam, dan sate lilit ayam. Ajib! 😛

Ayam betutu 1/4 ekor, dengan sepisin sambal matah 😛

Sambil makan multitasking, saya nyicipin lawar ayamnya. Lawar adalah masakan tradisional khas Bali yang dibuat dari daging yang dicincang (bisa ayam, sapi, atau bahkan babi). Lalu dicampur dengan sayur-sayuran dan rempah-rempah lainnya. Rasa lawar ini aneka ria:  pedas, gurih, dan agak asem. Berhubung resto ini halal, jadi nggak usah takut rasa asem lawarnya dicampur darah hewannya. Kalau yang di Bali mungkin cara masaknya tidak persis sama. Yah, disesuaikan dengan lokasi, lah.

Sate lilitnya juga oke. Dagingnya tebal dan gurih rasanya. Dimakan “solo” atau dicocol dengan bumbu ayam betutu, atau dicocol sambal matah (dibuat dari potongan cabe, bawang merah, dan bawang putih yang masih segar), semuanya enak! Makan pedas sampai berkeringat di tengah suasana sore yang sejuk itu memang pas. Semua masakan yang saya pesan rasanya nendang banget. Kalau kata saya sih, ini bukan sekadar nendang, tapi malah spinning kick alias tendangan putar! (ini nggak lebay lho). 😀

Pelahap Maut dan ayam betutu yang sudah tandas! 😛

Salah satu sudut halaman resto ini.

Soal harga, menurut saya standar resto, deh. Setengah ekor ayam betutu dibandrol dengan harga Rp 50 ribu saja. Ini porsi dua orang, lho, karena yang seperempat ekor (porsi 1 orang) dihargai Rp 27.500. Itu sudah termasuk plecing kangkung, sambal matah, dan kacang goreng. Tambah nasi putih Rp 5 ribu per porsi. Lawar ayamnya Rp 20 ribu/porsi, dan sate lilitnya (ada juga sate ayam) harganya Rp 4 ribu per tusuk (dengan daging yang cukup tebal). Masih ada banyak menu lain yang belum saya coba di sini sih, seperti bebek betutu, nasi campur bali, telur bumbu bali, ayam bumbu rajang, dan banyak lagi. Tapi itu sih bisa nanti, karena saya pasti akan kembali ke sini lagi. Udah ketagihan! 😛

Ini buku menunya 🙂

Mie Jogja Pak Karso & Ayam Penyet Surabaya

Saya sudah kenal warung makan ini sejak lokasinya masih ada di dekat rumah kontrakan saya dulu di Jl. Buah Batu, Bandung. Sekarang lokasinya sudah menjadi restoran Laboga. Memang, sih, Ayam Penyet Surabaya masih ada di Laboga, tapi rasa masakannya sedikit berbeda. Cabang yang dulunya di Buah Batu sudah pindah ke Jl. ABC, Banceuy, sejak beberapa tahun lalu.

Saya sudah mencoba hampir semua menu di sini. Menu andalannya terdiri dari nasi goreng, mie goreng, mie godhog, ayam dan bebek penyet. Tidak seperti mie goreng Jogja Bengawan yang ada di kawasan Jl. Riau, dekat Taman Pramuka, di sini kokinya tidak menggunakan arang saat memasak. Tapi rasanya tetap sedap, kok. Nasi dan mie gorengnya gurih, suwiran daging ayam kampung dan baksonya pas, ditambah dengan taburan bawang goreng, kol, dan potongan cabe rawit (Sunda: cengek) yang bikin aksi makan jadi makin yahud dan hot.

Kalau Anda pesan ayam/bebek penyet, cobain deh sambelnya. Enak banget! Pedasnya lumayan nendang dan bisa bikin berkeringat. Kalau Anda tidak terlalu suka atau tidak biasa makan pedas, mungkin akan menjerit seperti vokalis Edane saat berteriak “Eddaaaaaaannn!!”, seperti bisa dilihat di video klip ini pada menit 2:21. Lumayan buat anget-anget kalau Bandung lagi dingin (sekali lagi: kalau). 🙂

Ayam penyet, mie goreng, dan tempe penyet.

Waktu ada teman saya dari Ukraina main ke Bandung tahun lalu, saya ajak juga ke tempat ini dan…makannya lahap banget! “Spageti bumbu Asia,” katanya saat makan sepiring mie goreng. 🙂

Bule gembul 😛

Harga makanannya nggak mahal. Nasi goreng, mie goreng, mie godhog, dan bihun goreng dibandrol dengan harga Rp 17 ribu. Kalau pakai daging bebek tambah seribu. Pakai daging sapi, tambah seribu lagi. Ayam penyet dan bebek penyet harganya cuma Rp 21 ribu. Untuk minum, tersedia aneka soft drink dan jus buah. Cobain sendiri, deh! 🙂

Ini buku menunya.

Info nggak penting: kadang saya mikir kenapa ya logo Mie Jogja Pak Karso, Ayam Penyet Surabaya, Mie Ayam Jamur Medan, dsb kok mirip (lihat foto paling atas). Ternyata ini ada hubungannya dengan resto Ayam Bakar Wong Solo (ABWS) yang pernah ngetop beberapa tahun lalu. Katanya sih, sejak Puspo Wardoyo, sang pemilik, mempromosikan (dan mempraktikkan) poligami, restonya mulai ditinggalkan pengunjung dan nyaris bangkrut. Jaringan resto ABWS pun bermetamorfosis menjadi banyak merek, di antaranya ya Mie Jogja Pak Karso, Ayam Penyet Surabaya, dan Mie Ayam Jamur Medan inilah (yang terakhir ini ada di Laboga dan beberapa foodcourt di mal-mal). Dan, kalau Anda tahu Iga Bakar Mas Giri, itu juga resto dari jaringan ini. Hmm, pantesan logo dan latar warnanya mirip-mirip, ya? 😛

Sop Konro Marannu

Tampak depan rumah makan Sop Konro Marannu

Ini salah satu tempat makan favorit saya di kawasan Jl. Riau (alias Martadinata), Bandung. Persisnya hanya beberapa puluh meter dari Taman Pramuka yang dikelilingi resto-resto enak itu. 🙂 Dulu awalnya sih saya cuma iseng mampir, penasaran karena sepertinya kalau lewat tempat ini jarang tampak sepi.

Rumah makan khas Makassar cabang dari Kelapa Gading ini menyuguhkan berbagai menu khas seperti coto Makassar, sop konro, konro (iga) bakar, es pisang ijo, atau es pallu butung, maupun menu yang jamak ditemui seperti nasi goreng. Cuma mie tik-tik yang belum saya coba (dan entah apa itu). Untuk minumannya standar saja: teh botol, es jeruk, dan soft drink. Saya sudah beberapa kali menyambangi Marannu dan sudah mencicipi sebagian besar menu yang disediakan di sini. Dan semuanya enak! 🙂

Konro bakar bersalut bumbu pedas yang nikmat 🙂

Waktu pertama pesan konro bakar, saya langsung terpesona melihat ukuran daging yang lumayan besar. Tapi memang menu di sini rata-rata berporsi besar. Cocok sekali buat saya 🙂 Kalau pesan konro bakar, kita juga akan disediakan semangkuk kuah coto. Jadi kita bisa ganti-ganti cara makan konronya: dengan bumbu pedas atau sesekali dengan kuah penuh rempah yang lezat. Untuk teman si konro bakar, sop konro, atau coto, kita bisa pilih pakai nasi atau buras (mirip lontong, hanya saja memasaknya menggunakan santan).

Melengkapi sop dan coto, tersedia dua jenis sambal yang sangat pedas. Kedua sambal ini dibedakan dengan teksturnya, salah satunya halus dan cocok untuk teman bersantap Coto Makasar. Sementara sambal dengan tekstur yang kasar lebih cocok untuk sajian sop atau iga bakar. Makanan dengan bumbu dan rempah berlimpah model begini rasanya begitu pas buat menghangatkan tenggorokan. Waktu saya lagi pilek dan makan coto Makassar dan sop konro, tenggorokan langsung terasa hangat dan rasa-rasanya kok pilek saya cepat sembuh 🙂

Makan di sini jangan jaim pake pisau & garpu...patahkan iganya dengan tangan! 😛

Konro bakar plus nasi dan kuah rempah. Sluurp 😛

Untuk makanan yang lebih ringan dan manis, di sini ada es pisang ijo dan palu butung. Keduanya sama-sama menggunakan pisang. Bedanya, es pisang ijo menggunakan pisang raja, sementara palu butung menggunakan pisang gepok. Keduanya dipadukan dengan bumbu sumsum dengan rasa yang menunjukkan cita rasa Makasar. Ditumpuk dengan es serut. Rasanya manis dan segar. Dan porsinya itu bisa buat dua orang, lho. 🙂

Ini dia es pisang ijonya. Seger banget! 😛

Bagaimana dengan harganya? Menurut saya sih lumayan mahal. Konro bakar dan sop konro dihargai Rp 37 ribu, nasi gorengnya 25 ribu, palu butung dan pisang ijo 14 ribu, sementara nasi putihnya 5 ribu. Yang agak menyebalkan, mereka tidak mencantumkan harga makanan dan minuman di daftar menu. Dan mereka hanya menerima uang tunai. Jadi, untuk makan berdua di sini, paling tidak bawa duit Rp 100 ribu, deh. Secara keseluruhan, tempat ini oke punya. Kalau lagi agak banyak duit, saya pasti selalu balik ke sini. 🙂

Daftar menu...sayang gak mencantumkan harga.

Ajakanji cappo! (bahasa Makasar untuk “selamat makan”) 😛

Nanny’s Pavillon: The Best Pancake in the City

Suasana di Nanny's

Saya sudah beberapa kali mampir ke Nanny’s Pavillon. Alasannya apa lagi kalau bukan menunya yang yahud. Ini restoran keluarga di Bandung yang menyediakan menu utama panekuk (pancake) dan waffle paling enak di kota ini (oke, selain di sini saya cuma pernah makan pancake di resto Etcetera, tapi itu bukan tandingan Nanny’s).

Pertama kali masuk ke resto ini, saya langsung suka dengan interiornya: dekorasi gaya teras rumah Eropa dengan kursi-bangku putih dari kayu, dominasi warna hijau dan putih di wallpaper dindingnya,  lengkap dengan lampu dan mug-mug yang digantung di dinding. Dapur terbuka juga turut memberikan suasana homy. Para pelayannya juga pakai seragam (yang laki malah mirip John Pantau).

Menu utama yang berupa pancake dan waffle biasanya tinggal digonta-ganti topping-nya saja. Pancake atau waffle sebenarnya hanya adonan yang terbuat dari tepung terigu, telur, dan gula. Di adonan inilah rasa yang menentukan. Kalau bikin adonannya enak, berarti itu memang pancake enak. Sebab, selebihnya hanya ditambahkan sirup mapple, apel, bluberi, stroberi, pisang, peach, kentang, dan sebagainya, tergantung selera.

Strawberry pancake. Makanan enak dan buku keren memang "semriwing" rasanya:)

Kalau makan di sana, coba dulu makan secuil kue pancake-nya, yang belum “ternoda” sirup dan es krim. Pasti enak. Gara-gara makan di Nanny’s, saya jadi tahu bahwa pancake tidak selalu harus manis. Ada juga menu pancake “asin”, yang topping-nya daging asap dan keju (saya lupa nama menunya).

Buku menu di Nanny's

Di luar menu pancake dan waffle, saya pernah mencicipi Baked Rice (rasanya aneh, agak pahit), spageti (cobain deh Smoked Brisket Spagetti, enak juga), dan English Breakfast (yang di resto ini dijuduli My Cousin’s European Breakfast). Nama yang terkahir ini sebenarnya hidangan sederhana: telur mata sapi (sunny side up), sejumput sayur kacang, jamur goreng, sepotong tomat bakar, sosis/daging panggang, dan kentang panggang berlumur keju leleh. Saya sih suka menu yang ini.

English breakfast itu 🙂

Selain pancake dan waffle, Anda juga bisa menikmati sandwich, pasta, dan steak. Untuk hidangan pasta, bolehlah coba Uncle Harold Steak Fettucini. Pasta fettuccini dengan saus krim serta potongan daging dengan brown sauce di atasnya. Dagingnya cukup tebal, dan paduan saus krim dan brown sauce terasa menyatu sempurna di mulut. Tapi sayang, harga steak-nya mahal, di atas 100 ribu…dan saya nggak suka harga segitu 🙂

Markimak: mari kita makan! 🙂

Resto ini terletak di Jl. Riau, Bandung, tak jauh dari Taman Pramuka yang ada air mancurnya itu. Di sekitar sini memang banyak resto yang enak punya. Bahkan persis di depan Nanny’s, ada food court asyik yang namanya Food Market. Di sini menunya juga macam-macam: sate, nasi goreng, soto, iga bakar, nasi rawon, dan banyak lagi. Dan persis di sebelah Nanny’s juga ada FO (Factory Outlet) yang bernama Black Market (tapi menurut saya sih koleksi pakaian di sini nggak ada yang keren). Kalau masih belum kenyang, silakan mampir ke Food Market di depannya, atau menjelajahi resto-resto lain di sekitar situ: Sop Konro Marannu, Bakmi Jogja, Sagoo, Bebek Garang, Dapoer Penyet, Cafe Bali, Iga Bakar Buncit, Iga Bakar Mas Giri, dan banyak lagi.

Pancake dan spageti

Blueberry Cheese Roll Pancake, yaitu pancake gulung dengan krim keju, saus bluberi, dan es krim vanilla.

Kisaran harga makanan dan minuman di Nanny’s Pavillon mulai dari Rp 25 ribu (pancake dan waffle) – Rp 137 ribu (steak), sementara minuman (aneka jus, lemon tea, lemonade, dll) dari Rp 9000 – Rp 40 ribu. Biasanya sih saya pesan lemonade, yang bisa diisi ulang satu kali. Jadi bisa untuk minum berdua…hehehe 🙂 Secara keseluruhan, ini resto yang oye punya buat makan bareng teman-teman maupun keluarga.

Bebek & Ayam Panggang Mr. Tarwood

Memang luar biasa rasanya kalau kita lagi jalan-jalan dan nggak sengaja nemu warung makan yang asyik punya. Ini saya alami Jumat lalu (14/1) di Bekasi. Ceritanya, Jumat pagi itu saya pergi ke Jakarta untuk rapat SPO (baca: jalan-jalan). Seperti biasa, rombongan kami mampir di Rest Area km 42 untuk sarapan. Biasanya kami makan di … ehm, saya lupa nama warungnya. Orang kantor saya yang sering rapat ke Jakarta pasti tahu. Yang jelas ada di seberang toilet, jalur bus dan truk lewat di bagian belakang Rest Area itu.

Setelah beberapa bulan tidak mampir di situ, ternyata tempatnya sudah agak berubah. Lebih luas dan lebih bersih, walaupun masih dikasih ‘bonus’ debu kendaraan-kendaraan besar yang lewat. Saya dan Mahdi, editor DAR! yang ngaku-ngaku mirip Justin Bieber obesitas, memilih nyobain CFC yang notabene gerai baru di situ. Saya beli nasi ayam pepper dan dia pesan nasi goreng (ya’elah, ke CFC kok menunya nggak banget!). Untung nasi ayam saya rasanya nggak parah-parah amat. Masih mendingan deh ketimbang nasi gorengnya Mahdi, yang dimakan sambil pasang ekspresi sakit hati.

Seperti biasa pula, pesanan saya selalu datang duluan. Mas Barhen yang pesan lotek di warung sebelah terpaksa menunggu agak lama, karena si pelayan lupa pesanannya. Kami memanggil si pelayan katro itu untuk menanyakan pesanan lotek dan pisang goreng (nah, yang terakhir ini menu cuci mulut saya). Si pelayan pun kembali ke dapur dan, berani sumpah, sepertinya saya mendengar dia bertanya ke ibu-ibu di dapur, “Emangnya kita jualan lotek?”

Waktu lotek pesanan Mas Barhen diantar, ternyata sayurnya terasa hangat, alias baru saja direbus. Gerombolan tukang makan seperti kami mudah marah-marah kalau urusan makan aja nggak beres. Saya juga terpaksa ngingetin si pelayan yang lupa sama pisang goreng pesanan saya. Ternyata, dia harus ambil/beli dulu pisang goreng saya entah di mana, yang jelas bukan di warungnya sendiri. Walhasil, ketika melanjutkan perjalanan ke Jakarta, di mobil kami sibuk mencaci-maki si pelayan. Setelah capek mencaci-maki, sisa perjalanan kami isi dengan tidur…hehehe.

Singkat cerita, setelah menyelesaikan agenda kami di Jakarta, kami menuju Bekasi dengan tujuan menengok Mizan Book Corner (MBC) di sana. Keluar dari pintu tol Bekasi Timur, menyusuri Jl. A. Yani yang lebar, kami tak sengaja menemukan Jl. H. Juanda, jalan tujuan kami. Sebenarnya kami juga sambil cari-cari tempat makan yang kira-kira enak, soalnya kami belum makan siang. Di seberang gedung bekas kantor Wali Kota Bekasi, kami melihat plang nama ini:

Kami malah tambah kaget waktu ternyata MBC ada di kompleks ruko ini. Wah, malah kebetulan deh! Makin ketawa lagi waktu melihat ada warung yang namanya Warung Engkong di belakang ruko MBC. Jadi, setelah nengok toko buku mungil ini, kami langsung jalan ke belakang.
Tadinya kami mau cobain makan di Warung Engkong, soalnya menunya banyak banget. Selain menu ‘lokal’ macam nasi goreng dan aneka mie, ada juga menu macam burger, hot dog, dan yoghurt. Hahaha…si Engkong emang top banget dah!
Saya dan Mahdi langsung bersekongkol pengen beli burger buat dimakan di jalan nanti. Tapi, hampir persis di depannya, ada warung makan Pak Tarwud. Membaca menunya, kami langsung tertarik mampir.
Secara lokasi, warung ini sebenarnya tidak menarik. Lokasinya ada di bekas bioskop yang dibongkar, jadi sisa-sisa reruntuhan masih ada di sekitarnya. Bagian dalam warung ini juga tampak menghitam, mungkin karena sudah lama dipakai dan jarang dibersihkan. Tapi kadang-kadang pusaka kuliner memang tersembunyi di tempat-tempat yang tampak tidak menjanjikan.
Waktu itu sekitar jam 4 sore dan kami belum makan siang. Dengan kata lain: nafsu kami sedang tinggi-tingginya! Tambahan lagi, jam segitu udah jauh dari jam maka siang, jadi warungnya agak sepi dari serbuan orang-orang kantoran di sekitar situ. Sebenarnya ada beberapa menu di warung ini, dari ayam, bebek, burung dara, dan lele.
Rata-rata kami memesan bebek panggang dan es kelapa muda, dengan tambahan lalap, sate ati ampela versi jumbo, sayur asem, dan es kelapa muda. Semua menu daging dipanggang dan dibaluri bumbu yang lezat.
Kelapa mudanya disajikan langsung dengan buahnya, tinggal cemplungin es batu aja. Nasinya kami pilih nasi uduk. Begitu semua pesanan diantar, pembantaian bebek pun kami mulai.

Ini tahu dan tempe bacemnya. Sori, udah kegigit!

Ukuran sepotong bebek di sini cukup besar, bumbunya pun pas, tidak terlalu pedas dan tidak terlalu manis. Bumbunya juga lumayan meresap ke daging bebek. Dan nasi uduknya, wuih, gurih banget!

Si penjual juga nggak pelit menaburi potongan-potongan telur dadar di atas nasi. Sambalnya ada dua jenis, saya nggak tahu apa bedanya, yang jelas semuanya enak, pedasnya pas.

Kalo sudah begini, makin ganaslah kami makan. Tahu dan tempe bacem pesanan Mahdi juga nggak biasa ukurannya, jumbo kayak yang pesan. FanFan, yang selama ini saya anggap keterlaluan kalau makan (keterlaluan kecil porsi makannya!), ternyata bisa juga nambah. Tadinya dia cuma nanya, “Ada yang mau tambah nasi nggak?”

Saya kira dia mau ngasih nasinya dia karena udah kenyang. Nggak taunya malah dia mau pesan nasi seporsi lagi, cuma nasi uduknya dibagi dua sama… saya, pastinya. Orang yang makan sedikit tapi minta nambah adalah indikator yang sah bagi makanan lezat. Sepanjang proses pembantaian bebek, Lusi sibuk memotret aksi kami.

Profesi lawas: editor toko roti

Puas makan, setelah leyeh-leyeh sebentar, kami membayar di kasir (makan berlima cuma habis 115 ribu, dengan bebek sebesar itu!), kami kembali ke MBC.

Sementara Mas Barhen mengunci diri untuk ‘bertapa’ di sebuah ruang di dalam toko buku, saya sibuk melirik-lirik gerobak roti yang lagi lewat di halaman ruko. Ah, nggak taunya itu roti Tan Ek Tjoan, merek roti lawas itu lho.

Sebenarnya saya lebih akrab dengan roti Lauw, tapi yang ini pun oke. Berhubung saya masih punya beberapa botol selai di rumah, tapi tidak ada rotinya, jadilah saya beli roti tawarnya, sekalian saya pinjam gerobaknya buat numpang foto.

Setelah itu kami pun kembali berkendara pulang ke Bandung. Sepanjang jalan, kami sibuk memuja-muji masakan di warung Pak Tarwud, dan tentunya kembali mencaci pelayan di warung Rest Area 42 yang tidak hafal apa yang ada di dalam menunya.

Kami juga sepakat menjuluki warung ini dengan sebutan “Mr. Tarwood” sebagai tanda hormat dari kami kaum Pelahap Maut…hehehe!

Pose brutal saat menenggak habis es kelapa muda yang segar itu.

Yang jelas, kalau kapan-kapan pas rapat di Jakarta nanti, kami sudah bersumpah akan mengunjungi warung Mr. Tarwood lagi. Oke, sampai ketemu di warung berikutnya! 🙂

Suasana makan bebek panggang yang nikmat itu.

NB: berhubung sudah kenyang, saya dan Mahdi tidak jadi beli burger di warung Engkong. Toh, kami masih akan mampir ke Rest Area 57… yang banyak makanan enak itu 🙂

Oya, ini daftar menu di warung itu ya:

Murah, kan?