Tag Archives: buku travel

Macam-Macam Buku Travel

Sejak maskapai murah alias budget airlines bermunculan bak tukang jajanan di sore hari sekitar awal tahun 2000-an—hampir berbarengan dengan momen makin meningkatnya persentase kelas menengah di Indonesia, banyak orang kita jadi bisa melancong ke luar negeri dengan biaya relatif terjangkau. Beberapa tahun lalu bahkan beberapa maskapai sering mengeluarkan harga promosi Rp 0 atau Rp 10 ribu untuk beberapa rute—sekarang sih sudah jarang.

Kemudian, dikompori oleh buku berjudul Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1000 Dolar karya Marina Silvia K. (2008), demam backpacking pun makin terlihat. Dan sejak itu pula buku-buku travel bermunculan—termasuk “trik” mencantumkan angka biaya yang tampak murah untuk perjalanan sekelas negara yang dituju. Ini masih ditambah dengan makin dikenalnya situs www.hospitalityclub.org dan www.couchsurfing.com. Kedua situs tersebut adalah tempat yang menghubungkan sesama pelancong atau backpacker di seluruh dunia. Para anggotanya siap menjadi tamu (guest) sekaligus tuan rumah (host) dari rekan sesama pelancong dari mana pun di seluruh dunia.

Bagi yang kurang paham tentang traveling/backpacking, atau yang sering main ke toko buku dan melihat buku-buku panduan hemat jalan-jalan ke negara ini-itu, Anda mungkin mengira bahwa buku travel itu hanya buku-buku panduan perjalanan (travel guide books). Anggapan ini bisa dipahami, mengingat buku-buku jenis itu memang sedang tren dan nyaris didominasi oleh satu atau dua penerbit saja. Plus, diberi judul yang lumayan “sensasional” seperti misalnya Rp 500 ribu ke Negara X.

Padahal, buku-buku travel tak cuma buku panduan. Menurut Wikipedia, tulisan-tulisan tentang travel (travel writing) setidaknya dibagi menjadi beberapa jenis: (1) guide book; (2) travel book; (3) travel literature; dan (4) travel journal.

Namun, menyandarkan pemahaman hanya pada pengotak-kotakan seperti di atas malah bikin pusing dan bukan pendekatan yang enak untuk memahami jenis-jenis buku travel. Apalagi, yang namanya travel literature bukan baru sekarang-sekarang saja ditulis. Sejak berabad-abad lalu pun catatan perjalanan sudah dikenal orang. Salah satu yang legendaris adalah Ibnu Bathutah (1304 – 1368), seorang petualang asal Maroko yang pernah berkeliling dunia dan menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku berjudul  Rihla.

Jadi, untuk konteks buku-buku travel yang terbit di Indonesia, saya akan menyederhanakan sedikit supaya lebih mudah dipahami. Cukup dibagi dalam dua kelompok saja: buku panduan (guide book) dan non buku panduan.

1. Buku panduan perjalanan (travel guide book)

Buku jenis ini sangat mudah ditemukan di toko-toko buku. Kalaupun judul serinya sama, itu tak lain karena buku jenis ini yang terbitan lokal banyak yang diterbitkan oleh satu penerbit yang sudah menancapkan citranya sebagai penerbit buku-buku panduan perjalanan. Selain buku terbitan lokal, buku panduan perjalanan yang impor juga ada. Yang paling terkenal tak lain adalah buku-buku Lonely Planet, penerbit buku panduan perjalanan yang bermarkas di Melbourne, Australia.

Sejauh pengamatan saya, ada beberapa perbedaan “menarik” antara buku terbitan lokal dan terbitan Lonely Planet. Silakan disimak:

  • Buku terbitan Lonely Planet sangat detail, termasuk denah dan peta. Data-data dan informasi di dalamnya juga diperbarui (kalau tak salah) setiap dua tahun: apakah restoran dan hotelnya sudah pindah atau bangkrut, apakah tarif transportasinya masih sama atau sudah naik, apakah rute kereta apinya sudah dihapus atau masih ada, dan sebagainya. Lonely Planet Thailand milik saya, misalnya, adalah edisi ke-14. Pertama diterbitkan tahun 1982 dan saya memiliki edisi Februari 2012. Tampaknya edisi yang sekarang-sekarang ini memuat sedikit lebih banyak foto berwarna. Kalau masih belum cukup, kita juga bisa mampir ke situs Lonely Planet untuk topik dan pembahasan lebih jauh. Selain itu, dari buku-buku Lonely Planet saya belajar cukup banyak tentang bagaimana menulis panduan perjalanan yang asyik, menemukan banyak kata/diksi baru dan gaya deskripsi yang yahud. Buku ini menurut saya juga layak dikoleksi. Saya pernah bela-belain beli Lonely Planet Indonesia bekas terbitan 1980-an di pasar loak—bukan karena saya sedang ingin jalan-jalan keliling Indonesia (lagipula, tentu saja banyak data yang sudah kedaluwarsa), tapi saya sangat ingin tahu apa dan bagaimana orang Barat menulis tentang Indonesia, juga ingin tahu kata-kata tertentu yang berhubungan dengan Indonesia. Saya ingin tahu lebih banyak tentang tempat-tempat yang saya kunjungi, bukan cuma ingin belanja atau wisata kuliner. 😛
  • Bagaimana dengan terbitan lokal? Tentu sangat berbeda dengan buku-buku Lonely Planet. Buku lokal biasanya merupakan perpaduan antara memoar dengan panduan (guides) dan tips. Buku-buku ini dikemas cukup praktis dengan harga yang sangat terjangkau, biasanya di bawah Rp 50 ribu. Bandingkan dengan Lonely Planet yang rata-rata di atas Rp 200 ribu (namanya juga buku impor). Travel guide terbitan lokal hampir selalu punya cover yang ramai, dilengkapi dengan teks-teks pointers berisi tips dan trik (ini menyesuikan dengan karakter pembaca Indonesia kebanyakan yang “butuh diyakinkan”). Ada juga sih satu buku travel guide yang cover-nya sepi teks seperti buku-buku luar negeri, yaitu Backpacking Hemat ke Australia karya Elok Dyah Messwati yang diterbitkan secara indie. Biasanya, buku panduan terbitan Indonesia adalah memoar penulisnya. Ini dibuktikan dengan gaya tulisan tutur yang memakai kata ganti “saya”, lalu ditulis dengan sistematika mengikuti urutan perjalanan penulisnya. Artinya, rute yang tidak dilalui penulis biasanya ya tidak ditulis. Dicetak di kertas koran atau paling pol bookpaper, sehingga kurang bagus untuk foto. Kelebihannya, buku panduan yang ditulis oleh penulis lokal jelas menggunakan perspektif orang Indonesia, sehingga pembaca juga disuguhi informasi soal lokasi masjid, makanan halal, kedubes/konjen RI di negara tujuan, cara membuat visa, dan sebagainya. Kelemahannya, informasi dalam buku panduan lokal tidak diperbarui secara rutin, sehingga pembaca juga mesti pandai-pandai menyikapinya. Juga, penjudulan yang “bombastis” mungkin bisa membuat pembaca yang kurang cerdas dan kritis akan tertipu oleh harapan bahwa dengan beberapa ratus ribu atau beberapa juta sudah bisa keliling negara-negara tertentu.

Buku panduan perjalanan, baik lokal maupun impor, biasanya hanya saya beli saat saya berencana backpacking ke negara-negara tertentu. Saya tidak punya buku panduan ke Australia, misalnya, karena saya belum punya rencana ke sana. Bukan berarti lantas saya jadi terlalu bergantung pada buku-buku ini, lho. Saya menggunakan travel guide books sebagai panduan dasar, sebagai bagian dari persiapan.

Sumber lain? Bisa dari Internet, dari travel blog, dari milis atau grup Facebook yang berhubungan dengan backpacking/traveling, majalah Traveler, My Trip, atau National Geographic, teman-teman yang pernah melancong ke negara tujuan saya, dan banyak lagi. Saya juga tak wajib mengikuti rute yang ditawarkan di buku-buku tersebut. Saya sendiri yang menentukan mau ke mana dan bagaimana caranya. Ngomong-ngomong, kenapa National Geographic? Majalah ini memang tidak khusus membahas soal perjalanan, tapi tulisan-tulisan di dalamnya sangat memikat dan memperkaya wawasan bagi orang yang menyukai topik-topik tentang dunia, alam, fotografi, biologi, sosiologi, dan antropologi. Tidak cocok buat turis hedonis yang cuma pengen tahu soal tempat belanja, tentu saja. 😛 Khusus tentang perjalanan, NGI (National Geographic Indonesia) menerbitkan majalah Traveler. Beberapa majalah lain biasanya saya baca atau unggah dari Internet.

Tentu saja tak semua traveler/backpacker suka atau butuh buku panduan perjalanan, apalagi mereka yang sudah tergolong “hardcore” atau mungkin yang terlalu idealis. Tapi, seperti kata penulis Paul Theroux, “Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukanlah perjalananku.” Cara saya mempersiapkan sebuah perjalanan belum tentu cocok diterapkan oleh orang lain. Saya hanya memilih yang paling pas buat saya.

Saya sependapat dengan Earl, seorang backpacker dan travel blogger (www.wanderingearl.com) favorit saya, bahwa tidak seharusnya kita terlalu bergantung pada apa pun—baik gadget maupun buku panduan—yang mengganggu interaksi sosial alamiah kita dengan warga lokal atau sesama pelancong. “Before we all became so caught up with technology, we instinctively spoke to those around us. Now we often just head back to the hostel in the evening, sit on a cushion or at a table or lie in bed and type away on our keyboards or mobile phones, keeping our heads down as we spend hours surfing the internet just for the fun of it.

2. Buku travel literature/memoar/kumpulan cerita/catatan perjalanan

Berhubung kita tidak bisa hanya bersandar pada pengertian travel writing versi Wikipedia, maka saya mencoba meringkas penjelasan soal jenis buku travel non guide book. Nah, untuk kategori yang ini, belakangan memang semakin banyak judul yang bermunculan, dan menurut saya ini fenomena yang bagus dan menarik sebagai counter bagi buku-buku panduan perjalanan yang sudah sangat banyak. Untuk karya penulis lokal, menurut saya belum ada yang bisa mengalahkan buku-buku Agustinus Wibowo (Selimut Debu dan Garis Batas), yang berkisah tentang perjalanannya menyusuri negeri-negeri yang jarang dikunjungi turis biasa: Afghanistan, Uzbekistan, Turkmenistan, Tajikistan, dan Kazakhstan—perjalanan yang menurut saya megah, magis, dan reflektif.

Beberapa lagi yang layak disebut adalah karya Windy Ariestanty Life Traveler, Tales from the Road-nya Matatita, Perjalanan ke Atap Dunia-nya Daniel Mahendra, dan Two Travel Tales-nya Ade Nastiti. Saya bahkan berani memasukkan novel legendaris Balada Si Roy ke dalam kelompok ini. 🙂 Tak boleh lupa disebut adalah buku Meraba Indonesia karya Ahmad Yunus, di mana pembaca diajak bertualang keliling Indonesia naik motor dan menatap wajah asli bangsa ini dari jarak dekat.

Buku karya Sigit Susanto, yaitu Menyusuri Lorong-Lorong Dunia (sudah ada 3 jilid), malah lebih “aneh” lagi: walaupun termasuk dalam genre buku catatan perjalanan, isinya tak seperti buku-buku catatan perjalanan pada umumnya yang hanya mendeskripsikan kisah perjalanan penulisnya—unsur fun-nya saja. Aspek pengetahuan yang ditawarkan buku Sigit tidak seperti buku travel lain yang biasanya berisi informasi tempat wisata, harga makanan, penginapan murah, dan bumbu-bumbu penyedap lain. Dalam buku karya Sigit, baik dari jilid 1 hingga jilid 3, unsur guide-nya nyaris tidak ada dan diganti dengan informasi yang padat dan kaya tentang sastra dan kebudayaan di negara-negara yang ia kunjungi.

Beberapa buku catatan perjalanan bergaya jurnalistik yang bertema traveling juga nikmat dibaca, misalnya Haji Nekat karya Haji Bahari (wartawan Jawa Pos) atau yang baru-baru ini terbit seperti Segenggam Cinta dari Moskwa karya M. Aji Surya, mantan diplomat RI di Rusia.

Untuk karya terjemahan, buku The Geography of Bliss (yang tebalnya sekitar 500 halaman) konon cukup laris dan sudah menginjak cetakan ketiga dalam waktu beberapa bulan. Buku karya Eric Weiner ini adalah campuran aneh tulisan perjalanan, psikologi, sains, dan humor. Ditulis berdasarkan riset tentang kebahagiaan di sepuluh negara yang dikunjungi Weiner—padahal konsep “kebahagiaan” saja sudah cukup absurd dan relatif, tapi di situlah menariknya buku ini.

Kalau mau lebih “jadul” lagi, baca juga karya legendaris Ibnu Bathutah, “backpacker” abad pertengahan, yang berjudul Rihlah Ibnu Bathuthah. Yang ini sudah ada terjemahan bahasa Indonesianya. Saya juga membaca buku-buku travel bagus karya penulis asing dalam bahasa aslinya. Beberapa di antaranya adalah karya Paul Theroux The Great Railway Bazaar tentang perjalanan dengan kereta api dari Eropa hingga Asia, atau buku Pico Iyer The Global Soul: Jet Lag, Shopping Malls, & the Search for Home.

Beberapa penerbit di Indonesia cukup kreatif dengan mengembangkan tema buku travel, misalnya kumpulan kisah cinta para traveler/backpacker, cerita-cerita gokil saat melancong ke luar negeri, jalan-jalan sambil wisata kuliner di berbagai kota, dan aneka kumpulan tulisan lain yang berhubungan dengan traveling.

Sifatnya ringan dan tak berpretensi bikin kening berkerut. Untuk kelompok ini, bisa disebut beberapa judul seperti TraveLove, Norak-Norak Bergembira, The Journey 1 & 2, seri Travelicious, Nadrenaline, Travellous, dan lain-lain. Yang paling terkenal dan paling laris dari jenis buku ini tentu saja The Naked Traveler karya Trinity. Belakangan ini ada juga buku travel yang diterbitkan secara indie dan ditulis dengan gaya bebas dan absurd, judulnya  Whatever I’m Backpacker bikinan Mochamad Takdis.

*****

Begitulah. Meluaskan jenis bacaan tak cuma bermanfaat untuk menambah wawasan, namun juga bisa untuk memperkaya diri dengan diksi dan bisa menjadi sarana belajar menulis. Apalah artinya melakukan perjalanan kalau tak direfleksikan dan dibagi dalam bentuk tulisan. Jhumpa Lahiri bilang,  “That’s the thing about books. They let you travel without moving your feet.” Tapi, kutu buku yang juga doyan jalan-jalan menurut saya bisa lebih kaya daripada “sekadar” membaca: dunia tak hanya diketahui lewat buku, tapi sekaligus dijelajahi secara “live”. Don’t you have even the slightest dream and desire to see the world after reading a book? I bet you do! 😛

Nah, begitulah sekilas pandang tentang buku-buku travel. Asyik, bukan, melihat banyaknya jenis buku travel yang bisa kita baca? Bahkan buku travel pun punya banyak ragam tema yang sangat menarik. Tak melulu soal bagaimana pergi ke negara ini-itu dengan modal cekak. Tinggal sesuaikan saja dengan minat baca kita. Oh ya, tulisan ini bukan teori, lho, tapi cuma pandangan saya pribadi. Itu saja. 🙂