Tag Archives: catatan perjalanan

Haji Nekat: Lewat Jalur Darat

Judul: Haji Nekat: Lewat Jalur Darat

Penulis: Haji Bahari

Penerbit: Pena Semesta (imprint JP Books)

Terbit: Maret 2012

Tebal: 494 halaman

Saya menjumpai buku ini di Gramedia di rak buku baru. Pertama, saya tertarik karena judulnya kocak, agak “norak”. 😛 Sampulnya yang sewarna dengan bungkus nasi rames pun lumayan enak dilihat di mata saya. Membaca sampul belakang dan membaca sedikit isi buku yang kebetulan tak dibungkus plastik, saya langsung tertarik beli. Saya doyan baca buku model begini. Tanpa pikir panjang, saya ambil satu untuk dibawa ke kasir.

Buku ini berisi kumpulan tulisan karya wartawan Jawa Pos, Haji Bahari, yang pernah dimuat secara berseri di koran tersebut. Ceritanya, Bahari diberi kepercayaan melakukan ibadah haji melalui jalur darat dan menuliskan laporannya secara rutin—backpacking way. 🙂 Perjalanan itu dimulai dari Surabaya tanggal 5 Agustus 2011 dan berakhir di Makkah pada 1 November 2011. Bahari melewati 11 negara sebelum mencapai Makkah, yaitu Malaysia, Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Cina (selatan), Nepal, India, Pakistan, Oman, dan (tentu saja) berakhir di Arab Saudi.

Dari situ saja saya bisa membayangkan betapa menarik dan serunya petualangan wartawan satu ini dalam menempuh perjalanan darat sejauh itu. Pertama-tama, Bahari berziarah dulu ke makam Wali Songo, sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta, naik bus ke Jambi, menyeberang ke Malaysia, lalu lanjut naik kereta ke Thailand dan terus ke utara. Asyiknya, ia selalu menulis pernak-pernik menarik tentang tempat yang dikunjunginya. Misalnya, saat ia tiba di Jambi, ia menulis tentang jejak Islam di kota itu, juga tentang bisnis barang-barang eks Singapura seperti elektronik, pakaian, alat rumah tangga, dan banyak lagi.

Dilengkapi banyak foto berwarna di bagian belakang.

Saat berada di Bangkok, Thailand, ia menulis tentang komunitas Muslim keturunan Jawa di sana, juga soal soal masjid-masjidnya. Bahari banyak menulis soal komunitas Muslim di beberapa negara yang ia lewati, seperti di Thailand, Vietnam, serta kota-kota di Cina selatan dalam perjalanan menuju Tibet dan Nepal. Dalam perjalanannya, tentu saja, ia menemui banyak halangan. Misalnya, pada saat ia hendak menembus Myanmar, ia masuk ke Tamu, kota yang sangat terlarang bagi warga asing. Namun ia tetap nekat ke sana karena hanya ingin lewat untuk menuju India.

Karena gagal, ia naik pesawat ke New Delhi, tapi oleh redaksi Jawa Pos, ia diminta balik ke Bangkok. Dahlan Ihsan, Menteri BUMN sekaligus bos Jawa Pos, yang memintanya mengulang perjalanan itu dari Thailand. “Bukan jalan darat lagi namanya,” begitu kata Dahlan di Kata Pengantar. Rute baru ini membuat Bahari jadi melewati Kamboja, Laos, Vietnam, dan kota-kota di Cina selatan. Perjalanan selanjutnya malah jadi menarik, terutama karena Bahari cukup piawai mendeskripsikan tempat-tempat yang dilewati itu, dan sekaligus menambah wawasan bagi pembaca. Asyik sekali menikmati catatan perjalanan Bahari selama menempuh perjalanan dari Asia Tenggara, naik bus di jalan yang mulus dan kereta hingga ke dataran tinggi, melewati Cina selatan, lalu naik ke Nepal dan Tibet, sebelum masuk ke India dan Pakistan. Dari Oman, perjalanan ke Arab Saudi tak memungkinkan lagi lewat jalan darat, sehingga ia harus naik pesawat. Sebab, pemegang visa haji kuota harus masuk ke Jeddah melalui imigrasi Bandara King Abdul Aziz.

Harus diakui, Bahari adalah pejalan yang tangguh. Statusnya sebagai wartawan tak lantas mempermudah perjalanannya itu. Di Pakistan, ia harus tabah dibuntuti intel dan nyaris dipenjara gara-gara ketahuan bekerja sebagai wartawan tapi mengaku sebagai pekerja seni. Dalam seluruh petualangannya ini, ia banyak dibantu oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negara yang ia kunjungi, para staf KBRI, dan juga para warga lokal.

Sesampainya di Arab Saudi pun ia banyak menulis tentang Makkah dan Madinah: tentang ibadahnya, tempat-tempat belanja, pembangunan di sana, dan banyak pernak-pernik menarik lain. Tulisan Bahari renyah dan mengalir. Sudah begitu, ia membagi tulisannya per bagian yang masing-masing hanya terdiri dari 4-10 halaman, jadi memudahkan pembaca yang senang membaca dengan cara “ngemil”. Tak penting benar apakah pembaca juga akan mengikuti jejaknya melakukan perjalanan haji lewat darat, yang notabene lebih keras dan berbahaya daripada langsung ke Arab Saudi naik pesawat. Fisik kuat dan mental baja adalah syarat mutlak. Eh, tapi…kalau mencermati halaman fotonya, dugaan saya ia berangkat dengan 1-2 temannya, karena foto-foto itu dibuat bukan oleh Bahari (bisa dilihat di kredit foto).

Secara keseluruhan, catatan perjalanan ini sangat menarik. Sangat detail dan kronologis. Penuh dengan kisah-kisah petualangan yang menegangkan dan informasi-informasi menarik. Sayangnya, masih ada beberapa typo di sana-sini dalam buku ini, walaupun sudah dikawal oleh dua editor. Sayangnya lagi, Bahari ini tipe wartawan sejati. Dia nyaris tidak pernah melibatkan emosinya dalam tulisan-tulisannya. Tapi, yaah…namanya juga tulisan feature jurnalistik. Wartawannya harus menjaga garis batas antara peristiwa yang dilaporkan dan opini/emosi pribadinya. Walhasil, walau peristiwa yang dilaporkan tetap seru, buku ini agak kehilangan jiwanya. Berjarak dengan pembacanya. Ini pendapat saya, lho.

Seandainya Bahari mau menulis ulang semua kisahnya dan memberi polesan emosi, saya yakin buku ini jadi dahsyat sekali.  Namun, buku ini tetap seru dan saya rekomendasikan, khususnya bagi penyuka buku travel writing.[]